• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Restorative Justice

Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam setiap tindak kejahatan, korbanlah yang pertama-pertama menderita sebagai akibat tindak kejahatan. Selanjutnya pelaku kejahatan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukannya dituntut untuk bertanggungjawab, itulah martabatnya sebagai pribadi dipulihkan. Masyarakat pun harus dipulihkan karena tindak kejahatan juga merusak harmoni kehidupan di dalam masyarakat.51

Keadilan restoratif mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi sema pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling dirugikan oleh karena tindak kejahatan. Pelaku kejahatan menderita keugian juga. Dengan melakukan kejahatan, seorang pelaku kejahatan mengalami kemerosotan mental, kehilangan daa control diri dan kemampuanya mengikuti hati nuraninya. Ia menyerah pada godaan-godaan buruk, dan kehilangan kemampuan diri untuk memilih yang baik dan benar.

Sebaliknya ia justru memilih yang buruk dan salah, dan hal itu yang membuat ia kehilangan kehormatan dan martabatnya sebagai manusia. Kehidupan bersama dan masyarakat juga dirugikan oleh karena tindak kejahatan. Tatanan hidup bersama menjadi kacau balau, kewibawaan

51

Yoachim Agus Tridianto, Keadilan Restoratif, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015, hal. 27.

hukum dilecehkan oleh keberanian pelanggar hukum yang telah melanggarnya. Kedamaian hilang diganti oleh ketakutan, kecemasan, saling curiga dan perasaan tertekan, jangan-jangan tindak kejahatan akan datang lagi.

Hubungan sosial antar warga masyarakat menjadi rusak oleh karena saling menyalahkan satu sama lain. Dari kondisi yang rusak itulah, keadilan restoratif bercita-cita ingin memulihkan ketiga pihak itu. Korban dipulihkan dari semua kerugiannya, pelaku kejahatan dipulihkan kehormatannya dan martabatnya sebagai pribadi manusia, tatatan hidup bersama juga ingin dipulihkan. Keadilan restorative tidak memusatkan diri pada menghukum pelaku kejahatan, tetapi memulihkan semua pihak yang dirugikan oleh karena tindak kejahatan.52

Konsep Restorative Justice terhadap Pengenaan Sanksi Adat Epkeret

Masyarakat Buru Selatan dikenal karena adat istiadat dan budayanya yang kuat dan spesifik. Adat istiadat masyarakat Buru Selatan terlihat dari adanya persekutuan masyarakat hukum adat yang terbentuk secara genealogis-teritorial yang tetap hidup dan diakui sebagai pranata dalam masyarakat. Sinkronisasi antara hal-hal yang normatif berdasarkan

peraturan perundang-undangan dengan kondisi sosiologis maupun adat-istiadat tetap bejalan secara seimbang, tanpa ada dari salah satu dari

aspek tersebut ditinggalkan, yang sejalan dengan nilai-nilai hukum yang berlaku secara nasional, dapat dilihat terhadap kasus pembunuhan yang

52

dilakukan dalam lingkungan masyarakat adat, pelaku tetap di proses secara hukum yang berlaku nasional, akan tetapi terlepas dari penegakan hukum yang berlaku nasional tersebut, masyarakat adat lewat Lembaga Adat juga mempunyai hukum adat yang sudah lama hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat setempat untuk menyelesaiakan permasalahan atau sengketa yang terjadi dalam lingkungan masyarakat adat setempat.

Salah satu budaya hukum dalam konteks masyarakat hukum adat yang masih dipertahankan sampai hari ini adalah sanksi adat Epkeret. Sanksi Epkeret diterapkan dalam kesatuan masyarakat hukum adat di Buru Selatan dimaksudkan untuk menjaga dan merawat hubungan persaudaraan diantara 24 (dua puluh empat) marga asli Pulau Buru untuk hidup dalam

suasana yang aman dan harmonis. Filosofi hidup kakak dan adik atau Kai-Wait yang telah mempersaudarakan 24 (dua puluh empat) marga

tersebut dengan Pulau Buru Khususnya yang sekarang sudah menjadi Kabupaten Buru Selatan sebagai rumah besar mereka. Dalam realitas budaya ada 24 (dua puluh empat) marga dan selama ini mereka menerima sanksi adat Epkeret sebagai sebuah keputusan hukum adat yang adil, karena itu setelah di berikan sanksi adat Epkeret semua yang berhubungan dengn masalah pembunuhan berakhir dan tidak lagi ada epsefet atau dendam.

Konsep Restrative Justice terhadap Pengenaan sanksi adat Epkeret, bisa dikatakan sejalan, karena restorative justice pada orientasinya bukan hanya pada keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, akan tetapi lebih pada pemulihan hubungan yang rusak antara korban, pelaku dan

masyarakat, akibat dari adannya suatu tindak pidana. Pengenaan sanksi adat Epkeret merupakan suatu upaya untuk melakukan pemulihan hubungan antara keluarga korban, pelaku, keluarga pelaku, serta warga masyarakat, akibat adanya tindak kejahatan yang dalam hal ini adalah pembunuhan atau fah rahat, agar kehidupan dalam masyarakat kembali bejalan secara damai dan harmonis.

Epkeret dalam sejarahnya merupakan adat yang dimana 24 (dua puluh empat) marga, masing-masing marga atau soa mendirikan 1 (satu) orang Kapitan untuk berperang dan membunuh siapa saja yang datang untuk merebut Pulau Buru dari tangan mereka, dengan prinsip mata ganti mata gigi ganti gigi yaitu apabila salah sat dari 24 (dua puluh empat) marga asli yang mendiami Pulau Buru dibunuh oleh pihak-pihak ang ingin merebut Pulau Buru atau pembunuhan diantara marga atau sesama marga tersebut harus dibalas dengan cara membunuh.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan masyarakat, Epkeret berubah dari hutang nyawa dibayar dengan nyawa atau mata ganti mata gigi ganti gigi untuk dibunuh, menjadi manusia yang meninggal digantikan dengan manusia yang hidup dengan cara didirikan sebagai pengganti untuk keluarga korban bukan untuk dibunuh akan tetapi untuk masuk dan hidup bersama dengan keluarga korban.

Dengan alasan apabila masih diterapkan membunuh dibalas dengan membunuh, akan akan mengakibatkan komunitas masyarakat adat Buru Selatan akan semakin melemah akibat dari jika ada pembunuhan dibalas

dengan pembunuhan juga, akan menyebabkan perseteruan dalam komunitas masyarakat adat sendiri, yang akan menimbulkan kehancuran masyarakat adat Buru Selatan, dikarenakan Pulau Buru di juluki negeri Kai-Wait atau kakak-adik, negeri orang basudara (bersaudara), tatanan hidup yang terbina atas dasar semangat kai wait menuntun mereka berpegang teguh pada adat dan budaya hidup yang harmonis dan damai. Karena itu mereka membangun tatanan hidup dengan Lolik Lalen Fedak Fena (Satukan Hati Membangun Negeri).

Sanksi adat Epkeret sejalan konsep Restorative Justice karena sama-sama merupakan cara dalam penyelesaian suatu permasalahan yaitu

dengan memulihkan hubungan yang rusak dan kehidupan dalam dalam masyarakat yang tidak harmonis. Tujuan utama Epkeret adalah untuk memutus siklus kekerasan yang tadinya berlaku prinsip nyawa dibayar nyawa atau mata ganti mata gigi ganti gigi dengan adanya pengenaan sanksi adat Epkeret ini siklus kekerasan menjadi terputus antara pelaku, keluarga pelaku, keluarga korban, dan masyarakat, lewat Lembaga Adat yang terdiri dari Matgugul, Matlea/Gebha atau Kepala Soa, Kawasan, dan Emrimu atau Marinyu, nyawa tidak lagi dibayar dengan nyawa, dalam artian dibunuh, akan tetapi manusia yang meninggal diganti dengan manusia yang hidup dengan cara didirikan sebagai pengganti untuk hidup dengan keluarga korban. Ini merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh Lembaga Adat untuk pemulihan (restorasi) serta membangun kembali hubungan yang rusak dengan pengenaan sanksi adat Epkeret sebagai cara atau jalan yang dapat dicapai agar hubungan yang terbentuk atas dasar

Kai-Wait atau kakak-adik (hidup orang bersaudara) dapat dibangun dan dipulihkan (restorasi) kembali.

Pelaku dituntut untuk bertanggung jawab untuk memulihkan apa yang sudah dilakukan terhadap korban (melakukan pembunuhan), kepada keluarga korban, dan masyarakat. Secara hukum yang berlaku nasional

maupun secara hukum adat yang tumbuh dan berkembang secara turun-temurun. Pelaku dalam hal ini yang bertindak adalah keluarga

pelaku, mendirikan orang pengganti sebagai orang yang menggantikan korban untuk masuk dan hidup bersama-sama dengan keluarga korban, dengan pengenaan sanksi adat Epkeret yaitu mendirikan orang pengganti untuk menggantikan korban untuk masuk dan hidup bersama-sama dengan keluarga korban, itu berarti adanya penyembuhan luka batin yang diderita oleh keluarga korban saat tindak kejahatan terjadi (pembunuhan).

Dengan adanya pelaksanaan terhadap pengenaan sanksi adat Epkeret, hubungan keluarga korban dan keluarga pelaku kembali dipulihkan tidak ada pembalasan dendam yang akan dilakukan serta hubungan antar warga dalam masayarakat akan kembali membaik seperti tidak pernah terjadi adanya tindak kejahatan (pembunuhan) yang terjadi. Dikarenakan dalam prosesnya melibatkan pihak keluarga korban, keluarga pelaku, disaksikan

oleh Pemerintah setempat (Camat, Kepala Desa), Penegak Hukum (pihak Kepolisian dan pihak TNI), dan juga warga masyarakat. Dengan

proses dan pelaksanaannya yang dilaksanakan secara terbuka sehingga warga masyarakat bisa menyaksikan serta langsung berpartisipasi langsung dalam prosesnya serta langsung mendapatkan manfaatnya secara

langsung bahwa hubungan warga dalam masyarakat kembali dipulihkan yaitu dengan adanya proses melingkari seluruh warga masyarakat yang hadir dalam persidangan adat atau saniri dengan kain putih yang menandakan semua warga dalam masyarakat kembali menyatu. Dengan begitu hubungan dalam warga masyarakat saat terjadinya tindak kejahatan (pembunuhan) mendapatkan pemulihan (restorasi) dari hubungan yang rusak karena saling menyalahkan satu sama lain, serta kehilangan rasa saling percaya akibat adanya tindak kejahatan (pembunuhan) dapat dipulihkan oleh karena adanya pengenaan sanksi adat Epkeret.

Pelaku juga dapat di pulihkan dari rasa bersalah, ketakutan-ketakutan, kecemasan dan perasaan tertekan, jangan-jangan ada pembalasan yang akan menimpanya akibat dari perbuatannya yang melakukan tindak kejahatan (pembunuhan). Pada saat ia kembali ke dalam masyarakat karena sudah selesai menjalani masa tahanan dan melaksanakan sanksi adat Epkeret, kehidupannya dijalani tanpa ada ketakutan sedikitpun, hubungan pelaku dengan keluarga korban kembali hamonis dan membaik, sepeti tidak pernah terjadi tindak kejahatan (pembunuhan) yang pernah ia lakukan.

Orang yang didirikan sebagai pengganti untuk menggantikan korban dan masuk dan hidup bersama-sama dalam keluarga korban, walaupun dia hidup dan masuk menjadi bagian dari keluarga korban akibat dari adanya pembunuhan atau fah rahat bukan berarti dia akan dipelakukan semaunya oleh keluarganya yang baru (keluarga korban) akan tetapi dia diperlakukan dan dibesakan dengan penuh kasih sayang karena kedudukannya dalam

keluarga yang baru (keluarga korban) dianggap sebagai anak mereka sendiri.

Dokumen terkait