• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harmonisasi Pendidikan Karakter Berbasis Multikultural 153

Dalam dokumen KEPEMIMPINAN KARAKTER BERBASIS MULTIKULTURAL (Halaman 167-175)

bahwa semua peserta didik meskipun berbeda-beda agama, gender, status sosial, suku, ras atau karakteristik budayanya wajib memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama untuk belajar di sekolah. Untuk itu, berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan.

Semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan pendidikan karakter bernuansa multikultur, maka akan semakin

lestari pengembangan program tersebut. Pendidikan multikultural adalah “upaya reformasi sekolah secara total dan terencana dalam rangka meningkatkan pemerataan pendidikan untuk berbagai budaya, etnis, kelompok agama dan strata ekonomi” (Vavrus, 2006:

1).

Dalam rangka pemerataan pengembangan dan penguatan pendidikan karakter berbasis multikultural perlu usaha-usaha untuk menjaga keharmonisan kegiatan pendidikan dan juga kerukunan di dalam keragaman warga sekolah. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan keharmonisan dilakukan upaya-upaya yang disengaja untuk mengembangkan potensi keragaman yang dimiliki oleh sekolah. Pada situs satu, situs dua dan situs tiga dalam rangka menjaga keharmonisan proses pembelajaran dan juga kerukunan warga sekolah dan masyarakat sekitar, maka dilakukan usaha-usaha sebagai berikut:

1. Keharmonisan pendidikan karakter berbasis multikultural melalui proses pengalaman di masyarakat dan pendidikan di sekolah.

Keharmonisan dalam upaya penguatan pendidikan karakter berbasis multikultural di sekolah akan lebih maksimal dan terjaga jika sekolah mampu menyerap proses penguatan karakter berbasis multikultural yang dilakukan pada lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Hal itu bisa terjadi jika dalam menyusun institusional kurikulum di semua jenjang pendidikan mengadopsi nilai-nilai pluralitas kedaerahan dengan prinsip menjunjung tinggi khazanah budaya nasional dan kearifan lokal.

Hasil penelitian Rohman & Wiyono (2010) menyatakan bahwa di era reformasi dan otonomi daerah saat ini sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up approach)”.

2. Kebijakan kepala sekolah dalam rangka penguatan pendidikan karakter harus memihak kepada semua agama.

Hal terpenting dari penguatan pendidikan karakter peserta didik berbasis multikultural adalah kebijakan dalam pengelolaan pendidikan. Kebijakan-kebijakan kepala sekolah akan menjadi pegangan dan acuan serta dasar pembiayaan yang sah bagi pengelolaan penddikan karakter berbasis multikultural. Selain itu juga sekaligus sebagai cermin keseriusan, kemauan, dan kemampuan kepala sekolah untuk membangun keharmonisan bagi penguatan pendidikan karakter bagi semua peserta didik yang multikultural. Noorhead (2010) berpendapat bahwa keberagaman budaya dapat menjadi sumber penting dari sinergi dalam meningkatkan efektivitas organisasi. Jumlah organisasi yang mulai mengapresiasi nilai keberagaman semakin bertambah, namun organisasi yang mengetahui cara mengelolanya masih sangat sedikit.

3. Implementasi gaya kepemiminan secara dinamis

Seorang pemimpin pada level apapun di sekolah yang memiliki warga multikultural harus mampu mempengaruhi dan membawa warga sekolah kepada penguatan karakter bagi semua warganya yang memiliki berbagai perbedaan. Untuk itulah seorang pemimpin tidak hanya menggunakan satu gaya kepemimpinan, tetapi harus menggunakan multi gaya. Gaya kepemimpinan yang dinamis sebagai upaya menanggulangi kendala utama pendidikan dengan basis multikultural yaitu prasangka. Oleh karena itu, perlu kerja keras untuk menghilangkan prasangka diantara sesama warga sekolah maupun diantara pimpinan dengan warga sekolah. Hal itu merupakan salah satu upaya untuk menjadi pemimpin yang memiliki kompetensi multikultural (Connerlyy dan Pedersen, 2005: 15). Bagi seorang pemimpin, kebiasaan prasangka terhadap latar belakang agama, suku ras dan budaya harus dihilangkan, dalam arti bukan menghilangkan kepemimpinan yang religius sebab pemimpin religius bukan berarti tidak multikulturalisme. “Pemimpin religius bukan berarti pemimpin anti agama lain” (Buchan. 2013 : 105).

4. Antara pendidik harus saling mendukung kegiatan pembentukan karakter spiritual dan sosial.

Efektivitas dari pembentukan karakter para peserta didik yang multikultral dapat tercapai jika para pendidik kompak dan saling mendukung, utamanya dalam hal menjaga kehormatan, harkat dan martabat para pendidik. Gerakan pertama para pendidik adalah selalu menunjukan rasa hormat dan saling menghargai diantara pendidik. Hal itu akan terlihat oleh peserta didik bahwa para pendidik punya sikap yang baik dan semua pendidik memiliki integritas dan kredibelitas yang menjadi kurikulum tersembunyi bagi pembentukan karakter para peserta didik.

Kekompakan dan kebersamaan para pendidik menunjukan sikap kooperatif merupakan pembelajaran bagi peserta didik untuk meningkatkan perkembangan moral peserta didik, sebagai mana hasil penelitian Tichy yang diangkat oleh Liddell (2008) bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dan teknik spesifik konstruktif dapat menjadi alat ampuh untuk meningkatkan moral peserta didik. Lickona, dkk (2007) menekankan bahwa selain melibatkan orang tua dan anggota masyarakat sebagai mitra penuh dalam proses pembangunan karakter, menjalin kerjasama antar pendidik juga sangat penting.

5. Setiap pendidik agama memiliki nilai-nilai ajaran agama dalam menegembangkan karakter sosial multikultural.

Sue & Madonna (2005 : 224) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan keharmonisan saat bekerja pada organisasi multikultural perlu diciptakan kondisi penting yang harus ada dalam organisasi untuk menjadi lebih multikultural, yaitu:

(1) komitmen multikultural harus datang dari tingkat paling atas, (2) memiliki kebijakan tertulis, pernyataan misi, atau pernyataan visi yang membingkai konsep multikulturalisme dan keragaman, (3) memiliki tindakan multikultural dan keragaman berencana dengan tujuan yang jelas dan garis waktu,

(4) akuntabilitas multikultural harus dibangun ke dalam sistem dan individu harus bertanggung jawab atas mencapai tujuan dari keragaman dan multikulturalisme, (5) memiliki pengawasan tim yang diberdayakan untuk menilai, mengembangkan, dan memantau organisasi pengembangan sehubungan dengan tujuan multikulturalisme. Tim harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, merumuskan, dan melaksanakan inisiatif multikultural, (6) organisasi harus takut/khawatir, untuk itu harus aktif mengumpulkan umpan balik dari karyawan terkait dengan isu-isu ras, budaya, gender, etnis, dan seksual orientasi, (7) kompetensi multikultural harus dimasukkan ke kriteria evaluasi dan digunakan untuk mempekerjakan dan promosi karyawan, (8) mengakui monitoring sensitif budaya, (9) memiliki komitmen untuk jangka panjang sistematis dan berencana untuk mendidik seluruh tenaga kerja menyangkut isu-isu keragaman.

D. Potensi Konflik Multikultural Pendidikan Karakter Berbasis Multikultural

Keragaman dan perbedaaan dalam kehidupan di dunia merupakan suatu kenyataan yang seharusnya terjadi. Keragaman membuat sesuatu menjadi indah, dinamis dan harmonis. Pada sisi lain keragaman suku, agama dan budaya memiliki daya sensitifitas yang tinggi sehingga rentan dengan gesekan dan konflik bahkan sampai kepada kerusuhan. Pada situs satu, situs dua dan situs tiga yang memiliki warga sekolah multikultral ditemukan bahwa konflik multikultural dalam pendidikan karakter akan cepat terjadi jika pendidik atau pendidik bersikap dan mengeluarkan kata-kata yang mengandung unsur melecehkan agama lain. Sehubungan dengan itu, Suryaman (2010) mengungkapkan hal itu sebagai kelemahan pelestarian budaya sekolah yang multikultural berdasarkan temuan di lapangan dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) peningkatan SDM atau Sumber Daya Manusia, terutama pendidik yang kurang;

(2) latar belakang pendidikan pendidik; (3) kelemahan dari diri

peserta didik sendiri sehingga tidak siap menghadapi fenomena geger budaya.

Potensi konflik sensitifitas multikultral kalau tidak di antisipasi secara dini akan berakibat fatal dan meluas sebagaimana terjadi di Malaysia pada tahun 1969 yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan antar rasial (Chang 2011). Kerusuhan Sampit tahun 2001 juga terjadi sebagai akibat dari perkelahian peserta didik antar suku yang meluas menjadi perang antar suku (blogspot.com). Dalam konteks ini, Tilaar (2004: 1992) berpendapat bahwa pendidikan multikultural di Indonesia harus di arahkan kepada pembinaan pribadi-pribadi multikultral yang saling menghargai dan menyesuaikan diri serta terbiasa dengan perbedaan. Oleh karena itu, sekolah harus merumuskan visi yang mengandung nilai-nilai moral multikultral.

Dari hasil penelitian ditemukan juga bahwa potensi konflik multikultral pendidikan karakter muncul sebagai akibat masuknya orang baru yang anti multikulturalisme dan paham yang bertentangan dengan multikulturalisme. Pada kasus ini Ki Hajar Dewantara (1977) mengemukakan bahwa setiap negara terdiri dari beberapa kelompok atau golongan, dan setiap kelompok atau golongan memiliki sifat, keyakinan dan kepercayaan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk memahamkan perbedaan-perbedaan kelompok atau golongan itu agar menjadi harmonis. Setiap orang yang berbeda suku, agama dan budaya harus saling menyesuaikan diri, saling memahami dan menghargai perbedaan. Matsomoto (2000) menemukan bahwa untuk menghindari konflik multikultural orang dari budaya yang berbeda harus belajar mengasosiasi budaya khusus, situasi dan kejadian pada ranah psikologis yang menghasilkan emosi yang positif.

Pada sisi lain dalam penelitian ini ditemukan bahwa potensi konflik multikultural pendidikan karakter disebabkan pengelompokan berdasarkan satu suku, agama pada warga multikutural sehingga menimbulkan persaingan dan lebih mementingkan kelompok

masing-masing. Hal itu juga menyebabkan terbaikannya kelompok lain, utamanya minoritas. Thomas (2006) mengemukakan temuan penelitiannya bahwa sekolah tidak efektif untuk beberapa anak-anak dari kelompok ras, etnis, agama dan budaya minoritas, karena praktek kelas tidak cocok dengan latar belakang budaya mereka.

Usaha-usaha untuk menyama-ratakan penguatan pendidikan karakter terhadap semua peserta didik yang berlatar belakang agama, suku dan budaya berbeda tidak tercapai dengan baik. Pengelompokan berdasarkan agama, suku atau golongan akan memunculkan egoisme golongan, egoisme kelompok dan hal itu akan menghilangkan nilai-nilai pancasila dalam dunia pendidikan.

Rukiyati (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa Semboyan Bhinneka Tungal Eka harus dijadikan sebagai dasar perumusan pendidikan multikultural di Indonesia dalam rangka mengantisipasi egoisme kelompok atau golongan. Meskipun berbeda tetapi tetap bersatu untuk kemajuan, bersama saling peduli dan saling mendukung. Secara tegas Degeng (2013) menyatakan bahwa paradigma keseragaman dan paradigma behavioristik yang menekankan kompetitif dan kurang bersahabat harus dihilangkan.

BAB VI

PENUTUP

Dalam dokumen KEPEMIMPINAN KARAKTER BERBASIS MULTIKULTURAL (Halaman 167-175)