• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.6 Hasil Analisis Data

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama dapat disimpulkan bahwa Partisipasi dalam penyususnan anggaran dan struktur desentralisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Kinerja manajerial SKPD, sedangkan kejelasan

sasaran anggaran tidak mempengaruhi secara signifikan kinerja manajerial SKPD. Pengujian hipotesis kedua menyimpulkan bahwa pengawasan internal mempunyai efek moderasi dengan tingkat signifikansi 10% terhadap hubungan antara partisipasi dalam penyusunan anggaran dengan kinerja manajerial SKPD, tetapi jika menggunakan tingkat signifkansi 5%, pengawasan internal tidak dapat dikatakan memiliki efek moderasi.

5.6.1 Pengaruh Partisipasi dalam Penyusunan Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial SKPD

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial Partisipasi Penyusunan Anggara berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja SKPD. Hasil Penelitian ini mendukung penelitian Suhartono, Halim (2005) yang menyimpulkan Partisipasi penyusunan anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD di Pemerintahan daerah. Sejalan dengan pernyataan Riyadi (1998) bahwa partisipasi penyusunan anggaran merupakan sarana bagi karyawan untuk dapat lebih mengerti terhadap apa yang mereka kerjakan. Selanjutnya, partisipasi penyusunan anggaran akan membantu karyawan untuk memperbaiki kinerja mereka dengan mengetahui target anggaran. Demikian juga dengan hasil penelitian Argrys (1952) dalam Kenis (1979) yang mengatakan kunci dari kinerja yang efektif adalah partisipasi dari bawahan memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan tersebut.

5.6.2 Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggaran Terhadap Kinerja Manajerial SKPD

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial Kejelasan Sasaran Anggaran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja SKPD. Hasil Penelitian ini berbeda dengan penelitian Suhartono dan Halim (2005) yang menyimpulkan kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja manajerial Pemda. Hasil penelitian tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kenis (1979), bahwa kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanggung jawab atas pencapaian sasaran tersebut. Oleh sebab itu sasaran anggaran daerah harus dinyatakan secara jelas, spesifik dapat dimengerti oleh mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Locke (1968) dalam Kenis (1979) menyatakan bahwa penetapan tujuan spesifik akan lebih produktif dari pada tidak menetapkan tujuan spesifik. Hal ini akan mendorong karyawan untuk melakukan yang terbaik bagi pencapaian tujuan yang dikehendaki sehingga dapat berimplikasi pada peningkatan kinerja.

Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Syafrial (2009), menyimpulkan bahwa kejelasan sasaran anggran berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja managerial SKPD. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan ada perbedaan karakter dari individu dalam penyusunan anggaran satuan kerja perangkat daerah di Kabupaten Deli Serdang dengan di Kabupaten Saralangon. Dalam RKA_SKPD yang akhirnya akan dijadikan bahan dalam penyusunan anggaran

SKPD, Kabupaten Deli Serdang, tidak begitu memperhatikan kejelasan sasaran anggaran. Indikator kinerja yang dibuat dalam RKA, masih bersifat tidak terukur. Setiap akhir periode, masing-masing SKPD menyusun laporan pertanggungjawab atas penggunaan anggaran dalam bentuk LAKIP. Pengukuran kinerja dalam lakip hanya berdasarkan aspek ekonomis, efektifitas dan efesiensi. Dimana pengukuran tersebut masih dianggap kurang tepat karena tidak memperhatikan apakah belanja yang telah dikeluarkan tersebut telah mencapai sasaran yang dicantumkan dalam RKA.

Indikator kinerja yang digunakan selama ini oleh pemerintah daerah dalam pelaporan pertanggungjawabab keuangan daerah masih memiliki kelemahan karena indikator kinerja tersebut tidak terukur, dan tidak didukung oleh data yang valid dan handal. Indikator kinerja hanya membandingkan antara anggaran dan realisasi, sedangkan dalam penyusunan anggaran, penentuan besarnya nilai rupiah belanja untuk program dan kegiatan tidak berdasarkan suatu data yang valid dan dapat diandalkan. Misalkan dalam penentuan belanja untuk pemelihraan aktiva tetap sebesar Rp. 300.000.000 tidak didukung perincian yang logis dan data yang dapat di andalkan seperti data tentang jumlah asset tetap dan kondisi asset tetap tersebut yang perlu biaya pemeliharaan. Sehingga tidak jelas apakah asset tersebut hanya perlu belanja pemeliharaan ringan atau biaya pemeliharaan berat. Sehingga saat realisasi anggarannya ternyata hanya Rp. 250.000.000 juta dianggap pemerintah daerah sudah efesien. Jika dilakukan analisa lebih lanjutnya, ternyata belanja yang dikeluarkan

seharusnya cukup Rp. 200.000.000 juta. Jadi ada keterkaitan antara proses penyusunan anggaran dan penilaian kinerja satuan kerja perangkat daerah. Dengan adanya indikator kinerja tersebut terjadi kesenjangan antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam menilai kinerja yag telah mereka capai. Dalam satu sisi, masyarakat menganggap kinerja pemerintah daerah sangat rendah/jelek tetapi berdasarkan indikator kinerja yang dibuat oleh pemerintah dalam laporan pertanggungjawaban pemerintah daerah, pemerintah daerah tergolong memiliki kinerja yang baik. Hal ini disebabkan adanya pengukuran kinerja yang dianggap kurang tepat yang tidak memasukkan beberapa unsur yang berkaitan dengan masyarakat.

Sistem pengukuran kinerja yang dapat mengindikasikan orientasi pemenuhan kepuasan/kebutuhan masyarakat adalah penetapan indikator dan target kinerja yang jelas dan terukur. Penetapan indikator dan target kinerja merupakan tahap penting yang harus dilakukan secara hati-hati. Penetapan indikator dan target kinerja penting untuk menentukan keberhasilan satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan program dan kegiatan. Penetapan kinerja diharapkan tidak menimbulkan kesenjangan penilaian antara masyarakat dan pemerintah daerah.

Locke (1968) dalam Kenis (1979) mengatakan kejelasan sasaran anggaran disengaja untuk mengatur perilaku karyawan. Ketidakjelasan sasarana anggaran akan menyebabkan pelaksana anggaran menjadi bingung, tidak tenang dan tidak puas dalam bekerja. Hal ini menyebabkan pelaksanaan anggaran tidak termotivasi untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

5.6.3. Pengaruh Struktur Desentralisasi terhadap Kinerja Managerial

Hasil pengujian hipotesis secara parsial menunjukkan bahwa struktur desentralisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja manajerial SKPD. Hal ini sejalan dengan penelitian Syafruddin (2005) dan pendapat para akademisi maupun praktisi di bidang bisnis termasuk akuntasi yang menyatakan bahwa tingkat atau intensitas partisipasi anggaran dan derajat struktur organisasi yang terdesentralisasi akan meningkatkan atau menurunkan kinerja orang yang terlibat dalam partisipasi dan struktur tersebut. Yang menjadi perhatian dan menimbulkan perbedaan pandangan adalah adanya faktor-faktor lain yang merupakan faktor moderating ataupun intervening yang diidentifikasi dan diteliti dalam penelitian sektor publik (Pemerintah Daerah) di Indonesia yaitu hubungan antara partisipasi anggaran dan Struktur Organisasi yang terdesentralisasi dengan kinerja menejerial.

Struktur Organisasi desentralisasi secara umum ditujukan dengan pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi. Dalam struktur sentralisasi yang tinggi, sebagian keputusan diambil pada tingkat hirarki organisasi yang tertinggi, dan apabila sebagian otorisasi didelegasikan pada level yang rendah dalam organisasi, maka organisasi tersebut lebih desentralisasi.

Desentralisasi akan menunjukkan tingkat otonomi yang didelegasikan pada manajerial SKPD sehingga manajerial SKPD mempunyai tanggung jawab yang lebih besar terhadap perencanaan dan pengendalian aktivitas operasi serta membutuhkan informasi yang lebih banyak. Jadi organisasi yang strukturnya lebih terdesentralisasi

seperti pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, para manajerial SKPD mempunyai otonomi yang lebih besar dalam proses pengambilan atau penetapan keputusan.

Otonomi pengambilan keputusan ini antara lain meliputi tanggung jawab pimpinan kepala dinas atau badan secara keseluruhan terhadap unit kerja yang dipimpinnya. Sebelum diberlakukan otonomi daerah tanggungjawab fisik dan keuangan diemban oleh pimpinan proyek dan bendahara proyek, maka sejak otonomi daerah Kepala Dinas atau Badanlah yang bertanggung jawab secara langsung terhadap proyek-proyek tersebut. Dengan otonomi yang semakin tinggi ini, dapat diprediksikan bahwa Kepala Badan dan Kepala Dinas akan lebih bertanggung jawab, selanjutnya kinerja manajerial juga menjadi semakin meningkat. Dengan kata lain, semakin struktur terdesentraslisasi organisasi di pemerintahan daerah, maka semakin tinggi pula kinerja kepala SKPD dalam menjalankan pengelolaan keuangan daerah.

5.6.4. Pengaruh Pengawasan Internal terhadap Kinerja Managerial SKPD

Hasil penelitian menujukkan bahwa pengawasan internal tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja managerial SKPD. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat beberapa pakar keuangan daerah. Menurut Mardiasmo (2001) dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pelaksanaan APBD dan Pertanggung jawaban APBD yang meliputi setiap tahapan pengelolaan keuangan daerah, maka diharapkan proses pengelolaan keuangan daerah terutama dalam proses penyusunan anggaran akan memperbesar pengaruhnya terhadap kinerja manajerial SKPD. Alamsyah (1997) menyebutkan bahwa tujuan adanya pengawasan APBD

adalah untuk : (1) menjaga agar anggaran yang disusun benar-benar dijalankan, (2) menjaga agar pelaksanaan APBD sesuai dengan anggaran yang telah digariskan, dan (3) menjaga agar hasil pelaksanaan APBD benar-benar dapat dipertanggung jawabkan.

Dari pengujian hipotesis kedua, disimpulkan bahwa variabel pengawasan internal bukan merupakan variabel independen yang mempengaruhi kinerja managerial SKPD. Hal ini diperkirakan dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, yaitu: belum adanya barometer keberhasilan seperti pada organisasi bisnis sehingga sulit untuk menentukan tingkat keberhasilan. Begitu juga adanya faktor terjadinya keterlambatan dalam pengesahan peraturan daerah tentang APBD, yang dapat menyebabkan banyak program dan kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan untuk tahun anggaran berjalan sehingga terjadi keterlambatan pembangunan daerah tersebut. Selain itu juga ada masalah sumber daya manusia yang masih belum seperti harapan, misalnya pemahaman dalam pembuatan dokumen yang diperlukan untuk pelaksanaan APBD. Faktor lain juga yang diperkirakan mempunyai peran yang sangat besar yaitu masalah perubahan peraturan khususnya yang mengatur tentang keberadaan kantor Inspektorat sebagai pengawas intern, dimana banyak yang terjadi setelah era otonomi daerah banyak lahir raja-raja kecil baru, sehingga rekruitmen personil dan pemutasian personil dari satu badan/kantor ke tempat lain begitu mudah, sehingga kwalitas personil banyak yang tidak seperti harapan.

Jadi, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengawasan intern tidak dapat memoderasi pengaruh partisipasi dalam penyusunan anggaran, kejelasan sasaran anggaran dan struktur desentralisasi terhadap kinerja manegerial SKPD.

Dokumen terkait