• Tidak ada hasil yang ditemukan

TASAWUF FALSAFI: SEJARAH DAN PROBLEM TRANSMISI DI DUNIA ISLAM

E. Transmisi Tasawuf di Nusantara

1) Hamzah Fansuri

Data tentang kelahiran Hamzah Fansuri belum di ketahui secara pasti, beliau dilahirkan antara paruh ke dua dari abad 16 M sampai paruh pertama dari abad 17 M. Dilahirkan di Barus, suatu pelabuhan pantai antara Singkil dan Sibolga, Ia hidup pada masa Sultan ‘Ala al-Din Riayat Syah (1589-1602) atau pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17.

Kami tidak memperoleh sesuatu yang berarti pada Peninggalan-peninggalan Hamzah Fansuri yang berhubungan dengan sejarah kehidupannya.  Berbagai sumber yang menceritakan riwayatnya tidak memberikan informasi yang rinci, baik tentang sejarah kehidupannya maupun tentang guru-gurunya. Tidak diperoleh juga suatu keterangan yang cukup tentang keluarga dan awal pertumbuhannya. Tidak ada juga keterangan mengenai sebab-sebab perjalanan dan kunjungan-kunjungannya serta kapan wafatnya. Yang mungkin dapat kita ketahui dari tulisan-tulisannya adalah bahwa dia berasal dari Fansuri, suatu daerah di Sumatra. Ia lahir di suatu desa yang bernama Syahru Nawi di Siam, yaitu Thailand sekarang, sebagaimana diungkapkan Fansuri lewat syair, 

Hamzah berasal dari Fansuri Lahir di Syahru Nawi.105

Hamzah Fansuri hidup pada masa Sultan ‘Ala al-Din Ri’ayat Syah dan pada awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda di kerajaan Aceh antara tahun 1550-1605 M, seperti termaktub dalam salah satu tulisannya. Dalarn karya-karyanya disebutkan bahwa dia menguasai dua bahasa asing: Arab

103 Martin Van Bruinessen, ‘The Origins and Development of Sufi Orders (Tarekat) in Southeast Asia’, Studia Islamika-Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 1, nomor 1 (1994), h. 1–2.

104 Disebut demikian karena membicarakan wujud Tuhan dan alam.

105 Abdul Hadi, Hamzah Fansuri: Penyair Sufi Aceh (LOTKALA, ttp), h. 16.

dan Persia, di samping bahasa aslinya, Melayu Indonesia.106 Dia juga pernah berkunjung ke Irak dan mendapatkan penghargaan sufi untuk tariqat Jailani dari salah seorang Shaikhnya. Dia juga pernah mengunjungi Persia, India, dan dua kota suci Makah dan Madinah. Adapun tentang Shaikhnya, kami tidak mendapatkan banyak keterangan tentang itu. Namun, sekilas kita melihat beberapa kali dia menyebutkan Shaikh Ibn ‘Arabi dalam buku-bukunya, yang menunjukkan adanya pengaruh sang Shaikh terhadapnya. Bahkan, para peneliti pada umumnya menganggap Ibn ‘Arabi sangat berpengaruh dalam buku-buku Fansuri dan menilai Fansuri sebagai orang pertama yang menjelaskan paham Wahdah Al-Wujud Ibn ‘Arabi untuk kawasan Asia tenggara.107 Dalam tulisan-tulisannya, Hamzah Fansuri menyebutkan nama-nama sufi yang pendapat-pendapatnya dia pelajari. Dia juga memperkuat pendapatnya dengan pendapat-pendapat mereka dalam menjelaskan paham Ibn ‘Arabi.

Kaum sufi yang disebutkan Fansuri ialah Abu Yazid Busthami, Al-Junaid Al-Baghdadi, Al-Hallaj, Al-Ghazali, Al-Mas’udi, Al-’Ath-thar, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-’Iraqi, Al- Maghribi Syah Ni’matullah, dan Al-Jami. Fansuri tidak hanya menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka, tetapi juga cerdas dan ahli dalam menyusun kata-kata sehingga sesuai dengan paham Wahdah Al-Wujud -nya Ibn ‘Arabi yang dinisbatkan kepadanya. Karya-karya Hamzah Fansuri berupa kitab yang kita dapatkan ada tiga:

1. Kitab Asrarul Arifin 2. Kitab Syarabul ‘Asyiqin 3. Kitab Al-Muntahi

Semua buku ini berbicara tentang tauhid, makrifat, dan suluk, sama dengan paham Ibn ‘Arabi. Unsur-unsur penting dalam buku Fansuri adalah pendapatnya yang diambil dari perkataan kaum sufi klasik yang bersih dari penyimpangan, tidak ditambah-tambah, atau dihilangkan agar sesuai dengan lingkungan dan tempat pada masa itu. Ini berbeda dengan yang kita saksikan di negara-negara lain. Pada masa Fansuri, pada Abad ke 15 M, muncul penyimpangan, tambahan, dan perubahan-perubahan dengan maksud untuk menyesuaikan dengan keadaan setempat. Sebagai contoh, yang pernah terjadi pada bangsa Mongol. Di India, kaum sufi berusaha menambah-nambahkan agar sesuai dengan akidah Hindu dan ajaran-ajaran pendeta, sebagaimana dapat kita lihat dalam kitab Majma’ Al-Bahrain oleh Dara Sikuh, putra Kaisar

106 Alwi Shihab, Akar tasawuf di Indonesia, h. 141.

107 Alwi Shihab, Akar tasawuf di Indonesia, h. 142.

Syah Jihan. Contah lain, aktivitas latihan-latihan spiritual, seperti Yoga, bernapas dalam-dalam, dan perdukunan yang melanda tarekat Al-Qadiriyah yang ada di India.108

a) Kehidupan Spiritual dan Pemikiran Hamzah fansuri

Kehidupan spiritual dan pemikiran pada masa Hamzah Fansuri mulai bercahaya dengan datangnya para ulama dan utusan ke wilayah itu. Para utusan itu berusaha menyiarkan paham-paham yang ada pada mereka. Terjadilah perbedaan orientasi dari Sunni, falsafi, dan Syi’ah serta yang menyimpang karena pengaruh Hindu dan Persia yang tersebar di wilayah itu. Ditambah lagi dengan sisa peninggalan kebatinan dari kerajaan Syi’ah yang telah dikalahkan oleh Sultan Makhdum Ala’uddin Raja Ibrahim Syah, pada tahun 795 H.109

Bukti kemajuan yang dicapai dalam kehidupan spiritual di wilayah itu adalah tersebarnya banyak nama dan istilah-istilah yang berdasarkan paham-paham sufi, di antaranya:

• Istana Sultan di kampung dunia

• Benteng negara di kampung sunyi

• Sungai di kampung asyik

• Wadi di telaga yang bersih.

Hamzah Fansuri juga mengisyaratkan adanya aktivitas sufi yang menyimpang di kawasan itu, aktivitas sufi yang menyimpang lagi meragukan ini, ditentang oleh para ahli flqih. Mereka memandang orang yang bertasawuf dengan penuh keraguan, yang menggiring mereka menggeneralisasikan hukum terhadap tasawuf sebagai sesuatu yang menyimpang dan keluar dari agama. Hamzah Fansuri hidup di masa itu yang di dalamnya kondisi kehidupan spiritual tidak menolong pada pahamnya untuk dapat diterima dengan baik. Namun, setelah Syams Al-Din Al-Sumatrani, yang merupakan salah seorang muridnya, menjadi mufti dan konsultan di kerajaan itu, dapatlah dia melaksanakan pahamnya dan mendapatkan pengikut. Terhambatnya paham Hamzah Fansuri pada awal masanya, disebabkan oleh tiga kelompok penentang, yakni:

Pertama, Kelompok kaum sufi yang melaksanakan ajaran-ajaran yang menyimpang dan Hamzah Fansuri berdiri di hadapan mereka sebagai pihak oposisi. Inilah yang menyulitkan langkah Hamzah Fansuri. Eksisnya kelompok ini dengan ajaran-ajarannya yang menyimpang menyebabkan para ahli fiqih menentang habis-habisan. Hamzah Fansuri bersama para

108 Alwi Shihab, Akar tasawuf di Indonesia, h. 143.

109 Hasymi, Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Medan: tp, 1982), h. 199-200.

fuqaha pun menentang kelompok ini. Tentang kelompok ini, Hamzah Fansuri berkata,

Hai orang-orang yang menamakan dirinya hamba hindarilah taklid dalam shalat.

Kedua, Kelompok ulama dan fuqaha, yang memandang tasawuf sebagai kelompok sesat lagi menyesatkan dan keluar dari agama. Oleh karena itu, segala macam yang bersifat tasawuf diterima sebagai sesuatu yang buruk dan keji, termasuk di dalamnya tasawuf Hamzah Fansuri. Terhadap kelompok ini, Hamzah Fansuri mengisyaratkan, ‘Jangan takut kemarahan Qadhi karena pahammu berasal dari ilmu yang tinggi”. Kemudian dia melanjutkan,

Beritahukanlah tuan Qadhi kita Bahwa minuman itu bersih warnanya Yang meminumnya mabuk dan bernyanyi Dan mendapatkan cinta yang tersisa

Ketiga, yaitu kelompok pemerintahan di negeri itu, para penguasa, dan orang-orang kaya yang tenggelam dalam kenikmatan duniawi, yang melalaikan mereka dari nikmat Allah Swt. Untuk kelompok ini, Hamzah Fansuri berkata :

Saat kamu menjadikan harta sebagai teman, 1 Maka akibatnya adalah kehancuran, keputusannya jauh dari kebenaran, sebagaimana jauhnya dari keikhlasan.

2 Wahai nak yang memahami, jangan menemani orang yang zalim

karena Rasul yang bijaksana, melarang menolong kezaliman.

3 Wahai kaum Fuqara,

jauhilah menemani para umara karena Rasul memberi peringatan tidak beda yang kecil dari yang besar.110

Dari rangkaian katanya terlihat bahwa Hamzah Fansuri adalah seorang yang sangat memperhatikan kondisi masyarakatnya. Dia menunjukkan kepada mereka jalan lurus lewat tasawuf, berdasarkan pada sumber-sumber Islam yang asli, yang terkandung dalam pendapat para sufi besar.

Dia juga memperingatkan anak-anak negerinya dari fanatisme para ulama yang tidak menghiraukan segi mental keruhanian yang hakiki dan sesuai dengan ajaran Islam, ditambah peringatan kepada mereka untuk menjauhkan diri dari kemewahan atau keangkuhan dan kehancuran, yang

110 Alwi Shihab, Akar tasawuf di Indonesia, h. 145-146.

keduanya merupakan ciri-ciri para penguasa dan orang kaya.

Hamzah Fansuri menentang ketiga kelompok ini, bahkan menjauhkan diri dari mereka. Pada akhirnya nama Fansuri menjadi terlupakan dari deretan peristiwa yang terjadi di kawasan itu.

Sedikit pun tentang Hamzah Fansuri tidak disebutkan dalam lembaran kitab Hikayat Aceh yang menguraikan sejarah orang-orang Aceh pada masa itu. Bahkan, Al-Raniri yang menulis buku tentang pemimpin dan ulama Aceh tidak menyebutkan nama Hamzah Fansuri dalam kategori ulama yang semasa dengannya. Padahal mereka itu lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan Fansuri dari segi ilmu dan kualiflkasi. Beginilah seorang ulama semasanya menyikapi Hamzah Fansuri. Mereka menzaliminya, menghilangkan identitasnya, bahkan menganggapnya tidak ada dalam sejarah. Meski kondisi yang dihadapi Hamzah Fansuri begitu sulit, dia sanggup meninggalkan saksi sejarah, sebagaimana. dia juga meninggalkan pengikut dan murid-muridnya.

Sejarah mengakui kepeloporannya dalam perkembangan bahasa Indonesia lewat syair-syair sufinya, dan sumbangsihnya dalam memperkaya kehidupan spiritual, khususnya tasawuf falsafi yang mengikuti Ibn ‘Arabi.111

b) Karya Hamzah Fansuri

Syair-syair Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal.

Dalam kesusastraan Melayu/Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain: Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol, dan Syair Perahu.

Karangan-karangan Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah di antaranya ialah:

1. Asrar al-Arifin fi Bayani ilmi al-Suluki wa at-Tauhid 2. Syarb al-’Asyiqin

3. Al-Muhtadi112

4. Ruba’i Hamzah AI Fansuri

Karya-karya Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana, baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana setempat. Yang banyak membicarakan tentang Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini. Tidak ketinggalan Prof. A.

Teeuw juga R.O. Winstedt yang diakuinya bahwa Hamzah Fansuri mempunyai

111 Alwi Shihab, Akar tasawuf di Indonesia, h. 148.

112 Dalam banyak karya tulis yang lain, Muhtadi ini lebih banyak disebut sebagai kitab Al-Muntahi, dan penulis meyakini kebebenaran ini, sebab dari sekian banyak literatur yang penulis baca, hanya satu yang menyebutkan bahwa Al-muhtadi adalah karya Hamzah Fansuri.

semangat yang luar biasa yang tak terdapat pada orang lain. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan PhD. masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Hamzah Fansuri antara lain: 

The Mysticism of Hamzah Fansuri (disertasi,1996) University of Malaya Press, 1970.

Raniri and the Wujudiyyah, JMBRAS, 1996.

New Light on Life of Hamzah Fansur, JMBRAS, 1967.

The Origin of MaIay Syair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968.113

Adapun J. Doorenbos pernah menyalin Syair Perahu dari Geschriften dan Hamzah Fansuri kemudian dikumpulkan oleh Sutan Taqdir Ali Syahbana yang dimuatnya dalam buku Puisi Lama.

Dapat diambil kesimpulan bahwa beliau menulis kitab-kitab tasawufnya memakai kitab-kitab bahasa Arab dan Persi sebagai buku telaahnya. Barangkali keahliannya di bidang bahasa adalah hasil dari pengembaraannya yang jauh.

Dia pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Makah dan Madinah. Negeri-negeri di Nusantara yang pernah dijalaninya seumpama Pahang. Kedah, Banten, dan Jawa. Pengembaraannya adalah pengembaraan jasad dan rohani, diungkapnya dengan syair:

‘Hamzah Fansuri di dalam Mekkah, Mencari Tuhan di Baitul Kakbah,  Di Barus ke Kudus terlalu payah, Akhirnya dapat di dalam rumah,’

Bagian lain berbunyi:

Hamzah Gharib,

Akan rumahnya Baitul Ma’muri, Di negeri fansur minal ‘asyjari.”

Kata-kata demikian adalah merupakan sindiran belaka seperti yang pernah diucapkan oleh Abi Yazid al-Bisthami yang mengatakan, “Tuhan di dalam jubahnya.”

Demikian juga di dalam Al-Qur’an sendiri tekenal dengan ayat-ayat mutasyabihat, misalnya pada ayat artinya:

“Di mana kamu hadapkan mukamu di situ wajah Tuhan.”

“Kami lebih dekat daripada urat leher.”

113 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, h. 77-78.

Bagi orang-orang yang awam janganlah meniru perkataan ahli sufi yang demikian mendalamnya, karena perkataan mereka itu mempunyai kaidah dan takwil yang panjang lebar menurut pengetahuan mereka.

Hamzah Fansuri sangat giat mengajarkan ilmu tasawuf menurut keyakinannya, beliau terkenal di Pulau Jawa. Ada riwayat mengatakan bahwa beliau pernah pergi ke seluruh Semenanjung dan mengembangkan tasawuf itu di Negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu, dan lain-lain. Akibat dari tersiarnya ajarannya itu di masa akhir, setelah beliau wafat muncullah seorang ulama ortodoks yang menentangnya, beliau ialah Nuruddin al-Raniri.

Orang awam sekali lagi dalam keraguan hilang pedoman untuk pegangan karena yang disalahkan itu adalah seorang ulama besar, demikian halnya dengan si penantang bukanlah sembarang orang beliau ulama besar pula.

Akan tetapi bagi orang yang telah mantap ajaran tasawufnya, maka tidak akan goyah keyakinannya.114