• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN GADA

E. Hapusnya Gadai

Hapusnya gadai telah ditentukan di dalam Pasal 1152 KUH Perdata dan surat bukti kredit (SBK). Di dalam Pasal 1152 KUH Perdata ditentukan 2 cara hapusnya hak gadai, yaitu:55

1. Barang gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai; dan

2. Hilangnya barang gadai atau dilepaskan dari kekuasaan penerima gadai surat bukti kredit.

Begitu juga dalam surat bukti kredit (SBK) telah diatur tentang berakhirnya gadai. Salah satunya adalah jika jangka waktu gadai telah berakhir. Jangka waktu gadai itu adalah minimal 15 hari dan maksimal 120 hari.

Menurut Ari Hutagalung ada lima alasan dimana perjanjian gadai berakhir, alasan-alasan itu adalah:56

1. Hapusnya perjanjian pokok yang dijamin dengan gadai. 2. Terlepasnya benda gadai dari kekuasaan pemegang gadai. 3. Musnahnya benda jaminan gadai.

4. Dilepasnya benda jaminan gadai dengan sukarela.

5. Percampuran dimana pemegang gadai menjadi pemilik benda gadai.

Perjanjian pokok dalam perjanjian gadai adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan gadai. Apabila debitur telah membayar pinjamannya kepada penerima gadai, maka sejak saat itulah hapusnya perjanjian gadai.

55

H Salim HS, Op. cit., hal. 50. 56

47

A. Pengertian Wanprestasi

Pada hakekatnya ketika 2 (dua) orang atau lebih membuat suatu perjanjian, maka diantaranya timbul perikatannya. Yang menjadi obyek dari perikatan adalah prestasi, yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Dalam suatu perjanjian terdapat hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur. Debitur memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi dan apabila ia tidak melaksanakan kesepakatan yang telah diperjanjikan oleh para pihak dan bukan karena hal memaksa menurut hukum, debitur dalam hal ini dianggap telah melanggar kesepakatan atau disebut juga wanprestasi.

Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi, sedangkan pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi.57

Pengertian wanprestasi sering disebut dengan default atau non fulfiment

ataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract. Di dalam kamus hukum, wanprestasi diartikantidak memenuhi/menepati kewajibannya seperti

57

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

48

dalam perjanjian; kealpaan; kelalaian.58

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap yang dimaksud dengan wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya,sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.

Sedangkan di dalam KUH Perdata, wanprestasi di atur dalam Pasal 1238, yaitu “si berutangadalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan wanprestasi atau breach of contract adalah “Apabila siberutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan maka dikatakan melakukan “wanprestasi”, artinya debitur alpa atau lalai atau ingkar janji atau melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan.”

59

58

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris,

Semarang, Aneka Ilmu, 1977, hal.897. 59

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Penerbit Alumni, 1986, hal.60.

Mengenai perumusan “wanprestasi” itu sendiri, sekalipun ada perbedaan dalam cara merumuskannya, pada umumnya (secara garis besar) para sarjana merumuskannya sebagai berikut:

“Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya.”60

1. Kesengajaan.

Tindakan wanprestasi itu muncul karena adanya pihak yang dirugikan, pihak yang dirugikan akan menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga tindakan wanprestasi tersebut dapat terjadi dikarenakan beberapa hal, antara lain :

2. Kelalaian

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Wanprestasi dapat terjadi dengan dua cara, yaitu sebagai berikut:61

a. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasinya debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. Namun, yang paling penting ada peringatan atau pemberitahuan kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan wanprestasi.

b. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pasa waktu tersebut, dia telah wanprestasi.

60

J. Satrio, Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2012, hal.3.(selanjutnya sebagai J. Satrio2)

61

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai

50

Menurut Djaja S. Meliala tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu:62

1. Karena kesalahan debitur baik sengaja maupun karena kelalaian. 2. Karena keadaan memaksa (overmacht/Forcemajeur)

Untuk menetapkan akibat-akibat tak terpenuhinya perikatan (niet- nakoming), perlu diketahui terlebih dahulu pihak yang lalai dengan persoalan ini adalah sebagai memenuhi perikatan tersebut. Kemungkinan-kemungkinan sehubungan berikut:63

1. Tanggung Jawab Yuridis ada pada pihakDebitur: Wanprestasi.

Kesalahan yang dimaksud dalam hal ini merupakan dimana debitur berada pada keadaan tidak melaksanakan kewajibannya bukanlah disebabkan oleh hal-hal yang berada diluar kekuasaannya, sehingga debitur yang dalam keadaan tidak membayar ini dikatakan cidera janji (wanprestasi).

Dalam perjanjian yang wanprestasinya tidak ditetapkan kapan debitur harus memenuhi prestasinya, maka untuk pemenuhan prestasi itu debitur tersebut harus terlebih dahulu diberikan tegoran (sommatie/Ingebrekestelling) agar memenuhi prestasi tersebut. Kalau prestasi dalam perjanjian tersebut dapat dipenuhi seketika, maka prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi seketika. Akan tetapi jika prestasi dalam perjanjian tersebut tidak dapat dipenuhi seketika, maka kepada debitur tersebut diberikan waktu yang pantas untuk memenuhi prestasinya (sommatie/Ingebrekestelling) yang diberikan debitur agar jika debitur tidak memenuhi tegoran dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam Pasal 1238 KUH

62

Djaja S. Meliala, Op. cit., hal.99. 63

Van der Burght dan Freddy Tengker, Buku tentang Perikatan Dalam Teori dan

Perdata yang ada pada pokoknya menentukan bahwa tegoran itu harus dengan surat perintah atau akta sejenis.

Yang dimaksud surat perintah dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah peringatan resmi oleh juru sita sejenis dalam suatu tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram yang tujuannya sama yakni untuk memberikan peringatan kepada debitur agar memenuhi prestasi dalam seketika dalam tempo tertentu.

Jadi yang dimaksud dengan ingebrekestelling atau sommatie adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur, menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu harus ditagih terlebih dahulu.64

a. Keadaan debitur sama sekali tidak dapat memenuhi prestasinya;

Oleh karena itu ingebrekestelling itu berfungsi sebagai upaya hukum untuk menentukan saat kapan mulai terjadinya wanprestasi. Sebagai upaya hukum ingebrekestelling baru akan diperlukan ketika seorang kreditur akan menuntut penggantian kerugian atau dalam hal kreditur minta pemutusan perikatan.

Sommatie/Ingbrekestelling tidak diperlukan, yaitu dalam hal :

b. Keadaan debitur mengakui kesalahan; c. Keadaan ditentukan oleh undang-undang.

64

DD. Saragih, Bab II Tinjauan Umum Terhadap Wanprestasi, From

52

Akibat-akibat wanprestasi adalah:65

a. Debitur harus membayar ganti-rugi {Pasal 1279 BW, (Pasal 1243 KUHP)};

b. Beban risiko bergeser ke arah kerugian debitur: suatu halangan yang timbul kepermukaan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya setelah pihak debitur melakukan wanprestasi, kecuali ada kesengajaan atau kelalaian besar (culpa lata) pada pihak kreditur, tidak dapat mengandalkan “overmacht”.

c. Jika perkiraan timbul dari suatu persetujuan timbal-balik, maka pihak kreditur dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan kontraprestasi melalui cara Pasal 1302 BW (Pasal 1266 KUHP), atau melalui exceptio non adimpleti contractus menangkis tuntutan debitur untuk memenuhi perikatan.

2. Tak Ada Tanggung Jawab Yuridis:Keadaan Memaksa (overmacht/force majeur)

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang menghalangi debitur untuk berprestasi, halangan tersebut timbul diluar salahnya para pihak dalam perjanjian.66

1. Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi dari debitur. Keadaan force majeur menyebabkan hal-hal sebagai berikut:

2. Debitur tidak dapat dinyatakan lalai dan oleh karenanya debitur tidak dapat dituntut untuk mengganti kerugian;

3. Resiko tidak beralih kepada debitur.

65

Van der Burght dan Freddy Tengker, Op. cit., hal.147. 66

KUH Perdata tidak memberitakan rumusan apa yang dimaksud dengan overmacht atu force majeur, Pasal-Pasal 1244 KUH Perdata, 1245 KUH Perdata, 1444 KUH Perdata, hanyalah menerangkan bahwa apabila seseorang tidak dapat memenuhi suatu perikatan atau melakukan pelanggaran hukum oleh karena keadaan memaksa (overmacht atau force majeur), maka orang tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Dan kalau Pasal 1244 dan Pasal 1245 dihubungkan satu sama lain, sama-sama berbicara tentang keadaan memaksa yang dimana ciri penting yang tampak adalah debitur tidak mempunyai unsur salah atas timbulnya keadaan memaksa. Maka dari itu, untuk dapat mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht), debitur sendiri harus dalam posisi yang layak mengemukakan keadaan memaksa (overmacht), antara lain dari pihak debitur sendiri tidak ada unsur kesengajaan atas timbulnya keadaan memaksa. Dengan perkataan lain, tidak ada kesalahan pada dirinya.67

Pada umumnya, keadaan memaksa biasanya dapat dibedakan atas force majeur yang bersifat tetap (absolut) dan force majeur yang bersifat relatif. Force majeur yang bersifat tetap (absolut) adalah suatu keadaan yang memaksa dimana prestasi yang telah diperjanjikan sama sekali tidak dapat dipenuhi. Sedangkan yang dimaksud dengan force majeur yang sementara adalah force majeur yang mengakibatkan pelaksanaan suatu perjanjian ditunda sampai waktu yang ditentukan semula dalam perjanjian.68

Apabila force majeur dihubungkan dengan pelaksanaan perjanjian dapat dibedakan antar force majeur yang lengkap dan force majuer yang sebagian.

67

Ibid, hal.105. 68

54

Selanjutnya yang dimaksud dengan force majeur yang lengkap adalah keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perjanjian seluruhnya tidak dapat dilaksanakan sama sekali;sedangkan force majeur yang sebagian adalah keadaan memaksa yang mengakibatkan sebagian dari perjanjian tidak dapat dilaksanakan.69

Akibat-akibat “overmacht” adalah:70

a. Pihak kreditur tidak perlu membayar ganti-rugi (Pasal 1280 BW, Pasal 1244 KUHP);

b. Pembagian beban resiko (risicolast) tidak mengalami perubahan (penting pada “keadaan memaksa sementara” atau “ tijdelijke overmacht”);

c. Pihak kreditur tidak mempunyai hak untuk memenuhi perikatan tetapi sekaligus, terkecuali atas dasar suatu Pasal seperti misalnya Pasal 1496 BW (1460 KUHP), demi hukum dibebskan dari kewajiban melakukan kontraprestasi.

3. Tanggung Jawab Yuridis Ada Pada Pihak Kreditur: “Kelalaian Kreditur” (Crediteursverzuim)

Tak dipenuhinya perikatan adalah akibat kesalahan dan kelalaian kreditur atau suatu situasi yang berada dalam jangkauan risikonya.

Akibat-akibat kelalaian kreditur adalah:

Debitur berada dalam keadaan memaksa, tetapi menyimpang dari apa yang disebut di bawah butir 2 ini berlaku hal-hal sebagai berikut:71

69

Ibid.

70

a. Beban risiko bergeser ke arah kerugian kreditur dan selaku demikian ialah bahwa pihak debitur pada galibnya hanya bertanggung jawab yuridis karena melakukan wanprestasi dalam hal adanya unsur kesengajaan diri sendiri atau kesalahan besar (grove schuld);

b. Pihak kreditur tetap berkewajiban memberikan kontraprestasi (bandingkan Pasal 1638 d BW; Pasal 1602 KUHP).

B. Macam – Macam Wanprestasi

Perikatan yang pada hakekatnya dibuat oleh dua pihak yang terikat yaitu debitur dan kreditur, akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama. Dalam hal ini debitur berkewajiban untuk menyerahkan prestasi kepada kreditur dimana prestasi berupa memberikan, berbuat, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal1234 KUH Perdata).

Adapun bentuk wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:72

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

2. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

4. Melakukan sesuatu menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada 3 (tiga) macam yaitu:73

1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan.

71

Van der Burght dan Freddy Tengker, Op. cit., hal.148. 72

Subekti, Hukum Perdjanjian, Jakarta, PT Pembimbing Masa, 1970, hal. 50. 73

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 2001, hal.18.(selanjutnya sebagai Mariam Darus Badrulzaman3)

56

2. Debitur terlambat memenuhi perikatan.

3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. Ilmu hukum mengenal tiga macam wanprestasi, yaitu :74 1. Wanprestasi yang disengaja

Wanprestasi dianggap sengaja apabila debitor dapat dikatakan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, walaupun ia insaf bahwa tindakannya atau tidak bertindaknya mengakibatkan wanprestasi.

2. Wanprestasi karena kesalahan

Wanprestasi karena kesalahan adalah akibat dari sikap debitor yang acuh tetap acuh, atau debitor tidak melakukan usaha yang dapat diharapkan dari seorang debitor, namun justru memilih melakukan suatu perbuatan atau mengambil sikap diam (tidak bertindak).

3. Wanprestasi tanpa kesalahan (Forje Major dan Overmagt)

Yang dimaksud disini, undang-undang juga melihat kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor

Hukum dalam perjanjian pada dasarnya tidak membedakan apakah suatu kontrak tidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu, kecualitidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeur, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).

74

Achmad R Hamzah, Wanprestasi,

2015 pukul 10.00 WIB.

Akibat dari debitur yang lalai untuk melakukan melakukan kewajibnnya atau wanprestasi diancam dengan beberapa sanksi atau hukuman. Hukuman bagi debitur yang lalai tersebut ada 4 (empat) macam, yaitu:75

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi.

Ganti rugi sering diperinci dalam 3 (tiga) unsur :

a. Biaya, adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;

b. Rugi, adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibat oleh kelalaian si debitur;

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.Serangkaian Pasal-Pasal tersebut dapat dipandang sebagai tujuan untuk membatasi ganti rugi yang dituntut terhadap seorang debitur yang lalai, dengan adanya ketentuan pembatasan mengenai ganti rugi, maka dapat dikatakan bahwa seorang debitur yang lalai masih juga dilindungi oleh undang-undang terhadap kesewenang- wenangan si kreditur.

2. Pembatalan perjanjian

Pembatalan perjanjian atau disebut juga pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian

75

58

diadakan.Dalam hal ini apabila salah satu pihak telah menerima sesuatu dari pihak yang lainnya, baik itu berupa uang ataupun barang, maka itu harus dikembalikan. Masalah pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak debitur ini diatur dalam KUH PerdataPasal 1266. Dan menurut Pasal 1266 KUH Perdata pembatalan suatu perikatan tidak terjadi dengan sendirinya, harus dimintakan kepada hakim dan hakimlah yang akan membatalkan perjanjian itu dengan keputusannya.

3. Peralihan resiko

Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian. Peralihan resiko ini diatur dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata.

4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di muka hakim. Tentang pembayaran biaya perkara ini tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan wajib membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat 1 HIR), seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan sampai terjadi perkara dimuka hakim.

C. Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Wanprestasi pada PT Pegadaian

Pada umumnya perjanjian mulai berlaku setelah tercapai kesepakatan di antara para pihak dan perjanjian tersebut mengikat setelah kedua belah pihak yang bersepakat telah menandatangani perjanjian. Perjanjian dianggap telah ada apabila

ada bukti bahwa nasabah telah menyetujui perjanjian gadai serta telah menyerahkan barang gadai kepada pihak pegadaian, dan kemudian pihak pegadaian mengeluarkan biaya sesuai dengan perjanjian tersebut. Salah satu yang diatur dalam perjanjian itu adalah mengenai “kewajiban-kewajiban pihak yang menggadaikan dan menerima gadai”. Apabila salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan atau lalai melakukan kewajibannya maka pihak tersebut dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, dalam hal ini lalai disebut sebagai wanprestasi.

Tindakan wanprestasi akan menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, dalam perjanjian gadai wanprestasi dapat dilakukan dilakukan oleh kreditur atau PT Pegadaian dan oleh debitur atau nasabah dari PT pegadaian.Tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh kreditur ini dapat berupa rusaknya barang gadai, pelaksanaan lelang tanpa memberitahukan debitur serta tidak adanya pengembalian uang sisa hasil lelang setelah dikurangi pokok pinjaman beserta bunganya.

Pada umumnya pihak yang melakukan wanprestasi pada PT Pegadaian adalah debitur. Apabila debitur melakukan wanprestasi maka perum pegadaian diberi kewenangan untuk melakukan lelang terhadap barang gadai. Pada dasarnya para nasabah tidak menginginkan barang jaminan atau benda-benda lainnya dilelang oleh pegadaian. mereka tetap menginginkan supaya barang jaminan tidak dijual dan mereka tetap berharap supaya barang jaminan tidak dijual dan mereka tetap berharap supaya hutang-hutangnya dapat diperpanjang. Walaupun dari pihak

60

pegadaian telah melakukan somasi kepada nasabah, namun mereka tetap tidak melaksanakan prestasinya tepat pada waktunya.

Berdasarkan hasil penelitian penulis pada PT Pegadaian Kanwil I Medan adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah dalam perjanjian gadai dengan pihak Pegadaian :76

1. Taksiran tinggi

Taksiran tinggi adalah taksiran yang melebihi dari kriteria/batas toleransi dari taksiran wajar, baik semata-mata karena kelalaian/kekeliruan maupun disengaja oleh KPK, dikategorikan sebagai taksiran tinggi. Pada saat dilakukan penaksiran oleh pihak pegadaian, barang jaminan ditaksir dengan melebihi nilai dari taksiran yang sewajarnya, sehingga ketika nasabah tidak mampu membayar hutangnya, barang jaminan tersebut dianggap mampu membayar hutangnya. Namun pada kenyataannya nasabah tidak mampu membayar pinjamannya sehingga nasabah tersebut wanprestasi.

2. Penurunan harga emas

Akibat adanya penurunan harga emas, nasabah tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, hal ini diakibatkan oleh pemikiran nasabah yang merasa tidak rugi apabila barang jaminannya dilelang. Sebab nasabah berpendapat bahwa besarnya pinjaman ditambah sewa modal sudah

76

Hasil wawancara dengan Staff Legal Officer pada PT Pegadaian Kanwil I Medan, hari Selasa, tanggal 9 Desember 2014, pukul 10.00 WIB

seimbang dengan nilai barang jaminannya. Dengan tidak memenuhi kewajibannya ini nasabah dikatakan wanprestasi.

3. Nasabah susah dihubungi

Tidak ada itikad baik dari nasabah untuk membayar angsuran pinjaman atau melunasi pinjamannya, sehingga pada saat mendekati jatuh tempo ketika pihak pegadaian mencoba untuk mengkonfirmasi nasabah tersebut nasabah susah dihubungi. Karena tidak ada itikad baik tersebut hingga tanggal jatuh tempo maka pihak pegadaian melelang barang jaminan tersebut karena nasabahnya wanprestasi. 4. Barang jaminan masuk barang bermasalah

Barang jaminan yang digadaikan di pegadaian merupakan barang yang termasuk dalam barang jaminan bermasalah, sehingga nasabah dikatakan wanprestasi karena telah melanggar salah satu persyaratan untuk barang jaminan yang akan digadaikan.

5. Kondisi ekonomi nasabah

Karena kondisi ekonomi nasabah yang tidak memungkinkan untuk melunasi angsuran pinjaman ataupun melunasi pinjamannya. Hal ini disebabkan oleh usaha yang dikembangkannya tergantung pada harga pasar yang berlaku, sehingga nasabah tersebut hanya mampu untuk membayar biaya pengolahannya dan tidak mampu untuk membayar pinjamannya ataupun disebabkan oleh usaha nasabah yang mengalami kerugian sehingga tidak dapat membayar uang pinjaman. Dengan demikian nasabah tersebut dikatakan wanprestasi.

62

D. Akibat Hukum dari Terjadinya Wanprestasi pada PT Pegadaian

Dalam perjanjian kredit gadai aspek yang menentukan adalah ditandatanganinya perjanjian kredit gadai. penendatanganan perjanjian ini dilihat dari aspek hukum perjanjian menunjukkan adanya persetujuan para pihak. Pada hakekatnya dalam acuan teoritis esensi kehendak yan terwujud dalam bentuk penandatanganan kredit para pihak dalam perjanjian merupakan bukti bahwa keduanya telah sepakat melaksanakan semua isi perjanjian dengan segala resiko dan konsekuensinya. Kesepakatan tersebut terwujud diketahui dari terbitnya bukti tertulis, yang pada PT Pegadaian disebut Surat Bukti Tertulis (SBK).77

Dalam suatu perjanjian baik kreditur dan debitur sama-sama memiliki kewajiban untuk memenuhi prestasi. Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian gadai yang dibuat antara nasabah dengan PT Pegadaian juga berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, hal ini diatur di dalam Pasal 1338 KUH Perdata, jadi dapat dikatakan bahwa para pihak wajib untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati beserta resikonya. Sehingga dapat dikatakan apabila salah satu pihak baik kreditur maupun debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melakukan prestasi tersebut, maka pihak yang tidak melakukan kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut dikatakan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan didalam Pasal 1243 KUH Perdata yaitu : dalam hukum perjanjian, jika seorang debitur tidak memenuhi isi perjanjian atau tidak

77

Hasil wawancara dengan Staff Legal Officer pada PT Pegadaian Kanwil I Medan, hari

Dokumen terkait