BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A.Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouk
Hurgronje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1893). Sebelum istilah
hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adatrecht. Dalam bukunya De
Atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 Hurgronje menyatakan salah satu hukum rakyat yang tidak dikodifikasi adalah di Aceh. Kemudian istilah ini
dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang
Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang menjabat sebagai Guru Besar
pada Universitas Leiden Belanda yang mencatat istilah Adatrecht dalam bukunya yang berjudul Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.1
Pengertian hukum adat lebih sering diidentikan dengan kebiasaan atau
kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak
masyarakat umum yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi
bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, sehingga pengertian hukum
adat juga telah lama menjadi kajian dari para ahli hukum. Secara histori,
hukum yang ada di Negara Indonesia berasal dari dua sumber, yakni hukum
yang dibawa oleh orang asing (Belanda) dan hukum yang lahir dan tumbuh
1
di Indonesia itu sendiri. Mr. C. van Vollenhoven adalah seorang peneliti
yang kemudian berhasil membuktikan bahwa Indonesia juga memiliki
hukum adat asli2
Adat merupakan kepribadian suatu bangsa, merupakan satu
penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad, tiap
bangsa di dunia ini memiliki adat sendiri di mana antara satu dan lain
tidaklah sama. Oleh karena itu ketidaksamaan inilah yang menyebabkan
adat tersebut merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas
kepada bangsa yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri adat yang dimiliki
oleh suku-suku bangsa adalah berbeda meskipun dasar serta sifatnya adalah
satu yaitu ke-Indonesiaannya.
Dalam arti sempit sehari-hari yang dinamakan hukum adat ialah
hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian
masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungan antara
satu dengan yang lainnya.
Tidak ada satu definisi yang benar-benar dipakai untuk menjelaskan
tentang hukum adat itu sendiri. Beberapa pakar mencoba untuk
mendefinisikan hukum adat dari sudut pandangnya sendiri.
H. Hilman Hadikusuma3 mendefinisikan hukum adat sebagai aturan
kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia
berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya
menurut kebiasaan dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan
bernegara.
2
Ibid., hlm. 2.
3
C. van Vollenhoven,4 menjelaskan bahwa hukum adat adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai
sanksi (sebab itu disebut hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasi ( sebab itu disebut dengan adat).
Bushar Muhammad5 menerangkan bahwa untuk memberikan definisi
atau pengertian hukum adat sangat sulit sekali karena hukum adat masih
dalam pertumbuhan. Ada beberapa sifat dan pembawaan hukum adat, yakni:
tertulis atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dan hukum raja atau hukum
rakyat dan lain sebagainya.
Supomo dan Hazairin6 membuat kesimpulan bahwa hukum adat
adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam
hubungan satu sam lain. Hubungan yang dimaksud termasuk keseluruhan
kelaziman dan kebiasaan serta tata kesusilaan yang hidup dalam masyarakat
adat karena dianut dan dipertahankan oleh masyarakat. Termasuk juga
seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran dan yang
ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa adat adalah
mereka yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan
memberi keputusan dalam suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa
adat, antara lain keputusan lurah, atau penghulu atau pembantu lurah atau
wali tanah atau kepala adat atau hakim dan lain sebagainya.
Menurut kesimpulan hasil “Seminar Hukum Adat dan Pembangunan
Hukum Nasional di Yogyakarta, pengertian hukum adat adalah :
“Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung
unsur agama”.7
3. Uger-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan
orang Indonesia asli, tegasnya pernyataan rasa keadilannya dalam
hubungan pamrih (Djojodigoeno)
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam di dalam hati nurani rakyat
(Soepomo)
Yang menjadi sumber pengenal (kenbron) daripada Hukum Adat adalah :9
1. Pepatah-pepatah Adat
2. Yurisprudensi Adat
3. Laporan-laopran dari komisi-komisi penelitian yang khusus dibentuk
misalnya Komisi W.B. Bergsma (yang meneliti Hukum Tanah di Jawa
dan Madura)
7
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Cetakan ke-4, Alfabeta, Bandung, Oktober, 2015, hal. 27.
8
Ibid., hal. 65.
4. Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan hukum yang hidup pada
waktu itu baik yang berupa piagam (Papakem Tjirebon),
peraturan-peraturan (Awig-awig), maupun ketentuan atau keputusan-keputusan
atau rampang-rampang di Makassar.
5. Buku undang-undang yang dikeluarkan oleh Raja-raja atau
Sultan-sultan seperti Buku Undang-undang Kerajaan Bone.
6. Buku-buku karangan Para sarjana.
3. Corak-corak Hukum Adat
Beberapa corak yang melekat dalam hukum adat dapat dijadikan
sumber pengenal hukum adat dapat sebutkan yaitu:10
a. Tradisional
Pada umumnya hukum adat bercorak tradisonal, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini
yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya dalam hukum
kekerabatan adat batak yang menarik garis keturunannya dari laki-laki
sejak dahulu hingga sekarang masih tetap berlaku atau dipertahankan.
Demikian pula sebaliknya pada hukum kekerabatan masyarakat
minangkabau yang menarik garis keturunan dari perempuan dan masih
dipertahankan hingga dewasa ini.
10
b. Keagamaan
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis-religius),
artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukum berkaitan dengan
kepercayaan terhadap yang gaib dan berdasrkan pada ajaran
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia
bahwa di alam semesta ini benda itu berjiwa (animism),
benda-benda itu bergerak (dinamisme); di sekitar kehidupan manusia itu ada
roh-roh halus yang mengawasi manusia (jin, malaikat, iblis, dan
sebagainya) dan alam sejagad ini ada karena ada yang mengadakan
yaitu Sang Maha Pencipta.
c. Kebersamaan (Bercorak Komunal)
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa dalam
hukum adat lebih diutamakan kepentingan bersama, di mana
kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Satu untuk semua
dan semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat
adat didasarkan oleh rasa kebersamaan , kekeluargaan, tolong
menolong dan gotong royong.
d. Konkret dan Visual
Corak hukum adat adalah konkret, artinya hukum adat ini juga jelas,
nyata, berwujud sedangkan corak visual dimaksudkan hukum adat itu
dapat dilihat, terbuka, tidak tersembunyi. Sehingga sifat hubungan
hukum yang berlaku di dalam hukum adat “terang dan tunai”, tidak
samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang
perkawinan, apabila pihak wanita telah menerima paningset, maka wanita yang akan dikawinkan itu tidak boleh lagi dilamar dan
diberikan pada orang lain.
e. Terbuka dan Sederhana
Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima
unsur-unsur yang datangnya dari luar asal saja tidak bertentangan
dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Sedangkan corak hukum adat itu
sederhana artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak banyak
administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti
dan dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai. Keterbukaan ini
misalnya, dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum Hindu dan
hukum perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”. Jika suami
wafat maka istri kawin lagi dengan saudara suami.
f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan
Kalau ditilik dari batasan hukum adat itu, maka dapatlah dimengerti
bahwa hukum adat itu merupakan hukum yang hidup dan berlaku di
dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang yang dalam
pertumbuhannya atau perkembangannya secara terus-menerus
mengalami proses perubahan atau menebal dan menipis. Oleh karena
itu, dalam proses perkembangannya terdapat isi atau materi hukum
adat yang sudah tidak berlaku lagi (mati), yang sedang hidup dan
g. Tidak Dikodifikasikan
Kebanyakan hukum adat tidak dikodifikasikan atau tidak tertulis, oleh
karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan
perkembangan masyarakat, seperti yang diuraikan di atas. Walaupun
demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang dicatat dalam aksara
daerah yang bentuknya tertulis seperti di Tapanuli “Ruhut Parsaoron
di Hobatohan” dan “Patik Dohot Uhum ni Halak Batak”. Di Bali dan
Lombok “Awig-awig”, di Jawa “Pranata Desa”, di Surakarta dan Yogyakarkta “Anger-anger”, di Aceh “Sarakata”. Selain itu masih ada peraturan-peraturan hukum adat pada abad XV sampai XVII yang
tertulis dalam buku (manuskrip) orang-orang di Sulawesi Selatan yang
disebut “Lontara” yang masih berlaku hingga sekarang. Jadi berbeda
dengan hukum Barat (Eropa) yang corak hukumnya
dikodifikasikan/disusun secara teratur dalam kitab yang disebut kitab
perundang.
h. Musyawarah dan Mufakat
Hukum adat adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah
dan mufakat, baik dalam keluarga, hubungan kekerabatan,
ketetanggaan, memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri
pekerjaan, apalagi yang bersifat “peradilan” dalam menyelesaikan
perselisihan antara yang satu dengan yang lainnya, diutamakan jalan
penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat,
dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu-buru pertikaian itu
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam
kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur
dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma
berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut
modern.
Corak dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan cara
sungguh-sungguh bilamana tentang ajaran-ajaran hukum adat yang menjadi jiwanya.
Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata kias
yang mendalam serta hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan
diceritakan dari mulut ke mulut sepanjang generasi yang terus
berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktik ajaran itu yang dituangkan
kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga adat dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat.
4. Unsur-unsur Pembentukan Hukum Adat
Dengan berpedoman pada pengertian atau batasan hukum adat dari
soepomo, ditambah dengan formulasi hukum adat dari para pakar yang
berkumpul di Yogyakarta dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan
Hukum Nasional tersebut di muka, maka dapatlah dinyatakan bahwa
”terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi agama”.11
11
Seminar sendiri menyatakan “hukum adat merupakan hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama”12
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh agama terhadap
proses terwujudnya hukum adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para
pakar hukum adat pada umumnya.
5. Eksistensi Hukum Adat
Hukum Adat adalah hukum asli yang hidup di dalam masyarakat dan
di jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia,
khususnya berpedoman pada rasa keadilan dan kepatutan dari tempat di
mana hukum itu lahir, tumbuh dan surut, yang timbul secara langsung dari
landasan pokoknya, ialah kesadaran hukum masyarakat, menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta proses pembentukan
norma-norma yang tidak bergantung kepada penguasa rakyat. Hukum adat tersebut
senantiasa tumbuh dari kebutuhan hidup yang rill, dari sikap dan pandangan
hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat.13
Pada dasarnya hukum dapat dikemlompokan menjadi dua yaitu, Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan, yang berisi rumusan-rumusan yang belum berlaku. Ius Constitutum atau hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Berdasarkan penggolongan tersebut, maka
muncul permasalahan yaitu bagaimanakah peranan hukum adat dalam
12
Ibid., hlm. 29.
13
hukum positif itu sendiri maupun dalam perkembangannya di kemudian
hari.
Hukum Adat biasa dimasukan dalam kerangka hukum positif yang
memiliki sanksi tertentu, namun hukum adat juga merupakan hukum yang
tidak tertulis dan juga tidak dikodifikasikan. Maka permasalahannya adalah
implementasi hukum adat itu sendiri tidak mempunyai asas legalitas, namun
hanya ditaati oleh masyarakat hukum adat secara suka rela.
Hukum Adat juga diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang termuat dalam pasal 18B ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.14
Kemudian ayat tersebut dapat diambil intisarinya bahwa keberadaan
hukum adat masih diakui dalam tertib hukum nasional, namun apabila
sepanjang masih ada, dengan kata lain tidak diperkenankan menggali suatu
pranata hukum yang telah mati atau sudah tidak berlaku sejak dahulu, selain
itu, hukum adat dalam pelaksanaannya sebagia sumber hukum yang diakui
secara nasional juga harus sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
Saat ini, penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga
sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia
menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam
hukum yang tertulis, ia harus dapat menemukan hukum dalam aturan yang
14
hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal hukum
adat.
Dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang masih
dipertahankan sampai sekarang dan sangat dibutuhkan dalam menjawab
problematika hukum dalam hukum nasional saat ini yang mana ketika suatu
persoalan yang terjadi dalam suatu masyarakat, walaupun persoalan tersebut
sudah diselesaikan dalam ranah hukum positif saat ini yaitu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi apakah akan
memulihkan hubungan hukum antar warga dalam masyarakat bisa kembali
pulih seperti semula, oleh sebab itu, hukum adat masih sangat dibutuhkan,
dikarenakan satu hal yang sangat penting dalam hukum adat adalah di dalam
tubuh hukum adat itulah terkandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang
diharapkan dalam penegakan hukum di Indonesia
6. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional
Pembentukan hukum nasional kita tidak secara tegas mengacu pada
atau menjadikan Hukum Adat sebagai sumber atau bahan pembentukannya.
Keberadaan hukum adat hanya diakui dalam praktek peradilan, yakni
dijadikan sebagai salah satu sumber hukum oleh hakim dalam mengadili
suatu perkara. Itupun hanya dilakukan manakala terdapat kekosongan
hukum, dalam arti hukum positif tidak mengatur permasalahan yang sedang
diperiksa oleh hakim.
Dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.15
Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk
memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional, yang menuju
kepada unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak
mengabaikan timbul atau tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan
dan pengadilan dalam pembinaan hukum. Pengambilan bahan-bahan dari
hukum adat dalam penyusunan hukum nasional pada dasarnya berarti :16
a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum adat
untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi
kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka
membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar.
b. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodifisir dan
disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan
sifat-sifat kepribadian Indonesia
c. Memasukan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam
lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk
memperkaya dan memperkembangkan hukum nasional, agar tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan terbentuknya hukum nasionla yang mengandung unsur-unsur
hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di
7. Kedudukan Hukum Pidana dalam Hukum Adat
Hukum Pidana dalam penerapannya sebenarnya merupakan senjata
pamungkas (ultimum remidium) dalam menegakan hukum. Hal ini
mengandung makna bahwa penentuan pidana dalam undang-undang untuk
suatu tindakan tertentu harus sedemikian rupa perlunya, karena alat penegak
hukum (sanksi) lainnya sudah tidak efektif lagi.
Dalam hukum pidana asas legalitas dijumpai pada pasal 1 ayat (1)
KUHP, yang menyebutkan:
1. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasrkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan
yang paling menguntungkan
Tujuan hukum pidana secara umum adalah untuk melindungi
kepentingan orang perseorangan atau hak-hak asasi manusia dan melindungi
kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang
serasi dari kejahatan atau tindakan penguasa sewenang-wenang di lain
pihak.17
Hukum Adat di Indonesia pada umumnya tidak tertulis dan tidak
dibedakan, serta tidak dipisahkan antara hukum pidana, perdata, dan hukum
tata negara secara tegas seperti yang dikenal di hukum Barat. Bagi
penduduk Indonesia, hukum pidana adat dan kebiasaan-kebiasaan walaupun
hanya berlaku di masayarakat setempat, tidak kurang nilainya untuk
17
dipertimbangkan sebagai hal-hal atau fakta yang turut mempengaruhi
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Tegasnya hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat
digolongkan dalam hukum pidana atau ada hubungannya, tidak sama
derajatnya dengan undang-undang hukum pidana, walaupun harus diakui
bahwa hukum adat turut memengarui pertimbangan hakim. Jika terdapat
perbedaan di antara kedua macam hukum pidana tersebut maka yang akan
lebih diutamakan atau yang lebih menentukan adalah undang-undang
hukum pidana yang terdapat dalam KUHP.
Sebagaimana diketahui asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolah
dari ide atau nilai dasar “kepastian hukum”. Namun dalam kenyataannya,
asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan, penghalusan,
pergeseran, atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan antara lain
dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam UUDS
1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt.1951; Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Konsep RUU
KUHP). Asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum
delictum sine lege”, tetapi jua sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas
materil, yaitu dengan mengakui hukum pidana dan hukum tidak tertulis
sebagai sumber hukum.18
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
Nomor 48 Tahun 2009, kiranya pandangan masih tetap diterapkannya
18
hukum adat (pidana) walaupun dalam arti yang terbatas lebih mendapat
dukungan lagi. Dalam pasal 5 ayat (1) dari undang-undang tesebut antara
lain ditentukan ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan ini mengingatkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat yang wajib diikuti oleh hakim.
Keberadaan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia akan
tetap eksis. Dalam hal ini Prof. Soepomo memberikan pandangannya
sebagai berikut:19
1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan
menguasai masyarakat Indonesia
2. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan
sifat-sifat bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka
hukum adat pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga
dalam pembentukan KUH baru untuk negara kita.
3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan
tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak
ditetapkan oleh undang-undang.
Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat
adat suatu daerah akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi
hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang
sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan
kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun
19
hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang
tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.
8. Masyarakat Hukum Adat
Mengenai masyarakat Hukum Adat, secara teoritis pembentukannya
disebabkan karena adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing
anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor ikatan yang membentuk
masyarakat hukum adat secara teoritis adalah faktor genealogis (keturunan)
dan faktor teritorial (wilayah).
Berdasarkan kedua faktor ikatan diatas, kemudian terbentuklah
masyarakat hukum adat, yang dalam studi hukum adat disebut tiga tipe
utama persekutuan hukum adat20
1. Persekutuan hukum genealogis.
2. Persekutuan hukum territorial
3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang merupakan
penggabungan dua persekutuan hukum diatas.
Kejelasan dari masing-masing bentuk masyarakat hukum diatas
sebagai berikut :
1. Persekutuan Hukum Genealogis
Pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar
pengikat utama anggota kelompok adalah persamaan dalam
keturunan, artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karena
merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Menurut para
20
ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat hukum
genealogis ini dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu bersifat
patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau parental.21
2. Persekutuan Hukum Teritorial
Mengenai persekutuan hukum territorial yang dimaksudkan di
atas, dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah
kelahiran dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang
sama.22
3. Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial
Berikutnya mengenai persekutuan hukum genealogis-teritorial
dalam pengikat utama anggota kelompoknya adalah dasar
persekutuan hukum genealogis dan territorial. Jadi pada
persekutuan hukum ini, para anggotanya bukan saja terkait
pada tempat kediaman daerah tertentu tetapi juga terikat pada
hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau
kekerabatan.23
9. Wilayah Hukum Adat
Menurut Hukum Adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia
sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat
Cornelis van Vollenhoven dalam Bukunya, Adat-Recht, membagi
seluruh wilayah Indonesia ke dalam Sembilan belas lingkaran wilayah
hukum adat sebagai berikut:25
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue)
2. Daerah-daerah Gayo, Alas, dan Batak
a. Daerah Gayo (Gayo Lueus)
b. Daerah Alas
c. Daerah-daerah Batak (Tapanuli)
Tapanuli Utara:
1. Batak Pakpak (Barus)
2. Batak Karo
3. Batak Simelungun
4. Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Sumban Julu)
Tapanuli Selatan:
1. Pada Lawas (Tano Sapanjang)
2. Angkola
3. Mandailing (sayumatinggi)
3. Nias dan Batu Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah
datar, Lima Puluh koto, Wilayah Kampar, Kurinci)
4. Mentawai (orang-orang Pagai)
5. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Rejang)
25
b. Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang,
Gendongtataan, Tulang bawang)
c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah,
Semendo)
d. Jambi (Penduduk Batin dan Penduduk Penghulu)
6. Enggano
7. Daerah Melayu (Lingga Riauw, Indragiri, Sumatera Timur,
Orang-orang Banjar)
8. Bangka dan Belitung
9. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu,
Kalimantan Tenggara, Mahkam Hulu, Pasir (Daya Kenya, Daya
Klemanten, Daya Landak dan Daya Tayan, Daya Lawangan,
Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Daya Maanyan Siung,
Daya Ngaju, Daya Ot Danum, Daya Panyabung Punan)
10. Minahasa (Manado)
11. Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo, dan Minahasa)
12. Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja
Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang,
Kepulauan Banggai)
13. Sulawesi Selatan (orang0orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang,
Poure, Mandar, Selaiar, Muna)
14. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo,
15. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Pulau-pulau uliaser,
Saparua, Buru, Seram, pulau-pulau Kei, pulau-pulau Aru dan
Kaisar
16. Irian Barat
17. Kepulauan Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah,
Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores,
Ngada, Rote, Sawu Bima)
18. Bali dan Lombok (Bali, Tenganan Pagringsingan, Kastala,
Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
19. Jawa Tengah dan Jawa Timur seta Madura (Jawa Tengah, Kedu,
Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
10.Konsep Restorative Justice
“Restorative Justice” atau sering diterjemahkan sebagai keadilan
restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,
pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku,
korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan
menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna
umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan
kemasarakatan.
Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas
tejadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam
peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan
kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu
tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian
pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana
keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha
perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha tersebut.26
26
B.Hasil Penelitian
Dalam penjelasan ini, penulis memaparkan beberapa hal yang antara
lain mengenai Gambaran umum wilayah penelitian (keadaan iklim, keadaan
demografi), pemerintahan adat dan sistem religi masyarakat Buru Selatan,
sanksi adat “Epkeret” dan hasil analisis. Hal ini bertujuan untuk
memberikan gambaran umum tentang keadaan dan situasi wilayah
penelitian, serta untuk mengetahui fakta-fakta Hukum Adat yang hidup dan
berkembang terkait dengan Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap
kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan.
1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Buru Selatan terletak antara 2o30’ Lintang Selatan dan
5o50’ Lintang Selatan dan antara 125o00’ Bujur Timur dan 127o00’ Bujur
Timur. Kabupaten Buru Selatan dibatasi oleh Laut Seram di sebelah Utara,
Laut Banda di sebelah Selatan dan Barat, serta Selat Manipa dan Kabupaten
Buru di sebelah Timur. Keberadaannya di antara tiga kota penting di
Indonesia Timur (Makasar, Manado/Bitung, dan Ambon) dan dilalui Sea Line III, telah menempatkan Kabupaten Buru Selatan pada Posisi yang strategis. Kabupaten Buru Selatan secara administratif terbagi atas 6
kecamatan yakni Kecamatan Leksula, Kecamatan Kepala Madan,
Kecamatan Waisama, Kecamatan Namrole, Kecamatan Ambalau dan
Kecamatan Fena Fafan27.
27
Lokasi Penelitian yang menjadi tempat untuk penulis melakukan
observasi yakni di Kecamatan Leksula, tepatnya di desa Leksula dan
Kecamatan Fena Fafan tepatnya di desa Siwatlahin, Kabupaten Buru
Selatan.
Lebih spesifik lagi menyangkut kecamatan yang menjadi sampel
wilayah penelitian yakni kecamatan Fena Fafan, keadaan reliefnya
didominasi oleh pegunungan dengan kemiringan lereng landai dan curam,
sedangkan Kecamatan Leksula berada di sepanjang garis pantai merupakan
daerah dengan jenis elevasi rendah dan berlereng landai.
Kabupaten Buru Selatan mengenal dua musim yakni musim
penghujan dan musim kemarau. Suhu udara disuatu tempat ditentukan oleh
tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari
pantai. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Januari 2014 (33.3 0C),
sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan September 2014 (18,6
o
C). Stasiun Meteorologi dan Geofisika Namlea mencatat bahwa sepanjang
tahun 2014 curah hujan tertinggi sebesar 244 mm terjadi pada bulan
Februari. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Oktober
sebesar 1 mm.28
Penduduk Kabupaten Buru Selatan Pada tahun 2014 berjumlah
58.197, jiwa, dimana 29.908 berjenis kelamin laki-laki dan 28.289 jiwa
perempuan. Dengan luas wilayah sebesar 5.060.00 Km2. Kabupaten Buru
Selatan memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 11,50 jiwa/km2.29
28
Ibid., hal. 23. 29
Sementara itu bila dilihat dari segi kepadatan penduduk, yaitu dengan
memperhatikan luas wilayah suatu wilayah, Kabupaten Buru Selatan dengan
jumlah penduduk tahun 2014 sebanyak 58.197 jiwa, dan dengan luas
wilayah sebesar 5.060.00 Km2, memiliki kepadatan penduduk sebesar 11,50
jiwa/km2, kecamatan terpadat antara lain Kecamatan Namrole dengan
kepadatan sebesar 35,98/km2, Kecamatan Ambalau sebesar 24,24 jiwa/km2,
Kecamatan Waesama sebesar 17,24 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang
kurang padat antara lain Kecamatan Kepala Madan sebesar 8,16 jiwa/km2,
Kecamatan Leksula sebesar 6,76 jiwa/km2 dan Kecamatan Fena Fafan
sebesar 6,25 jiwa/km2.30
2. Pemerintahan Adat dan Sistem Religi Masyarakat Buru Selatan
Sistem Pemerintahan Adat di Pegunungan Buru Selatan di pimpin
oleh Seorang Matgugul berasal dari kata mate = Raja dan gugul = Tanah atau teritorial (Raja Tanah atau penguasa teritorial) berkedudukan di Desa
Mangeswaen, Kecamatan Fena Fafan, Kabupaten Buru Selatan. Wilayah
pemerintahan ini yang dalam bahasa setempat disebut Matgugul Mehetlale.
Matgugul bertanggungjawab atas wilayah atau teritorial yang telah ditentukan. Di bawahnya ada yang disebut Matlea atau Gebha (Kepala Soa
atau Kepala Marga) yang memiliki jabatan tinggi di dalam marga. Di bawahnya ada Kawasan, yang bertugas mengakomodir dan memimpin suatu
pemukiman masyarakat adat dari beberapa marga atau soa. Di bawah Kawasan adalah Emrimu atau Marinyu yang bertugas untuk menyampaikan
30
titah Matgugul kepada bawahannya dan kepada masyarakat, mengundang para tua-tua adat ke suatu sidang adat dan memberitahukan kegiatan dalam
masyarakat kepada seluruh warga masyarakat adat.31
Tabel 2.1.
Struktur Pemerintahan Adat
Dalam sistem pemerintahan adat, marga-marga yang sama
membentuk persekutuan marga yang disebut Soa. Setiap Soa mempunyai sistem sendiri untuk mengatur urusan internal Soa nya. Secara spesifik penduduk yang tinggal di Buru Selatan dapat dibedakan antara penduduk
asli (Geba Bipolo) dan penduduk pendatang (Geba Misnit).32
31
Hasil wawancara dengan Bapak Anton Solisa, Jabatan Matgugul, tanggal 28 Desember 2016, pukul 10.24 WIT, di Desa Leksula, Kecamatan Leksula.
32
Patinama, Jika Yesus Lahir di Bipolo, artikel dalam majalah Ilmiah Pikom GPM ASSAU, 2005, ISSN.: 1412-788, Hlm. 9-12.
Mat Gugul - Penguasa Teritorial
Matlea atau Gebha (Kepala Soa) - Pemegang kekuasaan tertinggi dalam marga
Kawasan – Pemimpin Pemukiman Marga
Sedangkan secara kedalam Geba Bipolo atau penduduk asli terbagi menurut wilayah hunian. Geba Fuka adalah Geba Bipolo yang mendiami daerah pegunungan. Geba Fuka Unen adalah mereka yang menduduki pusat
pulau disekitar Danau Rana dan Gunung Date, yang tinggal di lereng
gunung menamakan diri Geba Fuka Fafan, sedangkan Geba Masin adalah
Geba Bipolo yang tinggal di pesisir pantai.33
Jauh sebelum masuknya agama, masyarakat adat Buru Selatan sudah
menganut kepecayaan kepada Roh-roh nenek moyang atau Roh Leluhur
(animisme). Kepercayaan mereka didasarkan pada prinsip bahwa di lingkungan mereka tinggal di huni berbagai macam roh. Bertolak dari
penjelasan diatas maka sumber kepercayaan mereka dibagi atas tiga bagian
yakni :
pertama : mereka percaya kepada gunung (kaku date) dan Danau (Rana Wakol) dan tempat keramat di dalam Hutan (koit lale). Kedua:
mereka percaya kepada kawasan hutan yang diusahakan meliputi
pemukiman (huma lolin dan fena lalen) atau negeri lama hunian leluhur,
kebun (hawa) yang dijaga oleh leluhur, hutan berburu atau meramu (neten embalit) harus meminta kepada leluhur, hutan (mua lalen) tempat
memacing (waelalen). Ketiga : adalah kawasan yang diusahakan turun temurun (wasi lalen) dan padang rumput (mehet lalen).
Aktivitas masyarakat adat di sekitarnya erat hubungannya dengan
kepercayaan tradisional bahwa asal usul mereka berhubungan dengan alam
33
semesta yaitu tanah, air, dan gunung. Mereka juga percaya bahwa setiap
kampung, sungai dan tanah ada nama aslinya (na liet) yang diberikan oleh leluhurnya yang tidak boleh mereka ucapkan dengan sembarangan. Nama
itu sangat dirahasiakan dan tidak boleh di ucapkan. Nama itu disebut apabila
kampung, sungai, dan tanah mereka terancam atau dilanda bencana barulah
tua-tua adat menyebutnya.34
3. Bentuk Penyelesaian Sengketa Adat
Tingkatan Penyelesaian Pertikaian atau permasalahan dalam
masyarakat adat Buru Selatan untuk menyelesaikan permasalahan
antar sesama marga atau soa ataupun antar marga atau soa yaitu dengan cara Matgugul (Raja Tanah), memberitahukan lewat marinyu (pembawa pesan raja pada Kepala Soa, Kawasan, dan Tua-tua adat)
kepada kepala soa (pemimpin dalam marga) dan kepada kawasan (pemimpin pemukiman marga), untuk menghadiri sidang adat atau
saniri. Penyelesaian masalah ditempuh dalam beberapa cara antara lain :
1. Penyelesaian secara Kai-Wait (kakak-adik atau kekeluargaan)
Penyelesaian secara Kai-Wait (kakak-adik atau kekeluargaan) untuk menyelesaikan masalah-masalah batas tanah antar marga
atau antar anggota masyarakat adat, atau penyerobotan lahan usaha
34
Hasil Wawancara dengan Bapak Petrus Nacikit, 69 tahun, tanggal 23 desember
(hutan kayu putih dan hutan meranti) dan lahan berburu biasanya
masyarakat adat melaporkan ke Kepala Soa (kepala marga) selanjutnya dikumpulan Kepala Soa yang anggotanya bermasalah untuk di musyawarahkan dan diputuskan sesuai dengan kenyataan
yang ada. Biasanya penyelesaiannya atas dasar kekeluargaan
dianggap baik sebab semua marga di Buru Selatan menjujung
tinggi nilai filosofi hidup Kai-Wait atau kakak-adik sebagai orang Bersaudara.
2. Penyelesaian dengan cara Faka Ua (Belah Rotan)
Penyelesaian dengan cara Faka Ua atau Belah Rotan untuk menyelesaikan masalah perkawinan, denda adat, penentuan harta
kawin, biasanya di selesaikan dengan pendekatan Faka Ua atau Belah Rotan. Penyelesaian Faka Ua atau Belah Rotan bertolak dari pengalaman orang tua yang membelah rotan untuk membuat tali
pengikat dan perangkap binatang, dan mereka membelah rotan itu
dua belahnya sama besar cara itu yang mereka pakai untuk
menyelesaikan masalah dalam masyarakat adat. Artinya sikap
Matgugul (Raja Tanah) dalam memutuskan suatu perkara tidak memihak kepada siappun tetapi berdasarkan rasa keadilan dan
3. Penyelesaian dengan cara Esmake (Sumpah Adat)
Penyelesaian dengan cara Esmake (Sumpah Adat) khusus untuk menyelesaikan perkara-perkara pembunuhan (Pengenaan Sanksi
adat Epkeret). Dalam kasus pembunuhan ada juga sanksi adat Rahe
Nefu. Rahe Nefu adalah tebusan dalam bentuk pemberian sebidang tanah dari keluarga pelaku pembunuhan kepada keluarga korban
(yang di bunuh). Proses pergantian korban dengan sebidang tanah
atau Rahe Nefu dilakukan apabila keluarga pelaku tidak dapat mendidirikan seorang manusia pengganti (Epkeret) dikarenakan jika yang dibunuh adalah perempuan, keluarga pelaku harus
menyiapkan seorang perempuan untuk didirikan sebagai orang
pengganti untuk menggantikan korban akan tetapi anak keturunan
dari keluarga pelaku tidak memiliki anak perempuan, maka akan di
lakukan musyawarah secara adat untuk memutuskan pengganti
dengan cara menyerahkan sebidang tanah kepada keluarga korban.
Tanah dapat dijadikan pengganti korban (manusia) sesuai dengan
kepercayaan mereka bahwa tanah adalah asal mula manusia dan
sumber kehidupan bagi manusia tanpa tanah manusia tidak bisa
melakukan apa-apa, tanpa tanah manusia tidak bisa memenuhi
segala kebutuhan keluarganya, tanpa tanah tidak ada tempat
tinggal, tanah merupakan sesuatu yang bisa dijadikan pemenuhan
akan kebutuhan keluarga mereka dengan cara berkebun dan lain
sebagainya. Atas dasar itu maka pergantian korban menggunakan
Selama ini, di kalangan masyarakat hukum adat di pegunungan
Buru Selatan mengenal dua cara pergantian korban akibat
pembunuhan yaitu Epkeret dan Rahe Nefu, hanya saja yang sering
dilakukan apabila terjadi pembunuhan adalah pengenaan sanksi
adat Epkeret, atau pihak korban di ganti dengan manusia, yang
dilakukan dalam sidang adat yang dipimpin oleh Matgugul, dihadiri oleh, Kepala Soa, Kawasan, Tua-tua Adat, dan disaksikan
oleh Pemerintah (camat), tokoh agama, pihak kepolisian, pihak
TNI, dan warga masyarakat.
4. Sanksi Adat “Epkeret”
a. Pengertian Sanksi Adat “Epkeret”
Kata “Epkeret” sendiri berasal dari dua kata epak = mendekat
keret = mendirikan, dalam bahasa setempat disebut dengan Kasi Badiri. Secara harafiahnya “Epkeret” adalah mendekati keluarga korban untuk mendirikan pengganti. Sanksi adat epkeret adalah sanksi
yang dikenakan oleh seseorang yang melakukan pembunuhan atau Fah
Rahat dengan mendirikan seorang Pengganti untuk menggantikan korban akibat pembunuhan kepada keluarga korban.
b. Sejarah dan Tujuan Sanksi Adat “Epkeret”
Sejarah lahirnya adat Epkeret berawal dari kesepkatan 24 (dua puluh empat) marga asli yang berdiam di Pulau Buru untuk
melindungi Pulau Buru dari ancaman musuh yang datang dari luar.
Atas kesepakatan 24 (dua puluh empat) marga asli tersebut, maka
memilih dan mendirikan 1 (satu) orang Kapitan35 dari marganya untuk
berperang dan membunuh siapa saja yang datang untuk merebut Pulau
Buru dari tangan mereka.36
Mereka menerapkan prinsip mata ganti mata gigi ganti gigi, yaitu
apabila salah satu dari antara 24 (dua puluh empat) marga yang
mendiami Pulau Buru di bunuh oleh pihak-pihak yang ingin merebut
Pulau Buru atau pembunuhan diantara marga-marga tersebut maka
harus dibalas dengan cara membunuh. Hal ini dimaksudkan untuk
menjaga Pulau Buru dari ancaman musuh akan tetapi juga untuk
melindungi hubungan kekerabatan dan persaudaraan diantara
marga-marga dimaksud. Komunitas 24 (dua puluh empat) marga-marga-marga-marga asli
yang mendiami Pulau Buru yang mematuhi pengenaan sanksi adat
Epkeret adalah :
Tabel 2.2.
Nama 24 (dua puluh empat) marga atau soa asli Pulau Buru yang mematuhi
pengenaan sanksi adat Epkeret
No Nama Marga Nama Soa
1. Marga lesnusa Soa Masbait
2. Marga Solisa Soa Mual
35
Kapitan adalah seorang Panglima perang yang diutus oleh salah satu marga atau Soa 36
3. Marga Seleki Soa Gebhain 4. Marga Leskona Soa Maktita 5. Marga Biloro Soa Hangwasi
6. Marga Selsili Soa Gebfua 7. Marga Lesbasa Soa Gebrihi 8. Marga Teslatu Soa Waelusu 9. Marga Tasane Soa Wagida 10. Marga Titawael Soa Wakibo 11. Marga Lesbata Soa Waenu 12. Marga Nurlatu Soa Watemun
13. Marga Nacikit Soa Migodo 14. Marga Hukunala Soa Gewagit 15. Marga Latuwael Soa Wanheran 16. Marga Latbual Soa Waelua 17. Marga Waemese Soa Wakolo 18. Marga Liligoli Soa Nalbesi
Masyarakat adat di Pulau Buru khususnya Buru Selatan memiliki
2 (dua) nama yakni nama dalam dan nama luar, nama luar lebih
dikenal dengan sebutan marga (yang dimiliki oleh orang dari bagian
timur Indonesia), sedangkan nama dalam adalah nama adat. Dalam
upacara adat masyarakat adat Buru Selatan tidak menggunakan nama
marga akan tetapi menggunakan nama Soa sebagai identitas dari marga untuk mengikuti upacara adat.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan masyarakat,
adat Epkeret berubah dari upaya mendirikan seorang Kapitan dari tiap-tiap marga asli Pulau Buru untuk membunuh dengan tujuan
melindungi Pulau Buru dari ancaman pihak-pihak yang ingin
merebutnya, para leluhur kemudian memutuskan adat Epkeret menjadi
sanksi adat kepada siapa saja yang melakukan pembunuhan antar
marga maupun kepada marga asli penghuni Pulau Buru.
Dengan alasan apabila masih diterapkan membunuh dibalas dengan
membunuh, akan mengakibatkan komunitas masyarakat adat Buru
Selatan akan semakin melemah akibat dari jika ada pembunuhan
dibalas dengan pembunuhan juga, akan menyebabkan perseteruan
dalam komunitas masyarakat adat sendiri, yang akan menimbulkan
kehancuran masyarakat adat di Buru Selatan, dikarenakan Pulau Buru
harmonis dan damai. Karena itu mereka membangun tatanan hidup
dengan Lolik Lalen Fedak Fena (Satukan Hati Membangun Negeri).
Epkeret kemudian dikenakan sebagai sanksi bagi pelaku pembunuhan atau fah rahat antar marga maupun antar sesama marga
di Pulau Buru khususnya Buru Selatan. Sanksi adat Epkeret dilakukan
dengan bertujuan untuk memulihkan hubungan kekerabatan yang
renggang berdasarkan hidup Kai-Wait (hidup orang bersaudara) dalam
masyarakat adat apabila ada orang yang melakukan fah rahat atau pembunuhan. Sanksi adat Epkeret yang dikenakan kepada keluarga pelaku untuk mendirikan pengganti bukan untuk dibunuh juga akan
tetapi orang yang didirikan sebagai pengganti untuk keluarga korban
untuk masuk dan hidup bersama dengan keluarga korban, akan masuk
menjadi bagian dari keluarga korban sebagai pengganti dan masuk ke
dalam marga keluarga korban, ketika orang tersebut sudah masuk dan
menjadi anggota dari keluarga korban, kedudukannya dalam keluarga
yang baru itu dianggap sebagai anak mereka sendiri.
Semua hak-hak dalam kehidupannya dipenuhi, walaupun dia
menjadi bagian dari keluarga korban akibat dari adanya peristiwa fah rahat atau pembunuhan, karena didirikan sebagai Pengganti korban serta penyerahannya dilandasi dengan sumpah adat atau dalam bahasa
daerah setempat disebut dengan esmake.
Buru khususnya sekarang sudah menjadi Kabupaten Buru Selatan
untuk menyelesaikan pertentangan, ketidakstabilan, keresahan dalam
masyarakat yang diakibatkan oleh fah rahat (pembunuhan). Kekuatan dari sanksi adat Epkeret ini yaitu manusia yang mati digantikan dengan manusia yang hidup (mata ganti mata gigi ganti gigi) merupakan hukum atau sanksi yang paling mengikat, dan tidak bisa
dilanggar karena didalamnya diikat dengan sumpah adat atau dalam
bahasa setempat disebut esmake atau sumpah adat oleh marga antara pelaku dan korban, dengan disaksikan oleh Matgugul (raja tanah), tua-tua adat, kepala-kepala marga dari 24 (dua puluh empat) marga
atau kepala Soa juga pemerintah dan masyarakat agar tidak terjadi lagi
balas dendam dan pembunuhan.
c. Pengawasan Sanksi Adat “Epkeret”37
Pengawasan terhadap sanski adat Epkeret, pengawasan dilakukan oleh semua pihak dalam hal ini lembaga adat Matgugul (Raja tanah) Matlea atau Gebha (kepala Soa atau kepala marga), Kawasan (pemimpin pemukiman marga-marga) dan pihak Pemerintah (camat, kepala desa), Polisi, TNI, Pendeta dan Masyarakat. Pemerintah dan
masyarakat dalam persidangan adat atau saniri bertindak sebagai saksi. Karena pada saat persidangan adat atau saniri pada saat dilakukan semua warga masyarakat dalam wilayah tersebut
menyaksikan berjalannya persidangan adat tersebut, dan yang
terpenting semua warga dalam masyarakat menyaksikan kedua belah
37
pihak yaitu pihak keluarga pelaku dan pihak keluarga korban
sama-sama melakukan sumpah atau dalam bahasa daerah setempat disebut
dengan esmake serta mengikat diri dengan kain ika poro lambang pemerintahan adat.
Agar kedua belah pihak tidak akan mengulangi perbuatannya.
Untuk itu dalam hal pengawasan semua warga dalam masyarakat
melakukan pengawasan terhadap sanski adat Epkeret termasuk mengawasi kehidupan pengganti korban tersebut dalam hidupnya di
keluarga baru.
d. Pelaksanaan Sanksi Adat “Epkeret”
Peristiwa Pembunuhan :
1. Pembunuhan Philipus Liligoli (Kasus Pembunuhan tahun 1982)
Wawancara dengan38 bapak Simon Lesnussa selaku pelaku
yang melakukan fah rahat (pembunuhan) terhadap saudara Philipus Liligoli, peristiwa fah rahat (pembunuhan) ini sendiri terjadi pada sabtu 18 oktober, pukul 4 sore, tahun 1982, di desa
Leksula, Kabupaten Buru Selatan, akar permasalahannya adalah
tentang jual-beli ayam yang berujung pada pemukulan yang
dilakukan oleh philipus Liligoli terhadap orang tua dari Simon
Lesnussa, akibat dari pemukulan itu pelaku dan korban terlibat adu
mulut, pelaku sempat berkata: daripada se pukul beta punya mama
lebe bae se pukul beta kasi mati (daripada kamu memukul ibu
38
saya, lebih baik kamu pukul saya sampai mati). Adu mulut yang
terjadi kemudian berlanjut dengan perkelelahian antara Philipus
Liligoli dengan Simon Lesnussa yang mengakibatkan
meninggalnya Philipus Liligoli.
Terkait dengan kasus fah rahat atau pembunuhan ini pihak keluarga, menurut bapak Simon sempat ada pembicaraan antara
keluarga pelaku dan keluarga korban untuk menggantikan ke
keluarga korban dengan tanah dalam musyarawah dengan
Matgugul (Raja Tanah), Matlea/Gebha atau Kepala Soa (kepala marga) dari kedua belah pihak, tua-tua adat, disaksikan oleh camat,
kapolsek dan koramil, akan tetapi dari pihak keluarga korban
menolak pergantian dengan tanah, keluarga korban ingin
pergantian jiwa atau orang, dikarenakan sanksi adat Epkeret mengharuskan jika korbannya laki-laki harus digantikan dengan
laki-laki, apabila dari keluarga tidak mempunyai pengganti seorang
laki-laki barulah pergantian bisa menggunakan tanah. Setelah
musyawarah tersebut diputuskan oleh Matgugul (raja tanah) kepada keluarga pelaku untuk melakukan sanksi adat Epkeret.
Keluarga pelaku langsung melakukan rapat keluarga untuk
menyelesaikan permasalahan ini, berunding untuk menentukan
orang yang akan didirikan menjadi pengganti korban dan masuk ke
keluarga korban, hal ini dilakukan dengan cepat agar mencegah
balas dendam yang akan dilakukan oleh pihak keluarga korban,
Epkeret yaitu dengan mendirikan seorang pengganti bernama Semuel Lesnussa (saudara pelaku) untuk masuk ke keluarga
Korban yang bermarga Liligoli yang dilakukan dalam persidangan
adat, pihak dari keluarga pelaku yang berdiri untuk mendirikan
Samuel Lesnussa sebagai orang yang menggantikan korban
fah rahat atau pembunuhan ke keluarga Korban adalah Matlea atau Gebha atau Kepala Soa Gebhain (Pemimpin dari marga Lesnussa), Hein Lesnussa dan Yeremias Lesnussa (saudara
pelaku), diterima oleh Matlea atau Gebha atau Kepala Soa Nalbesi
(Pemimpin dari marga Liligoli) yang disaksikan oleh Pemerintah
(camat), tua-tua adat, Kapolsek, Danramil, tokoh agama dan warga
masyarakat.
Sanksi adat Epkeret ini dilakukan oleh pihak keluarga pelaku
dengan sukarela dan tidak ada paksaan karena pihak keluarga
menyadari kesalahan yang dilakukan oleh anggota keluarganya
yang melakukan fah rahat atau pembunuhan jika tidak secepatnya diselesaikan dengan cara seperti ini, pasti akan sangat mengganggu
kehidupan bermasyarakat dikarenakan akan adanya tindakan
pembalasan dendam yang pasti akan dilakukan oleh pihak keluarga
korban cepat ataupun lambat dengan cara melakukan fah rahat atau pembunuhan juga. Pelaku Simon Lesnussa dihukum 2 (dua)
tahun penjara dengan potongan masa tahanan menjadi 1 (satu)
tahun 2 (dua) bulan sesuai dengan Keputusan Hakim Pengadilan
Dampak yang dirasakan pelaku setelah dilakukan sanksi adat
Epkeret dilakukan dan selesai menjalani masa tahanan, pada saat kembali ke dalam masyarakat sudah tidak ada ketakutan yang
dirasakan lagi akan terjadinya pembalasan dendam, ketika
beraktivitas dan bertemu dengan keluarga korban sama-sama
menyapa satu sama lain, seperti tidak pernah terjadi suatu
pembunuhan, hubungan dalam masyarakat juga kembali membaik,
tidak ada yang mendendam, semuanya kembali berjalan dengan
baik.
2. Pembunuhan yang dilakukan oleh saudara Remi Solissa alias Kabit
(Kasus Pembunuhan tahun 2015).
Peristiwa pembuhunan dan penganiayaan dengan tersangka
Remi Solisa alias Kabit, terjadi pada hari selasa tanggal 17 februari
2015 sekitar Pukul 20.00 WIT bertempat di Desa Siwatlahin.
Tersangka (Remi Solisa alias Kabit) melakukan permbunuhan dan
penganiayaan dengan menggunakan 2 (dua) buah Tombak dan 2 (dua) buah Parang. Penyebab tersangka melakukan pembunuhan dan penganiayaan ini dari hasil pemeriksaan di kantor polisi sektor
Leksula, Kecamatan Leksula, adalah karena tersangka merasa
kalau istri tersangka selingkuh dan telah menghina tersangka
dengan perkataan pada saat tersangka meminta berhubungan badan
sehingga tersangka emosi kemudian melakukan pembunuhan dan
penganiayaan tersebut.39
Korban dari persitiwa pembunuhan serta penganiayaan ini
semuanya berjumlah 9 (Sembilan) orang, korban meninggal
berjumlah 4 (empat) orang, 3 (tiga) diantarnya adalah anak-anak
dan korban luka-luka berjumlah 5 (lima) orang.
Korban meninggal, yaitu :
1. Saudari Yoneng Nurlatu (27 Tahun) istri dari Tersangka
2. Saudara Herman Solissa (16 Tahun)
3. Saudari Yati Natcikit (14 Tahun)
4. Yoknan Solissa (15 Tahun)
Korban luka-luka, yaitu :
1. Saudara Wellem Solisa (30 Tahun)
2. Saudara Agus Natcikit (35 Tahun)
3. Saudara Onyong Solissa (29 Tahun)
4. Saudari Minggas Solissa (60 Tahun)
5. Saudara Elifas Solissa (32 Tahun)
Setelah melakukan pembunuhan dan penganiayaan tersangka
sempat melarikan diri ke dalam hutan, sampai pada tanggal 22
februari 2015 tersangka berhasil ditangkap oleh petugas kepolisian,
petugas sempat menembak kaki kanan tersangka, karena pada saat
mau ditangkap pelaku sempat melakukan perlawanan. Setelah itu
39
tersangka kemudian dibawa dari Desa Siwalahin, Kecamatan Fena
Fafan menuju ke desa Leksula, Kecamatan Leksula, dan ditahan
selama 2 (dua) minggu di kantor Polisi Sektor Leksula, kemudian
tersangka dibawa menuju ke Namlea, dan langsung dibawa menuju
Ambon, untuk melakukan Persidangan Di Pengadilan Negeri
Ambon. Hakim Pengadilan Negeri Ambon Menjatuhakan Putusan
Hukuman seumur Hidup Untuk Tersangka Remi Solissa alias
Kabit.40
Kasus pembunuhan atau fah rahat yang dilakukan oleh Kabit
Solissa yang pada tahun 2015 lalu, sudah diselesaikan dengan
menggunakan hukum adat orang Buru, Khususnya Buru Selatan
dengan yaitu pengenaan sanksi adat Epkeret, menurut hasil wawancara dengan narasumber, ada empat orang korban yang
meninggal dan semuanya sudah diselesaikan menggunakan adat
Epkeret, yaitu :41
1. Pergantian korban Yoneng Nurlatu (istri Kabit) diganti dengan
Martenci Solisa umur 16 tahun dilakukan di Desa Leksula
Kecamatan Leksula tanggal 17 Maret tahun 2015 di hadapan
sidang adat atau Saniri yang dipimpin oleh matgugul (Raja Tanah) dihadiri oleh para kepala soa (pemimpin dalam marga
atau kepala marga) dan disaksikan oleh danramil, kapolsek,
camat, kepala desa, tokoh agama dan masyarakat.
40
Ibid. 41
2. Pergantian korban atas nama Yati Nacikit umur 14 tahun
diganti dengan Ribka Solisa umur 9 tahun dilakukan di Desa
Siwat Lahin, Kecamatan Fenafan tanggal 25 Maret 2015 di
hadapan sidang adat atau Saniri yang dipimpin oleh matgugul (Raja Tanah) di hadiri para Kepala Soa, Kawasan, di saksikan oleh komandan pos kepolisian, camat, kepala desa dan tokoh
agama serta warga masyarakat.
3. Pergantian Korban atas nama Yoknan Solisa umur 15 tahun
diganti dengan Makis Solisa umur 6 tahun dilakukan di Desa
Waelo, kecamatan Fena Fafan, di hadapan sidang adat atau
Saniri yang dipimpin oleh Matgugul (Raja Tanah) dihadiri oleh Kepala Soa, Kawasan disaksikan oleh komandan pos kepolisian, camat, kepala desa dan tokoh agama.
4. Pergantian Korban atas nama Herman Solisa umur 16 tahun di
ganti dengan Amus Solisa umur 9 tahun di lakukan di Desa
Waekatin kecamatan Fena Fafan tanggal 12 April dihadapan
sidang adat atau saniri yang dipimpin oleh Matgugul, dihadiri oleh tua-tua adat, Kepala Soa, Kawasan, dan disaksikan oleh kapolsek, camat, kepala desa, tokoh agama, dan masyarakat.
e. Prosedur Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret”42
Proses penyelesainnya berdasarkan kesepakatan bersama antara
keluarga pelaku dan keluarga korban, atas keputusan adat yang
diputuskan oleh Matgugul (Raja Tanah), terkait dengan adanya
42
pembunuhan atau fah rahat. Proses yang dilakukan oleh keluarga pelaku pembunuhan atau fah rahat untuk mendirkan pengganti
korban dilakukan di hadapan sidang adat yang dipimpin oleh
Matgugul (raja tanah) dihadiri oleh tua-tua adat, Matlea atau Gebha atau Kepala Soa (pemimpin dalam marga) dari kedua belah pihak, Kawasan (pemimpin pemukiman marga) keluarga pelaku dan keluarga korban dan disaksikan oleh koramil, kapolsek, camat, kepala
desa, tokoh agama dan masyarakat.
Proses ini diawali dengan pengucapan sumpah atau janji yang
dalam bahasa daerah setempat disebut dengan Esmake, ini diucapkan
untuk 24 marga yang berada di Pulau Buru dengan para Leluhurnya
kemudian khusus untuk kasus Pembunuhan yang terjadi.
Rumusan Esmake (Sumpah Adat) :43
Opo geba ka sula djunae, fidi ka fahan lalen ka tuke prenta la moyang tu geba mtuan to la du jagak fuka na, du jagak kai wait e la du newe tu gosan tu muan modan. Slake na do kamba epkamak ka ngan tu Moyang ro, kami emhane la fena porua geran pa, kam puna oto gebana daba puna Epkeret ngei ana fina tu anam hana na lat hai tu huma lolin na lat puna ganti nak roko hadi daba mate tu fah-rahat. Opo tu moyang ro kami fena po rua geran pa kamhane na bam sane potai smake na do da puta mhewak nake newen tu enmate ha odok ke.
43
Artinya :
Tuhan pencipta dunia ini, dari tanganMu, engkau memberi perintah untuk Leluhur dan orang tua untuk menjaga pulau ini dan menjaga persaudaraan kakak dan adik, supaya hidup baik dan tidak merusak satu sama lain. Saat ini kami panggil nama Tuhan dan leluhur menyaksikan kami bersumpah untuk 24 marga, untuk membuat ikatan untuk orang yang menerima adat epkeret bagi (untuk perempuan dengan namanya dan bagi laki-laki dengan namanya) untuk ikut kedalam mata rumah pengganti korban yang meninggal akibat pembunuhan. Tuhan dan moyang, kami 24 marga bersumpah bahwa barangsiapa merombak dan melawan sumpah ini Tombak ini akan mensuk jantungnya, penyakit akan menyusahkan hidupnya dan kematian akan terus mengikutinya.
ditandai dengan 2 (dua) ekor ayam dan 1 (satu) buah tombak, salah
satu ayam kepalanya diarahkan ke desa Kayeli yakni wilayah
terbitnya matahari, ayam yang satunya diarahkan kepalanya ke desa
Waeturen yakni wilayah matahari terbenam, tombak yang digunakan
pada pengucapan sumpah ini mempunyai makna apabila dikemudian
hari setelah pengucapan janji atau sumpah yang dalam bahasa daerah
setempat disebut dengan Esmake ada pihak yang melanggar sumpah ini maka tombak ini yang akan membunuh dirinya. Setelah itu ada
juga proses balik marga atau disebut dalam bahasa setempat Kali-leit
Rumusan Esmake (sumpah adat) pergantian marga atau Kali-leit pada saat mendiririkan pengganti dalam upacara adat pengenaan
sanksi Epkeret :44
Opo Geda Snulat Langina Dawa Lale Na, aleli ngat Nuru Dawa Na Soa da sisa la soa tu ba umur salamat
Artinya :
Tuhan sang pencipta memberkati saya, saya balik nama soa anak ini untuk masuk ke dalam soa yang baru Tuhan berkati dan berikan umur panjang.
Setelah proses mendirikan orang yang menjadi pengganti untuk
menggantikan korban dan masuk dalam keluarga korban serta proses
balik marga (kali-leit) apabila fah rahat atau pembunuhan yang dilakukan antar marga dalam masyarakat adat Buru Selatan untuk
masuk kedalam marga keluarga korban dilakukan serta dilandasi
dengan sumpah adat atau Esmake selesai dilakukan, ada penyematan ikat pinggang atau ika poro, lambang pemerintahan adat dari marga yang bertikai akibat adanya fah rahat atau pembunuhan, diikat atau dalam bahasa setempat disebut dibabah pada Kepala Soa atau pemimpin dari marga yang bertikai sebagai tanda mereka kembali
menyatu dan tidak ada lagi dendam.
44
Setelah itu seluruh peserta persidangan adat dilingkari dengan kain
putih, melambangkan semua warga dalam masyarakat yang pada saat
terjadinya pembunuhan takut untuk beraktifitas karena akan adanya
pembalasan dendam kembali menyatu dan itu berarti tidak ada
ketakutan lagi akan adanya pembalasan dendam yang menimbulakn
ketakutan dalam masyarakat.
f. Persepsi tentang “Epkeret”
1. Pemerintah Setempat
Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Kecamatan
Fena Fafan, menurutnya sanksi adat Epkeret itu sudah ada sejak orang tua kami. sebagai pihak Pemerintah di sini kami mengenal
dan mengetahui prosesnya dan bahkan kami selalu hadir untuk
menyaksikan pelaksanaannya. Ia mengakui bahwa sebagai anak
asli Pulau Buru, sanksi adat Epkeret sangat bermanfaat dan dipandang adil karena tidak akan ada dendam atau epsefet serta dapat menciptakan perdamaian diantara keluarga pelaku dan
korban serta masyarakat langsung mendapatkan dampak yang
positif akibat dari pembunuhan yang terjadi dikarenakan tidak
terjadi proses balas dendam setelah adannya penyelesaian dengan
adat Epkeret. Sanksi adat Epkeret dipandang sangat adil sebab keputusan adat di terima dan ditaati sehingga para pihak yang
bermasalah dapat berdamai dan hidup rukun kembali. 45
45
Tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap adanya
pengenaan sanksi adat ini, menurutnya, hanya dilakukan
pendekatan-pendekatan dengan keluarga, keluarga korban maupun
keluarga pelaku, serta masyarakat, selaku anak adat yang mengerti
dan mengetahui akan adanya sanksi ini karena proses ini sudah
berlangsung sejak lama, kalaupun kami selaku pemerintah ikut
campur tangan ke dalam proses pengenaan sanksi ini akan
berdampak sekali terhadap kebebasan masyarakat adat.
Dikarenakan kita tahu sendiri masyarakat di Maluku
khsusnya di Buru Selatan semuanya memiliki adat-istiadat
masing-masing, hal itu menunjukan identitas kita, darimana kita
berasal, oleh sebab itu tindakan-tindakan yang kita lakukan
hanyalah sebatas pendekatan-pendekatan dengan keluarga dan
masyarakat serta membangun komunikasi dengan Lembaga
Pemerintahan Adat.
Akan tetapi untuk masuk mencapuri sampai kepada
keputusan pengenaan sanksinya, kita tidak melakukannya,
alasannya jikalau hal itu sampai dilakukan akan adanya pergeseran
arti hukum adat yang asli, yang sudah berlangsung secara
turun-temurun dari nenek moyang kita akan menjadi tidak asli lagi, itu
sama saja dengan kita menghilangkan identitas kita sebagai Orang
2. Keluarga yang mendirikan Pengganti untuk Keluarga Korban
Hasil wawancara dengan orang tua dari Rika Solisa umur 9
tahun yang anaknya menjadi orang yang didirikan untuk
menggantikan Korban Yati Nacikit, menurutnya :
katong seng merasa susah karena anak ini seng mati, dia pasti jadi tanda yang biking katong hubungan menjadi baik sebagai orang basudara. Katong tau dong yang tarima anak ini akan piara dia sama dengan katong yang melahirkan dia, jadi dong pasti jaga dia, sayang dia sampe basar. Katong kasi badiri dia untuk menggantikan orang yang meninggal kepada mereka sama saja seperti dia hidup dalam katong pung tangan, jadi seng apa-apa, karena dia su maso keluarga yang susah karna dong kehilangan dong pung anak juga, deng bagini jua katong samua aman karna seng mungkin ada baku bunuh lai.
Artinya :
kami keluarga tidak merasa susah karena anak ini tidak
meninggal, anak ini pasti menjadi tanda yang membuat hubungan
keluarga antara pelaku dan keluarga korban menjadi baik, sebagai
orang bersaudara. Kita tahu keluarga yang baru ini akan menerima
dan akan memelihara dan menjaga anak ini sampai dia besar nanti,
sama seperti saya yang sudah melahirkannya, mereka pasti
menjaga dia, menyayangi dia sampai besar. Kita mendirikan anak
ini untuk menggantikan orang yang meninggal kepada keluarga