• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Tasawuf Falsafi di Dunia Islam dan Usaha Kompromis Integratif Dengan Tasawuf Sunni

TASAWUF FALSAFI: SEJARAH DAN PROBLEM TRANSMISI DI DUNIA ISLAM

B. Perkembangan Tasawuf Falsafi di Dunia Islam dan Usaha Kompromis Integratif Dengan Tasawuf Sunni

Tasawuf adalah bagian dari syariat Islam, yaitu perwujudan dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain, yaitu Iman dan Islam. Oleh karena itu, bagaimanapun perilaku tasawuf harus tetap bersyari’at.

Tasawuf sebagai manifestasi dari Ihsan merupakan penghayatan terhadap agama Islam serta berpotensi untuk menawarkan pembebasan spiritual dengan mengajak manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya.

Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral (kritik) terhadap ketimpangan sosial, politik, moral, dan ekonomi yang dilakukan oleh kalangan penguasa. Pada saat yang demikian itu, tampillah beberapa tokoh memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.54

Tasawuf juga dianggap sebagai media untuk menenangkan diri selain juga untuk membersihkan diri bagi pribadi yang Muslim.

52 Ibrahim Hilal, At-Tashawwuf Al-lslami baina Ad-Din wa Al-Falsafah, dalam Amin, Ilmu Tasawuf, h. 289.

53 Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf, h. 163.

54 Amin Sukur, Tasawuf Sosial, (Yoyakarta Pustaka Pelajar,2000), h. 351.

Reaksi terhadap sikap politik dan ekonomi penguasa akibat telah diraihnya kemakmuran material yang menimbulkan sikap foya-foya, berupa penanaman sikap isolasi dari hiruk-pikuk dunia. Faktor internal lainnya adalah reaksi kaum muslim terhadap sistem sosial, politik, budaya, dan ekonomi di kalangan Islam sendiri. Dengan kemakmuran di satu pihak dan di pihak lain terjadi pertikaian politik internal umat Islam yang bermula dari al- fitnah al-kubra yang nenimpa khalifiah Utsman bin Affan lalu menyebabkan perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Akibatnya, sebagian tokoh agama mengambil jarak dengan kehidupan politik.55

Dari sinilah nilai-nilai tasawuf terus berkembang dengan pesat, karena percaturan tasawuf dengan berbagai unsur baik dari unsur Islam sendiri maupun dari unsur non-Islam yang mempengaruhi kehidupan spiritual umat Islam.

Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua bagian. Pertama, tasawuf Akhlaki, ada pula yang menganggap sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf, karena mengarah pada teori-teori perilaku pelaku tasawuf tersebut. Kedua, tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman mendalam. Tasawuf Falsafi ini banyak dikembangkan oleh para sufi yang berlatar belakang sebagai filusuf.56

Pada awalnya tasawuf merupakan pengembangan pemahaman tentang makna Islam sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analisis sudah muncul. Ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek lahiriah dan aspek batiniah. Pendalaman dan pengamalan aspek batiniah mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang disebabkan adanya motivasi untuk membersihkan jiwa.

Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek batiniah, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, keagungan Tuhan dan meninggalkan sikap egoisme.

Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase:

Pertama, fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad I dan II Hijriah.

Sikap asketisme (zuhud) banyak dipandang sebagai pengantar munculnya tasawuf.

Pada fase ini terdapat orang-orang muslim yang lebih mengutamakan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsep asketis dalam kehidupan, yaitu dengan tidak mementingkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Tokoh yang sangat populer dari kalangan ini adalah Hasan Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah Al-Adawiyyah (w. 185 H). Kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.

Dan pada abad III Hijriah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap

hal-55 Amin, Ilmu Tasawuf, h. 123.

56 Amin, Ilmu Tasawuf, h. 123.

hal yang berkaitan dengan sikap dan tingkah laku. Perkembangan doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan usaha untuk menegakkan moral akibat adanya kemerosotan moral yang berkembang saat itu, sehingga di tangan mereka tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagaman.

Pembahasan mereka tentang moral, akhirnya mendorongnya untuk semakin mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan akhlak. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan oleh semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini kelihatannya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktik yang lebih menekankan perilaku manusia yang terpuji.

Kondisi tersebut lebih kurang berkembang selama satu abad. Kemudian pada abad III Hijriah muncul jenis tasawuf lain yang lebih menonjolkan pemikiran yang eksklusif. Golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang kemudian dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai hulul (pada 309 H). Boleh jadi, Al-Hallaj mengalami peristiwa nahas seperti itu karena paham hulul-nya sangat kontroversial dengan kenyataan di masyarakat yang sedang menyenangi tasawuf Akhlaki. Untuk itu, kehadiran Al-Hallaj di anggap membahayakan pemikiran umat.

Banyak pengamat menilai bahwa tasawuf jenis ini terpengaruh oleh unsur-unsur di luar Islam.57

Pada abad V Hijriah muncul Imam Al-Ghazali, yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dengan mengajarkan tentang asketisme (kehidupan sederhana), pelurusan jiwa, serta pembinaan moral yang baik. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filsuf, kaum Mu’tazilah, dan Batiniyyah. Imam Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat yang sejalan dengan aliran Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf Al-Hallaj juga Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai karakter manusia.

Sejak abad VI Hijriah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni meluas ke seluruh pelosok dunia Islam.

Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat untuk mendidik para murid mereka, seperti Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i (w. 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani (w. 651 H).58

Sejak abad VI Hijriah, muncul beberapa tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, tidak dapat disebut murni tasawuf, tetapi juga tidak dapat

57 Amin, Ilmu Tasawuf, h. 125.

58 Amin, Ilmu Tasawuf, h. 125.

disebut murni filsafat. Di antara mereka terdapat Suhrawardi Al-Maqtul (w.549 H), penyusun kitab Hikmah Al-Isyraqiyyah; Shaikh Akbar Muhyi al-Din Ibn Arabi (w.

638 H), penyair sufi Mesir; Ibn Faridh (w. 632 H); dan Abdul Haqq Ibn Sab’in Al-Mursi (w 669 H). Mereka banyak menimba berbagai sumber, seperti Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka juga banyak mempunyai teori yang dalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, dan wujud yang sangat bernilai, baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar bagi para sufi mutakhir.

Dengan munculnya para sufi dan yang juga filsuf, orang mulai membedakan dengan tasawuf yang mula-mula berkembang (tasawuf Akhlaki). Tasawuf Akhlaki identik dengan tasawuf Sunni, hanya saja, titik berat penyebutan tasawuf Sunni dilihat pada upaya yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memagari tasawufnya dengan Al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan demikian aliran tasawuf terbagi menjadi dua, yaitu tasawuf Sunni yang lebih berorientasi pada pengokohan akhlak dan tasawuf Falsafi yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syatahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya.

Ungkapan-ungkapan syatahiyat itu bertolak dari keadaan fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan atau hulul.59