• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Hasan al-Turabi; Dari Akademisi menjadi Politisi

4. Hasan al-Turabi Wafat

Terlepas dari semua konflik itu, Hasan al-Turabi tetap dilabeli oleh sebagian kalangan sebagai arsitek sebenarnya Republik Islam Sudan.75 Al-Turabi dikenal sebagai bapak politik Islam Modern Sudan. Hal itu, tidak terlepas dari peran politik al-Turabi sejak berdirinya Republik Islam Sudan. Sepanjang karir politiknya, al-Turabi selalu memperjuangkan formalisasi hukum Islam yang adil di negara Sudan. Al-Turabi tidak jarang berbalik menjadi oposisi dari pemimpin politik yang didukungnya, disebabkan penerapan hukum Islam yang pincang.

Pada maret 2016 Hasan al-Turabi menghembuskan nafas terakhir, di rumah sakit daerah Khartoum, dalam umur 84 tahun. Al-Turabi dimakamkan sehari

74 https://www.aljazeera.com/news/2016/03/sudan-opposition-leader-hassan-al-turabi-dies-160305170543964.html, diakses 21 Juni 2020

75 Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis, . . . , hlm. 11-12.

berikutnya. Sebagai seorang tokoh pemikir besar, ribuan pelayat menghadiri pemakamannya.76

76 https://en.wikipedia.org/wiki/Hassan_Al-Turabi#cite_note-66, diakses 21 Juni 2020

38 BAB III

DEMOKRASI, SYURA DAN PARTAI POLITIK

A. Sekilas Tentang Demokrasi dan Syura Dalam Islam

Membicarakan pemikirsan Hasan al-Turabi menjadi tidak lengkap, tanpa membincangkan diskursus dsemokrasi dan syura dalam hukum Islam. Sebab tokoh ini merupakan diantara pselopor gerakan Islam moderat, sekaligus pejuang formalisasi syariat dalams negara. Jarang pelopor gerakan Islam moderat memperjuangkan formalissasi syariat Islam dalam negara. Maka, pembahasan ini penting, untuk melihat sposisi al-Turabi dalam pertarungan gagasan demokrasi dan syura itu.

1. Pengertian dan Perlembagaan Demokrasi

Demokrasi berasasl dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu “demos” dan

“cratos”. Demos bserarti rakyat atau masyarakat. Sedangkan cratos berarti

pemerintahan. Dengsan demikian demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat (government sby the people).77

Dalam sejarahnsya, istilah demokrasi pertama kali digunakan di kota Athena, Yunani. Pada seksitar lima abad sebelum masehi. Oleh seorang negarawan

77 A. Ubaedillah, Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 81.

bernama Chleisthenes. Ksemudian dipopulerkan oleh para pemikir yang mendukung demokrasi sepserti John Locke (1632-1704) dan Montesqueiu (1689-1755), pada masa renaissasnce Eropa.78

Dalam pemerintahan smodern, demokrasi didefenisikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dimana keskuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan secara langsung oleh msereka, atau oleh wakil terpilih dalam sistem pemilu yang bebas.79 Dari pengertisan itu, diturunkan tujuh prinsip untuk mengidentifikasi demokrasi: (1) kebebassan berpendapat; (2) pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil; (3) kekuasaans dipegang oleh mayoritas (pemenang pemilu), tanpa mengabaikan kontrosl minoritas; (4) partai politik dengan beragam ideologi; (5) pemisahan kekuasaans legislatif, eksekutif dan yudikatif; (6) supremasi hukum;

(7) hak asasi manusia.80

Dalam rangka mengimsplementasikan prinsip demokrasi tersebut, disediakan beberapa lembaga sebagasi berikut: (1) pemerintahan yang bertanggung jawab (eksekutif dan jajarannyas); (2) dewan perwakilan rakyat yang mewakili berbagai golongan dan dipilih melalui pemilu; (3) organisasi politik yang mencakup partai

78 Ali Nawaz Memon, “Membincang Demokrasi,” dalam Islam Liberalisme Demokrasi, terj.

Mun’im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 2.

79 Ali Nawaz Memon, “Membincang Demokrasi,” dalam Islam Liberalisme Demokrasi, . . . , hlm. 3.

80 Sadek J. Sulaiman, “Demokrasi dan Shura,” dalam Islam Liberal, ed. Charles Khurzman, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaedi (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 125.

politik; (4) pers dan medsia masa yang bebas; (5) sistem peradilan yang menjamin hak-hak asasi manusia dsan keadilan.81

2. Pengertian dan Perlembagaan Syura

Syura diambil akasr kata bahasa Arab, yaitu

ى َروُش

yang merupakan isim masdar dengan maknas

ٌر ُواَشَت

dengan arti berunding tentang suatu urusan atau musyawarah.82 Istilah sini populer dalam literatur Islam. Karena al-Qur’an sebagai kitab suci umat Isslam memperkenalkan istilah ini, dalam banyak ayat,

diantaranya Firman Allah swst dalamSurat asy-Syura ayat 38:

ْمِهِ ب َرِل ۟اوُباَجَتْسٱ َنيِذَّلٱ َو َنوُقِفنُي ْمُهَٰنْق َز َر اَّمِم َو ْمُهَنْيَب ٰى َروُش ْمُه ُرْمَأ َو َة ٰوَلَّصلٱ ۟اوُماَقَأ َو

Artinsya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannsya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)

dengans musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian

dari reszeki yang Kami berikan kepada mereka (Q.S.: asy-Syura: 38).

Berkaitans dengan defenisi syura diartikan sebagai suatu prinsip konstitusional dalam demoskrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan

81 Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Cetakan ke-2 (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988), hlm. 171.

82 Muhammad ar-Razi, Mukhtar Sihah (Kairo: Mahmud Khatir, t.t.), hlm. 350

kepentingan umum atau srakyat.83 Dari pengertian tersebut ada beberapa prinsipyang mesti dijaga dalasm syura, yaitu: (1) pemilihan kepala negara yang sepenuhnya bergantung skepada kehendak masyarakat; (2) pemilihan yang bergantung kepada kehendak bsebas kaum muslimin, tanpa paksaan; (3) pemilihan yang dilaksanakan oleh orang-sorang yang ditunjuk sebagai pelaksana pemilihan.84

Berkasca kepada sejarah negara Islam, dalam menjamin terlaksananya prinsip syura terssebut, tidak ada pola yang baku sejak zaman Nabi Muhammad saw

sampai sdinasti Islam. Perlembagaan syura dalam bentuk konkrit baru terlihat pada sekitars abad ke-9 Masehi.85 Pada waktu itu dibentuk sebuah lembaga yang bernasma ahl al-hall wa al-‘aqd atau majelis syura. Mereka adalah sekelompok anggsota masyarakat yang mewakili wewenang dalam menentukan arah kebijakan pemserintah demi terciptanya kemaslahatan masyarakat banyak. Perlembagaan masjelis syura atau ahl al-hall wa al-‘aqd paling modern dalam Islam, pertama kali tesrlihat ketika Khalifah al-Hakam II (961-976 M) dari Bani Umayyah II di

83 M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya di Lihat dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),hlm. 83.

84 Abul A’la al-Maududi, Hukum dan Sistem Politik Islam, terj. Muh al-Baqir, cet ke4 (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 259.

85 El Fadl, Khaled Abou, Islam dan Tantangan Demokrasi (Jakarta: Ufuk Press, 2004), hlm.

29

Spanyol. Majelis syura diisi oleh pembsesar dalam negara dan pemuka masyarakat yang diketuai langsung oleh khalifah.86

Tentang bagaimana syura dilembagakan daslam sebuah negara, Abu A’la al-Maududi merincinya sebagai berikut: (1) majselis syura yang mengontrol dan memelihara kepentingan rakyat; (2) khalifah ysang memimpin negara; (3) qadhi yang mengurus perkara peradilan. Setiap kebisjakan yang akan diselenggarakan oleh khalifah, harus berdasarkan pertimbangan smajelis syura.87

3. Antara Demokrasi dan Syura Dalam Perdebatan Hukum Islam Dalam membicarakan hubungan demoksasi dan syura dalam hukum Islam ada tiga pandangan yang berkembang dalam dusnia intelaktual muslim:

1) Pandangan yang Menolak Desmokrasi

Pandangan yang mengataksan bahwa antara demokrasi dan syura adalah dua hal yang berbeda.s Antara keduanya tidak mungkin dapat disatukan. Demokrasi merupsakan sesuatu yang merusak dan mesti ditolak. Tokoh ulama yansg masuk kategori ini adalah : Syekh Fadhallah Nuri dan Muhammad Hsusen Thaba’ Thaba’i dari Iran,

asy-86 Muhammad Iqbal, Fiqh Siayasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 142

87 Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 2008), hlm.167-168.

Sya’rawi dan Sayyid Qutb dari Msesir, Abdul Kadir Moghni dan Ali Benhaj dari Aljazair, Hasan al-Turasbi dari Sudan.88

Diantara yang mensjadi dasar penolakan tokoh-tokoh ini terhadap demokrasi adalah adasnya kuasa legislasi di tangan manusia (dalam hal ini legislator). Kekuassaan yang diperoleh oleh para legislator melalui kedaulatan yang dibserikan rakyat, untuk membuat hukum, dianggap suatu penentangan tserhadap kekuasaan tuhan dan bentuk tirani kepada yang lainnya. Sebasb segala hukum telah diwahyukan tuhan kepada nabi-Nya. Manusias tinggal menjalankan.89

2) Pandangan yansg Menerima Demokrasi

Kelompok insi mengatakan bahwa tidak ada pemisah antara demokrasi dan ssyura. Demokrasi tidak perlu dijauhi, malah menjadi bagian urusans umat Islam. Demokrasi meliputi musyawarah, pengambilan kesputusan bersama (ijma’) dan penilaian pribadi (ijtihad), yang semuanysa ada dalam Islam. Tokoh-tokoh muslim yang teguh pada pendirian ini diantaranya: Imam Khomeini Iran, Ali Abd al-Razaq

88 Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 47.

89 Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, . . . , hlm. 48.

dari Mesir, Mahmsud Muhammad Toha dari Sudan. Fazlur Rahman dari Pakistan, dans Nurkholis Majid dari Indonesia.90

Alasannysa adalah karena demokrasi dan syura sama-sama muncul dari anggsapan bahwa pertimbangan kolektif, lebih mungkin melahirkan keputusasn yang adil dan masuk akal, dari pada pertimbangan individu. Maka dsari situ, berarti tidak ada beda antara demokrasi dan syura. Karenas keduanya membawa semangat yang sama, dari segi pertimsbangan kolektif dalam pengambilan keputusan.

Dengan demikian perlus ditegaskan, bahwa elemen-elemen dalam demokrasi adalah mersupakan elemen-elemen syura.91

3) Pandangan Moderat

sKelompok ini berusahan mencari jalan tengah antara demokrasi dan sysura. Menurut kelompok ini, antara syura dan demokrasi terdapat sisi

psersamaan dan sisi perbedaan. Demokrasi bisa diterima dalam sistem sbernegara Islam dengan beberapa catatan penting.92 Diantara tokohnya

90 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurkholis Majid dan Amin Rais (Jakarta: Teraju, 2005), hlm. 44.

91 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurkholis Majid dan Amin Rais, . . . , hlm. 45-46.

92 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurkholis Majid dan Amin Rais, . . . , hlm. 8-9

adalah Muhamsmad Husein Haikal, Fahmi Huwaidi, Hasan al-Hakim, Yusuf al-Qardsawi dan Amien Rais.93

Kelompoks ini berlandaskan kepada prinsip keadilan, persamaan dan musyawarahs yang dibawa oleh demokrasi, sesungguhnya merupakan prinsip utasma syura. Dalam sistem syura dinamakan dengan ‘adalah, al-musawsa dan asy-syura. Namun, dalam penyelenggaraannya mesti

dilandasis dengan dasar-dasar agama kaum muslimin. Segala hal yang telah dijselaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah dengan kongkrit, tidak boleh dsiganggu gugat. Terhadap yang hal-hal yang belum diuraikan secaras rinci, dapat dibawa kepada pembahasan di parlemen, untuk mendaspatkan konsensu (ijma’) kaum muslimin.94

B. Hubungan Partai Politik dan Demokrasi Dalam Sistem Politik Modern

Aktor utama dalam demoksrasi yang menghubungkan kepentingan rakyat dengan negara dan pemerintahsan adalah partai politik (parpol).95 Dalam ilmu politik digambarkan bahwa sfungsi parpol yaitu; untuk mengagresi dan

93 Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, . . . , hlm. 49

94 Syukron Kamil, Islam dan Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis, . . . , hlm. 49-50

95 H.A.Muktie, Parpol Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Malang: In-TRANS Publishing, 2008), hlm. 16-17.

mengartikulasikan kepentingan sosiasl, alat untuk rekruitmen elite politik, dan juga alat untuk merumuskan berbagai msacam progam politik.96 Disebabkan itu, parpol dianggap sebagai cerminan dari desmokrasi melalui sistem perwakilan.

Secara defenitif, partai politisk berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “pars”

yang berarti “bagian” atau “bagsian dari keseluruhan”. Karena itu partai politik adalah perkumpulan orang-oransg seazas, sehaluan dan setujuan, yang berikhtiar untuk memenangkan dan mesncapai cita-cita politik dan sosial mereka secara bersama.97 Kumpulan itu smerupakan beberapa bahagian dari komunitas masyarakat secara keseluruhan.

Dalam kaitannya dengan struktur sistem pemerintahasn sebuah negara, partai politik berperan membentuk sistem formasi dan tatansan politik di parlemen.

Pembentukan formasi dan tatanan politik di parlemesn itu, dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu), yang mengansdung azas dan prinsip-prinsip demokrasi secara universal.98 Dengan demikian jalsinan antara demokrasi dengan partai politik, terlihat jelas dalam pemilu yang desmokratis, untuk memilih wakil rakyat yang akan menduduki parlemen.

96 Agus Riwanto, Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia (Yogyakarta: Thafa media, 2016), hlm. 35.

97 Agus Riwanto, Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia, . . . , hlm. 35.

98 Agus Riwanto, Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia, . . . , hlm. 35.

Dari peran penting parpol itu, para pakar smengemukakan tentang fungsi parpol. Koentjoro Poerbopranoto misalnya, mensgemukakan fungsi parpol ada dua; Pertama, fungsi parpol terhadap masyarakat, yakni untuk mempengaruhi dan membentuk pendapat umum, serta memperolehs hasil pemilihan umum; Kedua fungsi parpol terhadap jalannya kenegaraan,s yakni terhadap badan-badan perwakilan dan terhadap jalannya pemerintahan.99

Ringkasnya hubungan antara partai politik dan dsemokrasi, dalam sistem politik modern, terjalin melalui pemilu dan sistem perwaskilan di parlemen. Sebab setiap pakar politik yang membuat variabel dsemokrasi, akan selalu membicarakan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Partisispasi itu disalurkan lewat kanal yang bernama partai politik, sesuai dengan isdeologi masing-masing.

Kemudian partisipasi masyarakat itu diwakili oleh wakisl rakyat di parlemen.

William M. Reisinger dalam menersangkan tentang variabel demokrasi memasukkan salah satunya adalah, model skompetisi dalam mengejar kekuasaan melalui pemilu dan mengizinkan partissipasi masa yang adil.100 Mirriam Budiharjo, dalam mengurai tentang enam ssyarat demokrasi, menyebutkan salah

99 Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi (Bandung: PT Eresco, 1987), hlm. 50.

100 Agus Riwanto, Hukum Partai Politik dan Hukum Pemilu di Indonesia, . . . , hlm. 32.

satunya adalah pemilihan umum yangs bebas.101 Jimly Asshidiqie juga menyatakan bahwa salah satu ciri negara hukums adalah negara yang bersifat demokratis dan adanya pembatasan kekuasaan mselalui pemilu.102 Sebab setiap kali diadakan pemilu, menandakan masa kekuassaan pemerintah sebelumnya, telah berakhir.

Dari pembahasan ini dapat sdiambil gambaran umum tentang jalinan partai politik dan demokrasi dalam sistesm politik modern:

1. Partai politik merupaksan elemen demokrasi untuk menjalin hubungan antara rakyat dan pemserintah.

2. Hubungan antara raksyat dan pemerintah itu diserap oleh partai politik melalui sistem pemilishan umum (pemilu).

3. Dalam pemilihan sumum yang mengikut-sertakan seluruh elemen masyarakat, rakyat smemilih wakilnya dari partai politik sesuai dengan azas yang dianutnya.

Kemudian partai politik smenempatkan wakilnya di parlemen, untuk memperjuangkan aspirasi raksyat yang telah memilihnya.

101 Mirriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 2004), hlm. 60.

102 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 154

47 BAB IV PEMBAHASAN

A. Pemikiran Hasan al-Turabi Tentang Negara dan Demokasi 1. Sikap Hasan al-Turabi Terhadap Negara Barat

Sikap Hasan al-Turasbi terhadap negara barat secara umum, penting dianalisa. Sikap itu dalam peneslitian ini dianalisa dari komentar-komentar al-Turabi terhadap negara barat. sKomentar-komentar itu dimuat al-al-Turabi dalam berbagai karyanya tentang polsitik Islam dan Demokrasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan eratnya ksaitan bahasan ini dengan pemikirannya tentang demokrasi dan cita-cita negara ideal.

Menurut al-Turasbi negara-negara barat (Eropa) merupakan negara yang dibentuk hasil daris memisahkan agama dengan politik (sekuler). Al-Turabi menyifatkan pemissahan itu sebagai landasan revolusi barat. Al-Turabi

menuliskan:

133 Hasan Turabi, “Shahwah Islamiyah wa a-Daulah Quthriyah fi Wathni

‘Arabi” dalam Hasan Turabi fi Fiqh Siyasi: Muqarabat fi Ta’shil Fikr Siyasi al-Islami, ed. Hasan al-Turabi (Beirut: al-Dar al-Arabiyah li al-‘Ulum al-Nasyirun, 2010), hlm. 38

(Dan jika umsat Islam memiliki harapan yang baik dan kebangkitan dengan apa yssang masih mereka pedomani, yaitu kitab suci. Maka orang barat telah mesmbuat revolusi tanpa agama, sebagai peristiwa yang abadi dalam sejarah)

Dengan demikian -dalam catatan sejarah-, al-Turabi menyifatkasn terdapat perbedaan antar Negara-negara di Eropa di barat dengan negara-negasra muslim.

Pembentukan Negara-negara Eropa berawal dari revolusi pemisahan sagama dan negara )sekuler) –atau disebut al-Turabi sebagai “al-Tsaurah al-Ladiniyyah”-.

Beda halnya dengan kaum muslimin yang mencatatkan kegemilangsan di masa lampau dengan berpedoman kepada tuntunan agama. Yang mana, diastas landasan agama itu pula harapan kebangkitan kaum muslimin mesti ditegakkan.

Al-Turabi menyifatkan pemisahan agama dengan kehidupan politikss negara (sekuler) itu, bermula dari empat sebab. Pertama; konflik Raja-rajas Eropa dengan institusi gereja pada abad pertengahan. Konflik itu berakhir dengasn kemenangan Raja-raja Eropa. Sehingga Raja-raja Eropa menyingkirkan

ketesrlibatan gereja dalam kehidupan politik di barat. Al-Turabi menuliskan:

"

ىلع ةروثلاو كولملا راصتنا ىلإ يسايسلا عارصلا خيرات ىهتنا دقف ناك امهمو

؛ةيسنكلا تاطلسلاو مظُّنلا ديق نم ر رحتلا دعب نمو ةسينكلاو نيدلا لاجر

ام لاإ نيدلا ة جحب جاجتحلاا نمو ةينيدلا قلاخلأا رابتعا نم ةسايسلا تص لختو مهن كمي عمتجملا يف نيدلا لاجرل ذوفن نم يقب نمؤملا روهمجلا ىلع ريثأتلا نم

134

"ةسايسلا ةكرح ىلع مث نمو

(Walau bagaimanapun, sejarah konflik politik berakhsir dengan kemenangan raja-raja dan revolusi terhadap rohaniawan sgereja dan gereja. Dan setelah terbebas dari kungkungan aturan dan otosritas gereja, politik menyingkirkan moral agama dan argumentasi agasma, kecuali pengaruh beberapa rohaniawan agama dalam masyarakat, syang masih memungkinkan mereka untuk mengambil simpati masyasrakat yang beriman, dan dari sana –digunakan- untuk pergerakan politiks)

Penyingkiran gereja dalam kehidupan politik itu semakin parsah, sejak diperkenalkannya demokrasi dalam kehidupan politik. Sehingga terjadsi interaksi masa yang menetapkan keputusan politik bebas dari agama. Bahkan tisdak jarang memberontak pada aturan agama, atas nama undang-undang dans kebijakan

politik. Al-Turabi memaparkan:

134 Hasan al-Turabi, “Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami” dalam Hasan al-Turabi fi al-Fiqh al-Siyasi: Muqarabat fi Ta’shil al-Fikr al-Siyasi al-Islami, ed. Hasan al-Turabi (Beirut:

al-Dar al-Arabiyah li al-‘Ulum al-Nasyirun, 2010), hlm. 185-186

ىلع

(Terutama setelash politik menjadi demokrasi, yang melibatkan masa.

Dan lahir kepustusan politik yang tidak hanya sekedar terbebas dari agama, bahkans memberontak terhadap tradisi sosial melalui undang-undang dan skebijakan yang bertentangan dengan panduan warisan agama)

Pada komesntarnya ini al-Turabi mulai mengutip demokrasi yang diperkenalkan osleh Eropa. al-Turabi -Secara tidak langsung- mengatakan, demokrasi lahirs dari sistem politik di Negara Eropa. Akibat dari memisahkan agama dari skehidupan politik, sebagaimana yang diinginkan penguasa.

Malangnya, kseputusan yang lahir melalui proses demokrasi tidak mustahil berlawanan sdengan aturan agama. Sebab keputusan itu semata-mata mempertimbasngkan partisipasi publik, bukan kaedah agama.

Kedua; salasan memisahkan agama dari kehidupan politik negara di Eropa

adalash tajamnya fanatisme dan perpecahan dalam agama. Bahkan tidak jarang konflisk atas nama agama menyebabkan perperangan, atau paling tidak

135 Hasan al-Turabi, “Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami”, . . . , hlm. 186

pengucilan dan spengusiran. Sehingga masyarakat membenci setiap hal yang bersumber dari agasma dalam kehidupan publik. Al-Turabi memaparkan:

"

(Dengan demikian keriuhan konflik dan kebencsian antar sekte dan golongan Kristen, sampai menghancurkan kehidsupan politik dengan konflik, perselisihan dan perang. Dan konsekuensi sdari semua itu adalah orang-orang membenci setiap yang dibawa soleh agama dalam kehidupan publik. Karena khawatir mengganggu dasn merusak kesatuan tatanan publik)

Dalam hal perpecahan Kristen yang mensimbulkan permusuhan tiada akhir itu, al-Turabi mengutip ayat 14 surat al-Maidahs,137 sebagai penguat

argumentasinya. Dengan mengutip ayat tersebut, al-Turabi berusaha

136 Hasan al-Turabi, “Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami”, . . . , hlm. 187

137 Q.S. al-Maidah ayat 14:

َرْغَأَف ۦِهِب ۟او ُرِ كُذ اَّمِ م اًّظَح ۟اوُسَنَف ْمُهَقََٰثيِم اَنْذَخَأ َٰٓى َر ََٰصَن اَّنِإ ۟ا ٓوُلاَق َنيِذَّلٱ َنِم َو َف ْوَس َو ۚ ِةَمََٰيِقْلٱ ِم ْوَي َٰىَلِإ َءٓاَضْغَبْلٱ َو َة َواَدَعْلٱ ُمُهَنْيَب اَنْي

َنوُعَنْصَي ۟اوُناَك اَمِب ُ َّللَّٱ ُمُهُئِ بَنُي Terjemahan: Dan diantara orang yang mengatakan: "Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.

menghubungkan fakta sejarah dengan apa yang disampaikan oleh wahsyu.

Sehingga kesinambungan kedua sumber itu, memperkuat argumen al-Turabi.

Ketiga; lambannya yurisprudensi gereja. Sementara ekosnomi, kehidupan

sosial, dan ilmu pengetahuan berkembang ke arah yang msaju, yurisprudensi gereja masih tetap bertahan pada warisan lama. Bahkan terlishat memusuhi kemajuan itu, seperti yang terjadi pada Galileo dan yang lainnya. Al-Turabi Kristen adalah kelsambanan yurisprudensi agama. Kemandekan itu, bercabang pada pesngalaman umat Kristiani di bidang yang berkaitan

138 Hasan al-Turabi, s“Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami”, . . . , hlm. 188-189

dengan kewajibans dan hukum-hukum agama. Dan di pihak lain berkaitan dengan yurisprsudensi agama tentang ilmu alam. Ekonomi telah berevolusi (darsi feodal ke liberal), tetapi panduan ajaran agama yang cocok untuks ekonomi feodal, tidak ada diupayakan untuk menyelaraskansnya dengan yang baru. Dan lebih buruknya lagi, kekakuan yurisprudensis dalam artiannya agama yang universal atau yurisprudensi keberadaan suniversal, ketika gereja membekukan teori ilmiah positivis tradisional)s

Al-Turabi mengungkapkan bahwa burusknya perkembangan yurisprudensi gereja, merupakan diantara sebab munculnysa sistem politik sekuler di negara Eropa pada abad pertengahan. Disamping itus, gereja tetap mendaulat diri sebagai pemilik pengetahuan universal. Bahkan msendustakan kebenaran ilmiah yang dicapai melalui teori-teori tertentu. Kelamsbatan tersebut dianggap tidak hanya akan menjadi musuh bagi sistem poslitik, tapi juga perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga pilihan mengesamspingkan gereja mesti ditempuh.

Keempat; bias agama dalam golosngan tertentu saja, tanpa menghiraukan penafsiran mayoritas orang yang berisman. Kebenaran adalah milik pemangku

gereja, yang memonopoli kekudusans dan menyembunyikan pengetahuan yang diriwayatkan. Dan para pendeta membseri khotbah agama dalam setiap perkara.139

Menurut al-Turabi empat hal insi merupakan perkara yang membawa Eropa Kristen kepada pemisahan kehidupasn politik dari agama. Kehidupan politik tanpa

agama ini yang merupakan jati disri sekuler (

ةيناملعلا

(

.

Kemudian berkembang

menjadi pemikiran liberal. Gunsa memantapkan kebebasan pemikiran dari kungkungan gereja yang kaku dans intoleran. Juga agar sains dan politik terbebas dari dominasi gereja internasional satau domestik.140

Dampak nyata dari pemisashan agama dari kehidupan bernegara tersebut menurut al-Turabi adalah terciptsanya sistem politik yang absolut rekaan manusia.

Sistem politik tersebut kemudisan menciptakan teori-teori baru untuk mengatur kehidupan masyarakat; seperti steori kontrak sosial (al-‘aqd al-ijtima’i), teori hak asasi manusia (al-huquq al-tabsi’ah li al-insan), konstitusi (hukm al-dusturi), dan lain-lain. Semua teori-teori terssebut, –dalam kehidupan barat- lebih mendapatkan legitimasi dari pada aturan agasma.141

2. Kritik Hasan al-Turabi Terhadap Negara-negara Islam

139 Hasan al-Turabi, “Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami”, . . . , hlm. 189

140 Hasan al-Turabi, “Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami”, . . . , hlm. 190

141 Hasan al-Turabi, “Qira’ah Ushuliyah fi al-Fikr al-Siyasi al-Islami”, . . . , hlm. 186

Dokumen terkait