• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perubahan Fungsi Lahan Sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis di Sumatra Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Analisis Perubahan Fungsi Lahan Sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis di Sumatra Utara"

Copied!
278
0
0

Teks penuh

(1)

1

2

3

4

1

Turnitin Originality Report

21._PROSIDING_APIKI2014_FINAL_LENGKAP.pdf

by Anonymous

From Rahmawaty (Penelitian Dosen 2018)

Processed on 31-Jul-2018 4:15 PM WIB

ID: 986524345

Word Count: 157924

Similarity Index

15%

Similarity by Source

Internet Sources:

12%

Publications:

0%

Student Papers:

6%

sources:

7% match (Internet from 15-Feb-2017)

http://eprints.unsri.ac.id/7080/1/MAKALAH_SABAR_PROSIDING_SEMNAS_APIKI_2014.pdf

3% match (Internet from 10-Dec-2016)

http://unhas.ac.id/fahutan/data/Prosiding-MAPEKI-17-XVII-Medan.pdf

3% match (student papers from 27-Aug-2014)

Submitted to GRIPS National Graduate Institute for Policy Studies on 2014-08-27

2% match (Internet from 18-Jul-2018)

https://anzdoc.com/konservasi-sumberdaya-lahan-dalam-perspektif-kearifan-lokal-.html

paper text:

ISBN 978-602-73376-0-2 PROSIDING Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014 KERJASAMA

ASOSIASI AHLI PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA BADAN PENGELOLA REED+

KEMENTERIAN KEHUTANAN JAKARTA AP K INDONESIA BADAN PENGELOLA RED REPUBLIK

INDONESIAD KEMENTERIAN KEHUTANAN ISBN 978-602-73376-0-2 PROSIDING Seminar Nasional

MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN LESTARI

Jakarta, 18-19 November 2014 Editor: Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS,

M.Sc Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya, MS Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Markum, M.Sc Ir. Agus

Susatya, M.Sc, Ph.D Dr. Ishak Yassir, S.Hut, M. Sc Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc Penyusun : Yayan Hadiyan

S.Hut, M.Sc Muhammad Farid, S.Hut, M. Sc Kestri Ariyanti Sumardi S.Hut, M.Sc Asosiasi Ahli Perubahan

Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK) Alamat: Jl. Argo No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM,

Yogyakarta Telp. (0274) 512102, 901420 Email : apik.indonesia@yahoo.co.id

(2)

1

1

1

Prosiding Seminar Nasional MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM MENUJU TATA KELOLA

HUTAN DAN LAHAN LESTARI Jakarta, 18-19 November 2014 KERJASAMA ASOSIASI AHLI

PERUBAHAN IKLIM DAN KEHUTANAN INDONESIA BADAN PENGELOLA REED+ KEMENTERIAN

KEHUTANAN JAKARTA INDONESIA i

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

Prosiding

Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan

Lahan Lestari, 18-19 November 2014,

Jakarta Indonesia @Tahun 2015 Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia)

Editor: Prof. Dr. Ir. Deddy Hadriyanto, M. Agr Prof. Dr. Ir. Hermansah, MS, M.Sc Prof. Dr. Ir. Agus Kastanya,

MS Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc Dr. Ir. Markum, M.Sc Ir. Agus Susatya, M.Sc, Ph.D Dr. Ishak

Yassir, S.Hut, M. Sc Dr. Ir. Sabaruddin, M.Sc Penyusun : Yayan Hadiyan S.Hut, M.Sc Muhammad Farid,

S.Hut, M. Sc Kestri Ariyanti Sumardi S.Hut, M.Sc Design dan Tata letak: Edy Wibowo Hak Cipta dilindungi

oleh Undang-Undang Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk

fotokopi, cetak, microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau

keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut : Sitasi: Hadriyanto, D.

et all (EDS). 2015. Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan Dan Lahan Lestari, 8-9

November 2014. Jakarta Indonesia Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia. Yogyakarta.

ISBN 978-602-73376-0-2 Diterbitkan oleh: Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Jl. Argo

No. 1, Bulaksumur Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Telp. (0274) 512102, 901420 Email :

apik.indonesia@yahoo.co.id ii

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(3)

1

1

adaptasi dan tata kelola hutan dan lahan, dalam konteks penanganan perubahan iklim di Indonesia, Apik

berkejasama dengan BP-REDD+ telah melaksanakan Seminar Nasional dengan tema “Mitigasi dan

Adaptasi Perubahan Iklim Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari ”. Seminar tersebut telah mejadi

sasrana berbagi informasi status perkembangan kebijakan perubahan iklim Internasional dan Nasional,

berbagi informasi status penelitian adaptasi dan mitigasi penanganan perubahan iklim dan kehutanan di

Indonesia, dan telah merumuskan masukan terkait kebijakan, strategi dan rencana aksi penanganan

perubahan iklim ke depan, khususnya menyongsong implementasi REDD+ di Indonesia. Pada kesempatan

ini, diucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Kehutanan dan Bp REDD+ yang

telah membantu baik operasional maupun pendaaan atas penyelenggaraan Seminar Nasional tersebut.

Yogyakarta, Agustus 2015 Ketua Umum, ttd. Dr. Sastyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc iii

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

iv

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... iii DAFTAR ISI

... v

ADAPTASI... 1 1 ADAPTASI SPESIES

TANAMAN PADA KONDISI EKSTRIM BESERTA ADAPTASI PENDEKATAN PENANAMANNYA UNTUK

ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM ... 3 2

MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN MERESPON DAMPAK PERUBAHAN IKLIM: GENDER

PERSPEKTIF ... 17 3 ADAPTASI JENIS-JENIS POHON

PIONIR PADA HUTAN RAWA GAMBUT YANG TERDEGRADASI BERAT DI OGAN KOMERING ILIR,

SUMATERA SELATAN ... 29 4

BIODIVERSITAS DAN PERAN MASYARAKAT ADAT DALAM PERUBAHAN IKLIM DI REGION PAPUA

... 39 5 WHAT DID DRIVE EXTREME DROUGHT

EVENTS IN 2014? ... 55 6 STRATEGI ADAPTASI DAN MITIGASI DALAM

MENGHADAPI BENCANA PESISIR AKIBAT PERUBAHAN IKLIM

... 61 7 ARBORETUM DESA : AKSI LOKAL KONSERVASI JENIS

TANAMAN HUTAN MENDUKUNG PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM ... 71 8 STATEGI

USAHA PERTANIAN PETANI KARET DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DI NAGARI MUARO

SUNGAI LOLO KEC. MAPAT TUNGGUL SELATAN KAB. PASAMAN - SUMBAR

... 81 9 MENGGALI DAN MENEGAKKAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT

ARFAK UNTUK MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM 1 ... 87 10 KEKUATAN

KEARIFAN LOKAL DALAM RESTORASI EKOSISTEM TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

... 93 MITIGASI

... 101 11 ALIRAN KARBON DAN ENERGi

PADA BERBAGAI TUTUPAN LAHAN SULAWESI TENGAH

... 103 12 ESTIMASI POTENSI CADANGAN DAN

SERAPAN KARBON DI PROVINSI BENGKULU DENGAN MENGGUNAKAN DATA MODIS

(4)

4

1

2

1

2

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN

TROPIS DATARAN RENDAH

... 161 v

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 17

POTENSI

SERAPAN KARBON PADA BERBAGAI JENIS TEGAKAN HASIL REHABILITASI HUTAN POLA HUTAN

KEMASYARAKATAN: STUDI KASUS HKM KAB. REJANG LEBONG BENGKULU

... 169 18 PERUBAHAN POPULASI DAN BIOMASA TEGAKAN

DALAM KAITANNYA DENGAN AKUMULASI CARBON DI KAWASAN HUTAN HUJAN TROPIS ULU

GADUT PADANG SUMATRA BARAT ... 175 19 REVIEW : VARIASI

KANDUNGAN BIOMASA PADA BERBAGAI EKOSISTIM DI SUMATRA

... 185 20 ANALISIS PERUBAHAN

FUNGSI LAHAN SEBAGAI UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DENGAN APLIKASI SISTEM

INFORMASI GEOGRAFIS DI SUMATRA UTARA

... 199 21 THE IMPACTs OF FOREST

CONCESSIONS ON DEFORESTATION IN INDONESIA

... 209 22

PENAKSIRAN BESARNYA STOK KARBON DAN PENURUNAN EMISI

MELALUI PENERAPAN METODE REDUCED IMPACT LOGGING

CARBON (RIL-C)

... 221

23 ESTIMASI EMISI LANGSUNG NITRUS OKSIDA (N 2 O) ASAL

APLIKASI PUPUK NITROGEN AN-ORGANIK PADA PERKEBUNAN

SAWIT DI LAHAN GAMBUT

... 231 24 MODEL ALOMETRIK

PENDUGAAN BIOMASSA DAN KARBON TEGAKAN HUTAN JENIS KERUING (Dipterocarpus sp) PADA

HUTAN ALAM PRODUKSI DI KALIMANTAN TENGAH

... 237 25 KUANTIFIKASI

MASSA KARBON PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LANGKAT,

SUMATERA UTARA

(5)

1

1

1

1

1

POHUWATO PROVINSI GORONTALO ...

269 29 POTENSI KARBON HUTAN NAGARI SIMANCUANG PROVINSI SUMATERA BARAT SEBAGAI

UPAYA MENDUKUNG SISTEM MRV ... 275 30 ESTIMASI NILAI TEGAKAN DI

RTHKP KOTA BANJAR BARU ... 287 31 ADAPTASI DAN MITIGASI PEMANASAN

GLOBAL MELALUI HUTAN JATI RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

... 311 32 MODEL PENGHITUNGAN CADANGAN KARBON HUTAN

RAKYAT BERSERTIFIKAT SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ... 319 33

PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT MELALUI PROGRAM KULIAH KERJA

NYATA MAHASISWA (KUKERTA) ... 337 34 KAJIAN KEGIATAN REDD + DALAM

PERSPEKTIF PERUBAHAN IKLIM ... 343 35 PENGEMBANGAN PARAMETER FRAKSI KARBON

YANG HILANG ... 359 vi

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

TATA KELOLA ... 366 36 TANTANGAN PELIBATAN

MASYARAKAT DALAM MENGELOLA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP) DI

BENGKULU UTARA ... 367 37

TATA KELOLA KPHP LAKITAN, MANDIRI DENGAN KEMITRAAN MASYARAKAT

... 377 38 PERANAN BALAI DIKLAT

KEHUTANAN DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

... 387 39 PENGARUH

BIOREMEDIASI DAN FITOREMEDIASI MERKURI (Hg) TERHADAP PENINGKATAN UNSUR HARA

TANAH PADA LAHAN PASCA TAMBANG EMAS

... 395 vii

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

viii

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

ADAPTASI 1

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

2

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(6)

2

1

conditions and adaptation in planting to anticipate climatic changes Rina Laksmi Hendrati *) dan Yayan

Hadiyan *) *) Peneliti

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

Jl. Palagan T. Pelajar km 15, Purwobinangun, Pakem, Yogyakarta. Telp 0274-896080. Fax. 0274-896-080,

Email: rina.l.hendrati@gmail.com, ABSTRACT Drought as an effect following climate changes has been

predicted to influence living creatures including trees. This might cause the loss of trees at various ages, and

even more causing the disappearances of particular species. It is only adaptive species that will withstand

and compete for their existence. Adaptive species, therefore, will be the most appropriate choices to

anticipate the occurrence of extreme condition due to climate change in terms of keeping vegetation cover

and restoring marginal ecosystem and in minimizing carbon emission especially by planting unused lands. A

number of 25 tree accessions (21 species) selected and collected from various dry areas in Indonesia have

been tested to 3 field dry sites in DIY, Wonogiri and Madura. Similar materials were tested under controlled

conditions. Species with the best performances, include genetically improved species, have developed

adaptive characters under dry situations. Those are prospective species for plantations under marginal dry

areas, either at current situations or in areas that will be drier due to climatic chances in the future. In

establishing plantation to anticipate dry conditions, useful adaptive steps include selection of adaptive

species and modification of early maintenance in the fields which those have proven to affect differences for

successful growth. Keyword : Species, adaptation, drought,climate change ABSTRAK Effek berantai

perubahan iklim berupa kekeringan diprediksi akan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup termasuk

spesies tanaman pohon. Hal ini dimungkinkan bisa berakhir dengan kematian disegala umur bahkan

menghilangnya spesies tertentu. Hanya spesies adaptif, yang akan berhasil tumbuh serta berkompetisi

untuk mempertahankan kelestariannya. Spesies adaptif tersebut akan menjadi pilihan tepat dalam

mengantisipasi terjadinya kondisi ekstrim karena perubahan iklim dalam hal menjaga penutupan vegetasi

dan restorasi ekosistem marginal serta ikut mengoptimasikan pengurangan emisi karbon dengan

penanaman lahan yang tidak dimanfaatkan. Sejumlah 25 aksesi tanaman pohon (21 spesies) yang terpilih

yang dikoleksi dari berbagai kondisi kering di Indonesia telah di ujikan pada 3 kondisi lapangan kering di

DIY, Wonogiri dan Madura. Materi yang sama persis juga diujikan pada uji kekeringan secara terkontrol.

Jenis dengan penampilan terbaik, termasuk jenis yang bergenetik unggul, terbukti telah mengembangkan

karakter adaptif pada kondisi kering. Jenis-jenis tersebut prospektif untuk digunakan untuk penanaman pada

kondisi marginal kering saat ini, serta pada area-area yang pada masa yang akan datang akan menjadi

semakin kering karena dampak perubahan iklim. Dalam penanaman spesies pohon untuk mengantisipasi

kondisi kering, salah satu bentuk adaptasi yang menguntungkan selain dengan menggunakan spesies yang

adaptif adalah dengan memodifikasi pemeliharaan awal yang terbukti sangat signifikan menunjukkan

keberhasilan pertumbuhan. Kata kunci: Spesies, Adaptasi, Kering, Perubahan Iklim 3

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(7)

1

serta ketersediaan air diperkirakan bertambah sampai 10-40%, sedangkan di daerah subtropis dan daerah

tropis yang kering, air menyusut sampai 10-30% dan karenanya daerah-daerah yang saat ini sering

mengalami kekeringan akan menjadi semakin parah keadaannya (IPCC 2007). Persoalan perubahan iklim

ini cukup sulit dihindari dan sudah menjadi hal yang nyata. Oleh karenanya adaptasi terhadap kondisi

tersebut harus dikembangkan dalam berbagai aspeknya oleh makhluk hidup termasuk manusia dan

tanaman. Meningkatnya bencana alam terkait iklim seperti banjir, badai, tanah longsor, gelombang pasang,

kebakaran hutan serta kerusakan lingkungan termasuk kekeringan dan peningkatan serangan hama dan

penyakit, harus dijadikan pengalaman dan acuan untuk mencari solusi agar makhluk hidup termasuk

tanaman dapat dipertahankan kelestariannya. 1.2 Dampak Perubahan Iklim terhadap Tanaman Efek

berantai perubahan iklim yang menjadi problem saat ini salah satunya adalah kekeringan dan hal ini

diprediksi akan mempengaruhi kehidupan makhluk hidup termasuk spesies tanaman pohon. Secara umum,

respon tanaman terhadap kondisi ekstrim karena perubahan iklim, ada 4 yakni; 1) adaptasi 2) bergeser

kisaran hidupnya 3) tetap eksis karena dipindahkan dengan bantuan manusia 4) punah. (Jackson et al.

2014). Oleh karenanya hal-hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan keberadaan tanaman adalah

dengan menyeleksi dan menyediakan jenis-jenis yang mampu beradaptasi, memindahkan pada kondisi

yang sesuai dengan habitat asalnya misalnya dengan konservasi eksitu serta memodifikasi model

penanaman untuk membantu pertumbuhan tanaman saat penanaman. Jika kepunahan akan dihindari maka

kita perlu untuk mengetahui apa yang menyebabkan tanaman bisa beradaptasi dan apa yang menyebabkan

tanaman menjadi sensitif sehingga bisa memberikan prioritas utama pemilihan jenis sesuai dengan

pelestariannya. Situasi kekeringan akan mempengaruhi pertumbuhan, perubahan fisiologi maupun anatomi

pada tanaman. Hal ini disebabkan karena keterbatasan air akan menghambat pembesaran sel dan

perubahan hormon yang berdampak terhadap berbagai proses fisiologi dan biokimia termasuk fotosintesa,

translokasi, respirasi, pengambilan ion, serta proses pembentukan karbohidrat, nutrisi dan pemacu

tumbuhan (Farooq et al., 2009, Jaleel et al 2009). Vegetasi umumnya juga akan rentan serangan hama atau

penyakit jika dibandingkan dengan situasi normal tersedia air. Vigoritas tumbuhan menurun, dan adanya

defisit kelembaban tanah yang terjadi pada periode yang lama serta datangnya hama dan penyakit

mengakibatkan parahnya kehidupan tanaman yang bisa berakhir pada kematian

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

pada jenis-jenis tertentu (Zhang 2010, Chenchouni 2010), dan karenanya di daerah yang sering mengalami

kekeringan, terjadi banyak spesies tanaman yang akan hilang, manakala ketersediaan spesies-spesies

tanaman yang adaptif pada kondisi tersebut tidak tersedia (Ouedraogo dan Thiombiano 2010). Penelitian

yang dilakukan pada periode waktu 5 tahun (2010-2014) telah dilakukan untuk menguji berbagai spesies

pohon yang dikoleksi dari kondisi kering di Indonesia. Pengujian yang dilakukan pada kondisi kering baik

pada kondisi terkontrol maupun pada 3 kondisi lapangan kering bertujuan untuk memperoleh jenis-jenis

tanaman pohon yang prospektif untuk digunakan dalam penanaman pada kondisi marginal kering saat ini,

serta pada area-area yang pada masa yang akan datang yang akan menjadi semakin kering karena

dampak perubahan iklim. Selain itu modifikasi penanaman pohon untuk mengantisipasi kondisi kering juga

dicobakan sebagai salah satu bentuk adaptasi yang menguntungkan yakni dengan memodifikasi

pemeliharaan awal untuk mendapatkan keberhasilan pertumbuhan. 2. ADAPTASI TANAMAN PADA

KONDISI EKSTRIM 2.1 Urgensi adaptasi pada kondisi ekstrim Berbagai perubahan di bidang pertanian

telah dilakukan untuk merespon perubahan iklim termasuk kekeringan. Hal ini disebabkan karena

(8)

1

Australia dampak perubahan iklim diantisipasi dengan melakukan adaptasi, dengan berbagai perubahan

seperti mengubah tanggal penanaman, perubahan penggunaan pupuk, irigasi, serta pemilihan varietas

tanaman yang dapat memiliki dampak yang signifikan (Stokes dan Howden 2013). Pelaksanaan adaptasi

terhadap penanaman spesies tanaman kehutanan untuk mengantisipasi dampak dari perubahan iklim

termasuk kekeringan belum banyak dilakukan. Perubahan iklim yang mengarah ekstrim yang akan

mengancam daerah-daerah dimana kita hidup, harus dihadapi dengan berbagai penyesuaian

tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk mencari solusinya yang tepat demi kelestarian kehidupan tanaman

pohon. Hal ini disebabkan karena tidak semua tanaman akan tahan terhadap kondisi kekeringan. Makhluk

hidup termasuk tumbuhan memerlukan proses adaptasi terhadap efek pemanasan global agar lestari, dan

diantara berbagai spesies tanaman terdapat perbedaan tingkat adaptasi pada situasi tertekan, yang berkisar

dari level sensitif sampai ke level adaptif atau toleran (Atwell et al. 2003). Oleh karenanya pemilihan

berbagai alternatif spesies adaptif yang toleran atau bahkan yang umggul tahan terhadap kondisi kering

perlu dilakukan. Bagi spesies-spesies tertentu dampak berantai perubahan iklim ini mempengaruhi

kehidupannya (Tognetti dan Palombo 2013, Wilfried dkk 2006) bahkan bisa menyebabkan kematian

tanaman pohon (Allen 2010) disemua level umur (Chenchouni 2010), hingga hilangnya spesies tertentu

(Steffen et al. 2009). Terhadap daerah yang diprediksi akan berkembang menjadi semakin parah

kekeringannya, hanya 5

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(9)

1

1

ekstrim, termasuk kekeringan. Pendekatan pemilihan jenis yang telah beradaptasi pada kondisi asalnya ini

perlu dilakukan karena dimungkinkan struktur genetiknya telah sedemikian rupa terbentuk untuk

mengantisipasi kondisi kering yang kurang menguntungkan tersebut. Oleh karenanya pemilihan sumber

asal dari suatu tanaman sangat perlu untuk diperhitungkan untuk mendapatkan adaptifitas terbaik karena

adaptifitas untuk bertahan terhadap kekeringan berhubungan erat dengan distribusi geografis jenis tersebut

serta pola musim hujan yang terjadi pada habitat asalnya (Baltzer et al. 2008). 6

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

Respon tanaman berdasarkan pada perubahan dengan basis morfologis, anatomis atau fisiologis, ketika

bertahan pada kondisi keterbatasan air, memungkinkan kita untuk menyeleksi jenis yang lebih mampu

bertahan (Nam et al., 2001; Martinez et al., 2007). Reaksi antar spesies umumnya sangat bervariasi dan

tergantung pada waktu dan level cekaman kekeringan serta fase pertumbuhan (Ashraf dan Foolad 2007).

Oleh karenanya dalam pelaksanaan seleksi, selain harus menyertakan jenis yang diasumsikan telah adaptif

dari habitat asalnya, juga harus dilakukan pada saat umur muda dan umur dewasa serta diekspose pada

tekanan ekstrim yang diasumsikan seragam sehingga seleksi lebih akurat untuk dilakukan. Selain

pertumbuhan, persen hidup serta ketahanan hidup terhadap serangan hama dan penyakit, karakter yang

diperkirakan menentukan adaptifitas perlu untuk diidentifikasikan sebagai karakter yang nantinya akan

digunakan sebagai kriteria manakala pemilihan individu unggul terhadap kekeringan didalam spesies akan

dilanjutkan. 3. LIMA TAHUN PERIODE UJI ADAPTASI SPESIES POHON PADA KONDISI EKSTRIM

KERING Seperti juga pada bidang pertanian selain menyediakan jenis unggul tahan kondisi kering,

modifikasi penanaman serta mengoptimalkan intensifikasi pertanian yang ramah lingkungan telah

disarankan oleh para ahli sebagai penyesuaian atau adaptasi pada kondisi ekstrim yang disebabkan karena

dampak perubahan iklim. Oleh karenanya dibidang kehutanan penyediaan spesies adaptif serta modifikasi

pendekatan-pendekatan tertentu, baik secara teknis maupun pendekatan kepada manusianya, juga perlu

dilakukan. Hal tersebut telah terbukti secara signifikan meningkatkan keberhasilan penanaman. Peneliitian

selama 5 tahun (2009-2014), sebanyak 25 aksesi tanaman pohon dari 21 spesies yang terpilih telah

dikoleksi dari berbagai kondisi kering di Indonesia. Semua jenis tersebut di uji pada 3 kondisi lapangan

kering di DIY, Wonogiri dan Madura. Materi yang sama persis juga diuji pada uji kekeringan secara

terkontrol dengan perlakuan kekeringan 0, 10, 20, 30 dan 40 hari kekeringan sampai mencapai kelengasan

tanah 15- 23%. Beberapa tahapan kegiatan pengujian dan pendekatan pengelolaan plot uji dalam penelitian

tersebut disajikan berikut ini : 3.1 Koleksi materi genetik yang telah beradaptasi sampai beberapa generasi:

pemilihan spesies dengan multimanfaat dan perbandingan antar provenans Identifikasi spesies (2010)

dilakukan sebelum pelaksanaan koleksi materi genetik pada lokasi dengan curah hujan rendah

(<1000mm/th) di Indonesia yakni di Madura, NTT, Palu dan Sumba. Jenis yang teridentifikasi tumbuh pada

daerah tersebut cukup banyak (> 125 spesies), karenanya seleksi perlu dilakukan dengan berbagai kriteria

berdasarkan penampilannya (pohon), populasinya yang masih memadai, manfaatnya, rekomendasi

setempat serta kemudahan budidayanya sehingga diperoleh 36 spesies terpilih. Koleksi materi genetik dari

spesies-spesies tersebut kemudian dilakukan (2011) dengan menggunakan biji atau bahan vegetatifnya.

Beberapa spesies diusahakan dikoleksi dari sumber habitat yang berbeda (provenans) untuk melihat

perbedaan adaptasinya karena kondisi lingkungan asal (habitat) atau provenans asal dari suatu spesies

akan menentukan kemampuan adaptifitas dari suatu spesies. Karena tekanan tertentu spesies tersebut

diasumsikan telah mengembangakan kemampuan untuk bertahan hidup dari lingkungannya sampai

terjadinya seleksi alami secara perlahan sehingga individu-individu yang adaptif yang bertahan hidup

(Marcar and Crawford, 2004). Karena kendala ketersediaan biji saat eksplorasi, hanya sejumlah 29 spesies

yang bisa dikoleksi dari 9 populasi di seluruh 7

(10)

1

Indonesia (Sulawesi Tenggara, Gunung Kidul, Madura, Alas Purwo, Bondowoso, Baluran, NTB, Kefa NTT

dan Soe Kupang) dengan beberapa jenis dikoleksi lebih dari 1 provenans. 3.2 Pengujian pada kondisi

lapangan dan pada kondisi terkontrol Biji ataupun bahan vegetatif yang telah dieksplorasi dari tempat

asalnya kemudian disemaikan dan dipelihara di persemaian, yang kemudian digunakan sebagai materi

pengujian kekeringan di lapangan dan pada kondisi terkontrol. Sampai saat semai siap digunakan untuk

pengujian, hanya 25 aksesi (21 spesies) yang mencukupi jumlahnya. Sejumlah 4 spesies (Aleuretes

mollucana, Callophulum inophyllum, Sterculia foetida dan Casea seamea) berasal dari 2 provenans.

Spesies yang digunakan untuk pengujian tersebut termasuk 2 spesies yang secara genetik telah unggul

yakni yang berasal dari daerah kering (Acacia auriculiformis F1) dan dari daerah basah (Acacia mangium

F2) sebagai pembanding. Pengujian lapangan dilakukan di 3 lokasi daerah kering di Pracimantoro, Gunung

Kidul dan Madura dengan penanaman pada tahun 2012. Pengujian menggunakan 25 aksesi (21 spesies)

dengan 25 tanaman/spesies (5X5), dengan jarak tanam 3X3m dan diulang 3-5 blok. Pengujian jenis-jenis

tersebut juga dilakukan secara kering terkontrol dan dilakukan di persemaian B2PBPTH dengan perlakuan

kekeringan 0, 10, 20 dan 40 hari disertai dengan kontrol. Karakter pertumbuhan tanaman serta lebar

penutupan tajuk serta kerentanan hama dan penyakit diamati di lapangan, sementara pada pengujian

terkontrol, karakter pertumbuhan, fisiologi, anatomi termasuk kandungan solute berupa prolin yang banyak

diproduksi tanaman yang tahan terhadap kekeringan juga dilakukan bekerjasama dengan Fakultas Biologi

Universitas Gadjah Mada. Hasil Pengamatan secara ringkas (Tabel 1) menunjukkan bahwa setiap jenis

mempunyai kemampuan adaptasi yang berbeda baik pada kondisi lapangan maupun kondisi terkontrol,

dengan penampilan terbaik adalah bibit unggul Acacia auriculiformis, diikuti oleh Cassea seamea (Johar),

Jati (Tectona grandis) dan ViteX pubescent. Jenis yang bagus di salah satu lokasi termasuk Kepuh

(Sterculia foetida), Waru (Hibiscus tiliaceus), Kayu merah (Pterocarpus indicus), Kemiri (Aleuretes

mollucana), Cedrela sp, Pulai (Alstonia scholaris) dan Nyamplung (Callophylum inophyllum). Karakter

adaptif yang diobservasi pada kondisi terkontrol diharapkan dapat digunakan sebagai indikator manakala

seleksi genotip di dalam spesies akan dilakukan. Terdapat keistimewaan dari tanaman Johar sebagai

spesies yang tampil terbaik kedua, yakni adanya kemampuan memperpanjang (1-1,5m) akar kesamping

pada kondisi tanaman muda untuk mendekati perakaran kompak tanaman didekatnya, yang diperkirakan

dalam rangka mengambil keuntungan dari segi kelembabannya. Selain itu jenis tersebut juga menunjukkan

diserang oleh hama ulat sampai daunnya habis, namun ternyata kepompongnya bisa dijual masyarakat (Rp

26.000/kg th 2013), sementara tanaman tetap mampu memulihkan diri dengan melakukan trubusan daun

dengan cepat saat turun hujan. Spesies-spesies diatas yang menunjukkan kecepatan tumbuh yang

berlainan, dengan berbagai kemanfaatan serta berbagai karakter perbedaan cara adaptasi ini diharapkan

akan sangat bermanfaat serta saling melengkapi untuk menciptakan ekosistem yang stabil jika ditanam

pada kondisi kering marginal atau sebagai antisipasi penutupan vegetasi bagi area yang nantinya

diindikasikan akan menghadapi dampak perubahan iklim yang mengarah kering. Pada penelitian ini

tanaman yang adaptif diharapkan menunjukkan kemampuan bertahan hidup pada kadar lengas tanah 12-23

% sampai 17-25%, yang merupakan 20-25% dari tanaman yang disirami secara normal (data uji terkontrol).

Sementara itu pengujian lapangan yang dilakukan mencerminkan ekostem dengan presipitasi <1000 atau

lokasi dengan iklim D, E, F (Klasifikasi Schmid dan Fergusson). 8

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(11)

1

1

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

Tabel 1. Penampilan dan potensi adaptasi spesies tanaman uji serta manfaat penggunaan. No Spesies (25

aksesi, 21 spesies) Penampilan pada kondisi kering Pertmbuhan di lapangan (R, S,T) % hidup di Lapangan

(R, S, T) Karakter adaptif (dr uji terkontrol) Kayu energi Manfaat bagi masyarakat dan industri Kayu Pulp

Non Pertukang kayu an dan alat 1. Kayu Merah (Pterocarpus indicus) NTT R-S S-T (56-77%) * √ √ 2. Kemiri

(Aleuretes mollucana) NTB S-T R-T (30-95%) akar √ √ 3. Kemiri (Aleuretes mollucana) Baluran R-S R akar

√ √ 4. Nyamplung (Calophyllum inophyllum) Baluran R-S R daun, akar, stomata √ √ 5. Nyamplung

(Calophyllum inophyllum) Madura R S-T (66-72%) idem √ √ 6. Kepuh (Sterculia foetida) NTT R S-T

(61-86%) daun √ 7.Kepuh(Sterculiafoetida) AlaspurwoR T(71%) idem √ 8. Vitex (Vitex pubescent) Kendari R-S

(1,7-2 m) T (72-83%) daun √ √ 9. Cemara Udang (Casuarina equisetifolia) Madura R R-S akar √ 10. Gebang

(Corypha utan) Alaspurwo R S-T akar √ 11. Kesambi (Schleicera oleosa) Baluran R S-T trakhea akar N √ √

12. Johar (Cassia seamea) NTT S T (80-100%) daun, akar, transpirasi √ √ √ 13. Johar (Cassia seamea)

Bondowoso S-T (2,3-4,4 m) T (81-98%) Idem √ √ √ 14. Cendana (Santalum album) G. Kidul R R * √ √

15.Injuwatu(Pleigoniumtimoriense)NTTR S *√ 16. Legaran pantai (Alstonia spectabilis)) G. Kidul R-S R akar

√ 17.Pongamia(Pongamiapinnata)AlaspurwoRR daun √√ 18. Jati (Tectona grandis) G. Kidul S (2,6-2,8 m) T

(79-93%) daun, produksi prolin √ 19. Acacia auriculiformis 20 Famili F1 T (4,7-7,5 m) T (88-89%) daun, akar,

trachea √ √ √ akar 20. Mimbo (Azadirachta indica) Jawa Timur R R * √ 21. Cidrela odorata Bondowoso R

R-T (30-92%) daun √ 22. Waru (Hibiscus tiliaceus) Lombok R-S S-R-T (64-96%) * √ √ 23. Pulai (Alstonia

scholaris) G. Kidul R T (74-85%) transpirasi √ 24.Sawokecik(Manilkarakauki) G.KidulR R akar √ 25. Acacia

mangium# 5 Famili F2 T R daun √ * = hanya dilakukan pada uji lapangan dan tak diuji kondisi terkontrol

karena keterbatasan bahan tanaman # = spesies kontrol bergenotip unggul yang habitat asalnya bukan dari

kondisi kering Pertumbuhan: R = rendah (0.5 - 2 m ) Persen hidup : R = rendah (<50 ) S = sedang (2 - 4 m )

S = sedang ( 51-70 ) T = tinggi (>4 m ) T = tinggi ( >70 ) (Sumber: Hendrati, 2014) Rehab. lahan 10

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

3.3 Perbaikan pemeliharaan penanaman terutama pada tahun pertama Adaptasi dengan modifikasi

penanaman perlu juga dilakukan di bidang Kehutanan. Hal ini seperti adaptasi yang dilakukan pada bidang

Pertanian yang salah satunya dilakukan dengan melakukan modifikasi penyesuaian waktu tanam (Aldrian et

al 2011),. Secara umum pada lahan kering tanah akan mengalami retak-retak saat musim kemarau.

Pengamatan menunjukkan bahwa akan banyak tanaman yang mati pada tahap awal di tahun pertama

musim kemarau yang terutama disebabkan karena patahnya akar-akar tanam karena retaknya permukaan

tanah. Oleh karenanya pada tahun pertama, bantuan manusia bagi tanaman yang baru ditanam tersebut

sangat diperlukan agar tanaman dapat mengembangkan akarnya kedalam tanah secara optimal sehingga

meminimalisir terjadinya akar yang patah-patah. Hal ini dilakukan dengan penyiraman infus yang dapat

dilakukan secara mudah dan relatif cukup murah pada tahun pertama selama musim kemarau (4-5 bulan).

Penyiraman dilakukan dengan menggunakan botol air mineral 1 liter yang diisi air diulang 2 minggu sekali

dan diletakkan terbalik (dilobangi kecil) pada dudukan yang telah dibuat di sekitar akar tanaman. Cara ini

telah menunjukkan hasil keberhasilan tanaman yang sangat signifikan. Praktek ini terbukti cukup murah

namun dilain pihak mampu meningkatkan rata-rata persen hidup spesies2 tertentu sampai 14-20%, dan

tinggi spesies- spesies tertentu sampai 16-20% sehingga tingginya persen hidup dan bagusnya

(12)

1

kesusksesan dalam penanaman di lokasi kering di Pracimantoro. Pada lokasi ini tercatat sebelumnya telah

dilakukan program penghijauan selama 3 kali, namun hasilnya sangat mengecewakan. Hal ini karena yang

dilakukan hanyalah pemberian bibit yang diserahkan untuk ditanam, tanpa melakukan pendekatan kepada

masyarakatnya untuk ikut berpartisipasi serta diberikan gambaran manfaatnya . Pendekatan-pendekatan

baik secara teknis maupun sosial (Tabel 2.) di Pracimantoro ini telah tercatat meningkatkan persen hidup

beberapa spesies jika dibandingkan dengan lokasi Gunung Kidul yang tidak dilakukan modifikasi sebagai

tindakan adaptasi untuk antisipasi kondisi kekeringan. Beberapa jenis yang diamati menunjukkan tingginya

persen hidup termasuk kemiri dari 30% menjadi 95%, kepuh dari 60 menjadi 80%, cemara udang dari 20

menjadi 64%, gebang dari 65 menjadi 93%, kesambi dari 60 menjadi 93%, johar dari 80 menjadi 99%,

Cidrela dari 30 menjadi 90% dan waru dari 64 menjadi 96%. Bagi lokasi Madura yang masyarakatnya

melakukan kerusakan tanaman uji dengan membakar lahan untuk menyediakan rumput pada musim hujan

maupun dari pihak mitra kerjasama yang tidak melakukan pemeliharaan secara memadai sesuai perjanjian,

maka persen hidup yang dicapai sangat rendah yakni hanya 37% dalam umur 18 bulan saja, sehingga

kerjasama dihentikan karena dianggap tidak memadai. 11

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014 Tabel

2.

(13)

1

2

2

unggul Acacia auriculiformis, diikuti oleh Cassea seamea (Johar), Jati (Tectona grandis) dan ViteX

pubescent, sementara yang bagus di salah satu lokasi adalah Kepuh (Sterculia 12

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

foetida), Waru (Hibiscus tiliaceus), Kayu merah (Pterocarpus indicus), Kemiri (Aleuretes mollucana), Cedrela

sp, Pulai (Alstonia scholaris) dan Nyamplung (Callophylum inophyllum). Tanaman Acacia mangium sebagai

kontrol yang merupakan tanaman bergenetik unggul, banyak ditanam luas di Indonesia namun habitat

asalnya bukan dari daerah kering, meskipun secara biomasa tinggi namun banyak menunjukkan daun-daun

yang kekuningan serta persen hidupnya sangat rendah. Adaptasi khusus ditunjukkan oleh Johar dengan

kemampuan memperpanjang (1-1,5m) akar untuk mendekati perakaran kompak tanaman tetangganya,

yang diperkirakan dalam rangka mengambil keuntungan dari segi kelembabannya. Selain itu Johar

mempunyai kemampuannya untuk memulihkan diri dengan melakukan trubusan daun dengan cepat saat

turun hujan setelah diserang habis oleh ulat yang kepompongnya menguntungkan masyarakat untuk dijual.

Modifikasi pemeliharaan dengan penyiraman pada tahun pertama, yang cukup murah terbukti mampu

meningkatkan rata-rata persen hidup spesies2 tertentu sampai 14- 20%, dan tinggi tanaman

spesies-spesies tertentu hingga 16-20%. Hal ini mencegah kerugian besar dengan kematian yang mungkin dialami

sehingga terhindar dari kerugian biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya dalam hal pengadaan bibit dan

biaya penanaman.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kami

sampaikan kepada

Kepala Pusat beserta staf terkait Pusat Penelitian Kebijakan Hutan dan Perubahan Iklim, Bogor dan yang

teristimewa adalah Dr. Niken Sakuntaladewi sebagai Koordinator RPI Adaptasi. Penghargaan juga kami

sampaikan kepada Kepala

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

beserta staf terkait yang telah memberikan dana dan fasilitas untuk pelaksanaan penelitian ini. Ucapan

terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada semua anggota tim yang telah membantu terlaksananya

penelitian ini dan semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan. DAFTAR PUSTAKA Aldrian E., Karmini M.

Dan Budiman, 2011, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia, Pusat Perubahan Iklim dan

Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG),

Jakarta Pusat Ashraf, M. and M. R. Fooland. 2007. Roles of Glycine Betaine and Proline in Improving Plant

Abiotic Stress Resistance. Environ Exp Bot. 59: 206-216. Atwell B., Kriedemann P dan Turnbull C, 2003,

Plants in Action: Adaptation in Nature performance in cultivation, Macmillan Education Australia Pty Ltd,

Melbourne, Australia Baltzer, J. L., Davies, S. J., Bunyavejchewin, S. and Noor, N. S. M. (2008), The role of

desiccation tolerance in determining tree species distributions along the Malay–Thai Peninsula. Functional

Ecology, 22: 221–231. Brown, J K, Herrmann, H W, Zia-Ur-Rehman, M, Hameed, U. and Haider MS (2013):

Begomovirus diversity, phylogeography, and population genetics in cultivated and uncultivated plant

ecosystems in Pakistan, In: International Conference of Biodiversity and Integrated Pest Management:

working together for a sustainable future, 4-7 July, Manado, North Sulawesi, Indonesia, Virginia Tech,

USAID and Sam Ratulangi University, Integrated Pest Management Innovation Lab, International

(14)

1

1

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

World Congress, Forest for the future: sustaining society and the environment, 23-28 Agustus 2010, Seoul,

Republic of Korea Farooq M, Wahid A, Kobayashi N, Fujita D, Basra SMA (2009) Plant drought stress:

effects, mechanisms and management. Agronomy for Sustainable Development 29: 185-212 Hendrati,

2014, Chapter 4. Adaptasi Tanaman Terhadap Kekeringan Akibat Perubahan Iklim, Sintesa Penelitian

2010-2014 RPI 18: Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi, Oleh Sakuntaladewi dkk, Pusat Penelitian

Perubahan Iklim dan Kebijakan Hutan, Bogor IPCC 2007, Climate Change 2007, The physical Science

Basis, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of The Intergovernmental Panel on

Climate Change (Solomon S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt. M Tignor and H.L.

Miller (eds), Cambridge University Press, Cambridge United Kingdom) . Jackson M, Ford-loyd B dan Perry

M, 2014, Plant Genetic Resources and Climate Change, CABI Climate Change Series, Publisher CABI

Jaleel CA, Manivannan P, Wahid A, Farooq M, Al-Juburi HJ, Somasundaram R, Panneerselvam R (2009)

Drought Stress in Plants: A Review on Morphological Characteristics and Pigments Composition.

International Journal of Agriculture and Biology 11: 100-105 Lovett, J and Perry, S (2013): Biodiversity,

biosecurity and integrated pest management, In: International Conference of Biodiversity and Integrated

Pest Management: working together for a sustainable future, 4-7 July, Manado, North Sulawesi, Indonesia,

Virginia Tech, USAID and Sam Ratulangi University, Integrated Pest Management Innovation Lab,

International Association for the Plant Protection Sciences Marcar, N. E., and Crawford, D. F. (2004). "Trees

for Saline Landscapes," RIRDC Publication Number 03/108, Canberra. Australia. Matyas, Cs 1994,

Modelling Climate Change data with provenance test, Tree Physiology, 14:797- 804 Matyas, Cs and Nagy,

L, 2005, Genetic potential of plastic response to climate change, Forest Research Institute, Experiment

Station Sarvar, Hungary Martınez J.P., Silva H., Ledent J.F. and Pinto M, 2007, Effect of drought stress on

the osmotic adjustment, cell wall elasticity and cell volume of six cultivars of common beans (Phaseolus

vulgaris L.), Europ J. Agronomy 26:30-38 Nam N.H., Chauhan Y.S. and Johansen C., 2001, Effect of timing

of drought stress on growth and grain yield of eXtra-short duration pigeon pea lines. J. Agric. Sci 136:

179-189 Oedraogo, A dan Thiombiano, A., 2010, Assessment of woody species diversity and the natural

potentials for its conservation in semi-arid areas: case study in Burkin Faso, JA Parrota dan MA Carr. Eds.

The International Forestry Review, XXIII IUFRO World Congress, Forest for the future: sustaining society

and the environment, 23-28 Agustus 2010, Seoul, Republic of Korea Rehfeldt G.E., Ying C.C., Spittlehouse

D.L. dan Hamilton Jr, D.A, 1999, Genetic Responses to Climate in Pinus contorta: Niche Breadth, Climate

Change and Reforestation, Ecological Monographs Vol 69, No 3: 375-407 Sivakumar. (2005): The Ecology

of Java and Bali. The Ecology of Indonesian Series. Vol. II, Periplus Editions Ltd, Singapore. p: 23

Spittlehouse, D.L. dan Stewart, R.B., 2003, Adaptation to climate change in forest management, BC Journal

of Ecosystems and Management, Vol. 4. No 1 14

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(15)

1

1

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

16

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

2 MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN MERESPON DAMPAK PERUBAHAN IKLIM: GENDER

PERSPEKTIF Forest Villagers Responding To Climate Change: Gender Perspective Niken Sakuntaladewi,

Yanto Rochmayanto, Lukas Rumboko Peneliti pada Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan

Litbang Kehutanan Email : niken_sakuntaladewi@yahoo.co.uk ABSTRACT Climate change provides

negative impacts for the livings of the forest villagers, among other thing, decreasing their incomes

significantly. Adaptation to climate change to fulfill family needs varies between forest villagers living in

upland and in the coastal area. Research on gender responses to climate impacts was conducted at village

Patimban located in the coastal of District Subang, West Java Province, and three villages (Salayo Tanang

Bukit Sileh, Air Dingin, and Air Batumbuk) in the upland Solok District, West Sumatera Province. Those

villages were surveyed and thirty respondents, men and women, from each village were interviewed. Data

was analyzed using qualitative descriptive method. It shows that both men and women work hand in hand to

suffice the economic needs of their family. Nevertheless, they have different roles and burden. In Solok

District, women carry double burden for their men leave the village to earn money. In Subang District, it is

the women who leave the village, finding a job in the city or overseas, and leave their children behind.

Women play on nearly all roles, reproduction, production, and public roles. The men, on the other side, play

mostly on productive role. Job availability and the skill they have are among factors determined the selection

of adaptation action. Adaptation without considering gender perspectives unknowingly could cause gender

inequality continues to happen. Lessons on roles of gender are obtained to posture and find strategies to

overcome the negative impacts of the changing climate. Keywords: climate change, adaptation, gender,

reproduction activities, production activities ABSTRAK Perubahan iklim memberikan dampak negative pada

kehidupan masyarakat desa sekitar hutan, antara lain, berupa penurunan penghasilan yang cukup

signifikan. Tindakan pengatasan untuk menutupi keperluan keluarga bervariasi antara masyarakat di

dataran tinggi dan di pesisir. Penelitian tentang respon gender dalam menghadapi dampak perubahan iklim

dilakukan di desa Patimban yang berlokasi di pesisir Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, dan tiga desa

(Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, and Air Batumbuk) di dataran tinggi Kabupaten Solok, Provinsi

Sumatera Barat. Survey dilakukan terhadap empat desa tersebut dan interview dilakukan terhadap 30

responden per desa yang meliputi laki-laki dan perempuan. Data dianalisa menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Hasil penelitian mendapatkan bahwa laki-laki dan perempuan bersama-sama berusaha untuk

memenuhi kebutuhan keluarga. Namun peran dan beban yang mereka pikul berbeda. Di Kabupaten Solok,

perempuan menanggung beban ganda karena laki-laki meninggalkan desa untuk mendapatkan

(16)

1

1

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

makin terasa bagi masyarakat yang perekonomiannya kurang mampu, kurang mendapat informasi, dan

hidupnya tergantung pada lingkungan. Dalam kehidupan keluarga dan di lingkup masyarakat, laki-laki dan

perempuan sama-sama berusaha untuk mengatasi dampak negative perubahan iklim dan memenuhi

kebutuhan hidup. Namun kurang difahami bahwa terdapat perbedaan peran, tanggung jawab, dan kekuatan

dalam pengambilan keputusan yang dalam banyak hal merugikan perempuan (Roehr, 2007, Vilamor et al.,

2014). Perempuan termasuk anak-anak menduduki porsi terbanyak kaum miskin di dunia dan mereka

sangat rentan terhadap perubahan iklim (Bridge, 2008). Perubahan iklim cenderung memperburuk keadaan

yang telah ada terkait dengan ketidak setaraan gender. Hal ini menjadikan perempuan cenderung

menghadapi dampak negative lebih besar dari pada laki-laki (Annecke). Aspek gender jarang dibahas

dalam kebijakan perubahan iklim. Hal ini a.l. dikarenakan masih sedikit data, penelitian, atau studi kasus

yang menunjukkan hubungan antara keadilan gender dan perubahan iklim (Roehr, 2007). Perempuan dan

anak-anak seringkali menjadi korban. Sedangkan potensi besar yang dimiliki perempuan, pengetahuan,

ketrampilan, pengalaman, tekad, daya juang, pengorbanan, dan tanggung jawab yang mereka miliki kurang

disadari dan kurang dipertimbangkan sebagai potensi besar dalam mensukseskan pembangunan. Studi

yang dilakukan di Kabupaten Subang dan Kabupaten Solok akan memperkaya informasi tentang dampak

perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat (laki-laki dan perempuan) dan pembagian peran dalam

mengatasi dampak negative perubahan iklim. Perempuan karena budaya yang masih dipegang teguh dari

dulu memerankan dan bertanggung jawab terhadap fungsi reproduksi. Dampak negative perubahan iklim

yang dialami keluarga menjadikan mereka memiliki beban ganda, meliputi fungsi reproduksi, produksi, dan

sosial. Dampak perubahan iklim terhadap kehidupan perempuan bervariasi antar region dan budaya (Roehr,

2007) dan memperburuk ketidak setaraan gender yang sudah terjadi. Diharapkan kebijakan dan program

pengatasan dampak negative perubahan iklim akan memperhatikan dengan cermat potensi individu,

mempertimbangkan kondisi konkrit di lapangan, dan menjadikan perempuan dengan pengetahuan dan

ketrampilan yang mereka miliki layak dihargai dan diperankan dalam menjadikan mereka resilien. 2.

METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di desa Patimban yang terletak di pesisir utara Kabupaten

Subang, Provinsi Jawa Barat dan tiga desa (Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, and Air Batumbuk) di

dataran tinggi Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat. Unit analisis dari penelitian ini adalah desa.

Responden penelitian adalah perwakilan instansi Pemerintah Daerah, pemuka masyarakat, dan 30

masyarakat per desa yang dipilih secara purposive, meliputi laki-laki dan perempuan. Diskusi mendalam

difokuskan pada dampak perubahan iklim, pilihan bentuk adapatasi untuk menghadapi dampak perubahan

iklim dan pemenuhan kebutuhan keluarga dan pembagian peran gender. Data dianalisa menggunakan

metode deskriptif kualitatif. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Perubahan Iklim di Kabupaten Subang dan

Kabupaten Solok Perubahan iklim di Kabupaten Subang dapat dilihat dari peningkatan suhu udara 18

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(Gambar 1), peningkatan tinggi muka air laut (Gambar 2), dan curah hujan tahun 1984- 2013 yang

(17)

1

Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim Laki-laki dan perempuan di desa pesisir Patimban, Kabupaten

Subang, maupun di desa-desa di dataran tinggi Kabupaten Solok tidak memahami adanya perubahan iklim.

Mereka lebih melihat pada perubahan musim dan dampak yang ditimbulkannya. Pemahaman tentang

perubahan musim didapat dari pengalaman pribadi terhadap dampak perubahan iklim pada kegiatan

keseharian mereka. Di desa Patimban, laki-laki banyak yang menggeluti tambak ikan, pertanian dan melaut.

Mereka merasakan suhu yang lebih panas, adanya perbedaan karakter banjir rob dan terjadinya banjir

tahunan sebagai fenomena perubahan iklim. Banjir rob kini lebih sering terjadi dan lebih lama surutnya

dengan ketinggian bisa mencapai 1 meter. Banjir rob mempengaruhi produksi tambak dan tanaman

pertanian mereka. Perempuan di desa Patimban kurang terlibat dalam kegiatan tambak ikan dan pertanian,

dan tidak ikut melaut. Mereka lebih menyoroti banjir karena kerepotan yang mereka rasakan tiap tahun saat

terjadi banjir. Laki-laki dan perempuan di desa Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, and Air Batumbuk

yang terletak di dataran tinggi Kabupaten Solok menggeluti pertanian. Mereka merasakan suhu udara

sekarang ini makin panas dan pola hujan serta banjir berbeda (Tabel 1). Sekitar 98% responden

menyatakan adanya ketidak pastian musim hujan dan mengalami kesulitan untuk memprediski kapan

musim hujan terjadi. Mereka juga merasakan hujan sangat deras (intensitas tinggi) namun durasinya lebih

pendek. Tabel 1. Perubahan Pola Banjir di Desa Dulu Sekarang Tinggi banjir Panggung bawah rumah

Setinggi jendela Lama genangan Beberapa hari Beberapa jam* Terjadinya banjir ? Lama setelah hujan

turun ? Dapat diprediksi ? Beberapa saat setelah hujan turun ? Tidak dapat diprediksi Keterangan: *) Banjir

surut segera setelah pintu PLTA dibuka 3.3 Dampak Perubahan Iklim Dampak perubahan iklim bervariasi

baik macam maupun magnitudenya. Di desa pesisir Patimban, kaum laki-laki menyoroti abrasi dan

mengeluhkan kerusakan yang ditimbulkan akibat banjir rob dan banjir tahunan. Banjir rob dan banjir

tahunan menggenangi tambak masyarakat hingga ratusan ha jumlahnya. Pada tahun 2010 terjadi iklim

ekstrim berupa hujan yang turun sepanjang tahun, menyebabkan banjir besar yang 19

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

mengakibatkan 1.200 ha tambak gagal panen. Responden kaum perempuan di desa Patimban menyoroti

banjir yang menggenangi desa Patimban. Masyarakat harus bekerja keras menyelamatkan barang-barang

rumah tangga dari genangan banjir dengan menumpuk barang-barang mereka. Mereka yang tidak

mengungsi kesulitan mendapatkan air bersih dan harus tidur di atas tumpukan barang-barang. Parahnya

banjir di desa Patimban diduga diperparah dengan perubahan landskap DAS Cipunagara. Desa Patimban

merupakan satu dari 145 desa yang ada di DAS Cipunagara. Banyaknya desa tersebut menjadikan

pemanfaatan lahan cukup bervariasi yang disertai dengan perubahan tutupan lahan (Tabel 2). Tabel 2.

Perubahan Tutupan Lahan di DAS Cipunagara, Wilayah Kabupaten Subang Jenis Tutupan Lahan

(18)

1

1

di dusun Koto Baru, yang merusak 10 rumah, masjid, 15 ha sawah, dan membawa korban 18 orang

meninggal, 11 orang terluka, dan 60 keluarga diungsikan. Longsor juga ditemukan secara

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

sporadik di kebun warga. Karakter banjir dan longsor yang terjadi ini menunjukkan adanya deforestasi di

lahan2 yang miring yang dilakukan masyarakat untuk kegiatan pertanian. Mereka tidak menerapkan

teknologi konservervasi dalam bercocok tanam di lahan miring. 3.4 Bentuk Adaptasi Terhadap Perubahan

Iklim: Perspektif Gender Dalam kegiatan sehari-hari, Fakih (1996) mendiskripsikan tiga peran gender yang

meliputi peran produktif, reproduktif, dan publik. Peran produktif didefinisikan sebagai peran laki-laki dan

perempuan dalam mendapatkan penghasilan bagi keluarga, bekerja pada sektor formal maupun informal.

Sedangkan peran reproduksi diartikan sebagai peran dalam pengasuhan anak dan kegiatan rumah tangga

lainnya. Peran ini mencakup melahirkan, menyusui dan memelihara anak, dan menyelenggarakan

kebersihan rumah dan pekarangan, memasak, mengambil air, dan kayu bakar. Peran lain berupa peran

publik yang diartikan sebagai peran dalam kegiatan/organisasi kemasyarakatan. Peran ini biasanya

mendapat imbalan (langsung maupun tidak langsung) dan dapat meningkatkan staus. Sebagaimana

layaknya kehidupan di keluarga dan masyarakat desa sekitar hutan, laki-laki biasanya lebih banyak

mengambil peran produktif dan publik. Mereka sedikit banyak membantu dalam peran reproduksi khusunya

dalam mengasuh anak atau mengambil hasil hutan serta kayu bakar. Sebaliknya, perempuan utamanya

melakukan peran reproduksi dari melahirkan anak, memelihara/membesarkan anak, memasak,

membersihkan rumah dan pekarangan, mencari kayu bakar dan air. Peran produktif juga mereka lakukan

namun bukan merupakan peran utamanya. Penurunan penghasilan keluarga akibat perubahan iklim disikapi

dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan tambahan penghasilan guna memenuhi berbagai

keperluan rumah tangga. Terdapat pergeseran peran laki-laki dan perempuan dalam mencukupi kebutuhan

keluarga pada masyarakat desa sekitar hutan di hulu dan hilir. 3.4.1 Peran Produktif Dampak perubahan

iklim di desa Patimban, Kabupaten Subang direspon dengan peran aktif perempuan untuk bekerja di luar

desa. Peran perempuan bergeser mendominasi peran produktif. Namun dengan pendidikan formal yang

relative rendah (mayoritas tidak tamat SD), kaum perempuan kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik

garmen di ibukota Kabupaten Subang, pembantu rumah tangga di Jakarta (ibukota negara), atau pembantu

rumah tangga di luar negeri, antara lain di Arab Saudi. Gambar 6. Tingkat pendidikan masyarakat desa

Patimban, Kabupaten Subang 21

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

Sumber: Monografi desa 2011 (data diolah) Kota Subang terletak sekitar 58 km dari Bandung, ibukota

Provinsi Jawa Barat, atau sekitar 161 km dari kota Jakarta, ibukota Negara. Jalan raya yang

(19)

1

sekolah saudara-saudaranya. Kaum laki-laki desa Patimban tidak mempunyai banyak pilihan. Lahan

pertanian tidak lagi memberikan hasil yang maksimal karena sering tergenang banjir rob. Banjir rob juga

menghancurkan tambak masyarakat. Sebagian dari mereka juga telah menjual lahannya. Tambak

sebagiannya telah dimiliki orang luar. Sebagai contoh, sekitar 70 ha lahan di desa Patimban telah dimiliki

orang luar untuk ternak udang Paname. Tingkat pendidikan yang rendah dan keterbatasan keahlian serta

ketrampilan yang mereka miliki (umumnya ketrampilan bertani ikan atau padi), menjadikan tidak punya

banyak pilihan. Mereka menjadi buruh tani atau beralih profesi, antara lain, menjadi tukang ojek. Data

monografi desa Patimban menunjukkan bahwa hampir 50% masyarakat desa Patimban berprofesi sebagai

buruh perikanan/nelayan dan buruh tani (Gambar 7). Sumber: Monografi Desa 2011 (data diolah) 22

Gambar 7. Prosentase profesi masyarakat desa Patimban Di Kabupaten Solok, peran produktif juga

dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Mereka berperan seimbang dalam bertani dan menjual hasil

pertanian ke pasar tradisional maupun ke pedagang perantara. Perempuan rata-rata bertani 2 jam lebih

sedikit dibanding

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(20)

1

1

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

pada tiap pertemuan kelompok tani. Gambar 7 menyajikan gambaran peran publik dari kaum laki-laki dan

perempuan di Gabupaten Solok. Disamping bentuk adaptasi dari perspektif gender, di desa pesisir

Patimban dibangun tanggul untuk melindungi desa dari banjir, menanam mangrove dan normalisasi sungai.

Tanggul sepanjang 3.5 km dibangun dengan biaya pemerintah sebesar kurang lebih Rp 9.5 M. Sejak

dibangunnya tanggul, Banjir di desa Patimban jarang terjadi. Normalisasi sungai juga dilakukan karena

sungai mudah menjadi dangkal akibat erosi. Penanaman mangrove juga dilakukan karena banyak tanaman

mangrove di desa Patimban yang hilang dikonvesi menjadi tambak. 3.5 Implikasi Perubahan Iklim terhadap

Peran Gender Masyaraka desa Patimban dan desa Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, and Air

Batumbuk. Kabupaten Solok, mempunya kekuatan sosial sebagai modal sosial. Modal sosial tersebut

meliputi struktur informal (misal: kelompok pengajian, arisan) dan struktur formal (misal: kelompok PKK,

kelompok tani). Modal sosial tersebut ada yang tumbuh atas inisiatif masyarakat sendiri atau dibentuk

pemerintah. Tabel 4 memperlihatkan bahwa modal sosial bagi kaum laki-laki lebih berorientasi pada

peningkatan ekonomi keluarga, seperti organisasi tambak dan Gapoktan untuk desa Patimban. Melalui

kelompok ini masyarakat saling berbagi pengalaman dan pengetahuan, diberi penyuluhan, dan sebagai

lembaga untuk menyalurkan bantuan. Sebagai contoh, Gapoktan dimanfaatkan Pemerintah Kabupaten

Grobogan sebagai wadah yang pas untuk menyalurkan Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan

(PUAP) yang merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani (Administrator, 2014). Namun

demikian harus diwaspadai bahwa saat ini banyak kelompok tani di Indonesia tidak lagi dibentuk atas

inisiatif petani dalam memperkuat diri, namun hanya sebagai respon dari program-program pemerintah yang

mengharuskan petani berkelompok (Nuryanti, S. 2011). Tidak ada/tidak cukup pembinaan diberikan pada

kelompok tani, sehingga keberadaan lembaga ini rapuh, segera bubar setelah tidak ada lagi program

bantuan pemerintah. Bagi kaum perempuan modal sosial yang ada lebih mengarah pada pendidikan

(PAUD), keagamaan (kelompok pengajian), ketrampilan (kelompok PKK), dan kesehatan (Posyandu).

Dengan tingkat pendidikan masyarakat desa yang mayoritas tidak sekolah hingga tamat SD, melalui modal

sosial yang ada di masyarakat, tambahan ketrampilan dan pengetahuan bagi keluarga sangat diperlukan

untuk membuka wawasan mereka dalam berusaha. PKK sebenarnya merupakan modal sosial yang cukup

fleksibel. Di kelompok ini, kaum perempuan yang menjadi anggotanya dapat diberi berbagai macam

pengetahuan dan ketrampilan dari pendidikan keluarga, kesehatan, peningkatan ekonomi, dll. Disayangkan

bahwa kelompok PKK kurang aktif karena kaum perempuan sibuk dengan kegiatan ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan keluarga masing-masing. Hal yang sama terjadi pada kelompok tani di desa Salayo

Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, and Air Batumbuk, Kabupaten Solok, yang mayoritas beranggotakan

laki-laki. Kelompok tani ditinggalkan anggotanya merantau untuk mencari penghasilan. Lembaga-lembaga yang

ada di masyarakat banyak yang belum mampu berperan dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya.

Penguatan lembaga diperlukan untuk menjadikan modal sosial yang ada di masyarakat berfungsi dalam

meningkatkan kapasitas anggotanya (laki-laki ataupun perempuan) dalam memperlebar wawasan,

mengasah ketrampilan, dan menggalang kekuatan bersama guna mennyejahterakan mereka. 24

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

(21)

1

2

membantu mengatasi dampak negative perubahan iklim • Ketersediaan data iklim dan pemberdayaan

masyarakat untuk dapat mengakses data perubahan iklim. • Pemerintah harus melakukan pengembangan

kelembagaan (peningkatan modal sosial). • Akses ke Sumber Daya Alam dan adanya program yang lebih

intensif 4. KESIMPULAN Berbagai dampak negative perubahan iklim dialami di desa pesisir Patimban dan

desa-desa di dataran tinggi (Salayo Tanang Bukit Sileh, Air Dingin, and Air Batumbuk) yang pada akhirnya

mengakibatkan pengurangan penghasilan masyarakat di tiga desa tersebut. Yang berbeda dari dampak

tersebut adalah masyarakat desa pesisir Patimban akan selalu mengalami banjir rob. Kondisi ini menjadikan

masyarakat desa setempat selalu waspada dan mempunyai kapasitas adaptasi yang baik. Bersama

Pemerintah Daerah setempat mereka membangun infrastruktur berupa tanggul untuk mengurangi

sensitivitas mereka. Pembuatan tanggul tersebut merupakan bentuk adaptasi reaktif. namun yang penting

dilakukan adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan lembaga di masyarakat untuk membangun

lingkungan sebagai bentuk adaptasi antisipatif. Perubahan iklim berdampak pada penurunan hasil pertanian

masyarakat desa di dataran tinggi Kabupaten Solok. Masyarakat melakukan berbagai upaya untuk

menambah penghasilan keluarga dengan cara tetap bertahan pada kegiatan pertanian yang dilakukan

kaum perempuan dan mencari alternative pekerjaan oleh kaum laki-laki. Mereka pada kondisi kurang

mempunyai kapasitas adaptasi yang baik. Peningkatan kapasitas adaptasi SDM untuk mitigasi bencana

diperlukan agar mereka siap bila muncul bencana yang lebih besar. Dari perspektif gender, pengatasan

terhadap pengurangan penghasilan akibat perubahan iklim di desa Patimban disikapi dengan peran

perempuan dalam mencari alternative penghasilan ke luar desa. Dampak sosial dan psikologis terhadap

anak-anak yang mereka tinggalkan perlu diantisipasi. Di desa-desa dataran tinggi, laki-laki meninggalkan

desa untuk mendapatkan penghasilan dan meninggalkan beban ganda pada kaum perempuan. Modal

sosial yang ada di masyarakat, antara lain PKK dam kelompok, agar diupayakan menjadi tempat bagi

peningkatan ekonomi anggotanya. 25

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

DAFTAR PUSTAKA Administrator. 2014. Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAD). Dinas

Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Pemerintah Kabupaten Grobogan.

http://dinpertan.grobogan.go.id/berita-29-pengembangan-usaha-agribisnis-perdesaan- puap.html (Diunduh

11 November 2014) Annecke, W. Dr. ?. Gender and Climate Change Adaptation. Indigo development and

change. www.indigo-dc.org (Diunduh 31 Oktober 2014) BRIDGE (2008). Gender and climate change:

mapping the linkages, a scoping study on knowledge and gaps. BRIDGE.

Institute of Development Studies. University of Sussex. Brighton,

United Kingdom. Fakih, M. (2005). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Insist Press. Yogyakarta

Haryani, P. 2011. Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Dan Perubahan Garis Pantai Di Das

Cipunagara Dan Sekitarnya, Jawa Barat. IPB Bogor Agricultural University. [IDRC] International

Development Research centre. 2010. Adaptation Stories. IDRC and Department for International

Development, UK. [IPCC] International Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001. Impacts,

Adaptation and Vulnerability. Contributions of the Working Group III to the Third Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge Mahanani, S. (2003). Keadilan Agraria Bagi Petani

Dalam Konteks Perempuan Petani Dan Pengaturan Sumber Agraria (Tanah). Jurnal Analisis Sosial, Vol. 8,

Edisi 2 Oktober 2003. Nuryanti, S. dan Swastika, K.S. 2011. Peran Kelompok Tani Dalam Penerapan

Teknologi Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 29 no. 2. Desember 2011: 115-128.

(22)

1

1

1

2011. Picturing Climate Change Adaptation and Vulnerability of Community Level in Indonesia. Asia and the

Pacific Symposium: Vulnerability Assessment to Natural and anthropogenic Hazard. IUFRO World Series

Volume 29. Pp 43-45 Sylviani dan Sakuntaladewi. N. 2010. Dampak Perubahan Musim dan Strategi

Adaptasi Pengelolaan dan Masyarakat Desa Sektiar Taman Nasional Baluran (The Impact of Season

Change and Adaptation Strategies of Management and Local Communities Around the Baluran National

Park). Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Volume 7 Nomor 3. Halaman 155-177. Vilamor,

GB.; van Noordwijk, M., Djanibekov, U., Chiong-Javier, M.E., Catacutan, D. 2014. Gender in land-use dision:

Shaping multifunctional landscapes? 26

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

LAMPIRAN Gambar 1. Peningkatan suhu udara di Kabupaten Subang Gambar 2. Peningkatan tinggi muka

air laut Sumber: BMKG Bandung, 2013, data diolah Gambar 3. Jumlah curah hujan tahunan 19984-2013

(kiri), dan jumlah curah hujan bulanan di DAS Cipunagara tahun 1984-2013 (kanan) Sumber: Balai Besar

Wilayah Sungai Bandung, 2013, diolah Gambar 4. Hidrograf debit bulanan dan rerata tahunan Sungai

Cipunagara 27

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

Sumber: Stasiun pengamatan iklim Alahan Panjang and Sukarami, Kabupaten Subang Gambar 6. Rata-rata

curah hujan bulanan dan tahunan A Tagana 2% B Sumber: Rochmayanto, Y. et al (2013) Gambar 7.

Prosentase peran kaum perempuan pada kegiatan informal (A) dan kegiatan formal (B) 28

Prosiding Seminar Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan Lestari 18-19 November 2014

3 ADAPTASI JENIS-JENIS POHON PIONIR PADA HUTAN RAWA GAMBUT YANG TERDEGRADASI

BERAT DI OGAN KOMERING ILIR, SUMATERA SELATAN Adaptation of Pioneer Tree Species in Severe

Degraded Peat Swamp Forest in Ogan Komering Ilir, South Sumatra Bastoni 1) dan H.A. Halim PKS 2) 1)

Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Palembang (bastonibrata@yahoo.co.id) 2) Dosen pada Fakultas

Pertanian Universitas Sriwijaya (halimpks@gmail.com) ABSTRACT Peat swamp forest (PSF) were burned

repeatedly can be categorized as extreme areas because the initial vegetation that forms the forest stands

destroyed and replaced by a succession of pioneer tree species with limited species composition. Results of

the study on PSF in Ogan Komering Ilir, South Sumatra showed that vegetation, the result of natural

succession after fire, grow clustered to form four areas (zones) vegetation dominated by (1) perepat

Gambar

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Kandungan biomassa atas permukaan pada kedua strata hutan di DesaMurnaten dan Desa Soya Tahun 2012 dan 2013 No Stratifikasi Tahun 2012 Tahun 2013 *) KandunganBiomassa total (ton/ha) I II III I II III Desa Murnaten (Kab
Tabel 2. Tabel 2. Estimasi cadangan karbon di bawah permukaan tanah di
Table 1, the forest concession variable is positively related to
Figure 2.Sources of log production in Indonesia for the wood-processing
+6

Referensi

Dokumen terkait

Supranto dan Nandun (2011) dan Swastha (2008) menjelaskan bahwa konsep penjualan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Kualitas Barang, dimana turunnya

Sebuah film yang berbau illuminati dapat dilihat dari perusahaan yang memproduksi film tersebut, sekilas memang rumah produksi atau production house

b) Klien adalah orang atau organisasi yang meminta audit. Klien dalam kegiatan AMAI ini adalah Rektor, Dekan, atau Ketua Program Studi yang meminta sistem mutu

• Dalam lingkungan keluarga contoh laki-laki, orangtua tidak memperbolehkan anak laki-laki mempunyai sifat feminin dan anak perempuan mempunyai sifat maskulin, orangtua tidak pernah

Program pendidikan Doktor tidak mudah dilakukan karena menyangkut berbagai hal: topik, waktu, kemampuan intelektual, semangat, dan dana pendukung. Berbagai hal

Menganalisis data dan mengidentifikasi masalah kondisi koleksi serta melakukan observasi, perawatan dan pengawetan koleksi benda bernilai budaya berskala nasional sesuai

[r]

Activity Diagram memodelkan alur sebuah proses kerja sistem dan urutan aktifitas dalam suatu proses. Diagram ini sangat mirip dengan sebuah flowchart karena kita dapat