• Tidak ada hasil yang ditemukan

∇ · ( ¯¯ ψ¯γψ) ¯∇ · ( ¯ψ¯γψ)

− δT S 2

∇ · ( ¯¯ ψ¯γτ ψ) ¯∇ · ( ¯ψ¯γτ ψ) . (2.11)

Pada penelitian ini, Kami hanya fokus pada Lagrangian non-retardasi saja karena efek dari suku retardasi sangat kecil, yakni kurang dari 1 persen pada energi ikat seperti yang telah dibahas pada Ref. [28-30]. Sehingga Lagrangian yang digunakan pada penelitian ini adalah

L ≈ Lkinetik+ Lnon−retardasi

= ψ(iγ¯ µµ− m)ψ −αS

2 ( ¯ψψ)2− αV

2 ( ¯ψγµψ)2− αT V

2 ( ¯ψγµτ ψ)2 + δS

2

∇( ¯¯ ψψ) · ¯∇( ¯ψψ) + δV 2

∇( ¯¯ ψγµψ) · ¯∇( ¯ψγµψ) + δT V

2

∇( ¯¯ ψγµτ ψ) · ¯∇( ¯ψγµτ ψ). (2.12)

Pada penelitian ini Kami menggunakan parameter set PC-F1, dimana nilai kopling konstan αT S, dan δT S nol [10].

2.2 Hartree-Fock

Untuk mengkuantisasi suatu sistem, kita merubah variabel sistem menjadi operator, L → ˆL , yakni

L =ˆ ψ(iγˆ¯ µµ− m) ˆψ − αS

2 ( ˆψ ˆ¯ψ)2− αV

2 ( ˆψγ¯ µψ)ˆ 2− αT V

2 ( ˆψγ¯ µτ ˆψ)2 + δS

2

∇( ˆ¯ ψ ˆ¯ψ) · ¯∇( ˆψ ˆ¯ψ) + δV 2

∇( ˆ¯ ψγ¯ µψ) · ¯ˆ ∇( ˆψγ¯ µψ)ˆ + δT V

2

∇( ˆ¯ ψγ¯ µτ ˆψ) · ¯∇( ˆψγ¯ µτ ˆψ). (2.13)

Relasi Dirac braket antara operator memenuhi Relasi anti-komutasi terpenuhi, jika dan hanya jika, bentuk eksplisit operator pada persamaan tersebut adalah

dimana ˆc dan ˆc merupakan operator anihilasi dan kreasi.

Keadaan dasar dari A Fermion dinyatakan dengan determinan Slater

0i =

A

Y

α=1

cα|0i . (2.17)

Dengan menggunakan determinan Slater dan dengan mensubstitusikan persa-maan (2.13), dan relasi berikut,

Φ0 kita akan memperoleh harga ekspektasi (rata - rata) dari kerapatan Lagrangian yakni

D

Φ0| ˆLHartree−F ock0

E

= ¯Lkinetik+ ¯Ldirect+ ¯Lexchange, (2.19) dengan suku kinetik, direct, dan exchange sebagai berikut

kinetik =

Penulis mengaplikasikan identitas Fierz pada Lagrangian exchange, untuk me-nyusun (re-order) fungsi gelombang supaya berurutan. Kami mengasumsikan sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, yang sesuai dengan tabel berikut

S(x) Vµ(x) Tµν(x) Aµ(x) P (x) Paritas S(˜x) Vµ(˜x) Tµν(˜x) −Aµ(˜x) −P (˜x) Inversi Waktu S(−˜x) Vµ(−˜x) −Tµν(−˜x) Aµ(−˜x) −P (−˜x)

Tabel 2.1: Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu.

dimana S, Vµ, Tµν, Aµ dan P adalah:

S(x) = ψ(x)ψ(x),¯ Vµ = ψ(x)γ¯ µψ(x), Tµν = ψ(x)σ¯ µνψ(x),

Aµ = i ¯ψ(x)γ5ψ(x). (2.21) Karena sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, maka su-ku yang tidak invarian (sesuai tabel diatas) harus nol. Susu-ku yang mengan-dung komponen ruang, misal γi, tidak invarian terhadap paritas, dan suku yang mengandung komponen, misal γ5, tidak invarian terhadap inversi waktu.

Setelah mengaplikasikan identitas Fierz2, akan didapat gabungan suku non-derivatif Lagrangian direct dengan Lagrangian exchange dari hasil identitas Fierz, yakni

LHartree−F ock∝ −α˜S

2 ρ2S− α˜V

2 ρ2V − α˜T S

2 ρ2T S− α˜T V

2 ρ2T V, (2.22) dengan definisi densitas

ρS(x) =

A

X

α=1

ψ¯α(x)ψα(x),

ρV(x) =

A

X

α=1

ψ¯α(x)γµψα(x),

ρT S(x) =

A

X

α=1

ψ¯α(x)τ ψα(x),

ρT V(x) =

A

X

α=1

ψ¯α(x)γµτ ψα(x), (2.23)

dan redefinisi dari kopling konstan adalah:

˜

αS ≡ 7

S−1

V − 3 2αT V,

˜

αV ≡ −1

S+5

V − 3 4αT V,

˜

Untuk suku derivatif Lexchange, suku yang invarian setelah dikelompokkan men-jadi3

dengan definisi kopling konstannya adalah sebagai berikut

δθ =  δS

Dengan demikian, Lagrangian yang diperoleh setelah mengaplikasikan identi-tas Fierz menjadi

LHartree−F ock = Lkinetik + Ldirect+ Lexchange,

Lexchange = Lsymmetry + Lnon−symmetry . (2.26) Suku non-symmtery merupakan suku yang tidak invarian terhadap paritas dan inversi waktu, dan kontribusinya diabaikan. Suku symmetry adalah suku yang invarian terhadap paritas dan inversi waktu (sesuai dengan tabel 2.1).

Suku symmetry yang mengandung γ5 diabaikan karena kontribusinya sangat kecil dibandingkan dengan suku yang lain. Transformasi yang dilakukan pada Lagrangian didekati hingga orde (v/c) saja, sedangkan untuk orde yang lebih tinggi (orde ketiga, (v/c)2 dan seterusnya) diabaikan karena kontribusinya ke-cil. Suku yang mengandung γ5 berada pada orde ketiga terhadap kecepatan, sehingga kontribusinya bisa diabaikan. Dengan demikian Lagrangian sistem yang diperoleh yakni disini digunakan tetapan isospin τ3, untuk proton (p) bernilai +1 dan netron (n) bernilai -1.

Materi nuklir adalah keadaan hipotetik dimama jumlah nukleon, A, sangat banyak dan menempati ruang yang luas. Dengan jumlah nukleon, A → ∞, dan

kita dapat menggunakan limit termodinamika sebagai:

dimana ν merupakan faktor degenerasi, ν = (2s + 1)(2I + 1), dengan s adalah spin dan I adalah isospin. Untuk kasus umum, dimana jumlah proton, z, tidak sama dengan jumlah netron, n, degenerasi hanya spin saja, ν = 2. Seperti kita ketahui, fungsi gelombang pada Lagrangian mempunyai bentuk eksplisit

ψk(x) = Ukeikx , (2.30) dengan Uk adalah isospinor dengan bentuk matriks

Uk = Dengan mensubstitusikan persamaan (2.29) dan (2.30), kita dapat menuliskan Lagrangian sistem sebagai berikut

¯ konstan terhadap turunan posisi, x. Sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, sehingga komponen ruang pada Lagrangian tersebut (γi) harus nol, dan suku yang bertahan hanya γ0 saja.

Untuk memperoleh persamaan gerak sistem, kita aplikasikan persamaan Euler-Lagrange pada Lagrangian tersebut

∂L

∂ ¯Ukp − ∂µ ∂L

∂(∂µkp) = 0,

(2.34) misal untuk proton terlebih dahulu, akan didapat

(k/ − m)Ukp− ˜αSUkpρpS− ˜αVγ0Ukpρp0 − ˜αT SUkpρpS3− ˜αT Vγ0Ukpρp3− δθ

mp = m + ˜αS ρpS+ ˜αT S ρpS3+ δθ Dengan demikian, kita juga bisa menuliskan persamaan gerak untuk netron yakni Dengan menggunakan persamaan tersebut, kita dapat memperoleh kerapatan Hamiltonian sistem

Dengan menggunakan relasi E =˜

q

kF2 + m∗2 , (2.41)

dan normalisasi spinor, UkUk = 1, maka diperoleh

p,nkin = 1

disini digunakan pendekatan pada suku ¯ρS yakni nilai massa pada saturasi m ≈ 0, 6m. Dengan demikian, kita dapatkan persamaan energi ikat sistem

E

P = ρ20

∂ρ0

  ρ0

 , K = g ρ202

2ρ0

  ρ0



. (2.45)

dimana pada saturasi EA= -16 MeV, tekanan bernilai nol (P = 0).

Untuk materi nuklir simetrik dimana jumlah proton sama dengan jumlah netron (z = n)

Ukp = Ukn= Uk → ρp0 = ρn0, ρpS = ρnS, ρS = ρpS+ ρnS = 2ρpS,

ρ0 = ρp0+ ρn0 = 2ρp0, ρS3= ρpS− ρnS = 0,

ρ3 = ρp0− ρn0 = 0 . (2.46)

Sehingga persamaan energi ikat sistem menjadi

E

A = 

ρ0 − m, E

A = kin ρ0 − 1

2 α˜S ρ2S ρ0 +1

2 α˜V ρ0 +1

2 δλ ρ¯0− m, (2.47) dengan

m = m + ˜αS ρSθ

2 ρ¯S. (2.48)

Pada bab berikutnya akan kami diskusikan efek suku exchange secara kuanti-tatif.

Diskusi

Pada penelitian ini penulis membandingkan model point-coupling dengan kon-stanta kopling bergantung kerapatan dengan memperhitungkan suku exchange (diperoleh dari pendekatan Hartree-Fock), dengan model point-coupling stan-dar (pendekatan Hartree). Suku exchange tersebut muncul ketika melakukan kuantisasi pada Lagrangian (Hartree) untuk memperoleh harga rata-rata dari Lagrangian pada keadaan dasar (Hartree-Fock), baik dari suku non-derivatif (isoskalar-skalar, isoskalar-vektor dan isovektor-vektor) maupun dari suku de-rivatif. Dalam penelitian ini diasumsikan tidak ada kontribusi anti partikel.

Hal yang dibandingkan antara lain pada kasus materi nuklir simetrik (symme-tric nuclear matter) dan materi nuklir asimetrik (asymme(symme-tric nuclear matter), yang paling ekstrim yakni pada materi netron. Disamping itu, penulis meme-riksa pada keadaan kerapatan tinggi dan rendah, serta memememe-riksa seberapa besar pengaruh suku tambahan yang muncul jika dibandingkan dengan model yang sudah ada. Disini penulis menggunakan konstanta kopling dari parameter set PC-F1 [10].

Kopling konstan Nilai Dimensi αS -3.83577 ×10−4 MeV−2 βS 7.68567 ×10−11 MeV−5 γS -2.90443 ×10−17 MeV−8 δS -4.1853 ×10−10 MeV−4 αV 2.59333 ×10−4 MeV−2 γV -3.879 ×10−18 MeV−8 δV -1.1921 ×10−10 MeV−4 αT V 3.4677 ×10−5 MeV−2 δT V -4.2 ×10−11 MeV−4

Konsekuensi memperhitungkan suku exchange, yang diperoleh melalui tran-sformasi Fierz, ialah muncul suku tambahan dengan kopling konstan baru pada Lagrangian Hartree-Fock. Konstanta kopling yang muncul setelah dilakukan transformasi Fierz pada suku exchange yakni ˜αT S, δθ, δγ, δλ dan δϕ, dengan masing-masing definisi

˜

αT S = −1

S−1

V + 1 2αT V, δθ = δS

4 + δV + 3δT V, δγ = δS

4 + δV − δT V, δλ = δS

4 −δV

2 − 3δT V 2 , δϕ = δS

4 −δV

2 +δT V

2 . (3.1)

Jika kita perhatikan, kopling konstan yang baru (hasil dari pendekatan Hartree-Fock) merupakan kombinasi dari kopling konstan yang ada. Apabila kita meli-hat tabel set PC-F1, jelas untuk kopling konstan isovektor-skalar (berhubung-an deng(berhubung-an meson δ) adalah nol. Selain itu, kontribusi suku tambah(berhubung-an pada massa efektif nukleon juga diperhitungkan, seberapa besar kontribusinya pa-da materi nuklir simetrik pa-dan materi netron ditunjukan papa-da gambar-gambar 3.1-3.8.

Gambar 3.1: Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi nuklir simetrik; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik.

Gambar (3.1) menunjukkan energi ikat per nukleon dan massa efektif se-bagai fungsi kerapatan. Kurva warna merah (baik pada kurva energi ikat per nukleon dan massa efektif) merupakan hasil yang diperoleh dari model point-coupling dengan pendekatan Hartree dengan parameter set PC-F1 [10]. Pada kasus materi nuklir simetrik, kontribusi suku exchange pada energi ikat per nukleon terlihat mulai sekitar kerapatan 0,15 fm−3, dan terlihat cukup jelas pada kerapatan 0,4 fm−3 pada Gambar 3.1. Pada kerapatan rendah hingga ke-adaan saturasi, kurva keduanya saling bersinggungan pada daerah yang sama (warna merah dan biru). Dari perhitungan didapat energi ikat pada materi nuklir simetrik pada keadaan saturasi dengan pendekatan Hartree-Fock (de-ngan suku exchange) ialah -16,59 MeV. Nilai tersebut sedikit lebih kecil 0.42 MeV dari model standar dengan pendekatan Hartree, yakni -16,17 MeV. Un-tuk massa efektif nukleon, baik model dengan pendekatan Hartree maupun Hartree-Fock, hasil yang didapat dari keduanya sama. Sehingga jika dilihat pada Gambar (3.1) sebelah kanan, hanya kurva warna biru saja yang terlihat karena kurva keduanya saling berhimpit. Kita dapat menyimpulkan kontribu-si dari suku exchange pada massa efektif nukleon sangat kecil sekali, sehingga bisa diabaikan.

Gambar 3.2: Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi netron. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi netron;

Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon di materi netron.

Gambar 3.2 merupakan kurva energi ikat per nukleon pada materi netron (sebelah kiri) dan massa efektif nukleon (sebelah kanan). Pada kurva energi ikat per nukleon, warna hijau adalah hasil dari model standar, dan warna

bersinggungan. Namun saat kerapatan semakin membesar, kenaikan energi ikat pada pendekatan Hartree-Fock terlihat lebih cepat dari model dengan pendekatan Hartree saja. Pada ρn bernilai sekitar 0,04 fm−3, energi ikat per nukleon model Hartree bernilai sekitar 4 MeV sedangkan model Hartree-Fock bernilai sekitar 16 MeV.

Apabila kita meninjau massa efektif dari kedua model, baik model stan-dar maupun model dengan memperhitungkan suku tambahan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk model point-coupling dengan konstanta kopling bergantung kerapatan standar dengan pendekatan Hartree, massa efektif ne-tron dan proton tidak bisa dibedakan (garis warna merah). Hal tersebut dapat terlihat dari persamaan massa efektif model standar dengan pendekatan Har-tree

mn,p = m + αSρS. (3.2) Namun untuk model dengan memperhitungkan suku exchange, terlihat per-bedaan yang jelas antara massa efektif netron (warna biru) dan massa efektif proton (warna hijau). Hal tersebut bisa terlihat dengan jelas dari persamaan massa efektif dengan pendekatan Hartree-Fock berikut

mn,p= m + ˜αS ρS∓ ˜αT S ρS3θ

2 ρ¯S∓δγ

2 ρ¯S3. (3.3)

Gambar 3.3: Energi ikat per nukleon terhadap rasio kerapatan netron dan kerapatan saturasi.

Pada Gambar 3.3 menunjukkan hubungan energi ikat per nukleon pada materi netron terhadap rasio kerapatan netron dan kerapatan saturasi. Saat

nilai rasio kerapatan mulai membesar, nilai energi ikat per nukleon semakin meningkat. Namun kenaikan energi ikat terhadap rasio kerapatan pada mo-del dengan pendekatan Hartree-Fock (warna hijau) lebih cepat dibandingkan dengan pendekatan Hartree (warna merah). Disini terlihat dengan jelas kon-tribusi dari suku exchange.

Gambar 3.4: Tekanan pada materi nuklir simetrik.

Pada Gambar 3.4 menunjukkan tekanan pada materi nuklir simetrik. Gam-bar sebelah kiri, kurva warna merah, merupakan hasil plot tekanan terhadap rasio kerapatan sesuai dengan yang didapat oleh Ref. [27]. Sedangkan ku-rva berwarna biru merupakan plot yang diperoleh dengan memasukkan suku exchange pada Lagrangian efektif. Kontribusi dari suku tambahan tersebut pada tekanan terlihat jelas pada rasio kerapatan 1. Namun apabila dihitung pada rasio kerapatan yang lebih besar, kurva keduanya terlihat hampir ber-himpit tetapi masih bisa dibedakan. Denggan demikian, efek suku tambahan pada tekanan di materi nuklir simetrik lebih terlihat jelas pada rasio kerapatan rendah (rasio kerapatan 1 pada Gambar 3.4) jika dibandingkan dengan pada rasio kerapatan tinggi, yakni lebih besar dari 1.

Selain menyelidiki pengaruh dari pendekatan Hartree-Fock pada energi ikat per nukleon, massa efektif dan tekanan, penulis juga menghitung kompresibi-litas (perubahan volume terhadap tekanan pada temperatur tetap). Gambar 3.5 merupakan hasil plot dari kompresibilitas terhadap rasio kerapatan pa-da materi nuklir simetrik. Kurva warna merah apa-dalah perhitungan dengan pendekatan Hartree sedangkan kurva warna biru adalah perhitungan dengan pendekatan Hartree-Fock. Pada rasio kerapatan rendah, efek dari suku

excha-Gambar 3.5: Kompresibilitas pada materi nuklir simetrik.

1, walaupun tidak terlalu besar. Dengan memperhitungkan suku exchange, perubahan volume terhadap tekanan di materi nuklir simetrik tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan model tanpa suku exchange.

Gambar 3.6: Tekanan dan kompresibilitas pada materi netron terhadap rasio kerapatan. Gambar sebelah kiri: tekanan terhadap rasio kerapatan; gambar sebelah kanan: kompresibilitas terhadap rasio kerapatan.

Pada Gambar 3.6 terlihat kurva tekanan dan kompresibilitas terhadap ra-sio kerapatan. Untuk kurva tekanan, gambar sebelah kiri, pada rara-sio kera-patan rendah, hasil yang diperoleh dari model dengan memperhitungkan suku exchange (warna hijau) dan tanpa suku exchange (warna merah) masih sama, ditunjukkan dengan kurva keduanya masih berhimpit. Pada rasio kerapatan semakin besar, hingga kurva keduanya bertemu kembali pada rasio kerapatan 4, pada tekanan 45 MeV/fm3. Pada kurva kompresibilitas, gambar sebelah

merupakan hasil perhitungan kompresibilitas dengan pendekatan Hartree, se-dangkan kurva warna biru merupakan hasil yang didapat dengan pendekatan Hartree-Fock. Pada rasio kerapatan rendah, kurva keduanya masih berhimpit.

Namun saat rasio kerapatan semakin besar, terlihat perbedaan yang signifikan antara model tanpa suku tambahan diibandingkan dengan model dengan suku tambahan (exchange). Berikut ini merupakan tabel hasil perhitungan kedua pendekatan, Hartree dan Hartree-Fock, di materi nuklir simetrik.

Hartree Hartree-Fock Hasil Eksperimen Satuan

E/A -16,17 -16,59 -16,3 [31] MeV

K 252 248 230 ± 40 [32] MeV

ESymmetry 37.8 35.6 32,5 ± 0,5 [33] MeV

Tabel 3.2: Model Point-Coupling pada kerapatan saturasi, 0,15 fm−3 [34].

Tabel 3.2 menjelaskan hasil perhitungan yang dihasilkan oleh model dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock dibandingkan dengan data eksperimen.

Untuk energi ikat per nukleon dengan pendekatan Hartree diperoleh -16,17 MeV, dengan pendekatan Hartree-Fock -16,59 MeV. Hasil tersebut masih kon-sisten dengan data percobaan yakni -16,3 MeV. Untuk tekanan, baik dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock dibandingkan dengan hasil percobaan masih konsisten, yakni nilainya mendekati nol pada kerapatan saturasi. Un-tuk kompresibilitas dengan pendekatan Hartee dan Hartree-Fock masih kon-sisten dengan hasil eksperimen, yakni dengan pendekatan Hartree 252 MeV, Hartree-Fock 248 MeV dan data eksperimen 234 MeV. Perhitungan simetri energi dengan pendekatan Hartree dan Hartree-Fock konsisten dibandingkan dengan hasil percobaan. Hasil yang diperoleh yakni untuk pendekatan Har-tree 37,8 MeV, pendekatan HarHar-tree-Fock 35,6 MeV dan 34 MeV untuk hasil eksperimen.

Pada Gambar 3.7 menunjukkan kurva tekanan terhadap rasio kerapatan dengan memperhitungkan efek dari setiap suku exchange (seperti pada persa-maan (2.45)). Penulis menghitung efek dari setiap suku tambahan yang ada pada persamaan (2.45). Kurva warna merah adalah model dengan pendekat-an Hartree, sedpendekat-angkpendekat-an kurva lainnya adalah model dengpendekat-an memperhitungkpendekat-an suku exchange, dengan memeriksa pengaruh dari setiap suku. Untuk suku per-tama, kurva warna hijau, terlihat perbedaan yang jelas dengan kurva warna merah (model standar). Ketika rasio kerapatan semakin membesar, kenaikan

Gambar 3.7: Tekanan terhadap rasio kerapatan pada materi netron dengan memperhitungkan kontribusi setiap suku tambahan.

kontribusi suku tambahan yang kedua dan ketiga, warna biru dan kuning, terlihat berbeda dari model standar, maupun model dengan suku tambahan pertama. Namun kurva yang dihasilkan dari model dengan suku kedua dan ketiga saling berhimpitan (warna biru dan kuning). Hal tersebut dikarenakan nilai tekanan yang diperoleh dari suku tambahan kedua dan ketiga sama. Ak-an tetapi jika dibAk-andingkAk-an dengAk-an model stAk-andar dAk-an model dengAk-an koreksi suku pertama, terlihat tekanan yang didapat berbeda.

Gambar 3.8: Massa efektif terhadap rasio kerapatan pada materi netron de-ngan memperhitungkan setiap suku exchange pada massa efektif.

Gambar 3.8 merupakan massa efektif terhadap rasio kerapatan untuk se-tiap suku tambahan pada massa efektif pada persamaan (2.45). Kurva warna

kurva yang lain merupakan hasil yang diperoleh dengan memperhitungkan setiap suku tambahan (untuk setiap kopling konstan yang baru). Kurva war-na hitam merupakan massa efektif dengan suku tambahan pertama. Terlihat kontribusi massa efektif dengan memperhitungkan koreksi suku pertama ( ˜αT S) sangat signifikan. Saat rasio kerapatan semakin membesar, massa efektif ma-teri netron menurun. Massa efektif dengan memperhitungan suku pertama terlihat lebih kecil daripada model dengan pendekatan Hartree. Sedangkan untuk kontribusi suku kedua dan ketiga berhimpit dengan perhitungan pen-dekatan Hartree (warna merah). Hal tersebut diakibatkan karena kontribusi suku kedua dan ketiga sangat kecil sekali sehingga kurva keduanya berhimpit dengan kurva model standar.

Kesimpulan

Dalam penelitian ini penulis mempelajari kontribusi suku exchange pada ma-teri nuklir simetrik dan mama-teri netron. Kontribusi dari suku tersebut diperiksa pada beberapa keadaan, antara lain energi ikat per nukleon pada materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif nukleon, tekanan dan kompresibi-litas. Setelah dilakukan perhitungan, kontribusi suku exchange terlihat pada beberapa keadaan. Namun pada keadaan yang lain, kontribusi suku tersebut terlihat sangat kecil, yakni pada massa efektif nukleon materi nuklir simetrik.

Kontribusi yang terlihat dari suku tersebut antara lain pada energi ikat per nu-kleon di materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif materi netron, energi ikat per nukleon pada densitas rendah dari materi netron.

Dari gambar terlihat bahwa kontribusi suku exchange terlihat dalam be-berapa kasus, namun juga tidak terlihat pada kasus yang lain. Kita bisa memperlajari kontribusi suku tersebut pada beberapa keadaan, baik di materi nuklir simetrik maupun materi netron. Kita juga bisa melihat kontribusi suku tersebut tidak selamanya kecil, pada keadaan tertentu kontribusinya terlihat cukup besar.

Meskipun demikian, banyak hal yang masih bisa dipelajari lebih lanjut dari penelitian ini. Disini penulis belum memperhitungkan suku retardasi, yang memang diabaikan diawal sehingga tidak di perhitungkan pada Lagrangian sistem, kemudian munculnya suku γ5 saat melakukan transformasi Fierz pada suku exchange, yang juga diabaikan kontribusinya pada penelitian ini.

Transformasi Lagrangian

Lagrangian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut L = ψ¯i Masalah yang akan kita hadapi apabila langsung mengkuantisasi Lagrangain tersebut ialah munculnya suku turunan terhadap waktu pada persamaan ke-rapatan Hamiltonian sistem. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut dilakukan transformasi pada Lagrangian (A.1), L → L0, dengan mensubstitu-sikan persamaan (2.6), dimana transformasi tersebut harus memenuhi relasi seperti pada persamaan (2.7). Untuk mempermudah perhitungan, kami mela-kukan proses transformasi untuk setiap suku dari sepuluh suku yang ada pada persamaan (A.1).

Pertama kami melakukan transformasi pada suku pertama, ¯ψ0 i2

Jika kita kalikan semua suku yang ada pada dalam kurung persamaan (A.2), aka diperoleh hasil sebagai berikut

ψ¯0(i

pada persamaan (A.3), maka transformasi pada persamaan (A.3) menjadi

ψ¯0(i

+ δV Suku yang mengandung konstanta kopling dengan bentuk δ2 diabaikan de-ngan asumsi awal yakni, δ << 1, sehingga bentuk transformasi suku pertama menjadi

− δS

Kita susun persamaan (A.6) sedemikian hingga transformasinya menjadi se-bagai berikut

+ δT V Dengan menggunakan sifat matriks Dirac

¯

γγ0 = −γ0γ ,¯

¯

α¯γ = −¯γ ¯α , (A.8)

maka kita peroleh transformasi suku pertama yakni

ψ¯0(i

Untuk transformasi suku berikutnya, penulis menggunakan asumsi δ2 jauh lebih kecil dari 1. Transformasi suku kedua, m ¯ψ0ψ0 (dalam perhitungan notasi massa m tidak dituliskan), yakni

ψ¯0ψ0

ψ¯0ψ0 ≈ ψψ + i¯ δS Transformasi suku kedua, ( ¯ψ0ψ0)2, bisa didapat dengan cara mengkuadratkan persamaan (A.10), yakni

( ¯ψ0ψ)2 ≈ ( ¯ψψ)2+ 2iδV3· ( ¯ψ ¯αψ)( ¯ψψ) + 2iδT V6· ( ¯ψ ¯α¯τ ψ)( ¯ψψ). (A.11) Untuk transformasi suku ketiga, ( ¯ψ0γµψ0)2, kami menguraikan bentuk tersebut sebagai berikut

( ¯ψ0γµψ0)2 = ( ¯ψ0γµψ0)( ¯ψ0γµψ0)

= ( ¯ψ0γ0ψ0)( ¯ψ0γ0ψ0) − ( ¯ψ0γiψ0)( ¯ψ0γiψ0), (A.12) supaya lebih mudah dalam perhitungan. Untuk transformasi bentuk, ( ¯ψ0γ0ψ0), yakni

ψ¯0γ0ψ0 ≈ ψγ¯ 0ψ + iδS

Jika kita kuadratkan persamaan (A.13), didapat transformasi bentuk, ( ¯ψ0γ0ψ0)2, yakni

Dengan mengalikan suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.15), maka didapat transformasi bentuk, ( ¯ψ0γiψ0), yakni

Sehingga untuk transformasi bentuk, ( ¯ψ0γµψ0)2, yakni

( ¯ψ0γiψ0)2 ≈ ψγ¯ iψ − iδSF1ψα¯ iψ + δVF3jψσ¯ ijγ0ψ − iδT SF4ψτ α¯ iψ + δT VF6jψσ¯ ijγ0τ ψ

× ψγ¯ iψ − iδSF1ψα¯ iψ + δVF3jψσ¯ ijγ0ψ − iδT SF4ψ¯¯τ αiψ + δT VF6jψσ¯ ijγ0τ ψ

≈ ( ¯ψγiψ)( ¯ψγiψ) − iδSF1( ¯ψγiψ)( ¯ψ ¯αψ) + δVF3j( ¯ψγiψ)( ¯ψσijγ0ψ)

− iδT SF4( ¯ψγiψ)( ¯ψ¯τ αiψ) + δT VF6j( ¯ψγiψ)( ¯ψσijγ0τ ψ) + δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)( ¯ψγiψ) − iδT SF4( ¯ψ¯τ αiψ)( ¯ψγiψ)

− iδSF1( ¯ψαiψ)( ¯ψγiψ) + δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ)( ¯ψγiψ)

≈ ( ¯ψγiψ)( ¯ψγiψ) − 2iδSF1( ¯ψαiψ)( ¯ψγiψ)

+ 2δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)( ¯ψγiψ) − 2iδT SF4( ¯ψ¯τ αiψ)( ¯ψγiψ) + 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ)( ¯ψγiψ)

≈ ( ¯ψγiψ)2+ 2−iδSF1( ¯ψαiψ) + δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)

− iδT SF4( ¯ψ¯τ αiψ) + δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ) ( ¯ψγiψ). (A.17) Transformasi suku kelima, ( ¯ψ0τ ψ¯ 0)2, yakni

( ¯ψ0τ ψ)¯ 2 ≈ ( ¯ψ¯τ ψ)2+ 2iδV3· ( ¯ψ¯τ ¯αψ)( ¯ψ¯τ ψ)

+ 2iδT V6· ( ¯ψ¯τ ¯α¯τ ψ)( ¯ψ¯τ ψ). (A.18) Untuk mempermudah perhitungan, transformasi suku keemam, ( ¯ψ0γµτ ψ¯ 0)2, dapat diuraikan menjadi bentuk berikut

( ¯ψ0γµτ ψ¯ 0)2 = ( ¯ψ0γ0τ ψ0)2− ( ¯ψ0γiτ ψ0)2. (A.19) Untuk transformasi bentuk, ¯ψ0γ0τ ψ0, yakni

ψ¯0γ0τ ψ0

Jika suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.20) dikalikan, maka akan didapat hasil transformasi sebagai berikut

ψ¯0γ0τ ψ0 ≈ ψγ¯ 0τ ψ + iδS

Dengan menguadratkan persamaan (A.21), kita akan memperoleh transformasi bentuk ( ¯ψ0γ0τ ψ0)2 dari suku keenam yakni

ψ¯0γiτ ψ0 ≈ ψγ¯ iτ ψ + iδS

2 F1ψγ¯ iτ γ0ψ + iδV

2 F2ψγ¯ iτ ψ + iδV 2

3· ¯ψγiτ ¯αψ + iδT S

2 F4ψγ¯ iτ τ γ0ψ + iδT V

2 F5ψγ¯ iτ τ ψ + iδT V

2

6· ¯ψγiτ ¯ατ ψ

− iδS

2 F1ψγ¯ 0γiτ ψ − iδV

2 F2ψγ¯ iτ ψ + iδV

2

3· ¯ψ ¯αγiτ ψ

− iδT S

2 F4ψτ τ γ¯ 0γiψ − iδT V

2 F5ψτ τ γ¯ iψ + iδT V 2

6· ¯ψ ¯αγiτ τ ψ

≈ ψγ¯ iτ ψ − iδSF1ψα¯ iτ ψ + δVF3jψσ¯ ijγ0τ ψ − iδT SF4ψτ τ α¯ iψ + δT VF6jψσ¯ ijγ0τ τ ψ . (A.24) Dengan menguadratkan persamaan (A.24), kita akan memperoleh transformasi bentuk, ( ¯ψ0γiτ ψ0)2, dari suku keenam sebagai berikut

( ¯ψ0γiτ ψ0)2 ≈ ψγ¯ iτ ψ − iδSF1ψα¯ iτ ψ + δVF3jψσ¯ ijγ0τ ψ − iδT SF4ψτ τ α¯ iψ + δT VF6jψσ¯ ijγ0τ τ ψ

× ψγ¯ iτ ψ − iδSF1ψα¯ iτ ψ + δVF3jψσ¯ ijγ0τ ψ − iδT SF4ψτ τ α¯ iψ + δT VF6jψσ¯ ijγ0τ τ ψ

≈ ( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψγiτ ψ) − iδSF1( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψ ¯ατ ψ)

+ δVF3j( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψσijγ0τ ψ) − iδT SF4( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψτ τ αiψ) + δT VF6j( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψσijγ0τ τ ψ) − iδSF1( ¯ψαiτ ψ)( ¯ψγiτ ψ) + δVF3j( ¯ψσijγ0τ ψ)( ¯ψγiτ ψ) − iδT SF4( ¯ψτ τ αiψ)( ¯ψγiτ ψ) + δT VF6j( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψσijγ0τ τ ψ)

≈ ( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψγiτ ψ) − 2iδSF1( ¯ψαiτ ψ)( ¯ψγiτ ψ)

+ 2δVF3j( ¯ψσijγ0τ ψ)( ¯ψγiτ ψ) − 2iδT SF4( ¯ψτ τ αiψ)( ¯ψγiτ ψ) + 2δT VF6j( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψσijγ0τ τ ψ)

≈ ( ¯ψγiτ ψ)2+ 2−iδSF1( ¯ψαiτ ψ) + δVF3j( ¯ψσijγ0τ ψ)

− iδT SF4( ¯ψτ τ αiψ) + δT VF6j( ¯ψγiτ ψ)( ¯ψσijγ0τ τ ψ) ( ¯ψγiτ ψ).

(A.25) Untuk mempermudah perhitungan, transformasi suku ketujuh dituliskan da-lam bentuk sebagai berikut

0 0 µ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Transformasi suku pertama pada persamaan (A.26) yakni

0( ¯ψ0ψ0)∂0( ¯ψ0ψ0) = ∂0ψψ + iδ¯ V3· ( ¯ψ ¯αψ) × ∂0ψψ + iδ¯ V3 · ( ¯ψ ¯αψ)

≈ ∂0( ¯ψψ)∂0( ¯ψψ) − 2iδVF3i( ¯ψαiψ)∂02( ¯ψψ)

− 2iδT VF6i( ¯ψαiτ ψ)∂02( ¯ψψ), (A.27) dan transformasi suku kedua pada persamaan (A.26) yakni

∇( ¯¯ ψ0ψ0) · ¯∇( ¯ψ0ψ0) ≈ ∇( ¯¯ ψψ) · ¯∇( ¯ψψ) − 2iδVF3i( ¯ψαiψ)∇2( ¯ψψ)

− 2iδT VF6i( ¯ψαiτ ψ)∂02( ¯ψψ). (A.28) Dengan mensubstitusikan persamaan (A.27) dan (A.28) kedalam persamaan (A.26), kita memperoleh hasil transformasi suku ketujuh. Kita melakukan hal yang sama pada suku kedelapan. Kita dapat menuliskan suku kedelapan yang akan ditransformasi sebagai berikut

µ( ¯ψ0γνψ0)∂µ( ¯ψ0γνψ0) = ∂µ( ¯ψ0γ0ψ0)∂µ( ¯ψ0γ0ψ0) − ∂µ( ¯ψ0γiψ0)∂µ( ¯ψ0γiψ0).

(A.29) Kita dapat menuliskan kembali suku pertama dari persamaan (A.29) kedalam bentuk yang lebih sederhana agar lebih mudah dalam perhitungan, yakni

µ( ¯ψ0γ0ψ0)∂µ( ¯ψ0γ0ψ0) = ∂0( ¯ψ0γ0ψ0)∂0( ¯ψ0γ0ψ) − ¯∇( ¯ψγ0ψ) · ¯∇( ¯ψγ0ψ). (A.30) Transformasi suku pertama dan kedua pada persamaan (A.30) yakni

0( ¯ψ0γ0ψ0)∂0( ¯ψ0γ0ψ0) = ∂0( ¯ψγ0ψ)∂0( ¯ψγ0ψ), (A.31) dan

∇( ¯¯ ψ0γ0ψ0) · ¯∇( ¯ψ0γ0ψ0) = ¯∇( ¯ψγ0ψ) · ¯∇( ¯ψγ0ψ). (A.32) Kita dapat menuliskan suku kedua dari persamaan (A.29) kedalam bentuk yang lebih sederhana yakni

µ( ¯ψ0γiψ0)∂µ( ¯ψ0γiψ0) = ∂0( ¯ψ0γiψ0)∂0( ¯ψ0γiψ0) − ¯∇( ¯ψ0γiψ0) · ¯∇( ¯ψ0γiψ0). (A.33) Dengan mensubstitusikan persamaan (2.6) ke suku pertama pada persamaan (A.33) akan diperoleh hasil transformasi yakni

0( ¯ψ0γiψ0)∂0( ¯ψ0γiψ0) ≈ ∂0( ¯ψγiψ) − iδS(∂0F1)( ¯ψαiψ) − iδSF10( ¯ψγ0ψ) + δV(∂0F3j)( ¯ψσijγ0ψ) + δVF3j0( ¯ψσijγ0ψ)

− iδT S(∂0F4)( ¯ψτ αiψ) − iδT SF40( ¯ψτ αiψ)

+ δT V(∂0F6j)( ¯ψσijγ0τ ψ) + δT VF6j0( ¯ψσijγ0τ ψ)

× ∂0( ¯ψγiψ) − iδS(∂0F1)( ¯ψαiψ) − iδSF10( ¯ψγ0ψ) + δV(∂0F3j)( ¯ψσijγ0ψ) + δVF3j0( ¯ψσijγ0ψ)

− iδT S(∂0F4)( ¯ψτ αiψ) − iδT SF40( ¯ψτ αiψ)

+ δT V(∂0F6j)( ¯ψσijγ0τ ψ) + δT VF6j0( ¯ψσijγ0τ ψ) . (A.34) Dengan mengalikan suku yang ada didalam kurung pada persamaan (A.34), kita akan memperoleh hasil transformasi suku pertama pada persamaan (A.33) yakni

0( ¯ψ0γiψ0)∂0( ¯ψ0γiψ0) ≈ ∂0( ¯ψγiψ)∂0( ¯ψγiψ) − iδS0( ¯ψγiψ)(∂0F1)

× ( ¯ψαiψ) − iδSF10( ¯ψγiψ)∂0( ¯ψαiψ)

+ δV0( ¯ψγiψ)(∂0F3j)( ¯ψσijγ0ψ) + δVF3j0( ¯ψγiψ)

× ∂0( ¯ψσijγ0ψ) − iδT S(∂0F4)∂0( ¯ψγiψ)( ¯ψτ αiψ)

− iδT SF40( ¯ψγiψ)∂0( ¯ψτ αiψ) + δT V(∂0F6j)

× ( ¯ψσijγ0τ ψ) ∂0( ¯ψγiψ) + δT VF6j0( ¯ψσijγ0τ ψ)

× ∂0( ¯ψγiψ) − iδS(∂0F1)∂0( ¯ψαiψ)( ¯ψαiψ)

+ δV(∂0F3j)( ¯ψσijγ0ψ)∂0( ¯ψγiψ) + δVF3j0( ¯ψσijγ0ψ)

× ∂0( ¯ψγiψ) − iδSF10( ¯ψαiψ)∂0( ¯ψγiψ)

− δT S(∂0F4)( ¯ψτ αiψ)∂0( ¯ψγiψ) − iδT SF40( ¯ψτ αiψ)

× ∂0( ¯ψγiψ) + δT V(∂0F6j)( ¯ψσijγ0τ ψ) ∂0( ¯ψγiψ)

+ δT VF6j0( ¯ψσijγ0τ ψ) ∂0( ¯ψγiψ). (A.35)

Dengan menyusun kembali persamaan (A.35), kita akan memperoleh hasil transformasi sebagai berikut

0( ¯ψ0γiψ0)∂0( ¯ψ0γiψ0) ≈ ∂0( ¯ψγiψ)∂0( ¯ψγiψ) + 2iδSF1( ¯ψαiψ)∂2( ¯ψγiψ) + 2δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)∂02( ¯ψγiψ) + 2iδT SF4( ¯ψτ αiψ)

× ∂02( ¯ψγiψ) + 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ)∂02( ¯ψγiψ). (A.36) Dengan cara yang sama seperti suku pertama pada persamaan (A.33), ki-ta dapat memperoleh hasil transformasi suku kedua dari persamaan tersebut yakni

∇( ¯¯ ψ0γiψ0) · ¯∇( ¯ψ0γiψ0) ≈ ∇( ¯¯ ψγiψ) · ¯∇( ¯ψγiψ) + 2iδSF1( ¯ψαiψ)∇2( ¯ψγiψ) + 2δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)∇2( ¯ψγiψ) + 2iδT SF4( ¯ψτ αiψ)

× ∇2( ¯ψγiψ) + 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ) ∇2( ¯ψγiψ).

(A.37) Kita dapat menuliskan suku kesembilan yang akan ditransformasi kedalam bentuk berikut

µ( ¯ψ0τ ψ0)∂µ( ¯ψ0τ ψ0) = ∂0( ¯ψ0τ ψ0)∂0( ¯ψ0τ ψ0) − ¯∇( ¯ψ0τ ψ0) · ¯∇( ¯ψ0τ ψ0). (A.38) Untuk suku pertama dan suku kedua pada persamaan (A.38), diperoleh hasil transformasi yakni

0( ¯ψ0τ ψ0)∂0( ¯ψ0τ ψ0) ≈ ∂0( ¯ψτ ψ)∂0( ¯ψτ ψ) − 2iδVF3i( ¯ψαiτ ψ)∂02( ¯ψτ ψ)

− 2iδT VF6i( ¯ψτ αiτ ψ)∂02( ¯ψτ ψ), (A.39) dan

∇( ¯¯ ψ0τ ψ0) · ¯∇( ¯ψ0τ ψ0) ≈ ∇( ¯¯ ψτ ψ) · ¯∇( ¯ψτ ψ) − 2iδVF3i( ¯ψαiτ ψ)∇2( ¯ψτ ψ)

− 2iδT VF6i( ¯ψτ αiτ ψ)∇2( ¯ψτ ψ). (A.40)

(A.38), kita sudah memperoleh hasil transformasi untuk kesembilan.

Transformasi suku yang terakhir dari Lagrangian sistem, dapat ditulis ke-dalam bentuk yang lebih sederhana yakni

µ( ¯ψ0γντ ψ0)∂µ( ¯ψ0γντ ψ0) = ∂µ( ¯ψ0γ0τ ψ0)∂µ( ¯ψ0γ0τ ψ0) − ∂µ( ¯ψ0γiτ ψ0)∂µ( ¯ψ0γiτ ψ0).

(A.41) Kita dapat menuliskan kembali suku pertama dari persamaan (A.41) kedalam bentuk yang lebih sederhana yakni

µ( ¯ψ0γ0τ ψ0)∂µ( ¯ψ0γ0τ ψ0) = ∂0( ¯ψ0γ0τ ψ0)∂0( ¯ψ0γ0τ ψ0) − ¯∇( ¯ψ0γ0τ ψ0) ¯∇( ¯ψ0γ0τ ψ0).

(A.42) Untuk suku pertama dan kedua pada persamaan (A.42), diperoleh hasil tran-sformasi yakni

0( ¯ψ0γ0τ ψ0)∂0( ¯ψ0γ0τ ψ0) = ∂0( ¯ψγ0τ ψ)∂0( ¯ψγ0τ ψ), (A.43) dan

∇( ¯¯ ψ0γ0τ ψ0) · ¯∇( ¯ψ0γ0τ ψ0) = ¯∇( ¯ψγ0τ ψ) · ¯∇( ¯ψγ0τ ψ). (A.44) Untuk suku kedua pada persamaan (A.41), kita dapat menuliskan kedalam bentuk yang lebih sederhana yakni

µ( ¯ψ0γiτ ψ0)∂µ( ¯ψ0γiτ ψ0) = ∂0( ¯ψ0γiτ ψ0)∂0( ¯ψ0γiτ ψ0) − ¯∇( ¯ψ0γiτ ψ0) ¯∇( ¯ψ0γiτ ψ0).

(A.45) Untuk suku pertama dan kedua pada persamaan (A.45), diperoleh hasil tran-sformasi yakni

0( ¯ψ0γiτ ψ0)∂0( ¯ψ0γiτ ψ0) ≈ ∂0( ¯ψγiτ ψ)∂0( ¯ψγiτ ψ) + 2iδSF1( ¯ψαiτ ψ)∂02( ¯ψγiτ ψ) + 2δVF3j( ¯ψσijγ0τ ψ)∂02( ¯ψγiτ ψ) + 2iδT SF4( ¯ψτ αiτ ψ)

× ∂02( ¯ψγiτ ψ) + 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ τ ψ)∂02( ¯ψγiτ ψ), (A.46) dan

∇( ¯¯ ψ0γiτ ψ0) · ¯∇( ¯ψ0γiτ ψ0) ≈ ∇( ¯¯ ψγiτ ψ) · ¯∇( ¯ψγiτ ψ) + 2iδSF1( ¯ψαiτ ψ)

× ∇2( ¯ψγiτ ψ) + 2δVF3j( ¯ψσijγ0τ ψ)∇2( ¯ψγiτ ψ) + 2iδT SF4( ¯ψτ τ αiψ)∇2( ¯ψγiτ ψ)

+ 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ τ ψ)∇2( ¯ψγiτ ψ). (A.47) Dengan mensubstitusikan persamaan (A.43), (A.44), (A.46) dan (A.47) keda-lam persamaan (A.45), (A.42) dan (A.41), kita memperoleh hasil transformasi untuk suku yang terakhir (kesepuluh) dari Lagrangian sistem. Dengan men-substitusikan semua hasil transformasi yang diperoleh kedalam Lagrangian sistem (A.1), maka didapat

L0 ≈ L01+ L02+ L03+ L04, (A.48) dengan definisi masing-masing L01, L02, L03 dan L04 yakni

L01 ≡ ψ(¯ i 2

/ )ψ + δS

2 F1[ ¯ψ ¯α · ¯∇ψ − ¯∇ ¯ψ · ¯αψ]

+ δS

2F10( ¯ψψ) +δV

2 F2[∂0( ¯ψγ0ψ) + ¯∇ · ( ¯ψ¯γψ)]

+ δV 2

3 · [∂0( ¯ψ¯γψ) + i( ¯ψσijγ0∇ψ − ¯¯ ∇ ¯ψσijγ0ψ)]

+ δT S

2 F4[∂0( ¯ψ¯τ ψ) + ( ¯ψ¯τ ¯α · ¯∇ψ − ¯∇ ¯ψ · ¯τ ¯αψ)]

+ δT V

2 F5[∂0( ¯ψγ0τ ψ) + ¯¯ ∇( ¯ψ¯γ ¯τ ψ)]

+ δT V 2

6· [∂0( ¯ψ¯γ ¯τ ψ) + i( ¯ψσijγ0τ ¯¯∇ψ − ¯∇ ¯ψσijγ0τ ψ)]¯

− m ¯ψψ − i m δV3· ( ¯ψ ¯αψ) − i m δT V6· ( ¯ψ ¯α¯τ ψ)

− αS

2 ( ¯ψψ)2− αS

2 2 i δV3· ( ¯ψ ¯αψ)( ¯ψψ) ,

L02 ≡ + 2 i δT V6· ( ¯ψ ¯α¯τ ψ)( ¯ψψ) − αV

2 ( ¯ψγ0ψ)2+ αT V

2 ( ¯ψγiψ)2 + αV

2

h−2 i δSF1( ¯ψαiψ) − 2 i δVF3j( ¯ψσijγ0ψ) −αT S

2 ( ¯ψτ ψ)2

− 2 i δT SF4( ¯ψτ αiψ) − 2 i δT VF6j( ¯ψσijσ0τ ψ) ( ¯ψγiψ)

− αT S

2 2 i δV3· ( ¯ψ ¯α¯τ ψ)( ¯ψ¯τ ψ) + 2 i δT V6· ( ¯ψ ¯α¯τ ¯τ ψ)( ¯ψ¯τ ψ)

− δT V

2 ( ¯ψγ0τ ψ)2T V

2 ( ¯ψγiτ ψ)2+ δT V

2 −2 i δSF1( ¯ψτ αiψ)

− 2 δVF3j( ¯ψτ σijγ0ψ) − 2 i δT SF4( ¯ψτ αiψ) − 2 δT VF6j( ¯ψσijγ0τ τ ψ)

× ( ¯ψτ γiψ) − δS

2∂0( ¯ψψ)∂0( ¯ψψ) −δS

2 −2 i δVF3i( ¯ψαiψ)∂02( ¯ψψ) ,

L03 ≡ − 2 i δT VF6i( ¯ψαiτ ψ)∂02( ¯ψψ) + δS 2

∇( ¯¯ ψψ) · ¯∇( ¯ψψ) + δS

2 −2i δVF3i( ¯ψαiψ)∇2( ¯ψψ) − 2i δT VF6i( ¯ψαiτ ψ)∇2ψψ)¯ 

− δV

2 ∂0( ¯ψγ0ψ)∂0( ¯ψγ0ψ) +δV

2 ∂0( ¯ψγiψ)∂0( ¯ψγiψ) + δV

2 2i δSF1( ¯ψαiψ)∂02( ¯ψγiψ) ,

+ 2δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)∂02( ¯ψγiψ) + 2i δT SF4( ¯ψτ αiψ)∂0( ¯ψγiψ) + 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ)∂02( ¯ψγiψ) + δV

2

∇( ¯¯ ψγ0ψ) · ¯∇( ¯ψγ0ψ)

− δV

2

∇( ¯¯ ψγiψ) · ¯∇( ¯ψγiψ) − δV

2 2i δSF1( ¯ψαiψ)∇2( ¯ψγiψ) + 2δVF3j( ¯ψσijγ0ψ)∇2( ¯ψγiψ) + 2iδT SF4( ¯ψτ αiψ)∇2( ¯ψγiψ) + 2δT VF6j( ¯ψσijγ0τ ψ)∇2( ¯ψγiψ) − δT S

2 ∂0( ¯ψτ ψ)∂0( ¯ψτ ψ),

L04 ≡ +δT S

Penulis menggunakan asumsi suku yang mengandung kopling konstan δ2 dan δ × α diabaikan karena kontribusinya kecil sekali, sehingga bentuk persamaan (A.48) menjadi

L0C ≡ δV

2 F3i∂0( ¯ψγiψ) + i( ¯ψσkjγ0jψ − ∇jψσ¯ kjγ0ψ) − 2im( ¯ψαiψ) + δT S

2 F4∂0( ¯ψτ ψ) + ( ¯ψτ ¯α · ¯∇ψ − ¯∇ ¯ψ · τ ¯αψ) + δT V

2 F5∂0( ¯ψγ0τ ψ) + ∇i( ¯ψγiτ ψ) + δT V

2 F6i∂0( ¯ψγiτ ψ) + i( ¯ψσkjγ0τ ∇jψ − ∇jψσkjγ0τ ψ) − 2im( ¯ψαiτ ψ) . Seperti yang sudah didiskusikan diawal, tujuan dari transformasi ini adalah untuk mengeliminasi suku turunan terhadap waktu agar tidak muncul pada persamaan kerapatan Hamiltonian sistem. Sehingga kita harus mendefinisikan nilai dari F1, F2, F3, F4, F5, dan F6 sedemikian hingga suku turunan terhadap waktu bisa tereliminasi. Dengan memilih nilai dari F1, F2, F3, F4, F5, dan F6 sebagai berikut

F1 = ∂0( ¯ψψ) − ( ¯ψ ¯α · ¯∇ψ − ¯∇ ¯ψ · ¯αψ) , F2 = ∂0( ¯ψγ0ψ) − ∇i( ¯ψγiψ) ,

F3i = −∂0( ¯ψγiψ) + i( ¯ψσijγ0jψ − ∇jψσ¯ ijγ0ψ) − 2im( ¯ψαiψ) , F4 = ∂0( ¯ψτ ψ) + ( ¯∇ ¯ψ · τ ¯αψ − ¯ψτ ¯α · ¯∇ψ) ,

F5 = ∂0( ¯ψγ0τ ψ) − ∇i( ¯ψγiτ ψ) ,

F6i = −∂0( ¯ψγiτ ψ) + i( ¯ψσijγ0γ0τ ∇jψ − ∇jψσ¯ ijγ0τ ψ) − 2im( ¯ψαiτ ψ) , (A.50) kita dapat mengeliminasi suku turunan terhadap waktu. Sehingga akan di-dapat persamaan Lagrangian sistem akhir yang akan digunakan untuk proses kuantisasi selanjutnya seperti pada persamaan (2.9).

Identitas Fierz

Dalam fisika teori, identitas Fierz didefinisikan sebagai suatu identitas yang mengijinkan penulisan perkalian billinear dari dua perkalian spinor sebagai kombinasi linear dari perkalian billinear masing-masing spinor. Tujuan meng-gunakan identitas Fierz adalah agar bisa menyusun perkalian spinor pada

Dalam fisika teori, identitas Fierz didefinisikan sebagai suatu identitas yang mengijinkan penulisan perkalian billinear dari dua perkalian spinor sebagai kombinasi linear dari perkalian billinear masing-masing spinor. Tujuan meng-gunakan identitas Fierz adalah agar bisa menyusun perkalian spinor pada

Dokumen terkait