MODEL POINT-KOPLING
DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS
TESIS
SYAEFUDIN JAELANI 1206306312
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI DAN TERAPAN
DEPOK
JANUARI 2015
MODEL POINT-KOPLING
DENGAN KONSTANTA KOPLING BERGANTUNG DENSITAS
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
SYAEFUDIN JAELANI 1206306312
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM PASCASARJANA FISIKA MURNI DAN TERAPAN
KEKHUSUSAN FISIKA NUKLIR DAN PARTIKEL
DEPOK
Nama : Syaefudin Jaelani Program Studi : Magister Fisika
Judul : Model Point-Coupling dengan Konstanta Kopling Bergantung Densitas
Kuantisasi Lagrangian model point-coupling bergantung densitas mengha- silkan Lagrangian Hartree-Fock yang terdiri atas suku direct dan exchange.
Identitas Fierz diaplikasikan pada suku exchange agar bisa disusun bersama dengan suku direct membentuk Lagrangian efektif. Dengan menggunakan per- samaan Euler-Lagrange akan didapat persamaan gerak dan massa efektif sis- tem. Dari Hamiltonian sistem diperoleh energi ikat sistem per nukleon, massa efektif, tekanan dan kompresibilitas. Dari hasil yang diperoleh, kontribusi suku exchange kecil pada massa efektif nukleon materi nuklir simetrik. Na- mun pada keadaan lain, kontribusi yang signifikan terlihat pada energi ikat per nukleon di materi nuklir simetrik dan materi netron, massa efektif mate- ri netron, dan energi ikat per nukleon pada densitas rendah dari materi netron.
Kata kunci : Identitas Fierz, Lagrangian efektif, massa efektif, energi ikat per nukleon, tekanan, kompresibilitas.
x+64 halaman : 8 gambar; 3 tabel
Daftar Pustaka : 26 (1974-2011)
Name : Syaefudin Jaelani Program Study : Magister Fisika
Title : Point-Coupling Model Density Dependent Coupling Constants
Point-coupling model Lagrangian is quantized to obtain the Hartree-Fock Lagrangian which contained direct and exchange terms. Fierz identity applied to the exchange term to be rearranged together with the direct term to obtain the effective Lagrangian. By using the Euler-Lagrange equation, we will obtain the equation of motion and the effective mass of the system. From the Ha- miltonian will obtain the binding energy per nucleon, effective mass, pressure and compressibility. The results show that the exchange term contribution is small on nucleon effective mass of symmetric nuclear matter. But in the other conditions, the significant contribution are observed on binding energy per nucleon of asymmetric nuclear matter, neutron effective mass, and binding energy per nucleon in asymmetric nuclear matter in low density.
Keywords : Fierz identity, effective Lagrangian, effective mass, binding energy per nucleon, pressure, compressibility.
x+64 pages : 8 pictures; 3 tables
Bibliography : 26 (1974-2011)
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS iv
ABSTRAK v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . 4
1.3 Metode Penelitian . . . . 4
1.4 Tujuan Penelitian . . . . 4
2 Model Point-Coupling 5 2.1 Hartree . . . . 5
2.2 Hartree-Fock . . . . 8
3 Diskusi 19
4 Kesimpulan 28
A Transformasi Lagrangian 29
B Identitas Fierz 47
DAFTAR ACUAN 56
2.1 Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu. . . . 10
3.1 Parameter set kopling konstan PC-F1. . . . 19
3.2 Model Point-Coupling pada kerapatan saturasi, 0,15 fm
−3[34]. . 25
3.1 Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukle- on pada materi nuklir simetrik; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon pada materi nuklir simetrik. . . 20 3.2 Energi ikat per nukleon dan massa efektif nukleon pada materi
netron. Gambar sebelah kiri: Energi ikat per nukleon pada materi netron; Gambar sebelah kanan: massa efektif nukleon di materi netron. . . 21 3.3 Energi ikat per nukleon terhadap rasio kerapatan netron dan
kerapatan saturasi. . . 22 3.4 Tekanan pada materi nuklir simetrik. . . 23 3.5 Kompresibilitas pada materi nuklir simetrik. . . 24 3.6 Tekanan dan kompresibilitas pada materi netron terhadap rasio
kerapatan. Gambar sebelah kiri: tekanan terhadap rasio kera- patan; gambar sebelah kanan: kompresibilitas terhadap rasio kerapatan. . . 24 3.7 Tekanan terhadap rasio kerapatan pada materi netron dengan
memperhitungkan kontribusi setiap suku tambahan. . . 26 3.8 Massa efektif terhadap rasio kerapatan pada materi netron de-
ngan memperhitungkan setiap suku exchange pada massa efektif. 26
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Percobaan yang dilakukan oleh Ernest Rutherford pada tahun 1911, dengan menembakkan partikel α ke lapisan emas tipis, membawa pengaruh yang sa- ngat besar dalam perkembangan model atom, karena mengoreksi model yang sudah ada saat itu. Hasil dari percobaan tersebut yakni inti memiliki massa, bermuatan positif dan terletak tepat ditengah-tengah atom. Elektron dida- lam atom bergerak mengelilingi inti seperti gerak planet mengelilingi Mata- hari dalam sistem tata surya. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1919, Rutherford menemukan proton (partikel bermuatan positif) yang merupakan salah satu penyusun inti. Tidak lama kemudian, seorang ilmuwan bernama James Chadwick, berhasil menemukan netron, yang merupakan partikel tidak bermuatan (netral), yang berikatan bersama proton membentuk inti. Kedua partikel penyusun inti tersebut dikenal dengan sebutan nukleon.
Penemuan oleh kedua ilmuwan tersebut, membawa para fisikawan untuk membuat suatu model untuk memahami fenomena dan hasil percobaan yang berhubungan dengan inti atom. Beberapa hal yang berkaitan dengan inti yang ingin dijelaskan oleh fisikawan antara lain peluruhan, kestabilan inti yang ber- kaitan dengan bilangan ajaib (magic number), radioaktivitas, deformasi inti dan energi potensial permukaan pada inti berat. Dengan begitu banyak feno- mena yang bisa diamati di laboratorium, mendorong mereka untuk membuat model inti yang konsisten dengan data-data eksperimen.
Model inti diperlukan untuk menjelaskan fenomena inti, baik sifat-sifat in-
ti, maupun proses-proses yang melibatkan inti. Model memang tidak dapat
menggantikan hal yang sebenarnya. Meskipun demikian, model dapat digu-
untuk semua hal. Yang terpenting dari model adalah ia berfungsi menjelaskan beberapa hal mengenai objek yang dimodelkan. Selain itu, model yang baik adalah model yang sederhana, mudah dimengerti dan efisien [1].
Model inti yang pertama adalah model tetes cairan. Menurut model ter- sebut, inti mempunyai sifat seperti setetes cairan. Model yang merupakan termasuk model kolektif, dimana nukleon didalam inti saling berinteraksi satu sama lain. Model yang berasal dari ide rumus semi empiris tersebut menya- takan, energi ikat inti sebanding dengan jumlah nukleon dan ada pengaruh efek permukaan. Model tersebut cukup baik dalam menjelaskan fenomena re- sonansi pada reaksi nukleon dan inti. Kelemahan model tetes cairan adalah tidak diperhitungkannya efek koreksi kuantum dari interaksi antar nukleon didalam inti. Untuk mengatasi masalah tersebut, dikembangkan model lain untuk mengatasi kelemahan tersebut, yakni model gas Fermi. Model terse- but merupakan model independen, yakni nukleon dalam inti dianggap seperti molekul-molekul gas yang berdiri sendiri yang berada dalam pengaruh suatu potensial.
Meskipun model tetes cairan dan gas Fermi bisa menjelaskan suatu feno- mena dalam inti, namun fenomena lain mengenai kestabilan inti yang ada di alam, yang berhubungan dengan bilangan ajaib (magic number), tidak dapat dijelaskan oleh kedua model tersebut. Maka diusulkan model lain, yakni mo- del kulit, untuk menjelaskan fenomena terkait dengan bilangan ajaib tersebut.
Model kulit hanya memperhatikan dinamika nukleon pada kulit terluar saja, sedangkan pada kulit terdalam diabaikan. Model lain yang termasuk keda- lam model kulit adalah model kluster α. Model tersebut menyatakan bahwa nukleon-nukleon didalam inti dikelompokkan membentuk kluster-kluster yang terdiri dari partikel α. Model kluster alfa cukup berhasil dalam menjelaskan fenomena pada inti-inti ringan (
8Be,
20Ne,
28Si), dan juga proses peluruhan α [1].
Sifat inti yang teramati sebagai penanda adanya gerak kolektif nukleon- nukleon dalam inti adalah adanya perubahan bentuk inti dari bentuk semula.
Untuk menjelaskan mengenai hal tersebut, dibuat model rotasi dan vibra-
si. Model rotasi bertujuan untuk menjelaskan deformasi permanen, sedangkan
model vibrasi menjelaskan deformasi lunak. Beberapa model yang sudah diba-
has sebelumnya, baik model kolektif maupun independen, dapat menjelaskan
sifat-sifat inti dengan baik. Dari kedua jenis model tersebut, dikembangkan
model yang dapat mengakomodasi ide model kolektif dan independen. Nilsson,
merupakan fisikawan yang mengembangkan model inti yang menggabungkan
kedua ide tersebut yang dikenal dengan model Nilsson. Ide dari model Nilsson adalah berawal dari model kulit (model independen), kemudian ditambahkan dengan potensial yang mengandung faktor deformasi inti (model kolektif).
Penelitian para fisikawan untuk menjelaskan sifat-sifat inti tidak berhenti sampai disitu. Pengembangan model inti terus dilakukan agar bisa menjelask- an hal-hal yang belum bisa dijelaskan oleh model sebelumnya. John Walecka, pada tahun 1974 [2], memperkenalkan teori kuantum hadrodinamika (Quan- tum Hadrodynamics, QHD). Teori tersebut menjelaskan mengenai quantisa- si medan pada inti dan materi nuklir, berdasarkan derajat kebebasan dari hadron. QHD memang bukan merupakan teori fundamental, namun cukup berhasil dan efektif mengingat hadron merupakan partikel komposit yang ter- susun atas beberapa quark. Meskipun demikian, permasalahan menggunakan teori tersebut adalah kesulitan dalam masalah komputasi. Sehingga diperluk- an pendekatan dalam melakukan perhitungan, yang kemudian dikenal dengan pendekatan medan rata-rata relativistik (relativistic mean-field, RMF) [3].
Model medan rata-rata merupakan model yang dikembangkan oleh Walecka
sendiri untuk menjelaskan fenomena inti. Model Medan rata-rata merupakan
model yang menjelaskan nukleon sebagai sistem partikel Dirac, yang berinte-
raksi satu sama lain melalui pertukaran medan meson rata-rata [4-10]. Model
ini cukup berhasil dalam menjelaskan materi nuklir dan sifat-sifat keadaan da-
sar pada inti yang berhingga [11-18]. Apikasi dari model tersebut antara lain
perhitungan deformasi inti [18-21], inti ganjil [18], energi potensial permukaan
pada inti berat [18] dan prediksi inti berat [18,22-23]. Model Walecka, meru-
pakan model relativistik berdasarkan medan rata-rata (RMF) yang pertama,
dimana interaksi dimodelkan dalam bentuk pertukaran meson [4,5,13]. Model
tersebut menjelaskan interaksi antara nukleon dalam inti terjadi pada jangka-
uan yang berhingga (finite range). Sehingga model tersebut dikenal dengan
nama RMF-FR (Relativistic Mean-Field Finite Range). Model RMF-FR meli-
batkan tiga meson pada Lagrangiannya. Mereka adalah medan isoskalar-skalar
yang direpresentasikan melalui pertukaran σ meson, isoskalar-vektor yang di-
representasikan melalui pertukaran ω meson dan isovektor-skalar yang direpre-
sentasikan sebagai pertukaran ρ meson [9]. Model tersebut dapat diaplikasikan
untuk menjelaskan materi nuklir, struktur dan sifat inti berhingga, dinamika
tumbukan ion berat dan evolusi bintang. Model lain yang serupa dengan Wa-
lecka adalah model point-coupling (point-coupling model). Perbedaan dengan
model Walecka adalah terletak pada potensial yang digunakan, yakni meng-
densitas [8]. Ditinjau dari jangkaun interaksi, model yang bergantung densitas tersebut menerapkan interaksi kontak (jangkauan interaksi nol). Model yang dikenal dengan RMF-PC (Relativistic Mean-Field Point Coupling), cukup ba- ik dalam menjelaskan sifat-sifat inti yang berhingga. Kedua model tersebut sering digunakan pada pendekatan Hartree. Dalam perhitungan pendekatan medan rata-rata pada Lagrangian model RMF-PC, kita akan memperoleh La- grangian Hartree-Fock yang terdiri atas suku langsung (direct term) dan suku pertukaran (exchange term). Perhitungan dengan memasukkan suku exchange masih jarang dilakukan, terutama untuk model RMF-PC dengan kopling yang bergantung densitas. Dengan memperhitung suku tersebut diharapkan dapat mendapatkan hasil baru, yang dapat diaplikasikan pada materi nuklir dan inti yang berhingga.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini menggunakan model Lagrangian point-coupling yang bergantung densitas, dengan memperhitungkan suku pertukaran (exchange) untuk menje- laskan fenomena yang terjadi pada materi nuklir.
1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan perhitungan komputasi untuk mem- peroleh besaran fisis seperti energi ikat, massa efektif, tekanan dan kompresi- bilitas dari materi nuklir.
1.4 Tujuan Penelitian
Mempelajari pengaruh suku pertukaran (exchange) pada Lagrangian point-
coupling yang bergantung densitas pada materi nuklir dan membandingkan
dengan model dengan pendekatan Hartree.
Model Point-Coupling
2.1 Hartree
Pada bab ini kami diskusikan model yang kami gunakan dan perhitungan yang kami lakukan. Lagrangian yang digunakan pada model ini adalah sebagai berikut
L = ψ(iγ ¯
µ∂
µ− m)ψ − 1
2 α
S( ¯ ψψ)( ¯ ψψ) − 1
2 α
V( ¯ ψγ
µψ)( ¯ ψγ
µψ)
− 1
2 α
T S( ¯ ψ¯ τ ψ) · ( ¯ ψ¯ τ ψ) − 1
2 α
T V( ¯ ψ¯ τ γ
µψ)( ¯ ψ¯ τ γ
µψ)
− 1
2 δ
S∂
µ( ¯ ψψ)∂
µ( ¯ ψψ) − 1
2 δ
T V∂
ν( ¯ ψγ
µψ)∂
ν( ¯ ψγ
µψ)
− 1
2 δ
T S∂
µ( ¯ ψ¯ τ ψ) · ∂
µ( ¯ ψ¯ τ ψ) − 1
2 α
T V∂
ν( ¯ ψ¯ τ γ
µψ)∂
ν( ¯ ψ¯ τ γ
µψ). (2.1) Suku kinetik dari Lagrangian tersebut dapat ditulis dalam bentuk lain dengan menggunakan Hukum Gauss, sehingga bentuk Lagrangian pada persamaan (2.1) menjadi
L = ψ( ¯ i 2
↔
∂
/ − m)ψ − 1
2 α
S( ¯ ψψ)( ¯ ψψ) − 1
2 α
V( ¯ ψγ
µψ)( ¯ ψγ
µψ)
− 1
2 α
T S( ¯ ψ¯ τ ψ) · ( ¯ ψ¯ τ ψ) − 1
2 α
T V( ¯ ψ¯ τ γ
µψ)( ¯ ψ¯ τ γ
µψ)
− 1
2 δ
S∂
µ( ¯ ψψ)∂
µ( ¯ ψψ) − 1
2 δ
T V∂
ν( ¯ ψγ
µψ)∂
ν( ¯ ψγ
µψ)
− 1
2 δ
T S∂
µ( ¯ ψ¯ τ ψ) · ∂
µ( ¯ ψ¯ τ ψ) − 1
2 δ
T V∂
ν( ¯ ψ¯ τ γ
µψ)∂
ν( ¯ ψ¯ τ γ
µψ). (2.2)
rata-rata sistem pada keadaan dasar. Namun, masalah yang akan dihadapi dengan mengkuantisasi secara formal adalah pada Lagrangian tersebut akan muncul suku turunan terhadap waktu pada persamaan kerapatan Hamiltoni- an kanonik dari sistem. Hal tersebut terjadi karena pada Lagrangian sistem mengandung suku turunan orde kedua terhadap waktu. Dengan keberadaan suku turunan orde kedua terhadap waktu tersebut, akan menyulitkan kita keti- ka melakukan proses kuantisasi, yakni tidak bisa melakukan perhitungan relasi Poisson braket antara variabel dinamik sistem seperti yang telah dibahas pa- da Ref. [24]. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan transformasi atau field redefinition pada Lagrangian sistem. Transformasi yang digunakan yakni
ψ
0= U ψ, U = e
iS(x), (2.3)
dengan pemelihan S adalah
S ≡ δ
S2 F
1γ
0+ δ
V2 F
2+ δ
V2
F ¯
3· ¯ α + δ
T S2 F
4τ γ ¯
0+ δ
T V2 F
5τ + ¯ δ
T V2
F ¯
6· ¯ α¯ τ , (2.4)
dengan F merupakan fungsi sembarang, yang merupakan fungsi waktu, t dan posisi, x.
Kami menggunakan pendekatan δ << 1, sehingga ekspansi infinitesimal yang dipilih menjadi
e
iS≈ 1+i δ
S2 F
1γ
0+ δ
V2 F
2+ δ
V2
F ¯
3· ¯ α + δ
T S2 F
4τ γ ¯
0+ δ
T V2 F
5τ + ¯ δ
T V2
F ¯
6· ¯ α¯ τ
. (2.5) Dengan demikian, transformasi yang digunakan ialah
ψ
0≈ ψ + iδ
S2 F
1γ
0ψ + iδ
V2 F
2ψ + iδ
V2
F ¯
3· ¯ αψ + iδ
T S2 F
4τ γ ¯
0ψ + iδ
T V2 F
5τ ψ ¯ + iδ
T V2
F ¯
6· ¯ α¯ τ ψ, ψ ¯
0≈ ψ − ¯ iδ
S2 F
1ψγ ¯
0− iδ
V2 F
2ψ + ¯ iδ
V2
ψ ¯ ¯ α · ¯ F
3− iδ
T S2 F
4α¯ ¯ τ γ
0− iδ
T V2 F
5τ ¯ + iδ
T V2
ψ ¯ ¯ α¯ τ · ¯ F
6, (2.6)
dimana transformasi tersebut memenuhi relasi
ψ ¯
0ψ
0≈ ¯ ψψ, (2.7) dengan ψ merupakan fungsi waktu dan posisi. Untuk mempermudah penulis- an, Kami hanya akan menuliskan notasi F dan ψ saja, yang merupakan fungsi posisi dan waktu. Lagrangian yang akan ditransformasi yakni
L
0= ψ ¯
0( i 2
↔
∂
/ )ψ
0− m ¯ ψ
0ψ
0− 1
2 α
S( ¯ ψ
0ψ
0)( ¯ ψ
0ψ
0) − 1
2 α
V( ¯ ψ
0γ
µψ
0)( ¯ ψ
0γ
µψ
0)
− 1
2 α
T S( ¯ ψ
0τ ψ ¯
0) · ( ¯ ψ¯ τ ψ
0) − 1
2 α
T V( ¯ ψ
0¯ τ γ
µψ
0)( ¯ ψv¯ τ γ
µψ
0)
− 1
2 δ
S∂
µ( ¯ ψ
0ψ
0)∂
µ( ¯ ψ
0ψ
0) − 1
2 δ
T V∂
ν( ¯ ψ
0γ
µψ
0)∂
ν( ¯ ψ
0γ
µψ
0)
− 1
2 δ
T S∂
µ( ¯ ψ
0τ ψ ¯
0) · ∂
µ( ¯ ψ
0τ ψ ¯
0) − 1
2 α
T V∂
ν( ¯ ψ
0τ γ ¯
µψ
0)∂
ν( ¯ ψ
0τ γ ¯
µψ
0). (2.8) Untuk memudahkan penulisan, Kami melakukan transformasi tiap suku pada Lagrangian tersebut
1. Setelah dilakukan transformasi pada Lagrangian, akan didapat Lagrangian hasil transformasi yakni
L
0= L
0kinetik+ L
0interaksi, L
0kinetik= ψ(iγ ¯
µ∂
µ− m)ψ ,
L
0int= L
0non−retardasi+ L
0retardasi, (2.9) dimana suku non-retardasi (suku lama) yakni
L
0non−retardasi= − α
S2 ( ¯ ψψ)
2− α
V2 ( ¯ ψγ
µψ)
2− α
T S2 ( ¯ ψτ ψ)
2− α
T V2 ( ¯ ψγ
µτ ψ)
2+ δ
S2 ∇( ¯ ¯ ψψ) · ¯ ∇( ¯ ψψ) + δ
V2 ∇( ¯ ¯ ψγ
µψ) · ¯ ∇( ¯ ψγ
µψ) + δ
T S2
∇( ¯ ¯ ψτ ψ) · ¯ ∇( ¯ ψτ ψ) + δ
T V2
∇( ¯ ¯ ψγ
µτ ψ) · ¯ ∇( ¯ ψγ
µτ ψ) , (2.10) dan suku retardasi (suku baru yang diperoleh dari transformasi)
1
lihat lampiran A untuk penurunan detailnya
L
0retardasi= − δ
S2 ( ¯ ψ ¯ α · ¯ ∇ψ − ¯ ∇ ¯ ψ · ¯ αψ)( ¯ ψ ¯ α · ¯ ∇ψ − ¯ ∇ ¯ ψ · ¯ αψ) + δ
V2 i( ¯ ψσ
ijγ
0∇
jψ − ∇
jψσ ¯
ijγ
0ψ) − 2im( ¯ ψα
iψ)
2− δ
T S2 ( ¯ ψ ¯ ατ · ¯ ∇ψ − ¯ ∇ ¯ ψ · ¯ ατ ψ)( ¯ ψ ¯ ατ · ¯ ∇ψ − ¯ ∇ ¯ ψ · ¯ ατ ψ) + δ
T V2 i( ¯ ψσ
ijγ
0τ ∇
jψ − ∇
jψσ
ijγ
0τ ψ) − 2im( ¯ ψα
iψ)
2− δ
V2
∇ · ( ¯ ¯ ψ¯ γψ) ¯ ∇ · ( ¯ ψ¯ γψ)
− δ
T S2
∇ · ( ¯ ¯ ψ¯ γτ ψ) ¯ ∇ · ( ¯ ψ¯ γτ ψ) . (2.11)
Pada penelitian ini, Kami hanya fokus pada Lagrangian non-retardasi saja karena efek dari suku retardasi sangat kecil, yakni kurang dari 1 persen pada energi ikat seperti yang telah dibahas pada Ref. [28-30]. Sehingga Lagrangian yang digunakan pada penelitian ini adalah
L ≈ L
kinetik+ L
non−retardasi= ψ(iγ ¯
µ∂
µ− m)ψ − α
S2 ( ¯ ψψ)
2− α
V2 ( ¯ ψγ
µψ)
2− α
T V2 ( ¯ ψγ
µτ ψ)
2+ δ
S2
∇( ¯ ¯ ψψ) · ¯ ∇( ¯ ψψ) + δ
V2
∇( ¯ ¯ ψγ
µψ) · ¯ ∇( ¯ ψγ
µψ) + δ
T V2
∇( ¯ ¯ ψγ
µτ ψ) · ¯ ∇( ¯ ψγ
µτ ψ). (2.12)
Pada penelitian ini Kami menggunakan parameter set PC-F1, dimana nilai kopling konstan α
T S, dan δ
T Snol [10].
2.2 Hartree-Fock
Untuk mengkuantisasi suatu sistem, kita merubah variabel sistem menjadi operator, L → ˆ L , yakni
L = ˆ ψ(iγ ˆ ¯
µ∂
µ− m) ˆ ψ − α
S2 ( ˆ ψ ˆ ¯ ψ)
2− α
V2 ( ˆ ψγ ¯
µψ) ˆ
2− α
T V2 ( ˆ ψγ ¯
µτ ˆ ψ)
2+ δ
S2
∇( ˆ ¯ ψ ˆ ¯ ψ) · ¯ ∇( ˆ ψ ˆ ¯ ψ) + δ
V2
∇( ˆ ¯ ψγ ¯
µψ) · ¯ ˆ ∇( ˆ ψγ ¯
µψ) ˆ + δ
T V2
∇( ˆ ¯ ψγ ¯
µτ ˆ ψ) · ¯ ∇( ˆ ψγ ¯
µτ ˆ ψ). (2.13)
Relasi Dirac braket antara operator memenuhi
h ˆ ψ
α(x), ˆ ψ
β(y) i
+
= 0 = h ˆ ψ
α†(x), ˆ ψ
β†(y) i
+
, h ˆ ψ
α(x), ˆ ψ
†β(y) i
+
= δ
αβδ
3(x − y) . (2.14) Relasi anti-komutasi terpenuhi, jika dan hanya jika, bentuk eksplisit operator pada persamaan tersebut adalah
ψ = ˆ
∞
X
α=1
ψ
α(x)c
α,
ψ ˆ
†=
∞
X
α=1
ψ
†α(x)c
†α, (2.15)
dengan relasi anti-komutasi h
ˆ c
α, ˆ c
†βi
+
= δ
αβ, (2.16)
dimana ˆ c dan ˆ c
†merupakan operator anihilasi dan kreasi.
Keadaan dasar dari A Fermion dinyatakan dengan determinan Slater
|Φ
0i =
A
Y
α=1
c
†α|0i . (2.17)
Dengan menggunakan determinan Slater dan dengan mensubstitusikan persa- maan (2.13), dan relasi berikut,
Φ
0ˆ c
†αc ˆ
βΦ
0= δ
αβθ(α − A), D
Φ
0c ˆ
†αˆ c
γc ˆ
†βc ˆ
δΦ
0E
= [δ
αγδ
βδ− δ
αδδ
βγ] θ(α − A) , (2.18) kita akan memperoleh harga ekspektasi (rata - rata) dari kerapatan Lagrangian yakni
D
Φ
0| ˆ L
Hartree−F ock|Φ
0E
= ¯ L
kinetik+ ¯ L
direct+ ¯ L
exchange, (2.19)
dengan suku kinetik, direct, dan exchange sebagai berikut
L ¯
kinetik=
A
X
αβ
ψ ¯
α(iγ
µ∂
µ− m)ψ
α,
L ¯
direct= −
A
X
αβ
α
S2 ( ¯ ψ
αψ
α)( ¯ ψ
βψ
β) −
A
X
αβ
α
V2 ( ¯ ψ
αγ
µψ
α)( ¯ ψ
βγ
µψ
β)
−
A
X
αβ
α
T V2 ( ¯ ψ
αγ
µτ ψ ¯
α)( ¯ ψ
βγ
µτ ψ ¯
β) +
A
X
αβ
δ
S2 ∇( ¯ ~ ψ
αψ
α) · ~ ∇( ¯ ψ
βψ
β) +
A
X
αβ
δ
V2
∇( ¯ ~ ψ
αγ
µψ
α) · ~ ∇( ¯ ψ
βγ
µψ
β)
+
A
X
αβ
δ
T V2
∇( ¯ ~ ψ
αγ
µτ ψ ¯
α) · ~ ∇( ¯ ψ
βγ
µτ ψ ¯
β),
L ¯
exchange=
A
X
αβ
α
S2 ( ¯ ψ
αψ
β)( ¯ ψ
βψ
α) +
A
X
αβ
α
V2 ( ¯ ψ
αγ
µψ
β)( ¯ ψ
βγ
µψ
α) +
A
X
αβ
α
T V2 ( ¯ ψ
αγ
µτ ψ ¯
β)( ¯ ψ
βγ
µτ ψ ¯
α) −
A
X
αβ
δ
S2
∇( ¯ ~ ψ
αψ
β) · ~ ∇( ¯ ψ
βψ
α)
−
A
X
αβ
δ
V2
∇( ¯ ~ ψ
αγ
µψ
β) · ~ ∇( ¯ ψ
βγ
µψ
α)
−
A
X
αβ
δ
T V2
∇( ¯ ~ ψ
αγ
µτ ψ ¯
β) · ~ ∇( ¯ ψ
βγ
µτ ψ ¯
α). (2.20)
Penulis mengaplikasikan identitas Fierz pada Lagrangian exchange, untuk me- nyusun (re-order) fungsi gelombang supaya berurutan. Kami mengasumsikan sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, yang sesuai dengan tabel berikut
S(x) V
µ(x) T
µν(x) A
µ(x) P (x) Paritas S(˜ x) V
µ(˜ x) T
µν(˜ x) −A
µ(˜ x) −P (˜ x) Inversi Waktu S(−˜ x) V
µ(−˜ x) −T
µν(−˜ x) A
µ(−˜ x) −P (−˜ x)
Tabel 2.1: Invariansi Lagrangian terhadap paritas dan inversi waktu.
dimana S, V
µ, T
µν, A
µdan P adalah:
S(x) = ψ(x)ψ(x), ¯ V
µ= ψ(x)γ ¯
µψ(x), T
µν= ψ(x)σ ¯
µνψ(x),
A
µ= i ¯ ψ(x)γ
5ψ(x). (2.21) Karena sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, maka su- ku yang tidak invarian (sesuai tabel diatas) harus nol. Suku yang mengan- dung komponen ruang, misal γ
i, tidak invarian terhadap paritas, dan suku yang mengandung komponen, misal γ
5, tidak invarian terhadap inversi waktu.
Setelah mengaplikasikan identitas Fierz
2, akan didapat gabungan suku non- derivatif Lagrangian direct dengan Lagrangian exchange dari hasil identitas Fierz, yakni
L
Hartree−F ock∝ − α ˜
S2 ρ
2S− α ˜
V2 ρ
2V− α ˜
T S2 ρ
2T S− α ˜
T V2 ρ
2T V, (2.22) dengan definisi densitas
ρ
S(x) =
A
X
α=1
ψ ¯
α(x)ψ
α(x),
ρ
V(x) =
A
X
α=1
ψ ¯
α(x)γ
µψ
α(x),
ρ
T S(x) =
A
X
α=1
ψ ¯
α(x)τ ψ
α(x),
ρ
T V(x) =
A
X
α=1
ψ ¯
α(x)γ
µτ ψ
α(x), (2.23)
dan redefinisi dari kopling konstan adalah:
˜
α
S≡ 7
8 α
S− 1
2 α
V− 3 2 α
T V,
˜
α
V≡ − 1
8 α
S+ 5
4 α
V− 3
4 α
T V,
˜
α
T S≡ − 1
8 α
S− 1
2 α
V+ 1 2 α
T V,
˜
α
T V≡ − 1
8 α
S+ 1
4 α
V+ 3
4 α
T V. (2.24)
Untuk suku derivatif L
exchange, suku yang invarian setelah dikelompokkan men- jadi
31. −
12δ
θ( ¯ ψ
αψ
α)( ¯ ∇ψ
β∇ψ ¯
β) , 2. −
12δ
θ( ¯ ψ
αψ
α)( ¯ ∇ψ
β∇ψ ¯
β) , 3. −
12δ
γ( ¯ ψ
ατ ψ
α)( ¯ ∇ψ
βτ ¯ ∇ψ
β) , 4. −
12δ
λ( ¯ ψ
αγ
µψ
α)( ¯ ∇ψ
βγ
µ∇ψ ¯
β) , 5. −
12δ
ϕ( ¯ ψ
ατ γ
µψ
α)( ¯ ∇ψ
βτ γ
µ∇ψ ¯
β) , 6. −
12δ
Φ( ¯ ψ
αγ
5γ
µ∇ψ ¯
α)(ψ
βγ
5γ
µ∇ψ ¯
β) , 7. −
12δ
Φ( ¯ ∇ ¯ ψ
αγ
5γ
µψ
α)( ¯ ∇ψ
βγ
5γ
µψ
β) , 8. −
12δ
( ¯ ∇ ¯ ψ
ατ γ
5γ
µψ
α)( ¯ ∇ψ
βτ γ
5γ
µψ
β) , 9. −
12δ
( ¯ ψ
ατ γ
5γ
µ∇ψ ¯
α)(ψ
βτ γ
5γ
µ∇ψ ¯
β) ,
dengan definisi kopling konstannya adalah sebagai berikut
δ
θ= δ
S4 + δ
V+ 3δ
T V, δ
γ= δ
S4 + δ
V− δ
T V, δ
λ= δ
S4 − δ
V2 − 3δ
T V2
, δ
ϕ= δ
S4 − δ
V2 + δ
T V2
, δ
Φ=
− δ
S8 − δ
V4 − 3δ
T V4
, δ
=
− δ
S8 − δ
V4 + δ
T V4
. (2.25)
Dengan demikian, Lagrangian yang diperoleh setelah mengaplikasikan identi-
tas Fierz menjadi
L
Hartree−F ock= L
kinetik+ L
direct+ L
exchange,
L
exchange= L
symmetry+ L
non−symmetry. (2.26) Suku non-symmtery merupakan suku yang tidak invarian terhadap paritas dan inversi waktu, dan kontribusinya diabaikan. Suku symmetry adalah suku yang invarian terhadap paritas dan inversi waktu (sesuai dengan tabel 2.1).
Suku symmetry yang mengandung γ
5diabaikan karena kontribusinya sangat kecil dibandingkan dengan suku yang lain. Transformasi yang dilakukan pada Lagrangian didekati hingga orde (v/c) saja, sedangkan untuk orde yang lebih tinggi (orde ketiga, (v/c)
2dan seterusnya) diabaikan karena kontribusinya ke- cil. Suku yang mengandung γ
5berada pada orde ketiga terhadap kecepatan, sehingga kontribusinya bisa diabaikan. Dengan demikian Lagrangian sistem yang diperoleh yakni
L
Hartree−F ock=
A
X
α=1
ψ ¯
α(iγ
µ∂
µ− m)ψ
α− α ˜
S2 ρ
2S− α ˜
V2 ρ
2V− α ˜
T S2 ρ
2T S− α ˜
T V2 ρ
2T V− δ
S2
∇ρ ¯
S· ¯ ∇ρ
S+ δ
V2
∇ρ ¯
V· ¯ ∇ρ
V+ δ
T V2
∇ρ ¯
T V· ¯ ∇ρ
T V− δ
θ2 ρ
Sρ ¯
S− δ
γ2 ρ
T Sρ ¯
T S− δ
λ2 ρ
Vρ ¯
V− δ
ϕ2 ρ
T Vρ ¯
T V, (2.27) dengan
¯
ρ
S(x) =
A
X
α=1
( ¯ ∇ψ
β∇ψ ¯
β),
¯
ρ
V(x) =
A
X
α=1
( ¯ ∇ψ
βγ
µ∇ψ ¯
β),
¯
ρ
T S(x) = ρ ¯
pS− ¯ ρ
nS,
¯
ρ
T V(x) = ρ ¯
pV− ¯ ρ
nV, (2.28) disini digunakan tetapan isospin τ
3, untuk proton (p) bernilai +1 dan netron (n) bernilai -1.
Materi nuklir adalah keadaan hipotetik dimama jumlah nukleon, A, sangat
banyak dan menempati ruang yang luas. Dengan jumlah nukleon, A → ∞, dan
kita dapat menggunakan limit termodinamika sebagai:
A
X
α=1
≈ Z
kF0
ν
(2π)
3d
3k , (2.29)
dimana ν merupakan faktor degenerasi, ν = (2s + 1)(2I + 1), dengan s adalah spin dan I adalah isospin. Untuk kasus umum, dimana jumlah proton, z, tidak sama dengan jumlah netron, n, degenerasi hanya spin saja, ν = 2. Seperti kita ketahui, fungsi gelombang pada Lagrangian mempunyai bentuk eksplisit
ψ
k(x) = U
ke
ikx, (2.30) dengan U
kadalah isospinor dengan bentuk matriks
U
k=
"
U
kpU
kn# ,
U
kp=
"
U
uppU
dwn# .
(2.31) Dengan mensubstitusikan persamaan (2.29) dan (2.30), kita dapat menuliskan Lagrangian sistem sebagai berikut
L
Hartree−F ock= 2 (2π)
3Z
kF0
d
3k ¯ U
kp(k / − m)U
kp+ 2 (2π)
3Z
kF0
d
3k ¯ U
kn(k / − m)U
kn− α ˜
S2 ρ
2S− α ˜
02 ρ
2V− α ˜
S32 ρ
2T S− α ˜
T V2 ρ
23− δ
θ2 ρ
Sρ ¯
S− δ
λ2 ρ
0ρ ¯
0− δ
γ2 ρ
S3ρ ¯
S3− δ
ϕ2 ρ
3ρ ¯
3, (2.32) dengan
ρ
0(x) = ρ
p0+ ρ
n0= 2 (2π)
3Z
kF0
d
3k ¯ U
kpγ
0U
kp+ 2 (2π)
3Z
kF0
d
3k ¯ U
knγ
0U
kn, ρ
S3= ρ
ps− ρ
ns,
ρ
3= ρ
p0− ρ
n0,
¯
ρ
S(x) = ρ
p+ ρ
n= 2 Z
kFd
3k k
2U ¯
pU
p+ 2 Z
kFd
3k k
2U ¯
nU
n,
¯
ρ
0(x) = ρ
p0+ ρ
n0= 2 (2π)
3Z
kF0
d
3k k
2U ¯
kpγ
0U
kp+ 2 (2π)
3Z
kF0
d
3k k
2U ¯
knγ
0U
kn,
¯
ρ
S3(x) = ¯ ρ
pS− ¯ ρ
nS,
¯
ρ
3(x) = ¯ ρ
p0− ¯ ρ
n0. (2.33)
Suku turunan ¯ ∇( ¯ ψψ), ¯ ∇( ¯ ψγ
µψ), ¯ ∇( ¯ ψτ ψ), dan ¯ ∇( ¯ ψγ
µτ ψ) berharga nol karena konstan terhadap turunan posisi, x. Sistem harus invarian terhadap paritas dan inversi waktu, sehingga komponen ruang pada Lagrangian tersebut (γ
i) harus nol, dan suku yang bertahan hanya γ
0saja.
Untuk memperoleh persamaan gerak sistem, kita aplikasikan persamaan Euler-Lagrange pada Lagrangian tersebut
∂L
∂ ¯ U
kp− ∂
µ∂L
∂(∂
µU ¯
kp) = 0,
(2.34) misal untuk proton terlebih dahulu, akan didapat
(k / − m)U
kp− ˜ α
SU
kpρ
pS− ˜ α
Vγ
0U
kpρ
p0− ˜ α
T SU
kpρ
pS3− ˜ α
T Vγ
0U
kpρ
p3− δ
θ2 U
kpρ ¯
pS− δ
λ2 γ
0U
kpρ ¯
p0− δ
γ2 U
kpρ ¯
pS3− δ
ϕ2 γ
0U
kpρ ¯
p3= 0,
(k
0γ
0− ¯ γ · ¯ k − m)U
kp− ˜ α
SU
kpρ
pS− ˜ α
Vγ
0U
kpρ
p0− ˜ α
T SU
kpρ
pS3− ˜ α
T Vγ
0U
kpρ
p3− δ
θ2 U
kpρ ¯
pS− δ
λ2 γ
0U
kpρ ¯
p0− δ
γ2 U
kpρ ¯
pS3− δ
ϕ2 γ
0U
kpρ ¯
p3= 0 . (2.35) Kalikan dengan γ
0, dan k
0= E
kmaka diperoleh
k
0U
kp= ¯ α · ¯ k U
kp+ γ
0m + ˜ α
Sρ
pS+ ˜ α
T Sρ
pS3+ δ
θ2 ρ ¯
pS+ δ
γ2 ρ ¯
pS3U
kp+ ˜ α
VU
kpρ
p0+ ˜ α
T VU
kpρ
p3+ δ
λ2 U
kpρ ¯
p0+ δ
ϕ2 U
kpρ ¯
p3= 0,
E
k− ˜ α
Vρ
p0− ˜ α
T Vρ
p3− δ
λ2 ρ ¯
p0− δ
ϕ2 ρ ¯
p3U
kp= ¯ α · ¯ k + γ
0m
∗U
kpEU ˜
kp= ¯ α · ¯ k + γ
0m
∗pU
kp, (2.36)
m
∗p= m + ˜ α
Sρ
pS+ ˜ α
T Sρ
pS3+ δ
θ2 ρ ¯
pS+ δ
γ2 ρ ¯
pS3, E ˜
k= E
k− ˜ α
Vρ
p0− ˜ α
T Vρ
p3− δ
λ2 ρ ¯
p0− δ
ϕ2 ρ ¯
p3. (2.37) Dengan demikian, kita juga bisa menuliskan persamaan gerak untuk netron yakni
EU ˜
kn= α · ¯ ¯ k + γ
0m
∗nU
kn,
m
∗n= m + ˜ α
Sρ
nS− ˜ α
T Sρ
nS3+ δ
θ2 ρ ¯
nS− δ
γ2 ρ ¯
nS3, E ˜
k= E
k− ˜ α
Vρ
n0− ˜ α
T Vρ
n3− δ
λ2 ρ ¯
n0− δ
ϕ2 ρ ¯
n3. (2.38) Kita tahu bahwa
T
µν= ν (2π)
3Z
d
3k ∂L
∂(∂
νψ
k) ∂
µψ
k− g
µνL . (2.39) Dengan menggunakan persamaan tersebut, kita dapat memperoleh kerapatan Hamiltonian sistem
H = T
00= ν (2π)
3Z
d
3k ¯ ψ
kiγ
0∂
0ψ
k− L,
H = 2
(2π)
3Z
kF0
d
3k U
kp†( ¯ α · ¯ k + γ
0m
∗p)U
kp+ 2
(2π)
3Z
kF0
d
3k U
kn†( ¯ α · ¯ k + γ
0m
∗n)U
kn− 1
2 α ˜
Sρ
2S− 1
2 α ˜
T Sρ
2S3+ 1
2 α ˜
Vρ
20+ 1
2 α ˜
T Vρ
23+ 1
2 δ
λρ
0ρ ¯
0+ 1
2 δ
ϕρ
3ρ ¯
3,
H = = 2
(2π)
3Z
kF0
d
3k ˜ E
p(k) + 2 (2π)
3Z
kF0