bermukim di kampung kami, ketiganya pun sudah tercatat sebagai “banjar pekraman” dengan kewa-jiban-kewajiban tertentu, minus yang menyangkut ritual Hindu. Sesekali saya menyertai ibu saya ke sana — karena salah satu anak keluarga Muslim itu teman sekelas saya di SD — dan saya merasakan persaudaraan yang sejati. Senyum persahabatan, tak ada sekat-sekat karena perbedaan agama. Ketupat mereka sama, cuma cara sembahyang mereka yang tak sama.
Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan
dharma melawan adharma. Di setiap agama ada
hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di Hindu, hari kemenangan bisa ditentukan sendiri oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena itu, hari kemenangan umat Hindu yang budaya lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang bukan budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dhar-ma itu dirayakan dengan nadhar-ma Hari Raya Wijaya Dasami. Rangkaian upacara pun selama 0 hari, seperti halnya Galungan menuju Kuningan yang juga berangkai 0 hari.
Di hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu menghadirkan kekuatan spritual agar bisa dan mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana yang berupa kebena-ran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan (dewa sampad).
Lontar Sunarigama menulis: Budha Kliwon
Dun-gulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk me-lenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi inti perayaan ini adalah menyatukan kekua-tan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran yang terang inilah wujud dari dharma itu sendiri, sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran terang itu muncul, umat Hindu saling mendatangi
tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang kini dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu dilakukan keesokan harinya, saat Manis Galungan, karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita oleh mengadakan persembahan kepada leluhur di berbagai Pura yang ada.
Sekarang, adakah tali silaturahmi itu terus di-lakukan? Tentu masih ada, khususnya di kalangan umat yang sama, Hindu. Bagaimana dengan jalinan ke luar umat? Kalau pun masih dilakukan, saya menduga kadarnya itu mulai berkurang. Ibu saya telah tiada, tak ada keluarga di kampung saya yang mewariskan kebiasaan “ngejot” ke “nyama selam” itu. Keluarga penjual sate dari Madura itu pun telah pindah, tetapi “nyama selam” bukan berarti tak ada. Mereka ada yang berjualan bakso, bubur kacang hi-jau, makelar kopi, dan sebagainya. Hubungan mer-eka dengan masyarakat Hindu setempat tak lebih dari hubungan bisnis. Tak ada hari raya keagamaan yang bisa lagi dirasakan secara bersama-sama. Ga-lungan adalah milik Hindu, Lebaran adalah milik Islam, Natal adalah milik umat Kristiani. Masing-masing berjalan dalam sekat-sekatnya tersendiri.
***
Kenapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu untuk menyapa. Kenapa ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan. Kenapa jemari ini tidak bisa menunjuk setiap kebaikan. Kenapa jemari ini harus menunjuk dalam sarung?
Sepenggal puisi dalam film terbaru Garin Nu-groho, Puisi Tak Terkuburkan, ini secara tepat sekali mempertanyakan banyak hal dalam hubungan adanya sekat-sekat di berbagai masyarakat yang majemuk ini. Umat Hindu tak mengetuk pintu umat Muslim di hari Raya Galungan untuk men-gantarkan sekedar makanan dan buah-buahan, karena adanya kekhawatiran, apakah cara-cara itu bisa diterima sekarang ini? Juga umat Muslim tak mengetuk pintu umat Hindu di hari Raya Idul Fitri untuk bersalam-salaman sambil mengucapkan Minal Aidin Walfaizin, karena apakah itu perlu kalau bukan seiman? Sudah sejak lama ada perde-batan di kalangan masyarakat akar rumput, apakah umat Islam boleh atau tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada umat Kristiani? Apakah seorang
penganut Hindu mengucapkan: Asalamualaikum kepada seorang penganut Islam, diterima dengan kebesaran jiwa dan perasaan lapang, ataukah dicibir sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak perlu? Sebaliknya, apakah seorang penganut Hindu akan membalas sapaan Om Swastyastu yang disampaikan umat beragama non-Hindu, atau justru bersikap curiga?
Ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan,
karena kita memandang sekat-sekat yang ada, teru-tama masalah agama, sebagai sesuatu yang meng-hambat tali silaturahmi. Agama yang mengajarkan perdamaian dan menebarkan kasih sayang untuk sesama manusia, ternyata mulai dikotori oleh niat untuk menghimpun semakin banyak pengikut di masing-masing agama itu sendiri. Target jumlah pengikut ini menjadi tujuan utama dan ini mela-hirkan sekat-sekat yang ekslusif. Kecurigaan pun lahir: apakah kebiasaan yang dilakukan ibu saya di dua dasawarsa yang lalu, tidak malah dicurigai sebagai menghindukan orang Islam? Kecurigaan seperti ini pada akhirnya memang mendapatkan alasan, karena ada banyak kejadian belakangan
ini, sumbangan dari kelompok agama tertentu selalu diimingi-imingi “target”: suatu saat yang menerima sumbangan itu mau mengikuti agama si penyumbang. Mereka umumnya mendalihkan bahwa kegiatan mereka itu sejalan dengan ajaran agamanya, sebagai agama misi.
Padahal semua agama adalah agama misi, hanya cara dan tekanannya yang berbeda. Hindu pun agama misi. Kalau tidak, untuk kepentingan apa agama ini masuk ke Nusantara ini. Salah satu sloka dalam Yayur Veda berbunyi:
Yathenam wacam kalyanim, awadai janebhyah, Brah-mana Rajanyabhyam, Cudra ya caryaya ca, Swaya carana ca (YV. XXV.)
Artinya: Biar KUajarkan pengetahuan suci ini (maksudnya Veda) kepada orang banyak, kaum Brahmana, Ksatria, Sudra dan Wasiya, dan bahkan kepada orang asing sekalipun.
Sepanjang gerakan agama diarahkan untuk mendapatkan sebanyak pengikut, dan bukan tujuan luhurnya sebagai menyebarkan perdamaian dan
ka-sih sayang, menyebarkan rasa persaudaraan yang se-jati, maka kita akan masih melalui masa-masa yang penuh kecurigaan. Bahkan curiga terhadap sebuah senyum, apalagi terhadap ketulusan bantuan.
***
Darimana kita harus mengembalikan situasi ini sehingga kecurigaan berkurang dan sekat-sekat ekslusif mencair? Yang pertama-tama harus dicerna adalah ajaran agama yang paling hakiki itu, bahwa Tuhan mewahyukan ajarannya dalam kurun waktu ribuan tahun tidak hanya sekali saja. Ada banyak perantara yang dipakai Tuhan untuk menyebarkan ajaran-Nya. Kita mengenal banyak Awatara, kita mengenal banyak Nabi, kita pun mengenal bebera-pa Maharesi. Tuhan menciptakan manusia yang ber-beda-beda warna kulitnya, jenis rambutnya, suku dan etnisnya, bahasanya, budayanya, agar manusia yang berbeda-beda itu bisa saling mengenal dan sal-ing isi-mengisi, kasih mengasihi, bantu membantu. Tercipta persaudaraan sejati di kalangan umat yang berbeda. Bayangkanlah kalau manusia di bumi ini semuanya berkulit putih, atau semuanya berambut keriting, semua wajahnya sama, apakah justru
ti-dak terjadi kekacauan. Ada orang yang dilahirkan miskin dan menderita, justru agar orang yang kaya dan sejahtra merasa terhukum untuk membantu si miskin ini. Ada tentara berpangkat sersan, agar ada yang memberi hormat kepada jenderal. Kalau semuanya jenderal, siapa yang harus lebih dulu memberi hormat?
Keberagaman ini diciptakan agar umat manusia menjalin tali silaturahmi di antara kelompoknya, antar kelompok yang berbeda, antar bangsa dan se-terusnya. Dan untuk itu toleransi mendapat tempat yang tinggi. Marilah kita toleran terhadap segala perbedaan yang ada dan menghargai perbedaan itu. Tapi janganlah toleransi ini disalah-artikan, lalu dengan seenaknya kita melecehkan aturan-aturan yang ada di kelompok orang lain. Idiom-idiom yang ada dalam satu kelompok — lebih-lebih jika itu bernama agama — dan sangat disakralkan, harus dihormati dan tak bisa dicomot kelompok lain untuk tujuan yang menyimpang.
Ini yang belakangan merebak, khususnya di Bali. Saudara kita umat Kristiani, mengambil
idiom-idiom Hindu dan menggunakannya di lingkungan-nya sendiri. Tanpa permisi dan tanpa izin. Doa suci Hindu, Om Swastyastu, di pakai nama sekolah yang justru tidak mengajarkan pendidikan Hindu. Syukurlah Perguruan Swastyastu yang ada di Den-pasar itu sudah berubah nama menjadi Perguruan Santa Yosef. Namun masih ada Dewa-Dewa dalam mitologi Hindu yang dicomot begitu saja untuk mengembangkan ajaran yang bukan Hindu, bah-kan untuk bisnis, misalnya, Swalayan Siwa dan sebagainya. Aksara suci Om dipajang untuk tujuan yang sangat vulgar, misalnya, dijadikan tattoo dita-ruh di bagian tubuh yang “jorok”.
Namun, di kalangan umat Hindu etnis Bali pun, hendaknya sadar pula, mana idiom dalam kelom-pok agama yang sakral dan tak boleh dicomot kelompok agama lain, dan mana idiom adat atau budaya lokal yang memang bisa diadopsi pihak lain. Karena budaya dalam perkembangan peradaban ini tak bisa lagi dimonopoli kelompok tertentu. Apa-lagi di zaman globalisasi ini. Budaya Bali itu sendiri sudah mengadopsi berbagai jenis budaya luar.
Budaya, adat, agama, adalah sesuatu yang berbeda-beda. Adat adalah kebiasaan atau tradisi yang mempunyai wilayah teritorial tertentu. Bu-daya adalah proses peradaban manusia yang selalu berkembang, saling mempengaruhi, dan bisa lintas teritorial. Agama adalah sebuah keyakinan yang rujukannya sudah jelas dan pasti, yakni adanya kitab suci, penerima wahyu, dan hukum-hukum yang tak bisa diperdebatkan, kecuali mengacu ke kitab suci itu sendiri. Kalau kita tak bisa memisahkan mana agama, adat, dan budaya, maka kita akan bisa salah protes.
Apakah kita (umat Hindu) protes kepada umat Kristen di Bali yang kalau ke gereja memakai pak-aian adat Bali? Kan mereka orang Bali, lahir dan besar di Bali dan mewarisi adat Bali. Apa kita pro-tes umat Islam di Pegayaman yang memakai nama Wayan, Ketut, Nengah dan berbahasa Bali halus (lebih halus ketimbang umat Hindu tetangganya?). Apakah kita protes bahwa Nyama Selam (umat Is-lam Pegayangam) mewarisi Subak dan memelihara tradisi itu? Kain, anteng, udeng, destar, subak, Ny-oman, Nengah, Wayan, adalah adat. Gong, legong,
drama gong, arja, pupuh sinom, pangkur, bahasa Bali, adalah budaya. Apakah umat Kristen etnis Bali dilarang mengarang lagu bertembangkan Sinom? (Bukankah umat Hindu etnis Bali justru di masa lalu mengadopsi Sinom itu dari Jawa, misalnya). Apakah group-group tari di Jakarta dilarang mementaskan Legong Kraton? Tentu saja tidak.
Kemudian budaya Bali diadopsi oleh orang luar: penjor, pajegan, rangkaian kembang, rangkaian janur, dan lain-lain. Apakah ini kita protes? Karena itu, PHDI dan Departemen Agama/Lembaga Umat Hindu membuat pembatasan lewat berbagai seminar Kesatuan Tafsir, mana budaya tadi yang berkaitan dengan agama (sakral) dan mana budaya tadi yang tidak sakral, hanya sebatas hiasan. Ini yang perlu disosialisasikan kembali, terutama kepada anak-anak muda yang kini sangat kritis. Lewat Seminar Kesatuan Tafsir yang gencar diadakan di tahun 0-an itu, lahirlah padanan seperti: papen-joran, urap sari, babentaran, dan banyak lagi. Kalau ini masih kurang karena tuntutan zaman globalisasi, di mana batas-batas budaya sudah tak jelas lagi teritorialnya, kembalilah diinventarisasi apa-apa saja yang perlu dirumuskan kembali.
Kalau umat Hindu etnis Bali protes karena budayanya diadopsi umat beragama lain, orang lain pun bisa protes kepada umat Hindu. Pakaian kebaya itu dari mana asalnya? Ternyata dari Jawa, sampai sekarang pun ada yang menyebut kebaya dengan “baju potongan Jawa”. Lihat belakangan ini, anak-anak muda Hindu di Bali, sudah men-gadopsi cara orang Jawa menggunakan kain, rata depannya, tidak lagi mekancut. Hal-hal seperti ini tak terhindarkan.
Cara berpakaian itu budaya, bukanlah agama. Umat Hindu di Kaharingan (Kalimantan Tengah) tak ada sembahyang memakai pakaian cara budaya Bali. Umat Hindu di Jawa tak ada menggunakan destar (udeng) yang terbuka atasnya, tetapi me-makai blangkon. Bahasa lokal pun bukan agama. Mana ada umat Hindu etnis Kaharingan, Batak, Toraja, Jawa yang menggunakan bahasa Bali dalam menghaturkan sesajen. Tetapi kalau menggunakan mantram, pasti sama, karena rujukannya Weda.
Dalam kasus-kasus seperti ini, PHDI sebagai lembaga pengayom umat dan pembuat bhisama harus segera berperan. Membiarkan kasus begini berlarut –larut menjadi polemik di masyarakat, sama artinya dengan mengadu domba umat itu sendiri.
Sebaliknya, umat lain yang mencomot begitu saja apa yang kini akrab dijadikan simbol-simbol dalam Hindu, juga jangan mencari gara-gara. Ak-sara suci semacam Om itu semestinya sudah dik-etahui secara luas, betapa sakralnya bagi pemeluk Hindu, janganlah dinistakan sedemikian rupa.
Saya menyinggung kasus-kasus yang pernah ramai jadi polemik ini hanyalah sebagai ilustrasi, bagaimana kita semestinya menjalin persaudaraan sejati di antara berbagai perbedaan. Ada aturan umum yang harus sangat dihormati dalam per-saudaraan ini, yakni etika dan itikad yang baik. Etika menyangkut sopan santun, mana yang pan-tas dan mana yang tidak panpan-tas. Semuanya harus mengacu kepada lingkungan budaya setempat. Sebutlah satu contoh, Meru adalah bangunan suci
umat Hindu. Tapi, sebuah Meru yang suci tentu memenuhi semua persyaratan, misalnya, bertum-pang ganjil, dan sebagai-sebagainya. Tak ada Meru bertumpang genap. Lalu, ada orang nyeleneh dan mencari gara-gara, membuat WC dengan bangu-nan berbentuk Meru, tetapi bertumpang empat, dan dia ngotot itu bukan Meru. Memang betul. Secara hukum formal kita tak bisa mengatakan itu menghujat agama. Tetapi, dari segi moral, etika, dan sopan-santun, itu sudah sangat keblablasan.
Contoh ini hampir mirip dengan digunakan-nya Swastyastu sebagai nama sekolah yang tak ada juntrungannya dengan Hindu. Masih dapat diperde-batkan, apakah Swastyastu yang berdiri sendiri tanpa diawali kata Om itu sesuatu yang sakral atau kehilangan kesakralannya? Apapun, karena kata itu adalah doa suci dalam Hindu, didahului atau tidak dengan kata Om, secara etika Swastyastu tak bisa digunakan oleh sesuatu yang tidak berhubungan dengan agama Hindu. Swastyastu tetap merupakan idiom Hindu, yang harus dihormati oleh pemeluk agama lain.
Di sinilah dibutuhkan kebesaran jiwa, jangan mencampur-adukkan idiom-idiom kepercayaan lain untuk kepercayaan yang lain lagi. Lantas, karena semua ini sudah terjadi, apa yang seharusnya dilakukan? Perlu dialog dari hati kehati, perlu membuka diri, perlu dijalin semangat rekonsiliasi. Kata terakhir ini mungkin kurang pas, tetapi tak apa disebutkan, karena suasana yang penuh kecurigaan ini harus segera diakhiri.
Kecurigaan antar kelompok yang berbau SARA saat ini sudah mencapai tingkat yang sangat mencemaskan. Perang saudara terjadi di berbagai tempat, hanya karena beda agama. Kalau kita in-gin mengembalikan situasi ke arah terwujudnya persaudaraan yang sejati, kenapa harus mencari gara-gara dengan memasuki rumah orang tanpa mengetuk pintu dan mengambil apa-apa yang ada di dalamnya untuk digunakan semaunya?
Perahu bangsa ini sedang oleng. Perahu bangsa sudah retak di sana-sini. Kita harus sama-sama menambalnya. Melalui Hari Raya Galungan, kita harus bisa memilah-milah, yang mana kebenaran
dan yang mana kebathilan. Dan mari, kebenaran (dharma) itulah yang kita menangkan. Kita jalin kembali tali silaturahmi, kita tancapkan lagi seman-gat rekonsiliasi. Kita ketuk pintu setiap rumah, dan kita menyapa dengan etika sopan santun. Kalau ada yang salah, jemari ini lalu menunjukkan arah kebai-kan. Bukan menunjuk dalam sarung, seperti pesan dalam film arahan Garin Nugroho, yang hanya bisa memfitnah, membunuh atau menghakimi.
“Kalau saya khilaf, disapa saya, diajak bicara saya. Kami diajarkan untuk bicara siapa yang salah dan siapa yang benar, berani bicara letak yang salah, letak yang benar.” Itulah puisi yang penuh makna dalam film
Garin itu. Ya, mari kita saling menyapa, dan bukan saling bertengkar.
***
Tapi, apa sebenarnya arti Galungan itu? Sekali lagi perlu diingatkan, Galungan artinya keme-nangan. Dungulan (nama wuku saat Galungan) juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan.
Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyat-rakyat yang terkapar karena membela simbol partai?
Tidak sembarang kemenangan, tentu saja. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah di-recoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri berse-mayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum
mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit, kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi.
Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalah-kan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menye-diakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat pensucian diri.
Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keinginan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban di-lanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat dise-but Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat he-wani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari
Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.
Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang dicip-takan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihatur-kan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma tak pernah berkurang?
Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah
ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, meng-hiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya.
Di India kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diam-bil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) sim-bol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan diray-akan sepuluh hari.
Barangkali untuk “menyesuaikan” dengan India di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga
merayakan kemenangan dharma dua kali setahun, meski tak persis dengan tahun Masehi, karena per-hitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih. Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 0 hari.
Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada peray-aan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada