• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampai saat ini, masih banyak umat Hindu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sampai saat ini, masih banyak umat Hindu"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

S

ampai saat ini, masih banyak umat Hindu yang belum jelas benar, apakah mereka datang ke sebuah pura memuja Bethara, Dewa-Dewa atau Hyang Widhi. Mereka bahkan tak ambil pusing dan tak peduli. Mereka hanya tahu, misalnya, datang bersembahyang ke pura untuk piodalan. Tapi siapa yang piodalan di sana? Ida Bethara yang mana? Atau bukan Ida Bethara, tetapi Istadewata, tapi Istadewata yang mana?

Seperti diketahui, ajaran Hindu memang me-nyebutkan, bahwa umat Hindu selain memuja Tu-han Yang Maha Esa (Hyang Widhi), juga memuja leluhur. Leluhur itu ada yang bersifat umum artinya orang-orang tua di masa lalu yang san-gat berjasa, bisa berarti pula kawitan, yakni yang langsung punya hubungan darah secara vertikal. Leluhur ini dalam ajaran Hindu menyatu dengan Tuhan.

(3)

Dalam memuja Tuhan pun umat Hindu tak ha-rus langsung kepada Tuhan itu sendiri (dalam hal ini disebut Brahman), tetapi bisa melewati Istade-wata, yakni para dewa yang merupakan sinar sakti dari Brahman. Nah, siapa Istadewata yang dipuja pada hari-hari tertentu dan tempat tertentu itu, sebaiknya dipahami lebih dahulu agar persemba-hyangan menjadi khusuk dan tepat sasaran.

Buku ini dimaksudkan untuk itu, mengenal Bethara (leluhur), Hyang Widhi dan Istadewata dengan tempat-tempat pemujaannya dan caranya memuja. Karena itu buku ini pun dilengkapi den-gan Puja Stawa kepada Bethara, Tuhan dan Para Dewa. Tentu saja puja yang terbatas, karena buku ini ditujukan kepada masyarakat umum -- meski pun sebagai pelengkap disajikan juga Gagelaran Pemangku.

Semoga buku ini bermanfaat adanya.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Pasraman Dharmasastra Manikgeni Akhir November 00

(4)

B

ersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi bagi pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di Jakarta.

Dulu, ketika saya masih menjadi wartawan dan berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kid-ung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk

Bersembahyang

ke Pura Leluhur

(5)

mencapai suasana religius.

Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di perempatan jalan yang lagi ramai lalu lint-asnya, untuk apa umat Hindu mengunjungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri-kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bon-dong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan?

Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikun-jungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masya-rakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan (sebutan untuk para Dewa di pedesaan Bali), stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Na-mun umat tak banyak yang mengetahui dan bisa memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang

(6)

Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” begitu umumnya orang berkata.

Bagi orang yang berpikir sederhana seperti ini, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya sama saja, yakni memuja Tuhan. Padahal sesungguhnya beda, tergantung pura itu sendiri. Kalau setiap persembahyangan memuja Tuhan, untuk apa men-cari pura yang begitu jauh dan penuh rintangan, bukankah Tuhan ada di mana-mana, bahkan para spiritual sering menyebutkan Tuhan ada dalam diri sendiri.

Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, karena yang kita puja di sana adalah leluhur kita. Yang dikehendaki itu adalah pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa

(7)

maksudnya?

Para leluhur kita mendirikan pura atau me-ninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Desa Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuy-ang (baik di Luhur maupun di Madya) dibLempuy-angun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang.

Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan

(8)

men-ganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” yang kini banyak dibangun seperti Pura Jagatnatha?

Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sem-bah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.

Sayang sekali, sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pu-lau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak

(9)

menangis minta mainan dan ibunya membentak terus karena tak punya uang. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura.

Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang ma-sih penuh marah, pikiran yang mama-sih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura. Kita melakukan “japa” dan “samadhi” ketika dalam perjalanan naik jukung, sampai suasana itu kita bawa masuk ke pura. Luar biasa indahnya.

Sekarang rintangan itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, men-deru-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena

(10)

mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Piki-ran yang masih penuh marah, pikiPiki-ran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan.

Ketika saya masih walaka (sebelum menjadi Pandita Mpu), saya punya kisah yang bisa dike-nang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pas di hari Pemacekan Agung, puncak piodalan. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya ke-luar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab,

(11)

apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.

Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada do-rong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit karena ledakan penduduk. Dan manusia-manusia moderen sudah mempers-empitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono).

Namun, di luar kesulitan dan keruwetan itu, sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika men-gunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu.

(12)

Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau. Pura besar di Bali, apakah Pura Besakih atau Pura Lempuyang Madya semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Sejarah pura ini dimulai pembangunan phisiknya sampai pada siapa leluhur yang dipuja di sana. Kalau tidak, akan muncul generasi “anak mula keto” jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri.

Tantangan bagi kita semua untuk menerbitkan buku sejarah tentang pura, tentu termasuk di dalamnya tentang ketokohan Rsi Agung kita yang pernah berstana di pura itu, yang kini kita puja. Karena dengan cara itulah kita menjadi tahu, apa bedanya bersembahyang di kamar dengan bersem-bahyang jauh-jauh ke atas bukit di Pura Lempuyang Madya, misalnya. Sebagai umat Hindu kita me-mang memuja Tuhan (Hyang Widhi), tapi kita juga memuja leluhur, dan keduanya berbeda.

Apa perbedaan itu mari kita simak dalam tulisan selanjutnya.

(13)

Memuja Leluhur

Yang Mana?

A

gama Hindu memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memuja leluhur. Hormat kepada leluhur adalah hormat kepada kawitan, hormat kepada orang yang telah melahirkan kita, melahirkan ayah dan ibu kita, melahirkan nenek dan kakek kita.

Meski demikian dalam Bhagawadgita ada sloka yang menyebutkan, kalau kita memuja leluhur maka kita akan sampai ke alam leluhur, kalau kita memuja dewa akan menuju ke alam dewa, tetapi jika kita memuja Hyang Widhi maka kita akan menuju ke pada-Nya. Sloka ini menyiratkan bahwa pemujaan kepada leluhur beda dengan pemujaan kepada Istadewata dan berbeda pula dengan

(14)

pemu-jaan kepada Hyang Widhi. Perbedaan ini dipraktek-kan nyata di luar Bali.

Di Bali budaya lokal begitu kuat. Pemujaan kepada leluhur menjadi sangat dominan bahkan umat Hindu di Bali – terutama di masa lalu – lebih banyak memuja leluhur ketimbang memuja Hyang Widhi. Hanya belakangan setelah ritual keagamaan ditata dengan mendekatkan pada sastra agama, pemujaan kepada Hyang Widhi juga mendapatkan porsi penting. Caranya dengan menggabungkan rangkaian pemujaan itu.

Kalau kita mau kritis, cobalah dipertanyakan. Untuk memuja siapa kita datang bersusah payah ke Pura Dalem Sakenan? Memuja Tuhan atau memuja leluhur kita, Danghyang Nirartha, yang mewariskan pura itu? Untuk memuja siapa kita datang ke Pura Silayuksi, memuja Hyang Widhi atau memuja Mpu Kuturan? Pertanyaan ini bisa diteruskan dengan mengacu ke banyak pura. Pasti orang Bali akan bingung menjawabnya. Kalau di-jawab memuja Tuhan, kenapa harus jauh? Di rumah juga bisa. Kalau dijawab memuja leluhur,

(15)

salah-salah menjelaskan, rasanya belum memeluk agama, masih seperti sebelum  di mana Hindu Bali disebut “kepercayaan”.

Bagi yang paham perbedaan antara memuja le-luhur dan Hyang Widhi, juga punya sikap berbeda tentang siapa yang dipuja lebih dulu. Contoh bagus menjelaskan hal ini adalah di Pura Besakih. Ada orang yang datang langsung ke Padma Tiga (simbol pemujaan kepada Tri Murthi atau Hyang Widhi), setelah itu baru menuju Pura Pedharman untuk memuja kawitannya. Alasannya adalah Tuhan yang paling utama disembah, jangan yang lain. Tapi ada orang yang menuju Pura Pedharman lebih dulu, baru ke Padma Tiga. Alasannya, kita berbakti dulu kepada kawitan dan meminta restu Beliau sebelum memuja Hyang Widhi di Padma Tiga. Keduanya tidak bisa diperdebatkan karena kedua alasan ini ada rujukannya.

Nah, persoalan yang tajam di Bali dan perkem-bangannya sangat mengkhawatirkan adalah tentang siapa leluhur yang kita puja. Banyak orang Bali yang belakangan ini bingung lalu mencari-cari

(16)

kawitan-nya. Kebingungan yang sesungguhnya dibuat-buat, karena sebelumnya mereka sudah tenang dengan kawitan yang mereka puja itu. Namun karena ada masalah, entah ada keluarganya yang sakit atau apa, lalu mereka menemui “orang pintar” (balian) dan di sana bertanya siapa kawitannya. Ini ma-salah keyakinan, tak bisa diperdebatkan memakai rujukan kitab suci, sastra agama, atau globalisasi. Ketika balian menyebutkan kawitan yang mereka puja selama ini salah, dan harusnya memuja kawi-tan yang lain, keluarga itu pun menyempal dengan keluarga besarnya. Jika tak ada kesepakatan maka keretakan keluarga muncul dari sini. Banyak kasus begini di Bali.

Belum lagi persaingan antar soroh (klan) yang sesungguhnya bermuara kepada leluhur mana yang dipuja. Leluhur orang Bali itu sesungguhnya satu, ini ucapan yang sering dilontarkan Pedanda Gede Puniatmaja ketika masih walaka (Ida Bagus Oka Puniatmaja). Leluhur yang satu itu menurunkan banyak orang. Lalu orang Bali mencari-cari le-luhurnya yang pas untuk dirinya sendiri dengan berhenti pada satu nama (orang) leluhur.

(17)

Misalnya, ada leluhur bernama Arya Putih ber-saudara dengan Arya Hitam. Lalu sejumlah orang di masa lalu mengaku, kami keturunan Arya Putih (ini hanya umpama, tak ada Arya Putih) dan ber-dasarkan babad, Arya Putih adalah pendeta, maka keturunan kami semuanya wangsa brahmana. Kamu keturunan Arya Hitam (juga umpama saja), menurut babad Arya Hitam selama hidupnya tidak melakukan dwijati, maka keturunannya bukan brahmana. Kemudian Arya Hitam dan Arya Putih punya anak, punya cucu, yang keahliannya ber-beda-beda.

Orang Bali masa kini lalu mematut-matutkan le-luhur hanya pada seorang nama, entah itu Arya Hi-tam, Arya Putih, anak-anaknya, atau cucu-cucunya. Bukan leluhur pada satu kesatuan. Maka muncullah banyak wangsa atau soroh. Banyak pura kawitan dibangun. Fanatisme buta pada soroh membuat orang Bali pecah, yang merasa tinggi tak mau mebanjar jika ketua banjar dianggapnya rendah. Padahal siapa yang lebih tinggi dan lebih rendah, bukankah Arya Hitam dan Arya Putih termasuk anak dan cucunya, datang dari satu kawitan?

(18)

Konsep pemujaan leluhur dalam sastra Hindu adalah satu kesatuan, yang dipuja leluhur yang su-dah meninggal dunia dan amoring achintya (istilah umumnya sudah diaben). Dari yang paling rendah (ibu dan ayah) sampai pada kawitan yang paling luhur (utama), tanpa disekat-sekat nama. Karena itu dalam rong dua atau rong tiga, kita menstanakan leluhur dengan sebutan purusa dan pradana, laki dan perempuan, bukan menyebut Men Lanying, Pekak Mokoh atau nama lain. Tidak ada lagi stana untuk nenek, kumpi, buyut, arya ini, arya itu, mpu ini, mpu itu, danghyang ini, danghyang itu. Semuanya adalah leluhur. Pemujaan leluhur atau bhakti kepada kawitan intinya adalah persaudaraan dan kekerabatan. Semua manusia bersaudara, Bhaga-wadgita menyebutkan: Lokasamgraham eva ‘pi.

(19)

S

iapakah leluhur yang kita puja itu? Itulah yang oleh orang awam di Bali disebut den-gan Bethara. Jadi, yang disebut Bethara itu, dulunya adalah manusia biasa. Bukan Dewa, bukan pula Hyang Widhi atau Tuhan yang Maha Esa. Han-ya saja, sebutan kepada Bethara biasanHan-ya diberikan kepada orang-orang yang di masa lalu mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi. Mereka adalah para penyebar agama Hindu, para pandita, mpu, wiku, dan berbagai sebutan lainnya. Sampai saat ini pun jika ada Sulinggih (wiku atau pandita) yang wafat, setelah upacara pitra yadnya dilakukan sebutannya adalah Bethara. Adapun orang-orang biasa, sebu-tannya adalah Hyang Pitara.

Di mana Memuja

Bethara, Hyang Widhi

(20)

Para leluhur yang sudah menjadi Bethara inilah yang kita puja di berbagai pura yang ada. Pura Silayukti adalah tempat memuja leluhur kita yang bernama Mpu Kuturan. Pura Dalem Dasar Gel-gel tempat memuja Bethara Gana, karena beliau bernama Mpu Gana. Di Pura Lempuyang Madya tempat memuja Bethara Gni Jaya, karena dulunya beliau adalah Mpu Gni Jaya. Di Pura Pedharman Pasek Besakih, kita memuja Bethara Semeru yang juga sering disebut Bethara Ratu Pasek. Dulunya beliau adalah Mpu Semeru. Di Pura Sakenan, Uluwatu, Rambut Siwi, Pulaki, Tanah Lot adalah pura-pura untuk pemujaan Bethara Sakti Wawu Rauh alias Danghyang Nirartha, karena ini bekas peninggalan Beliau.

Itu adalah contoh pura yang besar, termasuk yang oleh warga Pasek disebut Catur Parhyangan (Besakih, Gelgel, Silayukti dan Lempurang Madya). Di pedesaan tentu masih ada puluhan pura untuk pemujaan leluhur. Umumnya, mereka tidak dikenal secara persis siapa nama beliau, bagaimana kisah kehadirannya di sana, dari mana asal-usulnya. Satu contoh misalnya Pura Manikgeni yang terletak di

(21)

Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan. Tak dikenal dengan pasti, siapa tokoh yang berstana di sana, namun diyakini bahwa Beliau adalah seorang dukuh yang sakti dan pernah menjadi penasehat Kerajaan Gelgel. Secara remang-remang disebutkan, Beliau pernah ikut memimpin penyerangan ke Lombok (tidak jelas tahunnya dan masa pemerintahan siapa), dan sepulang dari Lombok, kerajaan memberikan kenang-kenangan berupa kentongan besi. Sampai sekarang kentongan besi itu dilestarikan dan men-jadi salah satu pratima di Pura Manikgeni.

Dukuh ini diperkirakan membangun pesraman di lokasi tempat Pura Manikgeni yang sekarang, dan beliau kini dipuja – mungkin supaya lebih mudah menyebutkan – dengan sebutan Ki Dukuh Sakti. Piodalan pura ini berlangsung setiap Tumpek Landep.

Masih di Desa Pujungan, ada pura yang bernama Pura Manikterus. Di sini pun konon di masa lalu, berdiam seorang pendeta yang sangat dikagumi dengan mengayomi masyarakat etnis Cina. Setiap odalan di sana selalu ada orang kerauhan dengan

(22)

menggunakan bahasa Cina, meski “tapakan” itu tak pernah kesehariannya berbahasa Cina. Yang unik, di Desa Pujungan tak boleh – sebenarnya tak ada yang melarang – ada orang Cina yang menetap sebagai penduduk. Masyarakat keturunan Cina tinggal di Pupuan dan Pempatan, dua desa tetangga Pujungan.

Sudah disinggung tadi, karena itu adalah leluhur yang dulunya manusia biasa – tetapi orang suci – dalam setiap piodalan umumnya mereka “turun” mencari seorang tapakan atau dasaran. Ini masuk akal, karena Bethara itu bukan Dewa dan bukan Hyang Widhi, jadi bisa saja rohnya memasuki badan kasar seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Bahwa ada yang percaya atau tidak dengan kejadian seperti ini, tergantung masing-masing orang dan

desa, kala, patra.

Yang jelas, kalau statusnya Dewa atau Hyang Widhi tak mungkin “turun” dan mengambil badan orang yang disebut kerauhan itu. Tak mungkin ada orang kerauhan Dewa dan Hyang Widhi. Kitab suci menyebutkan, kalau Hyang Widhi atau Tuhan

(23)

itu turun ke bumi, itu karena terjadi sesuatu yang luar biasa untuk menyelamatkan umat manusia, dan sebutannya adalah Awatara (avatar).

Lalu, siapa Tuhan itu? Dan di mana kita memuja Tuhan? Kitab Brahmasutra I.I. menyebutkan:

Jan-madyasya yatah, Tuhan adalah dari mana asal mula

semuanya. Jadi, Tuhan adalah asal atau sumber dari seluruh alam semesta beserta isinya.

Tuhan adalah nama dalam bahasa Indonesia. Dalam Weda tak ada kata Tuhan. Yang ada Brahman.

Ekam evadvityam Brahman, arti bebasnya: Hanya ada

satu Tuhan, yakni Brahman. Tuhan juga disebut Sat (kebenaran yang mutlak). Misalnya, Ekam sat

vip-rah bahudah vadanti, artinya: ada satu hakekat Yang

Maha Kuasa (yang disebut) Sat, para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama.

Kata Hyang Widhi yang digunakan untuk pe-nyebutan Tuhan di Bali berasal dari kata Vidhi yang ditemukan dalam berbagai purana. Vidhi artinya pencipta. Hyang Widhi berarti Dia Sang Pencipta.

(24)

Tuhan tidak berwujud, tidak berjenis kelamin, memenuhi seluruh alam semesta. Tuhan ada di mana-mana, tak ada satu tempat pun di bawah kolong langit ini yang tidak dihuni oleh Tuhan. Mantram Gayatri yang merupakan “ibu segala man-tram” diawali dengan Om bhur bhwah swah. Artinya Tuhan yang memenuhi alam bawah atau jagat raya ini (bhur), yang memenuhi alam tengah (bhwah) , dan memenuhi alam atas atau angkasa (swah), Maha Agung Tuhan, Maha Besar Tuhan.

Kalau kita tahu Tuhan ada di mana saja dan ada di setiap saat, kita bisa memuja Tuhan kapan saja, tak peduli apakah hari itu rerahinan atau tidak, purnama atau tilem, Senin atau Kamis. Kita bisa memuja Tuhan di sembarang tempat, di kamar ti-dur, di ruang tamu, di kantor. Kita bisa melakukan Trisandya di manapun kita mau, sepanjang tempat itu memberikan pada kita suatu keheningan untuk mendapatkan konsentrasi pikiran.

Memuja Tuhan juga tak perlu dengan doa yang panjang, kalau memang waktu dan situasi tak

(25)

men-gizinkan untuk itu. Kita bisa memuja Tuhan dengan doa Gayatri saja, ini doa bait pertama Puja Trisand-hya yang sudah dijadikan “doa wajib” umat Hindu. Atau doa lebih pendek lagi – bahkan di dalam hati – dengan berjapa; Om nama siwa ya…

Kalau begitu mudahnya memuja Tuhan, lalu untuk apa membangun pura? Pura yang khusus memuja Tuhan cirinya adalah pura yang memiliki Padmasana dengan segala tingkatannya. Pura seperti ini sering disebut pura umum atau istilah kerennya Pura Jagatnatha. Yang berstana di sini sungguh-sungguh Tuhan adanya, bukan Bethara, misalnya. Lalu untuk apa lagi Tuhan distanakan? Tak ada lain adalah untuk menguatkan konsentrasi kita agar lebih dekat dengan Tuhan. Bahkan tak cukup di situ, masih juga diperlukan sarana penguatan konsentrasi lainnya, seperti pratima, baik pratima berupa patung maupun lainnya. Jadi kita tidak me-nyembah patung (dan sering oleh orang lain yang tak senang Hindu disebut menyembah berhala), semuanya itu adalah alat atau sarana saja.

(26)

konsen-trasi saja, tetapi juga sarana untuk sosialisai umat, tempat umat saling bergaul dan saling berkenalan, tempat umat mendapatkan pencerahan. Namun yang perlu diperhatikan adalah tidak semua pura itu tempat memuja Tuhan, karena banyak pura yang berfungsi memuja leluhur yang disebut Bethara. Ini yang harus dipahami oleh umat Hindu.

Yang menjadi masalah kemudian adalah memuja Tuhan dirasakan oleh sebagian umat sebagai sesuatu yang sangat luas atau sangat umum atau bahasa sek-arang sangat general. Padahal umat membutuhkan hal yang lebih spesifik, misalnya, ingin memuja Tu-han Tu-hanya sebatas untuk memohon perlindungan, ingin memuja Tuhan sebatas untuk memuliakan ilmu pengetahuan. Masih banyak contoh lain yang merupakan keinginan yang terbatas itu.

Nah, semua itu dalam konsep Hindu terwa-dahi dengan adanya Dewa-dewa atau dalam istilah Weda disebut Istadewata. Jadi, siapa Dewa itu dan bagaimana umat Hindu memuja para Dewa?

(27)

Jadi, dewa itu adalah sinar kekuatan sakti dari Tuhan Yang Maha Esa. Kalau kita ibaratkan Tuhan sebagai sinar matahari, maka sinar matahari yang beragam fungsi itu adalah para dewa. Kita memuja atau mencari sinar ultra fiolet, misalnya, atau ber-jemur mencari vitamin D, misalnya, tak lain adalah “memuja dan mencari” Tuhan itu sendiri. Sinar itu timbul karena ada (kekuatan) matahari. Kalau matahari tak ada sinar itu pun tak ada. Artinya, memuja dewa adalah juga memuja Tuhan, tetapi memuja Tuhan belum tentu memuja dewa seperti yang kita inginkan di dalam permohonan. Dewa diciptakan karena Tuhan ada, kalau Tuhan tak ada, maka dewa pun tak akan ada – begitu berpikir yang sederhana.

Lalu, kalau dewa adalah sinar sakti dari Tuhan, kenapa dewa diberi nama? Kenapa tidak disebut Tuhan saja? Tentu saja hal ini akan membuat rancu jika penamaan fungsional itu tidak ada. Di sinilah kebesaran ajaran Hindu yang menjangkau pikiran jauh ke masa depan. Dewa diberi nama untuk menjelaskan apa fungsi dan apa tugas dari “sinar sakti” itu.

(28)

Dalam menyebut nama, sungguh begitu ban-yaknya nama dewa. Ada ribuan nama dewa, karena semua isi semesta ini pada hahekatnya dikuasai oleh dewa – bukankah sinar matahari tak pernah pilih kasih dalam membagikan kekuatan sinarnya? Di Bali, Istadewata itu dikelompokkan untuk memudahkan umat menghayatinya. Misalnya ada Tri Murti, terdiri dari Dewa Brahma sebagai pen-cipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Siwa sebagai pemralina – mengembalikan ke asal usulnya. Trimurti ini kemudian terkelompok lagi ke dalam Dewa Nawa Sanga yang mengisi delapan penjuru angin dengan Siwa sebagai penguasa yang ada di tengah-tengahnya. Ke Sembilan Dewa Nawa Sanga itu juga memiliki pasangan yang disebut sakti (orang awam di Bali menyebut istri, ini salah, lebih tepat ardhanareswari). Misalnya, Dewa Brahma saktinya Dewi Saraswati, Dewa Wisnu saktinya Dewi Sri, Dewa Siwa saktinya Sada Siwa, Dewi Durga dan sebagainya.

Di luar kelompok itu masih banyak para dewa maupun para dewi. Nah, di mana para dewa ini dipuja? Ada pura khusus yang menjadi sarana

(29)

untuk memuja para dewa dan dewi itu. Trimurti dipuja di Tri Kahyangan. Pura Desa memuja Dewa Brahma, Pura Puseh memuja Dewa Wisnu, Pura Dalem memuja Dewa Siwa. Tentu dengan segala sakti-nya. Jadi, tak bisa dicampur aduk. Kalau kita bersembahyang ke Pura Dalem, jangan memuja Dewa Brahma di sana, demikian pula sebaliknya. Kalau kita sembahyang ke laut, sebut saja pada saat melasti atau menghanyutkan segala kekotoran ritual, pujalah Dewa Baruna, jangan memuja Dewi Laksmi, misalnya. Kalau kita sedang mempelajari Weda atau melakukan pewintenan yang pada ha-hekatkan menurunkan ilmu pengetahuan, pujalah Dewi Saraswati, bukan Dewi Durga, misalnya. Di Pura Prajapati tentu memuja Dewa Prajapati, bukan memuja Dewa Wisnu.

Dengan demikian, umat Hindu penting untuk mengetahui sebelumnya, ke pura mana melakukan persembahyangan sehingga tahu dewa mana yang akan dipuja, dan apa mantramnya.

Karena itu harus dipahami dulu apa “jenis” pura yang dikunjungi. Dalam prakteknya yang ada di

(30)

Indonesia khususnya di Bali (jika berbicara di India akan lain lagi masalahnya), jenis pura itu dikelom-pokkan menjadi empat kelompok.

Pertama, Pura Kawitan. Pemujaan yang di-lakukan di sini adalah memuja leluhur yang menjadi kawitan seseorang. Pura ini dipuja oleh umat yang berada dalam satu garis keturunan, semakin besar garis keturunan itu diambil, semakin besar fungsi pura itu. Pura ini biasa disebut — dimulai dari paling kecil – sanggah/merajan kemulan, pura panti, pura dadia, pura pedharman, pura kawitan. Sanggah atau merajan kemulan (di beberapa tempat disebut sanggah pekomelan), dipuja oleh keluarga yang satu kakek-nenek, bahkan belakangan pura jenis ini banyak lagi dipecah-pecah – tergantung kemampuan membuat pura dan tempat domisili, mungkin keluarga itu sudah berjauhan. Orang-orang yang tak ada hubungan dengan garis kakek-nenek itu, tak akan memuja ke sana.

Kemudian Pura Panti dan Pura Dadia adalah gabungan dari garis keturunan yang berbeda ka-kek-neneknya. Di atas Pura Dadia juga ada Pura

(31)

Dadia Agung, namun tak semua soroh/klan umat Hindu di Bali memiliki Dadia Agung.

Lalu Pura Pedharman dipuja oleh satu garis keturunan atau kawitan. Misalnya, warga Pasek yang tergabung dalam Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi memiliki Pura Pedharman di Besakih yang disebut Pura Catur Lawa Ratu Pasek. Warga lain juga banyak memiliki Pura Pedharman di Besakih, ada  pura Pedharman di komplek Pura Besakih. Orang-orang yang bukan warga bersangkutan tak bersembahyang ke Pedharman yang berbeda, mis-alnya, warga Arya tak akan sembahyang ke Ratu Pasek, demikian pula sebaliknya. Hampir sama dengan itu adalah Pura Kawitan.

Yang sangat penting dipahami adalah semua yang dipuja di sini adalah Bethara, yang merupakan leluhur. Bahwa kemudian di dalam Panca Sembah ada pemujaan ke Tuhan, itu dikarenakan leluhur umat Hindu amor ring achintya, jadinya rohnya me-nyatu dengan Tuhan – bukan berada di sisi Tuhan sebagaimana agama lainnya.

(32)

Kedua Pura Tri Kahyangan atau Kah­ yangan Tiga. Sesuai namanya terdiri dari tiga pura, Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura ini harus ada di setiap Desa Pe-kraman, bahkan syarat sebuah desa berstatus Desa Pekraman, salah satunya memiliki Tri Kahyangan. Di sini, seperti yang sudah diuraikan terdahulu, dipuja Trimurti. Brahma dipuja di Pura Desa, Wisnu dipuja di Pura Puseh dan Siwa dipuja di Pura Dalem. Orang-orang yang bukan berada atau menjadi warga di desa pekraman bersangkutan, tak akan bersembahyang di pura ini. Misalnya, warga Desa Pekraman Pujungan tak akan bersembahyang di Pura Puseh Desa Pekraman Pupuan, demikian sebaliknya. Dan ingat, yang dipuja di sini adalah Ist-adewata, bukan memuja leluhur. Karena para Dewa yang dipuja, otomatis pula Tuhan ikut dipuja.

Ketiga Pura Swagina. Jika memakai bahasa sekarang, pura ini dipuja oleh para professional dan yang dipuja adalah Istadewata sebagai Dewa Penuntun. Kelompok pemujanya adalah mereka yang memiliki profesi sejenis. Pura Subak dipuja oleh mereka yang profesinya petani, Pura

(33)

Melant-ing oleh para pedagang, demikian seterusnya. Kalau bukan pedagang, tak perlu bersembahyang di Pura Melanting. Jelas yang dipuja adalah Tuhan sebagai Dewa Penuntun sesuai bidang pekerjaan, dan bu-kan tempat memuja leluhur atau Bethara.

Keempat Kahyangan Jagat. Ini adalah pura yang dipuja oleh seluruh umat. Kelompok pura ini sebenarnya masih bisa dibagi berdasarkan kelompok lebih kecil. Misalnya kelompok Pura Kahyangan Padma Bhuwana. Keberadaan pura ini mengitari Bali dari segala penjuru angin. Pura itu adalah Besakih di timur laut, Lempuyang Luhur di timur, Andakasa di tenggara, Goalawah di selatan, Uluwatu di barat daya, Batukaru di barat, Puncak Mangu di baratlaut, Batur di utara dan Pusering Jagat di tengah-tengahnya. Kesembilan pura ini membentuk bunga padma (teratai) sebagai stana Hyang Widhi. Yang dipuja di sini tentu saja Tuhan Yang Maha Esa melalui Istadewata yang menghuni sembilan penjuru angin -- termasuk di tengah. (Di Nusantara, ada juga keinginan membuat Kahyangan Padma Bhuwana, namun sampai akhir 00 PHDI Pusat belum memutuskan secara resmi pura yang

(34)

digunakan sebagai Padma Bhuwana.)

Kahyangan Jagat di luar Padma Bhuwana itu adalah tempat pemujaan para Rsi yang berjasa di masa lalu, artinya pemujaan kepada leluhur atau Bethara. Seringpula pura ini disebut Dang Kahyan-gan. Pura itu misalnya Silayukti, Sakenan, Airjeruk, Tanah Lot, Rambut Siwi dan banyak lagi.

Termasuk Kahyangan Jagat adalah Pura Jag-atnatha yang mulai didirikan di setiap kota atau ibukota provinsi. Di Bali, kabupaten yang belum punya Pura Jagatnatha hanyalah Tabanan dan Ba-dung. Kenapa disebut Kahyangan Jagat? Karena siapa pun boleh melakukan pemujaan di sini, jadi ini pura bersifat umum, tanpa memandang dari desa mana, soroh/klan mana, bahkan suku bangsa, asalkan beragama Hindu. Uniknya lagi, sifat umum itu juga termasuk siapa yang dipuja. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa tentu sudah umum dipuja di sana, tetapi Istadewata pun bisa dipuja di sana asalkan bertepatan dengan waktu yang pas. Misalnya, di saat Hari Raya Saraswati, orang memuja Dewi Saraswati di Pura Jagatnatha, saat Siwaratri orang memuja Siwa di sana. Yang jelas, tak ada pemujaan

(35)

Bethara di Pura Jagatnatha.

Demikianlah dengan mengetahui jenis pura, kita tak tersesat dalam melakukan pemujaan. Kita bisa lebih fokus dan juga tidak salah kaprah. Pernah ada rombongan tirthayatra yang mengun-jungi Candi Cetho di Jawa Tengah, salah seorang berkata; “Wah, jauh sekali memuja Tuhan, dua hari perjalanan, padahal memuja Tuhan bisa di rumah di depan pelangkiran.”

Ini betul-betul salah kaprah, Candi Cetho ter-masuk pura leluhur karena di situ distanakan Prabu Brawijaya. Yang dipuja Bethara. Tentu saja untuk memuja Bethara Brawijaya orang harus datang ke Candi Cetho, untuk memuja Bethara Mpu Kuturan harus datang ke Pura Silayukti. Tentu tak elok semua Bethara dipuja dari sembarang tempat, kalau begitu tak usah memuja Bethara, cukup memuja Tuhan Yang Maha Esa saja.

(36)

B

agaimana kita melakukan pemujaan, baik kepada leluhur, Hyang Widhi, maupun memuja Hyang Widhi melalui Istade-wata? Pemujaan atau persembahyangan yang baik, tentu saja harus dituntun oleh seorang pemangku. Pemangkulah yang nganteb upacara dengan memo-hon tirtha terlebih dahulu, kemudian menyampai-kan maksud persembahyangan, lalu sembahyang bersama.

Namun, kalau tak ada pemangku, siapa pun boleh melakukan persembahyangan di sebuah pura asal minta izin kepada pemangku atau pengempon pura.

Untuk para pemangku, di sini akan diurai-kan secara singkat Agem-agem atau Gagelaran Pemangku. Setelah proses Gagelaran Pemangku

Gagelaran Pemangku

(Bisa Dipakai juga untuk

Bukan Pemangku)

(37)

ini diselesaikan, barulah nganteb persembahan dan mengajak pemedek (umat) melakukan persem-bahyangan bersama.

Namun, jika tak ada pemangku, mereka yang dituakan yang akan memimpin upacara, hendaknya tahu sedikit urutan persembahyangan, dan pakai saja Gagelaran Pemangku ini sebisa-bisanya den-gan catatan tidak memakai bajra. Mari kita ikuti Gagelaran itu.

PEMBERSIHAN DIRI

Duduk Berssila:

OM OM Padmasana ya namah

Cuci Tangan:

Om rah pat astray a namah

Berkumur:

Om Um rah pat astra ya namah

Memantrai Badan:

OM Prasada sthiti sarira siwa suci nirmala ya namah

(38)

Mengambil dan menghaturkan asap dupa:

OM ANG Brahma amretha dhipa ya namah OM UNG Wisnu amretha dhipa ya namah OM MANG Lingga purusa ya namah

Mengasapi badan:

Om Sri Guru jagat papebyo namah swaha NGARGA TIRTHA

Mengambil bunga dipegang kedua tangan diletakkan di depan dada, ucapkan Astra Mantra:

Om Um rah pat astra ya namah

OM Atma tatwa-atma suddha mam swaha OM OM Ksama sampurna ya namah OM Sri Pasupatye Hung Phat

OM Sriyam bhawantu OM Sukham bhawantu OM Purnam bhawsantu

Mengambil Genta dan diasapi:

Om Am dhupa astra ya namah

Memercikkan tirtha di genta

(39)

Memuja Genta:

OM Kara Sadasiwa stham, Jagat Natha hitang karah Abhiwada wadanyam, Ghanta sabdha prakasyate

OM Ghanta sabdha mahasrestah, Ongkara parikirtitah

Candra nada bhindu drestham, Spulingga siwa twam ca

OM Ghantayur pujyate dewah, Abhawa-bhawa karmesu

Warada labdha sandeham, Wara siddhi nih samsayam

Paliti Genta:

Om, Om, Om (tik ning)

Membunyikan Genta:

OM Ang Kang Kasolkaya Iswara ya namah

Ngaksama: (tangan kiri membunyikan genta, tangan kanan pegang bunga)

(40)

()

OM Ksama swamam mahadewa, Sarwa prani hitang karah

Mamoca sarwa papebhyah, Phalaya swa sadasiwa

OM Papoham papo karmaham, papa-atma papa sambhahwah Trahimam pundari kaksah, Sambhahya byantara suci OM Ksantawya kayiko dosah, Ksantawyo waciko mama Ksantawyo manaso dosah, Tat pramadat ksama swamam Om Hinaksaram hina-padam, Hina-mantram tathaiwanca, Hina-bhaktim hina wreddhim, Sada Siwa namo’stu te.

Om, Mantram hinam kriya hinam, Bhakti-hinam Maheswrah,

Yat-pujitam Mahadewam, Paripurna tad-astu-me.

(41)

()

OM Apsudewa pawitrani, Gangga dewi namo’stute Sarwa klesa winasanam, Toyane parisuddhaya te Sarwa papa winocini, Sarwa rogha winasa ya, Sarwa klesa winasanam, Sarwa bhogam ewapnuyat OM Sri kare sa-pahut kare, Rogha dosa winasanam Siwa-lokam maha-yaste, mantre manah papa-kelah

Om Siddhim tri-sandhya sa-pala, Sekala mala malahar

Siwa-amretha manggalan ca, Nadinidam namah siwa ya ()

OM Panca-aksara maha tirtham, Pawitram papa nasanam

(42)

Papa kotti sahasranam, Aghadam bhawet sagaram

OM Panca-aksara parama-jnanam, Pawitram papa nasanam

Mantram tam parama-jnanam, Siwa logham pratisthanam OM Namah siwa ya etyewam, Param Brahman atmane wandam Param sakti panca diwyah, Panca Rsi bhawed agni OM A-karas ca U-karas ca, Ma-karo windu nada kam Panca-aksara maya proktam, Ongkara agni mantrake OM Bhur Bwah Swah swaha

maha ganggayai tirtha pawitrani Ya namah swaha.

Gangga Puja: Dengan genta dan bunga

()

OM Gangga sindhu saraswati,

(43)

Tenaya carma wati wai nuka Badra netrawati maha suranadi, Kyata ca ya ghandaki punyah Purnam jalah samudra sahitah, Kurwantu te manggalam ()

Om Namaste Bhagawn Gangga, Namaste sitalambhwati,

Salilam wimalam toyam, Swayambhu tirtha bhajanam. Om Subhiksa hasta-hastaya, Dosa-kilbhisa nasanam, Pawitre su maha tirtham, Gangga thapi maho dadhi.

Om Wajrapani maha tirtha, papa-soka winasanam, Nadi puspa-laya nityam, Nadi tirtha taya priya. Om Tirtha-nadisca kumbhasca, Warna deha mahãtmanam, Muninam manggalesu ca, Ye wapi ca Dewokasah.

(44)

Ngurip tirta: pakai bunga tunjung, kalau tak ada kalpika atau bunga biasa. Tanpa bajra/genta, bunga dipegang dengan kedua tangan di sela mata.

OM OM I A KA SA MA RA LA WA YA UNG namo namah swaha

OM OM A RA KA SA MA RA LA WA YA UNG namo namah swah

OM OM kurmeda jaya jiwa sarira raksan dadasi me

OM Mjum sah wausat mrtyujaya ya namah

(kalau pakai bunga tunjung kurmeda diganti kumeda) Ambil bajra, bunyikan, ambil bunga:

Om Mretyunjaya dewasya, Yo namoni hanukerttiyet, Dirghayusam awãpnotu, Sanggrame wijaya bhawet.

Om, Atma-tattwãtma suddha ya mam swaha.

Masukkan bunga tadi ke dalam sangku, bajra tetap ber-suara, dilanjutkan lagi dengan memasukkan bunga satu persatu sesuai irama mantram di balik ini:

(45)

Om Prathama suddha, dwitya suddha, tritya sud-dha, caturti sudsud-dha, pancami susud-dha, sadmi sudha sabda, sapta ti sudha, Om suddha, suddha, suddha wariastu tat astu swaha

Ayuwerdi Stawa

Om Ayuwreddhi yaso wreddhi, wreddhi pradnyan sukha sriyam. Dharma santana wreddhisca, santute sapta wreddhayam. Ya ta mero sthito dewam, Ya wat Gangga mahitale, Candrako gagana yawat tawat twa wijayi bhawet.

Om Dirghayur-astu-tad-astu-astu, Om Awighnam-astu-tad-astu-astu. Om Subham-astu-tad-astu-astu. Om Sryam-bhawantu, Om sukham-bhawantu Om purnam-bhawantu.

(46)

menghadap pelinggih ke pelinggih – dengan As-tra ManAs-tra. ManAs-tram AsAs-tra ManAs-tra sudah ada di depan,

Memercikkan tirtha ke diri sendiri. Memakai basma, doa basma: Om Idam bhasmam param guhyam, Sarwa papa winasanam

Sarwa rogha prasamanam. Sarwa kalusa nasanam. Om Ang – di antara alis mata Om Ung – di dada

Om Mang – di tenggorokan luar.

Bagi seorang pemangku (pinandita), proses permohonan tirtha suci sudah selesai, jika ritual di atas dilakukan dalam keseharian, bisa dilanjutkan dengan Kramaning Sembah.

Jika ritual di atas untuk memimpin umat melak-sanakan upacara (di hadapan upakara) dilanjutkan dengan pelaksanaan pengeresikan seperti, Byaka-on, Durmenggala, Pengulapan, Prayascita. Tirtha

(47)

dipercikkan satu persatu ke arah pelinggih lalu ke banten upakara. Byakaonan dan Durmenggala ke arah pelinggih bagian bawah, Pengulapan dan Prayascita ke pelinggih bagian atas.

Lalu memohon “pesaksian” dengan memuja pada Akasa dan Ibu Pertiwi, setelah itu langsungkan pemujaan dalam bentuk sehe sesuai dengan bahasa yang dikuasai, apa tujuan persembahyangan itu. Jika itu menyangkut piodalan, tentu saja didahului dengan “nedunang Bethara” lengkap dengan segala prosesnya.

Seorang pemangku belum diperkenankan menggunakan lis gede, belum diperkenankan un-tuk membuat tirtha pemuput, oleh sebab itu tirtha pemuput dimohonkan (istilahnya “nuwur”) di de-pan pelinggih sesuai tingkatan upakara, misalnya, kalau di merajan gunakan tirtha pemerajan.

(48)

P

uja Stawa yang ada di dalam buku ini, hanya untuk kepentingan praktis memuja leluhur (Bethara), Hyang Widhi dan Istadewata yang hakekatnya juga memuja Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam beberapa puja sengaja disebutkan lebih dari satu sloka (bait) dengan maksud bisa dipilih bait mana yang disukai atau mudah dihafal. Yang penting, utamakan dulu bait pertamanya. Tidak semua sloka harus diucapkan, karena pemujaan seperti ini sifatnya adalah pujian, sehingga pujian (puja-puji) bisa diulang-ulang sebagai rasa bhakti kepada para Istadewata.

Akasa Stawa dan Pretiwi Stawa umumnya adalah puja untuk Pesaksian. Jika ada upacara yang sedikit besar, sebelum melakukan puja-puja persembahan,

Berbagai

Puja Stawa

(49)

ucapkan Akasa Stawa dan Pertiwi Stawa untuk pesaksian:

Akasa Stawa

OM Akasa nirmalam sunyam, Guru dewa bhyo mãntaram, Siwa nirmalam wiryanam, Rekha Ongkara wijayam.

OM Meru srengga candra prabham, Siwa layam murti wiryam,

Dhupam huwanam timirañca, Amretha bhumi candra prabham. OM Dewa dewi murti bhuwanam, Wyomãntaram murti wiryam, Candra lokam dhupa bhuwanam, Guru dewa murti wiryam.

(50)

Pretiwi Stawa

OM Prethiwi Srinam dewam, Catur dewi maha wiryam, Catur asrama Bhatari,

Siwam bhumi maha siddhyam dewam. OM Ripurwani Bhasundari,

Siwapatni putra yoni, Uma Durga Gangga Gauri, Indrani Camundi dewi. Brahma bhatari Waisnawe, Komari Gayatri dewi.

OM Sri-dewi ya namah swaha.

Puja Memuja Leluhur

Tiga Guru Stawa

OM Dewa dewi tri Dewanam, Trimurti trilinggãtmakam, Tri Purusa suddha nityam, Sarwa jagat pratisthanam .

(51)

OM Guru purwam Guru dewam, Guru madhyam Guru tattwam Guru pantaram Dewam, Guru dewa suddha atmakam. OM Brahma Wisnu Iswara dewam, Jiwãtmanam tri lokanam,

Sarwa jagat pratisthanam, Sarwa rogha wimurcatam, Sarwa wighna winasanam.

OM, Ang, Ung, Mang, Paduka Guru bhyo namah swaha.

Kawitan Stawa

(Puja untuk memuja leluhur Warga Pasek)

Om Siwa rsi maha tirtham, Panca rsi Panca tirtham, Sapta rsi catur yogam, Lingga rsi maha linggam. Om Rsi dartah mahãmrtham, Rsi raksa tamam nityam,

(52)

Nama kastha-kastha Brahmanam, pasupati Guru Siwam.

Om Manik agni Jayasca dewam, Siwa ageng Agnijaya anugrahakam Pasapati Pasupati anugrahakam,

Agnijaya Jagatnatha anugrahakam Om Pasupati Brahma Manik jatyam, Sarwa amrtha anugrahakam

Sumerusca, Saganasca, De Kuturan, Bradasca, Sarwãmrtha hanugrahakam.

Om Panca rsi Sapta rsi

Paduka Guru bhyo namah swaha.

Untuk Memuja (di pura warisan) Pedanda Sakti Wawu Rawuh

Om Dwijendra purwanam siwam, Brahmanam purwantisthanam Sarwa dewa masariram, Surya mertha pawitranam

(53)

Puja Stawa untuk

Hyang Widhi

Giri Pati Stawa (untuk Sad Kahyangan) Om Giripati Dewa-dewi,

Lokanatha jagatpati,

Sakti manta maha wiryam, Jñana manta Siwãtmakam. Om Iswara dibya caksu, maha padma namo namah, Ghore-ghore maha suksmam, Adi dewa nama namah.

Om Maha rodhram maha suddham, Sarwa pãpa winasanam,

Maha murti maha tattwam, pasupatye namo namah. Om Mahadewa Sangkaranca, Siwa Sambhuh bhawãstuti, Maheswara Brahma Rudrasca, Siwa Isana ya namo namah.

(54)

Kahyangan Stawa

Om Indragiri murti dewyam, Lokanatha Jagatpati,

Sakti wiryam Rudra murti, Sarwa Jagat pawitranam. Om Girimurti trilokanam, Siwa murti Prajapati,

Brahma Wisnu Iswara dewam, Sarwa Jagat prawaksyamam. Om Surya dewa Mahadewa, Siwa agni tejo maya,

Siwa Durga kali sira, Sarwa Jagat wisyãntakam. Tri Bhuwana Stawa

Om Parama Siwa twam guhyam, Siwa tattwa paroyanah,

Siwasya pranato nityam, Candis ca ya namo’stu te.

Om Niwedyam Brahma Wisnusca, Dewa Bhokta Maheswaram,

(55)

Sarwa wyadi nala bhakti, Sarwa karyan prasiddhantam. Om Jayarthi jaya-apnuyat, Yasarthi yasa apnoti, Siddhi sakala apnuyat, Parama Siwa ya labhati

Om Parama Siwa ya namah swaha.

Puja di Pemrajan, Panti, Pedharman Om Brahma Wisnu Iswaram dewam, jiwatmanam tri lokanam

Sarwa jagat pratisthanam, suddha klesa winasanam Puja di Pura Desa Om Isano sarwa widyana, Iswara sarwa bhutanam Brahmane dhipati Brahman, Siwastu Sadasiwa ya

(56)

Puja di Pura Puseh Om Giripati maha wiryam, Mahadewa pratistha lingam Sarwa dewa pranamyanam, sarwa jagat pratisthanam Puja di Pura Dalem Om Catur dewi mahadewi, catur asrame bhatari

Siwa jagat pati dewi, Durgha masariram dewi Puja di Padmasana

Om Akasa nirmalam sunyam, guru dewa bhyomantaram Siwa nirbhana wiryanam, rekha Ongkara wijayam Puja di Pura Segara

Om Nagendra krura murtinam, gajendra matsya waktranam Baruna dewa masariram, sarwa jagat suddha atmakam

(57)

Puja di Pura Batur, Ulun Danu, Ulun Carik

Om Sri danba dewika bawyam, sarwa rupa wati tasya

Sarwa jnaka miti datyam, sri sri dewi namastute

Puja Hyang Ardhanareswari

(juga dipakai saat Panca Sembah)

Om nama dewa adisthanaya, sarwa wyapi wai siwa ya Padmasana eka pratisthaya, ardhanareswaryai namo namah

Puja di Pura Melanting

Om Ung Dewa suksma parama sakti ya namo namah swaha

Om Ung Giripati ya sukla dewi, Sing Kling tiksna ya namah swaha

Ing Ang Swabhawa dewi sukla dewi maha sakti ya namah swaha

(58)

Puja Stawa untuk Istadewata

Kelompok Dewata Nawasanga

Iswara Stawa

Om Giri murti sweta warnam, meru rajata bhaswaram

Purwa desa pratistanam, purwa Iswara arcanam

Om Sarwa sweta suddha nityam, Bhusana ratna swetanam,

Mani Surya sweta warnam, Surya kotti prabha jwalam Om Iswara dewa sa linggam, Sarwa dewa pranamyakam, Puruso sweta pawitram, Santha jñana suddha nityam. Om Iswara dewa murtinam, Wighna klesa winasanam, Sarwa duhka wimurcatam, Sarwa wyadhi nirantaram.

(59)

Om Iswara dewa murtinam, Sarwa pãpa praharanam, Swasthi dam sarwa roghanam, Labhati bala wiryanam.

Om Iswara dewa salinggam, Swa sariram praja dipam, Sarwa duhka winasanam, Sarwa jagat suddha nityam. Om Mang, Iswara dewãrcanam, Bhoga-urdhwa phala bhukti, Sridhanam ca sadhanakam, Wirya bala jiwãtmakam. Mahesora Stawa

Om Maheswara murti lokam, agneya lingga arcanam

Sarwa usadhi nugranam, Weda mantra siddhi yogam

Om,Suksma murti amrtha jiwam, Bhuwana loka pawitram,

Sarwa narãnugrahakam, Jagat wighna pratisthanam.

(60)

Om Dharmosadi nugrahakam, Amrtha bhumi maha wiryam Moksanam sarwa pãpebhyah, Purna jiwam jagat trayam. Om Sarwa klesa winasanam, Sarwa marana muktaye, Maheswara dewa wiryam, sarwa wyadhi nirwaranam.

Om Nugranam yuwatim dewam, Dirghayusa Jagatpurnam,

Wreddhi guna ya yadnyanam, Sarwa lokãmrtha jiwam. Om Laksmi dewi gara dewi, Giri putri candra-prabham, Amrtha candra pawitram, Sarwa jagat pratisthanam. Om Namah Siwa ya dewanca, Sarwa dewa suddha nityam, Maheswara murti bhuwanam, Sarwa rogha wimurcatam.

(61)

Brahma Stawa

Om Ang Brahma namas catur mukham, Brahmagni rakta warnanca

Sphatika warta dewata, sarwa bhusana raktakam Brahma Prajapati Stawa Om Namaste bhagawan Agne, Namaste bhagawan Hare Namaste bhagawan Isa, Sarwa bhaksa Uttasana.

Om,Tri-warno bhagawan Agnir, Brahma Wisnu Maheswarah, Santhikam paustikam cai wa, Raksanañca bhicarukam.

Om Brahma Prajapati sresthah, Swayambhur warado Guruh, Padma-yonis catur-waktro, Brahma sakalam-ucyate.

Om Namo’stu bhagawan Agni, Sarwoktena Uttasanah,

(62)

Wajra sara maha sara, Dipto agnih jjwalanas tatha. Om Sarwa pãpa prasamanam, Hiranya garbha sambahwam, Lokam ca sarirañca,

Sukham agnih pramucyate. Rudra Stawa

Om Rudra dewa murti lokam, giri ratna rakta warnam

Agni sakala murtinca, Yama desa masarnam

Om Sarwa wighna masariram, Sarwa rogha bhasmi swastham, Dur-manggalam dusta cittam, Sarwa bhicari moksanam. Om Rudra dewa agni jwalam, Sarwa bhaksa Huttasanam, Murti-murti Rudra murti, Brahma Wisnu Maheswaram.

(63)

Om Anugraham jiwitam dewam, Dirghayu Jagat sampurnam, Wreddhi gunam jaya jñanam, Sarwa lokãmrtha jiwam.

Om Rudra dewa agni murtiyam, Sarwa bhaksa maha rodram, Yamapati Mrtyu dewa, Sarwa satru winasanam .

Om Ang Kalãgni Rudra jwala ya namah. Om Siddhir astu ya namah swaha.

Mahadewa Stawa

Om Namostute Mahadewa, pita warna Mahadewa Padmasana Mahadewa, Saci dewi samostute

Om Dewa dewa mahadewa, Catur bhja Rudatmakam, Pita warna Mahadewa, Meru kancana bhaswaram.

(64)

Om Pascima pratistha linggam, Ratna tejo pita warnam,

Surya prabham maha wiryam, Sarwa Dewati dewanam. Om Sapta dware Mahadewam, Sapta Ongkara murtinam, Bhusanam sarwa dewanam, Ratna kancana pradiptam.

Om Maha rodram Mahadewam, Surya kotti prabhaswaram, Bhusanam sarwa bhuh lokam, Sarwa dewa namãskaram

Om Meru sapta swarga dewam, Siwa Rudra murti sriyam, Sarwa kanaka bhuktanam, Bhusanam sarwa dewatam. Om Mahadewa puja nityam, Dhupanam sarwa bhuh lokam Sarwa bhicara manggalam, Sarwa dusta winasanam.

(65)

Om Giri murti Mahadewa, Pasupati putro dewam, Sarwa jagat pawitranam, amrtha pitãnugrahakam. Om Jagat wighna winasanam, Sarwa Dewa pratisthanam, Suddha suddha sarwa klesa, Sarwa praja sukha sriyam.

Om Sri dewam suddha sa linggam, Amrtha sadhana manggalam

Bhoga wiryam udanakam, Rogha dosa winasanam. Sangkara Stawa

Om Giri dewa ratna wiryam, Syama rupam murtgi bhwanam Sangkara dewa salinggam, Sarwa dewa pranamyakam

Om Jaya wijaya murtinam, Suddha jñanam amrtha jiwam, Amrtha bhumi pawitranam, Sarwa papa winasanam.

(66)

Om Tri-mandhala pratisthanam, Bhuta Pretha mandiraksam, Sarwa jagat purna jiwam, Sarwa wighna winasanam. Om Sangkara dewa murtinam, Wayabyanca pratisthanam, Sarwa jagat awitranam, Amrtha bhumi anugrahakam. Om Bhuh loka mandhala purnam, Sangkara dewãnugrahakam,

Dirghayu bhuwana sampurnam, Sarwa marana moksanam. Wisnu Stawa

Om Ung namo Wisnu tri mukhanam, Tri nayanam catur bhuyam

Kresna warnam sphatikantam, Sarwa bhusana nilanam

Wisnu Stawa untuk Tirtha Om Prenamya sirase Wisnu, Triloke Brahma Sawitri,

(67)

Iswara loka pawitra, Bhayam nasti kadacanam. Om Kuwera priti dhanasca, Karni ksatriya purusa,

Sambhu mulya ta suksma ya, Ripu bhasmi durwinasa.

Om Sangkara Sang Hyang Sri-dewi, Para lingga tri sudewa,

Bhasmi bhuta durwinasa, Kreta rogha durwinasa. Om Rudro trinayana dewo, Bhayam asti kapawitram. Bhaya klesa winasa ya, Bhasmi klesa trikayatah.

Om Siwo Rudra tri nayanah, Suksma Suryãmrthani,

Siwasca candram mah punyam, Jayam satru winasanam.

Om Aditaya-aditaya. Suksma taya maya-maya,

(68)

Suksma taya aditaya, Siwa Rudra maya-maya. Om Ang, Amrtha ya namah. Om Sudha-suddha namah Siwa ya. Om Sarwãmrtha-aditaya.

Om Siwa-lingga purusa nama Siwa ya. Om Ardhanareswarebhyo namah.

Om Salila sarwãtmane ya namah swaha.

Wisnu Stawa Tirtha Pengelukatan

Om Wisnu Wisnu rahade triyade, Sri Wisnu prajapati ksetra

Waraha kalpa pratama, carana lala yuga

Kala mangsa kala dite yoga nasksatra nitaye Wadhakti palam prapti kama naya

Sarwa prayascita karisye

Om sobhagyam astu tat astu astu swaha Sambu Stawa

Om Airsanyam dewa prathistam, Sambu dewa murti lokam

(69)

Sarwa tatta suddha nityam, kawya jnanam siddhi wakyam Om Suksma murti sakti jnanam, Sarwa mantre yoga nityam Sarwa jagat pratisthanam, Rogha dosa winasanam.

Om Amrtha jnanam anugrahakam, Amrtha bhumi prakirtitam

Uma dewi ghara dewi, Mukti sriya bhoga murtaye.

Om, Ksatriya wibhuh murti wiryam, Bhiksukam weda paragam

Sarwa jagat wreddhi bhogam, Sarwa dewa ma sariram. Siwa Stawa

Om Namah Siwa ya sarwa ya, Dewa dewa ya wai namah Rudrasya bhuwanesaya, Siwa rupa ya wai namah

(70)

Om Twam Siwas twam Mahadewah, Iswarah ParameSwarah,

Brahma Wisnusca Rudrasca, Purusah Prekirttis tatha. Om Prethiwi salilam twam-hi, Twam-agnir wayur ewa ca, Akasam twam param-sunyam, Sakalam-niskalam tatha.

Om Namo Siwa ya namah swaha.

Kelompok Shakti

Uma Stawa

Om Parwati twam namasyami, Rudra patim tapasinim,

Dayawatim suddhãsanam, Istãnugraha karinim.

Om Gauri Umam namasyami, Rudra deha diwasinim,

Yasa swinim gunawatim, Bhaktãnugraha karanim.

(71)

Om Satim saktam namasyami, Bhawanim bhakta waksalam, Guhya syabha Hari-dewi, ubhyam nityam namo namah. Om Uma-dewaya namah swaha. Kuwera Stawa

Om Brahma Wisnu Iswara Rudra, Rudra-dewa ya wai namah,

Wisnu Sangkara bhupati, Dewa-diwya ya wai namah. Ong-kara Sada Siwam-dewam, jagatam sarwa pujanam,

Upayam sadhana smertham, Suci dewa Sri Sadhanam.

Om Kawatam anugraha smertham, Kanya-wati Siwa rupam,

Dandopadrawa sampurnam, Kretta bhuwana sada-smertham. Om, Kuwera-dewa ya namah swaha.

(72)

Saraswati Stawa

Om Saraswati namãstu bhyam, warade kama rupini,

Siddhãrambhan kari syami, Siddhir bhawantu me sada. Om Pranamya sarwa dewanca, paramãtmanam ewa ca,

Rupa siddhi prayukta ya, Saraswati namamy aham. Om Padma-patra wisalaksi, Padma kesari warnini, Nityam padma laya dewi, Samam pa-tu Saraswati. Om Brahma putri mahadewi, Brahmanya rahma Nandini, Saraswati samjñayani, Pranayana Saraswati,

Om Sang Saraswati sweta warna ya namah. Om Bang Saraswati rakta warna ya namah. Om Tang Saraswati pita warna ya amah.

(73)

Om Ang Saraswati kresna-warna ya namah. Om Ing Saraswati wiswa-warna ya namah. Sri Stawa

Om Sri dewi maha waktram, Catur warna catur bhujam, Pradnya wiryam saro jñeyah, Cinta manir uru smertham. Om Sri Tandhuli Mahadewi, Sri-mati komala sobhitah, Dadasi me maha bhogam, sarwa drawya hiam labham. Om Sri-Wrihi makuta jiwam, Twam sarwa bhuwanandhari, Dadasi me sukha nityam, Jiwitam dhatu kancanam. Om Dhana rajñi twam dewi, Pradnya tanduli samjñikah. Mani ratnãsana nityam, Sarwa ratna gunãnwita.

(74)

Laksmi Stawa

Om Namaste astu mahaa maaye, Shrii pitthe surapuujite

Shankha chakra gadda haste, Mahaa Laksmi namo stute Om Namaste garuda aruudhe, Kola asura bhayangkari

Sarwa paapa hare dewi, Mahaa laksmi namo stute Om Sarwagne sarwa warade, Sarwa dustha bhayangkari Sarwa dukha hare dewi, Mahaa Laksmi namo stute Om Siddhi buddhi prade dewi, Bhukti mukti pradaa ayini Mantra muurte sadda dewi, Mahaa Laksmi namo stute

Om Aadyanta rahite dewi, Aadi shakti maheswari Yogaye yoga sambhuute, Mahaa Laksmi namo stute

(75)

Om Sthuula suukshma mahaa raudre, Maha shakti mahodare

Mahaa paapa hare dewi, Mahaa Laksmi namo stute Om Padmaasana sthite dewi, Para brahma swaruu pini Parameshi jagan maataha, Mahaa Laksmi namo stute

Om Shweta ambarad hare dewi, Naanaa alangka ara bhuushite Jagat sthite jagan maataha, Mahaa Laksmi namo stute

Sadasiwa Stawa

Om Siwa jagat pati dewam, Sadasiwa mam pramanan Mertha manggalam pawitram, sarwela mala sampurnam

(76)

Istadewata Penguasa Semesta

Surya Stawa

Om Adhityasya paramjyoti, rakta teja namostute

Sweta pangkaja madhyastha, Bhaskaraya namostute

Om Aditya garbha pawana, Aditya dewa raja twam, Aditya twam gatir asi, Aditya caksur ewa ca. Om,Aditya jata wedasah, Aditya janopa Suryah, Surya rasmir Hrsi kesa, Surya-sattwam maha-wiryam. Om Hrang, Hring, Sah, parama Siwãditya ya namah.

Samudra Stawa

Om Namah Siwa ya sarwa ya, Dewa-dewa ya wai namah,

(77)

Rudraya bhuwanesa ya, Siwa waruna ya namah.

Om Sapta mudram Siwam garam, jaladhi-tasik garayam,

Rudra ya bhuwanesaya, Waruna Siwa sampurnna.

Om Hrang,Hring,Sah, Sri Samudra guru bhyo namah swaha.

Segara Stawa

Om Gangga-puruso wiryanam, Brahma mandhala Waisnawam, Gangga rantãngkara dewi, Brahma murti tri-lokanam. Om Jala nidhi murti lokam, Bhumi matsya maha ghoram, Bharuna dewam ca Dewanam, Lembu haro Hari-murti. Om Jala siddha maha Sakti, Sarwa siddhi Siwa tirthah,

(78)

Siwãmrtha manggalan ca, Sri dewi Jagat pawitram.

Om Namah Siwa ya wai namah, Nama Wisnu dwarçswarah, Prabhu wibhuh mahãmrtham, Sarwa pataka sampurnam. Ananta Bhoga Stawa

Om Ksiti dewi Ananta bhogam, Nugranam janadhi lokam,

Suddha lara tri lokanam, Amrtha bhumi nugrahanam. Om Nagendra-dewa murtinam, Sapta-patala pratistham,

Sarwa Jagat sangghanakam, Suddha purna tri-lokanam. Om Amrtha bhogãnugrahakam, Sarwa wisa wimurcatam,

Dewa-dewa maha suksmam, Sarwa wighna winasanam.

(79)

Ganapati Stawa

Om Gana parama twam guhyam, Gana tattwa parayanah,

Gana pranata labhanam, Sukha Gana namo’stu te. Om Asuci sarwa pawitram, Sarwa karya suci mukti, Bhukti Gana mahottama, Dewa sukha paripurnam. Om Tesu karti maha gana, Mataras te sukha karyam, Etana sarwa apunyat, Suddha Dewa paripurnam. Om Tesu karti maha trepti, Mataras te Bhatarakah, Etasam sarwa dewanam, Treptãyuyam bhawantu te.

Ghanapati Stawa untuk Pewintenan Om Ghana pati rsi putram,

(80)

Bhuktyantu Jagat tri lokam, Suddha purna Sariranam. Om Sarwa wisa winasanm, Kala Durga durgi pati, Marana mala murcyate, Tri-Wristi pangupa jihwa, Om Gangga Uma stawa-siddhi, Dewa Ghana guru putram, Sakti wiryam loka Sriyam, jayati labha anugrahakam. Om Astu-astu ya namah swaha.

Ganapati Gayatri (Gayatri Ganesa) OM Ekadanta ya widmahe

Waktratundaya dimahi, Tanno dantih pracodayat

OM Gana parama tvam guhyam, Gana tattva parayana,

Gana pranata labhanam, sukha Gana namo’ stute.

(81)

OM Asuci sarva pavitram, Sarva karya suci muktim, Bhukti Gana mahottarna, Deva sukha paripurna, OM Ganapati Rsi putram, Bhuktyantu veda tarpanam, Bhuktyantu jagat trilokam, suddha purnam sariranam. OM Sarva Visa vinasanam, Kala Durga Durgi pati, Marana mala mucyate, Trivristi pangupajiwam. Agni Stawa

Om Giripate dewa-dewa, Loka natha jagat pate Sakti mantam maha wirya, jnana watam Siwatmakam Candra Stawa

Om Candra mandala sampurna, candor yam te pranamyate

(82)

Candradhipa param jyotir, namas candra namostute Danu Stawa

Om Indra giri putri wiryam, Sri Gangga Uma Dewi ca Saraswati wiryam diwyam, mertha bhumi suddha jiwam Durgha Stawa

Om Durgha murti panca griwam, kalika wahana diwyam

Krura rupam agni jawalam, kala murthi Rudramakam Gangga Stawa

Om Apsu dewa pawitrani, Gangga dewi namostute Sarwa klesa winasanam, toyane parisuddyate Indra Stawa

Om Dewa-dewa maha sidham, yajnikanam phalam idam

(83)

Laksmih siddhisca dirhayur, Nirwighnam tu sukhakrti Kumara Stawa

Om Namah Kumaraya sad anamaya, Sikhi dhwajaya pratimaya loke Sad krttikananda karaya nityam, mamostu rajawara pujitaya Pasupati Stawa

Om Namaste bhagawan Wisnu, Namaste bhagawan Hare

Namaste bhagawan Krsna, jagat raksa namostute Prajapati Stawa

Om brahma prajapati sretah, swayambhur warade guruh Padma yonis catur waktro, brahma sakalam ucyate Samodaya Stawa

Om Samodaya ma siwaya, nara asta ma sanggaya

(84)

Namaste wahyakasaya, sarwa sarwa namostute Baruna Stawa

Om Baruna ya pita purusaya, pinggalaya babhru mayaya Musala sula wajra panaye, pritisanaya tasmai waruna ya Basuki Stawa

Om Indra giri murti lokam, nagendra sakti wiryawam Basuki dewa murtinam, sarwa dewa sama sukham Bayu Stawa

Om Prana bayu murti bhwanam, mukha sthanam pratisthanam Siddhi yoga wakyam wajre, sarwa mantre siddhi puja

(85)

Memandang Agama

dengan Kekinian

Tiga tulisan berikut ini adalah sebuah ulasan yang meli-hat agama dari kaca mata kekinian. Agama tidak semata ritual, tetapi juga punya konteks hubungan horizontal. Kebetulan ketiga tulisan ini berkaitan dengan memuja dan memuliakan leluhur.

Yang pertama soal Hari Raya Galungan, yang kedua Hari Raya Kuningan, dan ketika bagaimana kita “membaca” bhisama kawitan jika dihadapkan dengan persoalan masa kini.

Ketiga tulisan ini dibuat semasih saya walaka dan belum medwijati sebagai sulinggih. Semoga bisa me-nambah wawasan, terutama berkaitan dengan pemu-jaan kepada leluhur.

(86)

D

i tahun-tahun 0-an, Hari Raya Galungan menghadirkan kesibukan tersendiri pada Ibu saya. Sehabis melak-sanakan persembahyangan ke berbagai Pura dengan sesajen Galungan yang penuh buah dan makanan, beliau lantas mengemas buah-buahan dan makanan yang hampir sama dengan yang dipersembahkan ke Pura. Tapi kali ini, buah dan makanan yang dibung-kus rapi dan dimasukkan “penarak” itu, “dipersem-bahkan” kepada tiga keluarga yang beragama Islam, yang sudah menetap lama di kampung kami.

Ketiga keluarga Muslim itu adalah penjual sate keliling di kampung kami, berasal dari Madura dan hidup sangat sederhana. Karena sudah lama

Memaknai

Hari Raya Galungan

dalam Era Kekinian

(87)

bermukim di kampung kami, ketiganya pun sudah tercatat sebagai “banjar pekraman” dengan kewa-jiban-kewajiban tertentu, minus yang menyangkut ritual Hindu. Sesekali saya menyertai ibu saya ke sana — karena salah satu anak keluarga Muslim itu teman sekelas saya di SD — dan saya merasakan persaudaraan yang sejati. Senyum persahabatan, tak ada sekat-sekat karena perbedaan agama. Ketupat mereka sama, cuma cara sembahyang mereka yang tak sama.

Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan

dharma melawan adharma. Di setiap agama ada

hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di Hindu, hari kemenangan bisa ditentukan sendiri oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena itu, hari kemenangan umat Hindu yang budaya lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang bukan budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dhar-ma itu dirayakan dengan nadhar-ma Hari Raya Wijaya Dasami. Rangkaian upacara pun selama 0 hari, seperti halnya Galungan menuju Kuningan yang juga berangkai 0 hari.

(88)

Di hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu menghadirkan kekuatan spritual agar bisa dan mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana yang berupa kebena-ran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan (dewa sampad).

Lontar Sunarigama menulis: Budha Kliwon

Dun-gulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.

Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk me-lenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi inti perayaan ini adalah menyatukan kekua-tan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran yang terang inilah wujud dari dharma itu sendiri, sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran terang itu muncul, umat Hindu saling mendatangi

(89)

tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang kini dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu dilakukan keesokan harinya, saat Manis Galungan, karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita oleh mengadakan persembahan kepada leluhur di berbagai Pura yang ada.

Sekarang, adakah tali silaturahmi itu terus di-lakukan? Tentu masih ada, khususnya di kalangan umat yang sama, Hindu. Bagaimana dengan jalinan ke luar umat? Kalau pun masih dilakukan, saya menduga kadarnya itu mulai berkurang. Ibu saya telah tiada, tak ada keluarga di kampung saya yang mewariskan kebiasaan “ngejot” ke “nyama selam” itu. Keluarga penjual sate dari Madura itu pun telah pindah, tetapi “nyama selam” bukan berarti tak ada. Mereka ada yang berjualan bakso, bubur kacang hi-jau, makelar kopi, dan sebagainya. Hubungan mer-eka dengan masyarakat Hindu setempat tak lebih dari hubungan bisnis. Tak ada hari raya keagamaan yang bisa lagi dirasakan secara bersama-sama. Ga-lungan adalah milik Hindu, Lebaran adalah milik Islam, Natal adalah milik umat Kristiani. Masing-masing berjalan dalam sekat-sekatnya tersendiri.

(90)

***

Kenapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu untuk menyapa. Kenapa ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan. Kenapa jemari ini tidak bisa menunjuk setiap kebaikan. Kenapa jemari ini harus menunjuk dalam sarung?

Sepenggal puisi dalam film terbaru Garin Nu-groho, Puisi Tak Terkuburkan, ini secara tepat sekali mempertanyakan banyak hal dalam hubungan adanya sekat-sekat di berbagai masyarakat yang majemuk ini. Umat Hindu tak mengetuk pintu umat Muslim di hari Raya Galungan untuk men-gantarkan sekedar makanan dan buah-buahan, karena adanya kekhawatiran, apakah cara-cara itu bisa diterima sekarang ini? Juga umat Muslim tak mengetuk pintu umat Hindu di hari Raya Idul Fitri untuk bersalam-salaman sambil mengucapkan Minal Aidin Walfaizin, karena apakah itu perlu kalau bukan seiman? Sudah sejak lama ada perde-batan di kalangan masyarakat akar rumput, apakah umat Islam boleh atau tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada umat Kristiani? Apakah seorang

(91)

penganut Hindu mengucapkan: Asalamualaikum kepada seorang penganut Islam, diterima dengan kebesaran jiwa dan perasaan lapang, ataukah dicibir sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak perlu? Sebaliknya, apakah seorang penganut Hindu akan membalas sapaan Om Swastyastu yang disampaikan umat beragama non-Hindu, atau justru bersikap curiga?

Ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan,

karena kita memandang sekat-sekat yang ada, teru-tama masalah agama, sebagai sesuatu yang meng-hambat tali silaturahmi. Agama yang mengajarkan perdamaian dan menebarkan kasih sayang untuk sesama manusia, ternyata mulai dikotori oleh niat untuk menghimpun semakin banyak pengikut di masing-masing agama itu sendiri. Target jumlah pengikut ini menjadi tujuan utama dan ini mela-hirkan sekat-sekat yang ekslusif. Kecurigaan pun lahir: apakah kebiasaan yang dilakukan ibu saya di dua dasawarsa yang lalu, tidak malah dicurigai sebagai menghindukan orang Islam? Kecurigaan seperti ini pada akhirnya memang mendapatkan alasan, karena ada banyak kejadian belakangan

(92)

ini, sumbangan dari kelompok agama tertentu selalu diimingi-imingi “target”: suatu saat yang menerima sumbangan itu mau mengikuti agama si penyumbang. Mereka umumnya mendalihkan bahwa kegiatan mereka itu sejalan dengan ajaran agamanya, sebagai agama misi.

Padahal semua agama adalah agama misi, hanya cara dan tekanannya yang berbeda. Hindu pun agama misi. Kalau tidak, untuk kepentingan apa agama ini masuk ke Nusantara ini. Salah satu sloka dalam Yayur Veda berbunyi:

Yathenam wacam kalyanim, awadai janebhyah, Brah-mana Rajanyabhyam, Cudra ya caryaya ca, Swaya carana ca (YV. XXV.)

Artinya: Biar KUajarkan pengetahuan suci ini (maksudnya Veda) kepada orang banyak, kaum Brahmana, Ksatria, Sudra dan Wasiya, dan bahkan kepada orang asing sekalipun.

Sepanjang gerakan agama diarahkan untuk mendapatkan sebanyak pengikut, dan bukan tujuan luhurnya sebagai menyebarkan perdamaian dan

Referensi

Dokumen terkait

Hal lain yang menarik adalah walaupun Ibnu ‘Arabi menerima kepercayaan lain terhadap Tuhan, namun pada sisi lain ia tetap mengakui bahwa kepercayaan terhadap Tuhan yang dibawa