• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap Kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan T1 BAB II"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A.Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Hukum Adat

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouk

Hurgronje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1893). Sebelum istilah

hukum adat berkembang, dulu dikenal istilah adatrecht. Dalam bukunya De

Atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 Hurgronje menyatakan salah satu hukum rakyat yang tidak dikodifikasi adalah di Aceh. Kemudian istilah ini

dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang

Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang menjabat sebagai Guru Besar

pada Universitas Leiden Belanda yang mencatat istilah Adatrecht dalam bukunya yang berjudul Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.1

Pengertian hukum adat lebih sering diidentikan dengan kebiasaan atau

kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah. Mungkin belum banyak

masyarakat umum yang mengetahui bahwa hukum adat telah menjadi

bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, sehingga pengertian hukum

adat juga telah lama menjadi kajian dari para ahli hukum. Secara histori,

hukum yang ada di Negara Indonesia berasal dari dua sumber, yakni hukum

yang dibawa oleh orang asing (Belanda) dan hukum yang lahir dan tumbuh

1

(2)

di Indonesia itu sendiri. Mr. C. van Vollenhoven adalah seorang peneliti

yang kemudian berhasil membuktikan bahwa Indonesia juga memiliki

hukum adat asli2

Adat merupakan kepribadian suatu bangsa, merupakan satu

penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad, tiap

bangsa di dunia ini memiliki adat sendiri di mana antara satu dan lain

tidaklah sama. Oleh karena itu ketidaksamaan inilah yang menyebabkan

adat tersebut merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas

kepada bangsa yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri adat yang dimiliki

oleh suku-suku bangsa adalah berbeda meskipun dasar serta sifatnya adalah

satu yaitu ke-Indonesiaannya.

Dalam arti sempit sehari-hari yang dinamakan hukum adat ialah

hukum asli yang tidak tertulis yang memberi pedoman kepada sebagian

masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungan antara

satu dengan yang lainnya.

Tidak ada satu definisi yang benar-benar dipakai untuk menjelaskan

tentang hukum adat itu sendiri. Beberapa pakar mencoba untuk

mendefinisikan hukum adat dari sudut pandangnya sendiri.

H. Hilman Hadikusuma3 mendefinisikan hukum adat sebagai aturan

kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia

berawal dari berkeluarga dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya

menurut kebiasaan dan kebiasaan itu akan dibawa dalam bermasyarakat dan

bernegara.

2

Ibid., hlm. 2.

3

(3)

C. van Vollenhoven,4 menjelaskan bahwa hukum adat adalah

keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai

sanksi (sebab itu disebut hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tidak

dikodifikasi ( sebab itu disebut dengan adat).

Bushar Muhammad5 menerangkan bahwa untuk memberikan definisi

atau pengertian hukum adat sangat sulit sekali karena hukum adat masih

dalam pertumbuhan. Ada beberapa sifat dan pembawaan hukum adat, yakni:

tertulis atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti dan hukum raja atau hukum

rakyat dan lain sebagainya.

Supomo dan Hazairin6 membuat kesimpulan bahwa hukum adat

adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam

hubungan satu sam lain. Hubungan yang dimaksud termasuk keseluruhan

kelaziman dan kebiasaan serta tata kesusilaan yang hidup dalam masyarakat

adat karena dianut dan dipertahankan oleh masyarakat. Termasuk juga

seluruh peraturan yang mengatur sanksi terhadap pelanggaran dan yang

ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat. Penguasa adat adalah

mereka yang mempunyai kewibawaan dan yang memiliki kekuasaan

memberi keputusan dalam suatu masyarakat adat. Keputusan oleh penguasa

adat, antara lain keputusan lurah, atau penghulu atau pembantu lurah atau

wali tanah atau kepala adat atau hakim dan lain sebagainya.

Menurut kesimpulan hasil “Seminar Hukum Adat dan Pembangunan

Hukum Nasional di Yogyakarta, pengertian hukum adat adalah :

(4)

“Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan

perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung

unsur agama”.7

3. Uger-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan

orang Indonesia asli, tegasnya pernyataan rasa keadilannya dalam

hubungan pamrih (Djojodigoeno)

4. Perasaan keadilan yang hidup dalam di dalam hati nurani rakyat

(Soepomo)

Yang menjadi sumber pengenal (kenbron) daripada Hukum Adat adalah :9

1. Pepatah-pepatah Adat

2. Yurisprudensi Adat

3. Laporan-laopran dari komisi-komisi penelitian yang khusus dibentuk

misalnya Komisi W.B. Bergsma (yang meneliti Hukum Tanah di Jawa

dan Madura)

7

Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Cetakan ke-4, Alfabeta, Bandung, Oktober, 2015, hal. 27.

8

Ibid., hal. 65.

(5)

4. Dokumen-dokumen yang memuat ketentuan hukum yang hidup pada

waktu itu baik yang berupa piagam (Papakem Tjirebon),

peraturan-peraturan (Awig-awig), maupun ketentuan atau keputusan-keputusan

atau rampang-rampang di Makassar.

5. Buku undang-undang yang dikeluarkan oleh Raja-raja atau

Sultan-sultan seperti Buku Undang-undang Kerajaan Bone.

6. Buku-buku karangan Para sarjana.

3. Corak-corak Hukum Adat

Beberapa corak yang melekat dalam hukum adat dapat dijadikan

sumber pengenal hukum adat dapat sebutkan yaitu:10

a. Tradisional

Pada umumnya hukum adat bercorak tradisonal, artinya bersifat turun

temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini

yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh

masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya dalam hukum

kekerabatan adat batak yang menarik garis keturunannya dari laki-laki

sejak dahulu hingga sekarang masih tetap berlaku atau dipertahankan.

Demikian pula sebaliknya pada hukum kekerabatan masyarakat

minangkabau yang menarik garis keturunan dari perempuan dan masih

dipertahankan hingga dewasa ini.

10

(6)

b. Keagamaan

Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis-religius),

artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukum berkaitan dengan

kepercayaan terhadap yang gaib dan berdasrkan pada ajaran

Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia

bahwa di alam semesta ini benda itu berjiwa (animism),

benda-benda itu bergerak (dinamisme); di sekitar kehidupan manusia itu ada

roh-roh halus yang mengawasi manusia (jin, malaikat, iblis, dan

sebagainya) dan alam sejagad ini ada karena ada yang mengadakan

yaitu Sang Maha Pencipta.

c. Kebersamaan (Bercorak Komunal)

Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa dalam

hukum adat lebih diutamakan kepentingan bersama, di mana

kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Satu untuk semua

dan semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat

adat didasarkan oleh rasa kebersamaan , kekeluargaan, tolong

menolong dan gotong royong.

d. Konkret dan Visual

Corak hukum adat adalah konkret, artinya hukum adat ini juga jelas,

nyata, berwujud sedangkan corak visual dimaksudkan hukum adat itu

dapat dilihat, terbuka, tidak tersembunyi. Sehingga sifat hubungan

hukum yang berlaku di dalam hukum adat “terang dan tunai”, tidak

samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang

(7)

perkawinan, apabila pihak wanita telah menerima paningset, maka wanita yang akan dikawinkan itu tidak boleh lagi dilamar dan

diberikan pada orang lain.

e. Terbuka dan Sederhana

Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima

unsur-unsur yang datangnya dari luar asal saja tidak bertentangan

dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Sedangkan corak hukum adat itu

sederhana artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak banyak

administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti

dan dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai. Keterbukaan ini

misalnya, dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum Hindu dan

hukum perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”. Jika suami

wafat maka istri kawin lagi dengan saudara suami.

f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan

Kalau ditilik dari batasan hukum adat itu, maka dapatlah dimengerti

bahwa hukum adat itu merupakan hukum yang hidup dan berlaku di

dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang yang dalam

pertumbuhannya atau perkembangannya secara terus-menerus

mengalami proses perubahan atau menebal dan menipis. Oleh karena

itu, dalam proses perkembangannya terdapat isi atau materi hukum

adat yang sudah tidak berlaku lagi (mati), yang sedang hidup dan

(8)

g. Tidak Dikodifikasikan

Kebanyakan hukum adat tidak dikodifikasikan atau tidak tertulis, oleh

karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan

perkembangan masyarakat, seperti yang diuraikan di atas. Walaupun

demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang dicatat dalam aksara

daerah yang bentuknya tertulis seperti di Tapanuli “Ruhut Parsaoron

di Hobatohan” dan “Patik Dohot Uhum ni Halak Batak”. Di Bali dan

Lombok “Awig-awig”, di Jawa “Pranata Desa”, di Surakarta dan Yogyakarkta “Anger-anger”, di Aceh “Sarakata”. Selain itu masih ada peraturan-peraturan hukum adat pada abad XV sampai XVII yang

tertulis dalam buku (manuskrip) orang-orang di Sulawesi Selatan yang

disebut “Lontara” yang masih berlaku hingga sekarang. Jadi berbeda

dengan hukum Barat (Eropa) yang corak hukumnya

dikodifikasikan/disusun secara teratur dalam kitab yang disebut kitab

perundang.

h. Musyawarah dan Mufakat

Hukum adat adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah

dan mufakat, baik dalam keluarga, hubungan kekerabatan,

ketetanggaan, memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri

pekerjaan, apalagi yang bersifat “peradilan” dalam menyelesaikan

perselisihan antara yang satu dengan yang lainnya, diutamakan jalan

penyelesaiannya secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat,

dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu-buru pertikaian itu

(9)

Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam

kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur

dan corak masyarakatnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma

berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut

modern.

Corak dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan cara

sungguh-sungguh bilamana tentang ajaran-ajaran hukum adat yang menjadi jiwanya.

Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata kias

yang mendalam serta hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan

diceritakan dari mulut ke mulut sepanjang generasi yang terus

berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktik ajaran itu yang dituangkan

kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga adat dalam kehidupan

sehari-hari dalam masyarakat.

4. Unsur-unsur Pembentukan Hukum Adat

Dengan berpedoman pada pengertian atau batasan hukum adat dari

soepomo, ditambah dengan formulasi hukum adat dari para pakar yang

berkumpul di Yogyakarta dalam seminar Hukum Adat dan Pembinaan

Hukum Nasional tersebut di muka, maka dapatlah dinyatakan bahwa

”terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi agama”.11

11

(10)

Seminar sendiri menyatakan “hukum adat merupakan hukum Indonesia

asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik

Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama”12

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh agama terhadap

proses terwujudnya hukum adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para

pakar hukum adat pada umumnya.

5. Eksistensi Hukum Adat

Hukum Adat adalah hukum asli yang hidup di dalam masyarakat dan

di jadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat di Indonesia,

khususnya berpedoman pada rasa keadilan dan kepatutan dari tempat di

mana hukum itu lahir, tumbuh dan surut, yang timbul secara langsung dari

landasan pokoknya, ialah kesadaran hukum masyarakat, menjelmakan

perasaan hukum yang nyata dari rakyat, serta proses pembentukan

norma-norma yang tidak bergantung kepada penguasa rakyat. Hukum adat tersebut

senantiasa tumbuh dari kebutuhan hidup yang rill, dari sikap dan pandangan

hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat.13

Pada dasarnya hukum dapat dikemlompokan menjadi dua yaitu, Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan, yang berisi rumusan-rumusan yang belum berlaku. Ius Constitutum atau hukum positif yang berlaku dalam suatu negara. Berdasarkan penggolongan tersebut, maka

muncul permasalahan yaitu bagaimanakah peranan hukum adat dalam

12

Ibid., hlm. 29.

13

(11)

hukum positif itu sendiri maupun dalam perkembangannya di kemudian

hari.

Hukum Adat biasa dimasukan dalam kerangka hukum positif yang

memiliki sanksi tertentu, namun hukum adat juga merupakan hukum yang

tidak tertulis dan juga tidak dikodifikasikan. Maka permasalahannya adalah

implementasi hukum adat itu sendiri tidak mempunyai asas legalitas, namun

hanya ditaati oleh masyarakat hukum adat secara suka rela.

Hukum Adat juga diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Dasar

1945 yang termuat dalam pasal 18B ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.14

Kemudian ayat tersebut dapat diambil intisarinya bahwa keberadaan

hukum adat masih diakui dalam tertib hukum nasional, namun apabila

sepanjang masih ada, dengan kata lain tidak diperkenankan menggali suatu

pranata hukum yang telah mati atau sudah tidak berlaku sejak dahulu, selain

itu, hukum adat dalam pelaksanaannya sebagia sumber hukum yang diakui

secara nasional juga harus sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.

Saat ini, penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga

sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia

menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam

hukum yang tertulis, ia harus dapat menemukan hukum dalam aturan yang

14

(12)

hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal hukum

adat.

Dapat dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang masih

dipertahankan sampai sekarang dan sangat dibutuhkan dalam menjawab

problematika hukum dalam hukum nasional saat ini yang mana ketika suatu

persoalan yang terjadi dalam suatu masyarakat, walaupun persoalan tersebut

sudah diselesaikan dalam ranah hukum positif saat ini yaitu sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, akan tetapi apakah akan

memulihkan hubungan hukum antar warga dalam masyarakat bisa kembali

pulih seperti semula, oleh sebab itu, hukum adat masih sangat dibutuhkan,

dikarenakan satu hal yang sangat penting dalam hukum adat adalah di dalam

tubuh hukum adat itulah terkandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang

diharapkan dalam penegakan hukum di Indonesia

6. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional

Pembentukan hukum nasional kita tidak secara tegas mengacu pada

atau menjadikan Hukum Adat sebagai sumber atau bahan pembentukannya.

Keberadaan hukum adat hanya diakui dalam praktek peradilan, yakni

dijadikan sebagai salah satu sumber hukum oleh hakim dalam mengadili

suatu perkara. Itupun hanya dilakukan manakala terdapat kekosongan

hukum, dalam arti hukum positif tidak mengatur permasalahan yang sedang

diperiksa oleh hakim.

Dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

(13)

konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.15

Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk

memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional, yang menuju

kepada unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak

mengabaikan timbul atau tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan

dan pengadilan dalam pembinaan hukum. Pengambilan bahan-bahan dari

hukum adat dalam penyusunan hukum nasional pada dasarnya berarti :16

a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum adat

untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi

kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka

membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar.

b. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodifisir dan

disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan

sifat-sifat kepribadian Indonesia

c. Memasukan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam

lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk

memperkaya dan memperkembangkan hukum nasional, agar tidak

bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan terbentuknya hukum nasionla yang mengandung unsur-unsur

hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di

(14)

7. Kedudukan Hukum Pidana dalam Hukum Adat

Hukum Pidana dalam penerapannya sebenarnya merupakan senjata

pamungkas (ultimum remidium) dalam menegakan hukum. Hal ini

mengandung makna bahwa penentuan pidana dalam undang-undang untuk

suatu tindakan tertentu harus sedemikian rupa perlunya, karena alat penegak

hukum (sanksi) lainnya sudah tidak efektif lagi.

Dalam hukum pidana asas legalitas dijumpai pada pasal 1 ayat (1)

KUHP, yang menyebutkan:

1. Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasrkan kekuatan

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada

2. Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah

perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan

yang paling menguntungkan

Tujuan hukum pidana secara umum adalah untuk melindungi

kepentingan orang perseorangan atau hak-hak asasi manusia dan melindungi

kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang

serasi dari kejahatan atau tindakan penguasa sewenang-wenang di lain

pihak.17

Hukum Adat di Indonesia pada umumnya tidak tertulis dan tidak

dibedakan, serta tidak dipisahkan antara hukum pidana, perdata, dan hukum

tata negara secara tegas seperti yang dikenal di hukum Barat. Bagi

penduduk Indonesia, hukum pidana adat dan kebiasaan-kebiasaan walaupun

hanya berlaku di masayarakat setempat, tidak kurang nilainya untuk

17

(15)

dipertimbangkan sebagai hal-hal atau fakta yang turut mempengaruhi

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.

Tegasnya hukum adat dan kebiasaan-kebiasaan yang dapat

digolongkan dalam hukum pidana atau ada hubungannya, tidak sama

derajatnya dengan undang-undang hukum pidana, walaupun harus diakui

bahwa hukum adat turut memengarui pertimbangan hakim. Jika terdapat

perbedaan di antara kedua macam hukum pidana tersebut maka yang akan

lebih diutamakan atau yang lebih menentukan adalah undang-undang

hukum pidana yang terdapat dalam KUHP.

Sebagaimana diketahui asas legalitas dalam KUHP Indonesia bertolah

dari ide atau nilai dasar “kepastian hukum”. Namun dalam kenyataannya,

asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan, penghalusan,

pergeseran, atau perluasan dan menghadapi berbagai tantangan antara lain

dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam UUDS

1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt.1951; Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Konsep RUU

KUHP). Asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum

delictum sine lege”, tetapi jua sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas

materil, yaitu dengan mengakui hukum pidana dan hukum tidak tertulis

sebagai sumber hukum.18

Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman

Nomor 48 Tahun 2009, kiranya pandangan masih tetap diterapkannya

18

(16)

hukum adat (pidana) walaupun dalam arti yang terbatas lebih mendapat

dukungan lagi. Dalam pasal 5 ayat (1) dari undang-undang tesebut antara

lain ditentukan ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan ini mengingatkan adanya hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat yang wajib diikuti oleh hakim.

Keberadaan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia akan

tetap eksis. Dalam hal ini Prof. Soepomo memberikan pandangannya

sebagai berikut:19

1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan, hukum adat masih akan

menguasai masyarakat Indonesia

2. Bahwa hukum pidana dari suatu negara wajib sesuai dengan corak dan

sifat-sifat bangsanya atau masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, maka

hukum adat pidana akan memberi bahan-bahan yang sangat berharga

dalam pembentukan KUH baru untuk negara kita.

3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak tertulis akan

tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal yang belum/tidak

ditetapkan oleh undang-undang.

Hukum adat adalah aturan tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat

adat suatu daerah akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi

hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang

sebelum mereka. Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan

kedudukannya dalam tata hukum nasional tidak dapat dipungkiri walaupun

19

(17)

hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas adalah hukum yang

tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di dalam masyarakat.

8. Masyarakat Hukum Adat

Mengenai masyarakat Hukum Adat, secara teoritis pembentukannya

disebabkan karena adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing

anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor ikatan yang membentuk

masyarakat hukum adat secara teoritis adalah faktor genealogis (keturunan)

dan faktor teritorial (wilayah).

Berdasarkan kedua faktor ikatan diatas, kemudian terbentuklah

masyarakat hukum adat, yang dalam studi hukum adat disebut tiga tipe

utama persekutuan hukum adat20

1. Persekutuan hukum genealogis.

2. Persekutuan hukum territorial

3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang merupakan

penggabungan dua persekutuan hukum diatas.

Kejelasan dari masing-masing bentuk masyarakat hukum diatas

sebagai berikut :

1. Persekutuan Hukum Genealogis

Pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar

pengikat utama anggota kelompok adalah persamaan dalam

keturunan, artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karena

merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Menurut para

20

(18)

ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat hukum

genealogis ini dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu bersifat

patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau parental.21

2. Persekutuan Hukum Teritorial

Mengenai persekutuan hukum territorial yang dimaksudkan di

atas, dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah

kelahiran dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang

sama.22

3. Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial

Berikutnya mengenai persekutuan hukum genealogis-teritorial

dalam pengikat utama anggota kelompoknya adalah dasar

persekutuan hukum genealogis dan territorial. Jadi pada

persekutuan hukum ini, para anggotanya bukan saja terkait

pada tempat kediaman daerah tertentu tetapi juga terikat pada

hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau

kekerabatan.23

9. Wilayah Hukum Adat

Menurut Hukum Adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia

sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat

(19)

Cornelis van Vollenhoven dalam Bukunya, Adat-Recht, membagi

seluruh wilayah Indonesia ke dalam Sembilan belas lingkaran wilayah

hukum adat sebagai berikut:25

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue)

2. Daerah-daerah Gayo, Alas, dan Batak

a. Daerah Gayo (Gayo Lueus)

b. Daerah Alas

c. Daerah-daerah Batak (Tapanuli)

Tapanuli Utara:

1. Batak Pakpak (Barus)

2. Batak Karo

3. Batak Simelungun

4. Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Sumban Julu)

Tapanuli Selatan:

1. Pada Lawas (Tano Sapanjang)

2. Angkola

3. Mandailing (sayumatinggi)

3. Nias dan Batu Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah

datar, Lima Puluh koto, Wilayah Kampar, Kurinci)

4. Mentawai (orang-orang Pagai)

5. Sumatera Selatan

a. Bengkulu (Rejang)

25

(20)

b. Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang,

Gendongtataan, Tulang bawang)

c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah,

Semendo)

d. Jambi (Penduduk Batin dan Penduduk Penghulu)

6. Enggano

7. Daerah Melayu (Lingga Riauw, Indragiri, Sumatera Timur,

Orang-orang Banjar)

8. Bangka dan Belitung

9. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu,

Kalimantan Tenggara, Mahkam Hulu, Pasir (Daya Kenya, Daya

Klemanten, Daya Landak dan Daya Tayan, Daya Lawangan,

Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Daya Maanyan Siung,

Daya Ngaju, Daya Ot Danum, Daya Panyabung Punan)

10. Minahasa (Manado)

11. Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo, dan Minahasa)

12. Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja

Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang,

Kepulauan Banggai)

13. Sulawesi Selatan (orang0orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang,

Poure, Mandar, Selaiar, Muna)

14. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo,

(21)

15. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Pulau-pulau uliaser,

Saparua, Buru, Seram, pulau-pulau Kei, pulau-pulau Aru dan

Kaisar

16. Irian Barat

17. Kepulauan Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah,

Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores,

Ngada, Rote, Sawu Bima)

18. Bali dan Lombok (Bali, Tenganan Pagringsingan, Kastala,

Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)

19. Jawa Tengah dan Jawa Timur seta Madura (Jawa Tengah, Kedu,

Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)

10.Konsep Restorative Justice

“Restorative Justice” atau sering diterjemahkan sebagai keadilan

restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun

1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan

pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,

pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku,

korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna

(22)

umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan

kemasarakatan.

Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas

tejadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam

peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan

kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu

tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian

pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana

keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha

perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha tersebut.26

26

(23)

B.Hasil Penelitian

Dalam penjelasan ini, penulis memaparkan beberapa hal yang antara

lain mengenai Gambaran umum wilayah penelitian (keadaan iklim, keadaan

demografi), pemerintahan adat dan sistem religi masyarakat Buru Selatan,

sanksi adat “Epkeret” dan hasil analisis. Hal ini bertujuan untuk

memberikan gambaran umum tentang keadaan dan situasi wilayah

penelitian, serta untuk mengetahui fakta-fakta Hukum Adat yang hidup dan

berkembang terkait dengan Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret” terhadap

kasus Pembunuhan dalam Masyarakat Adat di Pegunungan Buru Selatan.

1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Buru Selatan terletak antara 2o30’ Lintang Selatan dan

5o50’ Lintang Selatan dan antara 125o00’ Bujur Timur dan 127o00’ Bujur

Timur. Kabupaten Buru Selatan dibatasi oleh Laut Seram di sebelah Utara,

Laut Banda di sebelah Selatan dan Barat, serta Selat Manipa dan Kabupaten

Buru di sebelah Timur. Keberadaannya di antara tiga kota penting di

Indonesia Timur (Makasar, Manado/Bitung, dan Ambon) dan dilalui Sea Line III, telah menempatkan Kabupaten Buru Selatan pada Posisi yang strategis. Kabupaten Buru Selatan secara administratif terbagi atas 6

kecamatan yakni Kecamatan Leksula, Kecamatan Kepala Madan,

Kecamatan Waisama, Kecamatan Namrole, Kecamatan Ambalau dan

Kecamatan Fena Fafan27.

27

(24)

Lokasi Penelitian yang menjadi tempat untuk penulis melakukan

observasi yakni di Kecamatan Leksula, tepatnya di desa Leksula dan

Kecamatan Fena Fafan tepatnya di desa Siwatlahin, Kabupaten Buru

Selatan.

Lebih spesifik lagi menyangkut kecamatan yang menjadi sampel

wilayah penelitian yakni kecamatan Fena Fafan, keadaan reliefnya

didominasi oleh pegunungan dengan kemiringan lereng landai dan curam,

sedangkan Kecamatan Leksula berada di sepanjang garis pantai merupakan

daerah dengan jenis elevasi rendah dan berlereng landai.

Kabupaten Buru Selatan mengenal dua musim yakni musim

penghujan dan musim kemarau. Suhu udara disuatu tempat ditentukan oleh

tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari

pantai. Suhu udara maksimum terjadi pada bulan Januari 2014 (33.3 0C),

sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan September 2014 (18,6

o

C). Stasiun Meteorologi dan Geofisika Namlea mencatat bahwa sepanjang

tahun 2014 curah hujan tertinggi sebesar 244 mm terjadi pada bulan

Februari. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Oktober

sebesar 1 mm.28

Penduduk Kabupaten Buru Selatan Pada tahun 2014 berjumlah

58.197, jiwa, dimana 29.908 berjenis kelamin laki-laki dan 28.289 jiwa

perempuan. Dengan luas wilayah sebesar 5.060.00 Km2. Kabupaten Buru

Selatan memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 11,50 jiwa/km2.29

28

Ibid., hal. 23. 29

(25)

Sementara itu bila dilihat dari segi kepadatan penduduk, yaitu dengan

memperhatikan luas wilayah suatu wilayah, Kabupaten Buru Selatan dengan

jumlah penduduk tahun 2014 sebanyak 58.197 jiwa, dan dengan luas

wilayah sebesar 5.060.00 Km2, memiliki kepadatan penduduk sebesar 11,50

jiwa/km2, kecamatan terpadat antara lain Kecamatan Namrole dengan

kepadatan sebesar 35,98/km2, Kecamatan Ambalau sebesar 24,24 jiwa/km2,

Kecamatan Waesama sebesar 17,24 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang

kurang padat antara lain Kecamatan Kepala Madan sebesar 8,16 jiwa/km2,

Kecamatan Leksula sebesar 6,76 jiwa/km2 dan Kecamatan Fena Fafan

sebesar 6,25 jiwa/km2.30

2. Pemerintahan Adat dan Sistem Religi Masyarakat Buru Selatan

Sistem Pemerintahan Adat di Pegunungan Buru Selatan di pimpin

oleh Seorang Matgugul berasal dari kata mate = Raja dan gugul = Tanah atau teritorial (Raja Tanah atau penguasa teritorial) berkedudukan di Desa

Mangeswaen, Kecamatan Fena Fafan, Kabupaten Buru Selatan. Wilayah

pemerintahan ini yang dalam bahasa setempat disebut Matgugul Mehetlale.

Matgugul bertanggungjawab atas wilayah atau teritorial yang telah ditentukan. Di bawahnya ada yang disebut Matlea atau Gebha (Kepala Soa

atau Kepala Marga) yang memiliki jabatan tinggi di dalam marga. Di bawahnya ada Kawasan, yang bertugas mengakomodir dan memimpin suatu

pemukiman masyarakat adat dari beberapa marga atau soa. Di bawah Kawasan adalah Emrimu atau Marinyu yang bertugas untuk menyampaikan

30

(26)

titah Matgugul kepada bawahannya dan kepada masyarakat, mengundang para tua-tua adat ke suatu sidang adat dan memberitahukan kegiatan dalam

masyarakat kepada seluruh warga masyarakat adat.31

Tabel 2.1.

Struktur Pemerintahan Adat

Dalam sistem pemerintahan adat, marga-marga yang sama

membentuk persekutuan marga yang disebut Soa. Setiap Soa mempunyai sistem sendiri untuk mengatur urusan internal Soa nya. Secara spesifik penduduk yang tinggal di Buru Selatan dapat dibedakan antara penduduk

asli (Geba Bipolo) dan penduduk pendatang (Geba Misnit).32

31

Hasil wawancara dengan Bapak Anton Solisa, Jabatan Matgugul, tanggal 28 Desember 2016, pukul 10.24 WIT, di Desa Leksula, Kecamatan Leksula.

32

Patinama, Jika Yesus Lahir di Bipolo, artikel dalam majalah Ilmiah Pikom GPM ASSAU, 2005, ISSN.: 1412-788, Hlm. 9-12.

Mat Gugul - Penguasa Teritorial

Matlea atau Gebha (Kepala Soa) - Pemegang kekuasaan tertinggi dalam marga

Kawasan – Pemimpin Pemukiman Marga

(27)

Sedangkan secara kedalam Geba Bipolo atau penduduk asli terbagi menurut wilayah hunian. Geba Fuka adalah Geba Bipolo yang mendiami daerah pegunungan. Geba Fuka Unen adalah mereka yang menduduki pusat

pulau disekitar Danau Rana dan Gunung Date, yang tinggal di lereng

gunung menamakan diri Geba Fuka Fafan, sedangkan Geba Masin adalah

Geba Bipolo yang tinggal di pesisir pantai.33

Jauh sebelum masuknya agama, masyarakat adat Buru Selatan sudah

menganut kepecayaan kepada Roh-roh nenek moyang atau Roh Leluhur

(animisme). Kepercayaan mereka didasarkan pada prinsip bahwa di lingkungan mereka tinggal di huni berbagai macam roh. Bertolak dari

penjelasan diatas maka sumber kepercayaan mereka dibagi atas tiga bagian

yakni :

pertama : mereka percaya kepada gunung (kaku date) dan Danau (Rana Wakol) dan tempat keramat di dalam Hutan (koit lale). Kedua:

mereka percaya kepada kawasan hutan yang diusahakan meliputi

pemukiman (huma lolin dan fena lalen) atau negeri lama hunian leluhur,

kebun (hawa) yang dijaga oleh leluhur, hutan berburu atau meramu (neten embalit) harus meminta kepada leluhur, hutan (mua lalen) tempat

memacing (waelalen). Ketiga : adalah kawasan yang diusahakan turun temurun (wasi lalen) dan padang rumput (mehet lalen).

Aktivitas masyarakat adat di sekitarnya erat hubungannya dengan

kepercayaan tradisional bahwa asal usul mereka berhubungan dengan alam

33

(28)

semesta yaitu tanah, air, dan gunung. Mereka juga percaya bahwa setiap

kampung, sungai dan tanah ada nama aslinya (na liet) yang diberikan oleh leluhurnya yang tidak boleh mereka ucapkan dengan sembarangan. Nama

itu sangat dirahasiakan dan tidak boleh di ucapkan. Nama itu disebut apabila

kampung, sungai, dan tanah mereka terancam atau dilanda bencana barulah

tua-tua adat menyebutnya.34

3. Bentuk Penyelesaian Sengketa Adat

Tingkatan Penyelesaian Pertikaian atau permasalahan dalam

masyarakat adat Buru Selatan untuk menyelesaikan permasalahan

antar sesama marga atau soa ataupun antar marga atau soa yaitu dengan cara Matgugul (Raja Tanah), memberitahukan lewat marinyu (pembawa pesan raja pada Kepala Soa, Kawasan, dan Tua-tua adat)

kepada kepala soa (pemimpin dalam marga) dan kepada kawasan (pemimpin pemukiman marga), untuk menghadiri sidang adat atau

saniri. Penyelesaian masalah ditempuh dalam beberapa cara antara lain :

1. Penyelesaian secara Kai-Wait (kakak-adik atau kekeluargaan)

Penyelesaian secara Kai-Wait (kakak-adik atau kekeluargaan) untuk menyelesaikan masalah-masalah batas tanah antar marga

atau antar anggota masyarakat adat, atau penyerobotan lahan usaha

34

Hasil Wawancara dengan Bapak Petrus Nacikit, 69 tahun, tanggal 23 desember

(29)

(hutan kayu putih dan hutan meranti) dan lahan berburu biasanya

masyarakat adat melaporkan ke Kepala Soa (kepala marga) selanjutnya dikumpulan Kepala Soa yang anggotanya bermasalah untuk di musyawarahkan dan diputuskan sesuai dengan kenyataan

yang ada. Biasanya penyelesaiannya atas dasar kekeluargaan

dianggap baik sebab semua marga di Buru Selatan menjujung

tinggi nilai filosofi hidup Kai-Wait atau kakak-adik sebagai orang Bersaudara.

2. Penyelesaian dengan cara Faka Ua (Belah Rotan)

Penyelesaian dengan cara Faka Ua atau Belah Rotan untuk menyelesaikan masalah perkawinan, denda adat, penentuan harta

kawin, biasanya di selesaikan dengan pendekatan Faka Ua atau Belah Rotan. Penyelesaian Faka Ua atau Belah Rotan bertolak dari pengalaman orang tua yang membelah rotan untuk membuat tali

pengikat dan perangkap binatang, dan mereka membelah rotan itu

dua belahnya sama besar cara itu yang mereka pakai untuk

menyelesaikan masalah dalam masyarakat adat. Artinya sikap

Matgugul (Raja Tanah) dalam memutuskan suatu perkara tidak memihak kepada siappun tetapi berdasarkan rasa keadilan dan

(30)

3. Penyelesaian dengan cara Esmake (Sumpah Adat)

Penyelesaian dengan cara Esmake (Sumpah Adat) khusus untuk menyelesaikan perkara-perkara pembunuhan (Pengenaan Sanksi

adat Epkeret). Dalam kasus pembunuhan ada juga sanksi adat Rahe

Nefu. Rahe Nefu adalah tebusan dalam bentuk pemberian sebidang tanah dari keluarga pelaku pembunuhan kepada keluarga korban

(yang di bunuh). Proses pergantian korban dengan sebidang tanah

atau Rahe Nefu dilakukan apabila keluarga pelaku tidak dapat mendidirikan seorang manusia pengganti (Epkeret) dikarenakan jika yang dibunuh adalah perempuan, keluarga pelaku harus

menyiapkan seorang perempuan untuk didirikan sebagai orang

pengganti untuk menggantikan korban akan tetapi anak keturunan

dari keluarga pelaku tidak memiliki anak perempuan, maka akan di

lakukan musyawarah secara adat untuk memutuskan pengganti

dengan cara menyerahkan sebidang tanah kepada keluarga korban.

Tanah dapat dijadikan pengganti korban (manusia) sesuai dengan

kepercayaan mereka bahwa tanah adalah asal mula manusia dan

sumber kehidupan bagi manusia tanpa tanah manusia tidak bisa

melakukan apa-apa, tanpa tanah manusia tidak bisa memenuhi

segala kebutuhan keluarganya, tanpa tanah tidak ada tempat

tinggal, tanah merupakan sesuatu yang bisa dijadikan pemenuhan

akan kebutuhan keluarga mereka dengan cara berkebun dan lain

sebagainya. Atas dasar itu maka pergantian korban menggunakan

(31)

Selama ini, di kalangan masyarakat hukum adat di pegunungan

Buru Selatan mengenal dua cara pergantian korban akibat

pembunuhan yaitu Epkeret dan Rahe Nefu, hanya saja yang sering

dilakukan apabila terjadi pembunuhan adalah pengenaan sanksi

adat Epkeret, atau pihak korban di ganti dengan manusia, yang

dilakukan dalam sidang adat yang dipimpin oleh Matgugul, dihadiri oleh, Kepala Soa, Kawasan, Tua-tua Adat, dan disaksikan

oleh Pemerintah (camat), tokoh agama, pihak kepolisian, pihak

TNI, dan warga masyarakat.

4. Sanksi Adat “Epkeret”

a. Pengertian Sanksi Adat “Epkeret”

Kata “Epkeret” sendiri berasal dari dua kata epak = mendekat

keret = mendirikan, dalam bahasa setempat disebut dengan Kasi Badiri. Secara harafiahnya “Epkeret” adalah mendekati keluarga korban untuk mendirikan pengganti. Sanksi adat epkeret adalah sanksi

yang dikenakan oleh seseorang yang melakukan pembunuhan atau Fah

Rahat dengan mendirikan seorang Pengganti untuk menggantikan korban akibat pembunuhan kepada keluarga korban.

b. Sejarah dan Tujuan Sanksi Adat “Epkeret”

Sejarah lahirnya adat Epkeret berawal dari kesepkatan 24 (dua puluh empat) marga asli yang berdiam di Pulau Buru untuk

melindungi Pulau Buru dari ancaman musuh yang datang dari luar.

Atas kesepakatan 24 (dua puluh empat) marga asli tersebut, maka

(32)

memilih dan mendirikan 1 (satu) orang Kapitan35 dari marganya untuk

berperang dan membunuh siapa saja yang datang untuk merebut Pulau

Buru dari tangan mereka.36

Mereka menerapkan prinsip mata ganti mata gigi ganti gigi, yaitu

apabila salah satu dari antara 24 (dua puluh empat) marga yang

mendiami Pulau Buru di bunuh oleh pihak-pihak yang ingin merebut

Pulau Buru atau pembunuhan diantara marga-marga tersebut maka

harus dibalas dengan cara membunuh. Hal ini dimaksudkan untuk

menjaga Pulau Buru dari ancaman musuh akan tetapi juga untuk

melindungi hubungan kekerabatan dan persaudaraan diantara

marga-marga dimaksud. Komunitas 24 (dua puluh empat) marga-marga-marga-marga asli

yang mendiami Pulau Buru yang mematuhi pengenaan sanksi adat

Epkeret adalah :

Tabel 2.2.

Nama 24 (dua puluh empat) marga atau soa asli Pulau Buru yang mematuhi

pengenaan sanksi adat Epkeret

No Nama Marga Nama Soa

1. Marga lesnusa Soa Masbait

2. Marga Solisa Soa Mual

35

Kapitan adalah seorang Panglima perang yang diutus oleh salah satu marga atau Soa 36

(33)

3. Marga Seleki Soa Gebhain 4. Marga Leskona Soa Maktita 5. Marga Biloro Soa Hangwasi

6. Marga Selsili Soa Gebfua 7. Marga Lesbasa Soa Gebrihi 8. Marga Teslatu Soa Waelusu 9. Marga Tasane Soa Wagida 10. Marga Titawael Soa Wakibo 11. Marga Lesbata Soa Waenu 12. Marga Nurlatu Soa Watemun

13. Marga Nacikit Soa Migodo 14. Marga Hukunala Soa Gewagit 15. Marga Latuwael Soa Wanheran 16. Marga Latbual Soa Waelua 17. Marga Waemese Soa Wakolo 18. Marga Liligoli Soa Nalbesi

(34)

Masyarakat adat di Pulau Buru khususnya Buru Selatan memiliki

2 (dua) nama yakni nama dalam dan nama luar, nama luar lebih

dikenal dengan sebutan marga (yang dimiliki oleh orang dari bagian

timur Indonesia), sedangkan nama dalam adalah nama adat. Dalam

upacara adat masyarakat adat Buru Selatan tidak menggunakan nama

marga akan tetapi menggunakan nama Soa sebagai identitas dari marga untuk mengikuti upacara adat.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan masyarakat,

adat Epkeret berubah dari upaya mendirikan seorang Kapitan dari tiap-tiap marga asli Pulau Buru untuk membunuh dengan tujuan

melindungi Pulau Buru dari ancaman pihak-pihak yang ingin

merebutnya, para leluhur kemudian memutuskan adat Epkeret menjadi

sanksi adat kepada siapa saja yang melakukan pembunuhan antar

marga maupun kepada marga asli penghuni Pulau Buru.

Dengan alasan apabila masih diterapkan membunuh dibalas dengan

membunuh, akan mengakibatkan komunitas masyarakat adat Buru

Selatan akan semakin melemah akibat dari jika ada pembunuhan

dibalas dengan pembunuhan juga, akan menyebabkan perseteruan

dalam komunitas masyarakat adat sendiri, yang akan menimbulkan

kehancuran masyarakat adat di Buru Selatan, dikarenakan Pulau Buru

(35)

harmonis dan damai. Karena itu mereka membangun tatanan hidup

dengan Lolik Lalen Fedak Fena (Satukan Hati Membangun Negeri).

Epkeret kemudian dikenakan sebagai sanksi bagi pelaku pembunuhan atau fah rahat antar marga maupun antar sesama marga

di Pulau Buru khususnya Buru Selatan. Sanksi adat Epkeret dilakukan

dengan bertujuan untuk memulihkan hubungan kekerabatan yang

renggang berdasarkan hidup Kai-Wait (hidup orang bersaudara) dalam

masyarakat adat apabila ada orang yang melakukan fah rahat atau pembunuhan. Sanksi adat Epkeret yang dikenakan kepada keluarga pelaku untuk mendirikan pengganti bukan untuk dibunuh juga akan

tetapi orang yang didirikan sebagai pengganti untuk keluarga korban

untuk masuk dan hidup bersama dengan keluarga korban, akan masuk

menjadi bagian dari keluarga korban sebagai pengganti dan masuk ke

dalam marga keluarga korban, ketika orang tersebut sudah masuk dan

menjadi anggota dari keluarga korban, kedudukannya dalam keluarga

yang baru itu dianggap sebagai anak mereka sendiri.

Semua hak-hak dalam kehidupannya dipenuhi, walaupun dia

menjadi bagian dari keluarga korban akibat dari adanya peristiwa fah rahat atau pembunuhan, karena didirikan sebagai Pengganti korban serta penyerahannya dilandasi dengan sumpah adat atau dalam bahasa

daerah setempat disebut dengan esmake.

(36)

Buru khususnya sekarang sudah menjadi Kabupaten Buru Selatan

untuk menyelesaikan pertentangan, ketidakstabilan, keresahan dalam

masyarakat yang diakibatkan oleh fah rahat (pembunuhan). Kekuatan dari sanksi adat Epkeret ini yaitu manusia yang mati digantikan dengan manusia yang hidup (mata ganti mata gigi ganti gigi) merupakan hukum atau sanksi yang paling mengikat, dan tidak bisa

dilanggar karena didalamnya diikat dengan sumpah adat atau dalam

bahasa setempat disebut esmake atau sumpah adat oleh marga antara pelaku dan korban, dengan disaksikan oleh Matgugul (raja tanah), tua-tua adat, kepala-kepala marga dari 24 (dua puluh empat) marga

atau kepala Soa juga pemerintah dan masyarakat agar tidak terjadi lagi

balas dendam dan pembunuhan.

c. Pengawasan Sanksi Adat “Epkeret”37

Pengawasan terhadap sanski adat Epkeret, pengawasan dilakukan oleh semua pihak dalam hal ini lembaga adat Matgugul (Raja tanah) Matlea atau Gebha (kepala Soa atau kepala marga), Kawasan (pemimpin pemukiman marga-marga) dan pihak Pemerintah (camat, kepala desa), Polisi, TNI, Pendeta dan Masyarakat. Pemerintah dan

masyarakat dalam persidangan adat atau saniri bertindak sebagai saksi. Karena pada saat persidangan adat atau saniri pada saat dilakukan semua warga masyarakat dalam wilayah tersebut

menyaksikan berjalannya persidangan adat tersebut, dan yang

terpenting semua warga dalam masyarakat menyaksikan kedua belah

37

(37)

pihak yaitu pihak keluarga pelaku dan pihak keluarga korban

sama-sama melakukan sumpah atau dalam bahasa daerah setempat disebut

dengan esmake serta mengikat diri dengan kain ika poro lambang pemerintahan adat.

Agar kedua belah pihak tidak akan mengulangi perbuatannya.

Untuk itu dalam hal pengawasan semua warga dalam masyarakat

melakukan pengawasan terhadap sanski adat Epkeret termasuk mengawasi kehidupan pengganti korban tersebut dalam hidupnya di

keluarga baru.

d. Pelaksanaan Sanksi Adat “Epkeret”

Peristiwa Pembunuhan :

1. Pembunuhan Philipus Liligoli (Kasus Pembunuhan tahun 1982)

Wawancara dengan38 bapak Simon Lesnussa selaku pelaku

yang melakukan fah rahat (pembunuhan) terhadap saudara Philipus Liligoli, peristiwa fah rahat (pembunuhan) ini sendiri terjadi pada sabtu 18 oktober, pukul 4 sore, tahun 1982, di desa

Leksula, Kabupaten Buru Selatan, akar permasalahannya adalah

tentang jual-beli ayam yang berujung pada pemukulan yang

dilakukan oleh philipus Liligoli terhadap orang tua dari Simon

Lesnussa, akibat dari pemukulan itu pelaku dan korban terlibat adu

mulut, pelaku sempat berkata: daripada se pukul beta punya mama

lebe bae se pukul beta kasi mati (daripada kamu memukul ibu

38

(38)

saya, lebih baik kamu pukul saya sampai mati). Adu mulut yang

terjadi kemudian berlanjut dengan perkelelahian antara Philipus

Liligoli dengan Simon Lesnussa yang mengakibatkan

meninggalnya Philipus Liligoli.

Terkait dengan kasus fah rahat atau pembunuhan ini pihak keluarga, menurut bapak Simon sempat ada pembicaraan antara

keluarga pelaku dan keluarga korban untuk menggantikan ke

keluarga korban dengan tanah dalam musyarawah dengan

Matgugul (Raja Tanah), Matlea/Gebha atau Kepala Soa (kepala marga) dari kedua belah pihak, tua-tua adat, disaksikan oleh camat,

kapolsek dan koramil, akan tetapi dari pihak keluarga korban

menolak pergantian dengan tanah, keluarga korban ingin

pergantian jiwa atau orang, dikarenakan sanksi adat Epkeret mengharuskan jika korbannya laki-laki harus digantikan dengan

laki-laki, apabila dari keluarga tidak mempunyai pengganti seorang

laki-laki barulah pergantian bisa menggunakan tanah. Setelah

musyawarah tersebut diputuskan oleh Matgugul (raja tanah) kepada keluarga pelaku untuk melakukan sanksi adat Epkeret.

Keluarga pelaku langsung melakukan rapat keluarga untuk

menyelesaikan permasalahan ini, berunding untuk menentukan

orang yang akan didirikan menjadi pengganti korban dan masuk ke

keluarga korban, hal ini dilakukan dengan cepat agar mencegah

balas dendam yang akan dilakukan oleh pihak keluarga korban,

(39)

Epkeret yaitu dengan mendirikan seorang pengganti bernama Semuel Lesnussa (saudara pelaku) untuk masuk ke keluarga

Korban yang bermarga Liligoli yang dilakukan dalam persidangan

adat, pihak dari keluarga pelaku yang berdiri untuk mendirikan

Samuel Lesnussa sebagai orang yang menggantikan korban

fah rahat atau pembunuhan ke keluarga Korban adalah Matlea atau Gebha atau Kepala Soa Gebhain (Pemimpin dari marga Lesnussa), Hein Lesnussa dan Yeremias Lesnussa (saudara

pelaku), diterima oleh Matlea atau Gebha atau Kepala Soa Nalbesi

(Pemimpin dari marga Liligoli) yang disaksikan oleh Pemerintah

(camat), tua-tua adat, Kapolsek, Danramil, tokoh agama dan warga

masyarakat.

Sanksi adat Epkeret ini dilakukan oleh pihak keluarga pelaku

dengan sukarela dan tidak ada paksaan karena pihak keluarga

menyadari kesalahan yang dilakukan oleh anggota keluarganya

yang melakukan fah rahat atau pembunuhan jika tidak secepatnya diselesaikan dengan cara seperti ini, pasti akan sangat mengganggu

kehidupan bermasyarakat dikarenakan akan adanya tindakan

pembalasan dendam yang pasti akan dilakukan oleh pihak keluarga

korban cepat ataupun lambat dengan cara melakukan fah rahat atau pembunuhan juga. Pelaku Simon Lesnussa dihukum 2 (dua)

tahun penjara dengan potongan masa tahanan menjadi 1 (satu)

tahun 2 (dua) bulan sesuai dengan Keputusan Hakim Pengadilan

(40)

Dampak yang dirasakan pelaku setelah dilakukan sanksi adat

Epkeret dilakukan dan selesai menjalani masa tahanan, pada saat kembali ke dalam masyarakat sudah tidak ada ketakutan yang

dirasakan lagi akan terjadinya pembalasan dendam, ketika

beraktivitas dan bertemu dengan keluarga korban sama-sama

menyapa satu sama lain, seperti tidak pernah terjadi suatu

pembunuhan, hubungan dalam masyarakat juga kembali membaik,

tidak ada yang mendendam, semuanya kembali berjalan dengan

baik.

2. Pembunuhan yang dilakukan oleh saudara Remi Solissa alias Kabit

(Kasus Pembunuhan tahun 2015).

Peristiwa pembuhunan dan penganiayaan dengan tersangka

Remi Solisa alias Kabit, terjadi pada hari selasa tanggal 17 februari

2015 sekitar Pukul 20.00 WIT bertempat di Desa Siwatlahin.

Tersangka (Remi Solisa alias Kabit) melakukan permbunuhan dan

penganiayaan dengan menggunakan 2 (dua) buah Tombak dan 2 (dua) buah Parang. Penyebab tersangka melakukan pembunuhan dan penganiayaan ini dari hasil pemeriksaan di kantor polisi sektor

Leksula, Kecamatan Leksula, adalah karena tersangka merasa

kalau istri tersangka selingkuh dan telah menghina tersangka

dengan perkataan pada saat tersangka meminta berhubungan badan

(41)

sehingga tersangka emosi kemudian melakukan pembunuhan dan

penganiayaan tersebut.39

Korban dari persitiwa pembunuhan serta penganiayaan ini

semuanya berjumlah 9 (Sembilan) orang, korban meninggal

berjumlah 4 (empat) orang, 3 (tiga) diantarnya adalah anak-anak

dan korban luka-luka berjumlah 5 (lima) orang.

Korban meninggal, yaitu :

1. Saudari Yoneng Nurlatu (27 Tahun) istri dari Tersangka

2. Saudara Herman Solissa (16 Tahun)

3. Saudari Yati Natcikit (14 Tahun)

4. Yoknan Solissa (15 Tahun)

Korban luka-luka, yaitu :

1. Saudara Wellem Solisa (30 Tahun)

2. Saudara Agus Natcikit (35 Tahun)

3. Saudara Onyong Solissa (29 Tahun)

4. Saudari Minggas Solissa (60 Tahun)

5. Saudara Elifas Solissa (32 Tahun)

Setelah melakukan pembunuhan dan penganiayaan tersangka

sempat melarikan diri ke dalam hutan, sampai pada tanggal 22

februari 2015 tersangka berhasil ditangkap oleh petugas kepolisian,

petugas sempat menembak kaki kanan tersangka, karena pada saat

mau ditangkap pelaku sempat melakukan perlawanan. Setelah itu

39

(42)

tersangka kemudian dibawa dari Desa Siwalahin, Kecamatan Fena

Fafan menuju ke desa Leksula, Kecamatan Leksula, dan ditahan

selama 2 (dua) minggu di kantor Polisi Sektor Leksula, kemudian

tersangka dibawa menuju ke Namlea, dan langsung dibawa menuju

Ambon, untuk melakukan Persidangan Di Pengadilan Negeri

Ambon. Hakim Pengadilan Negeri Ambon Menjatuhakan Putusan

Hukuman seumur Hidup Untuk Tersangka Remi Solissa alias

Kabit.40

Kasus pembunuhan atau fah rahat yang dilakukan oleh Kabit

Solissa yang pada tahun 2015 lalu, sudah diselesaikan dengan

menggunakan hukum adat orang Buru, Khususnya Buru Selatan

dengan yaitu pengenaan sanksi adat Epkeret, menurut hasil wawancara dengan narasumber, ada empat orang korban yang

meninggal dan semuanya sudah diselesaikan menggunakan adat

Epkeret, yaitu :41

1. Pergantian korban Yoneng Nurlatu (istri Kabit) diganti dengan

Martenci Solisa umur 16 tahun dilakukan di Desa Leksula

Kecamatan Leksula tanggal 17 Maret tahun 2015 di hadapan

sidang adat atau Saniri yang dipimpin oleh matgugul (Raja Tanah) dihadiri oleh para kepala soa (pemimpin dalam marga

atau kepala marga) dan disaksikan oleh danramil, kapolsek,

camat, kepala desa, tokoh agama dan masyarakat.

40

Ibid. 41

(43)

2. Pergantian korban atas nama Yati Nacikit umur 14 tahun

diganti dengan Ribka Solisa umur 9 tahun dilakukan di Desa

Siwat Lahin, Kecamatan Fenafan tanggal 25 Maret 2015 di

hadapan sidang adat atau Saniri yang dipimpin oleh matgugul (Raja Tanah) di hadiri para Kepala Soa, Kawasan, di saksikan oleh komandan pos kepolisian, camat, kepala desa dan tokoh

agama serta warga masyarakat.

3. Pergantian Korban atas nama Yoknan Solisa umur 15 tahun

diganti dengan Makis Solisa umur 6 tahun dilakukan di Desa

Waelo, kecamatan Fena Fafan, di hadapan sidang adat atau

Saniri yang dipimpin oleh Matgugul (Raja Tanah) dihadiri oleh Kepala Soa, Kawasan disaksikan oleh komandan pos kepolisian, camat, kepala desa dan tokoh agama.

4. Pergantian Korban atas nama Herman Solisa umur 16 tahun di

ganti dengan Amus Solisa umur 9 tahun di lakukan di Desa

Waekatin kecamatan Fena Fafan tanggal 12 April dihadapan

sidang adat atau saniri yang dipimpin oleh Matgugul, dihadiri oleh tua-tua adat, Kepala Soa, Kawasan, dan disaksikan oleh kapolsek, camat, kepala desa, tokoh agama, dan masyarakat.

e. Prosedur Pengenaan Sanksi Adat “Epkeret”42

Proses penyelesainnya berdasarkan kesepakatan bersama antara

keluarga pelaku dan keluarga korban, atas keputusan adat yang

diputuskan oleh Matgugul (Raja Tanah), terkait dengan adanya

42

(44)

pembunuhan atau fah rahat. Proses yang dilakukan oleh keluarga pelaku pembunuhan atau fah rahat untuk mendirkan pengganti

korban dilakukan di hadapan sidang adat yang dipimpin oleh

Matgugul (raja tanah) dihadiri oleh tua-tua adat, Matlea atau Gebha atau Kepala Soa (pemimpin dalam marga) dari kedua belah pihak, Kawasan (pemimpin pemukiman marga) keluarga pelaku dan keluarga korban dan disaksikan oleh koramil, kapolsek, camat, kepala

desa, tokoh agama dan masyarakat.

Proses ini diawali dengan pengucapan sumpah atau janji yang

dalam bahasa daerah setempat disebut dengan Esmake, ini diucapkan

untuk 24 marga yang berada di Pulau Buru dengan para Leluhurnya

kemudian khusus untuk kasus Pembunuhan yang terjadi.

Rumusan Esmake (Sumpah Adat) :43

Opo geba ka sula djunae, fidi ka fahan lalen ka tuke prenta la moyang tu geba mtuan to la du jagak fuka na, du jagak kai wait e la du newe tu gosan tu muan modan. Slake na do kamba epkamak ka ngan tu Moyang ro, kami emhane la fena porua geran pa, kam puna oto gebana daba puna Epkeret ngei ana fina tu anam hana na lat hai tu huma lolin na lat puna ganti nak roko hadi daba mate tu fah-rahat. Opo tu moyang ro kami fena po rua geran pa kamhane na bam sane potai smake na do da puta mhewak nake newen tu enmate ha odok ke.

43

(45)

Artinya :

Tuhan pencipta dunia ini, dari tanganMu, engkau memberi perintah untuk Leluhur dan orang tua untuk menjaga pulau ini dan menjaga persaudaraan kakak dan adik, supaya hidup baik dan tidak merusak satu sama lain. Saat ini kami panggil nama Tuhan dan leluhur menyaksikan kami bersumpah untuk 24 marga, untuk membuat ikatan untuk orang yang menerima adat epkeret bagi (untuk perempuan dengan namanya dan bagi laki-laki dengan namanya) untuk ikut kedalam mata rumah pengganti korban yang meninggal akibat pembunuhan. Tuhan dan moyang, kami 24 marga bersumpah bahwa barangsiapa merombak dan melawan sumpah ini Tombak ini akan mensuk jantungnya, penyakit akan menyusahkan hidupnya dan kematian akan terus mengikutinya.

ditandai dengan 2 (dua) ekor ayam dan 1 (satu) buah tombak, salah

satu ayam kepalanya diarahkan ke desa Kayeli yakni wilayah

terbitnya matahari, ayam yang satunya diarahkan kepalanya ke desa

Waeturen yakni wilayah matahari terbenam, tombak yang digunakan

pada pengucapan sumpah ini mempunyai makna apabila dikemudian

hari setelah pengucapan janji atau sumpah yang dalam bahasa daerah

setempat disebut dengan Esmake ada pihak yang melanggar sumpah ini maka tombak ini yang akan membunuh dirinya. Setelah itu ada

juga proses balik marga atau disebut dalam bahasa setempat Kali-leit

(46)

Rumusan Esmake (sumpah adat) pergantian marga atau Kali-leit pada saat mendiririkan pengganti dalam upacara adat pengenaan

sanksi Epkeret :44

Opo Geda Snulat Langina Dawa Lale Na, aleli ngat Nuru Dawa Na Soa da sisa la soa tu ba umur salamat

Artinya :

Tuhan sang pencipta memberkati saya, saya balik nama soa anak ini untuk masuk ke dalam soa yang baru Tuhan berkati dan berikan umur panjang.

Setelah proses mendirikan orang yang menjadi pengganti untuk

menggantikan korban dan masuk dalam keluarga korban serta proses

balik marga (kali-leit) apabila fah rahat atau pembunuhan yang dilakukan antar marga dalam masyarakat adat Buru Selatan untuk

masuk kedalam marga keluarga korban dilakukan serta dilandasi

dengan sumpah adat atau Esmake selesai dilakukan, ada penyematan ikat pinggang atau ika poro, lambang pemerintahan adat dari marga yang bertikai akibat adanya fah rahat atau pembunuhan, diikat atau dalam bahasa setempat disebut dibabah pada Kepala Soa atau pemimpin dari marga yang bertikai sebagai tanda mereka kembali

menyatu dan tidak ada lagi dendam.

44

(47)

Setelah itu seluruh peserta persidangan adat dilingkari dengan kain

putih, melambangkan semua warga dalam masyarakat yang pada saat

terjadinya pembunuhan takut untuk beraktifitas karena akan adanya

pembalasan dendam kembali menyatu dan itu berarti tidak ada

ketakutan lagi akan adanya pembalasan dendam yang menimbulakn

ketakutan dalam masyarakat.

f. Persepsi tentang “Epkeret”

1. Pemerintah Setempat

Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Kecamatan

Fena Fafan, menurutnya sanksi adat Epkeret itu sudah ada sejak orang tua kami. sebagai pihak Pemerintah di sini kami mengenal

dan mengetahui prosesnya dan bahkan kami selalu hadir untuk

menyaksikan pelaksanaannya. Ia mengakui bahwa sebagai anak

asli Pulau Buru, sanksi adat Epkeret sangat bermanfaat dan dipandang adil karena tidak akan ada dendam atau epsefet serta dapat menciptakan perdamaian diantara keluarga pelaku dan

korban serta masyarakat langsung mendapatkan dampak yang

positif akibat dari pembunuhan yang terjadi dikarenakan tidak

terjadi proses balas dendam setelah adannya penyelesaian dengan

adat Epkeret. Sanksi adat Epkeret dipandang sangat adil sebab keputusan adat di terima dan ditaati sehingga para pihak yang

bermasalah dapat berdamai dan hidup rukun kembali. 45

45

(48)

Tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap adanya

pengenaan sanksi adat ini, menurutnya, hanya dilakukan

pendekatan-pendekatan dengan keluarga, keluarga korban maupun

keluarga pelaku, serta masyarakat, selaku anak adat yang mengerti

dan mengetahui akan adanya sanksi ini karena proses ini sudah

berlangsung sejak lama, kalaupun kami selaku pemerintah ikut

campur tangan ke dalam proses pengenaan sanksi ini akan

berdampak sekali terhadap kebebasan masyarakat adat.

Dikarenakan kita tahu sendiri masyarakat di Maluku

khsusnya di Buru Selatan semuanya memiliki adat-istiadat

masing-masing, hal itu menunjukan identitas kita, darimana kita

berasal, oleh sebab itu tindakan-tindakan yang kita lakukan

hanyalah sebatas pendekatan-pendekatan dengan keluarga dan

masyarakat serta membangun komunikasi dengan Lembaga

Pemerintahan Adat.

Akan tetapi untuk masuk mencapuri sampai kepada

keputusan pengenaan sanksinya, kita tidak melakukannya,

alasannya jikalau hal itu sampai dilakukan akan adanya pergeseran

arti hukum adat yang asli, yang sudah berlangsung secara

turun-temurun dari nenek moyang kita akan menjadi tidak asli lagi, itu

sama saja dengan kita menghilangkan identitas kita sebagai Orang

(49)

2. Keluarga yang mendirikan Pengganti untuk Keluarga Korban

Hasil wawancara dengan orang tua dari Rika Solisa umur 9

tahun yang anaknya menjadi orang yang didirikan untuk

menggantikan Korban Yati Nacikit, menurutnya :

katong seng merasa susah karena anak ini seng mati, dia pasti jadi tanda yang biking katong hubungan menjadi baik sebagai orang basudara. Katong tau dong yang tarima anak ini akan piara dia sama dengan katong yang melahirkan dia, jadi dong pasti jaga dia, sayang dia sampe basar. Katong kasi badiri dia untuk menggantikan orang yang meninggal kepada mereka sama saja seperti dia hidup dalam katong pung tangan, jadi seng apa-apa, karena dia su maso keluarga yang susah karna dong kehilangan dong pung anak juga, deng bagini jua katong samua aman karna seng mungkin ada baku bunuh lai.

Artinya :

kami keluarga tidak merasa susah karena anak ini tidak

meninggal, anak ini pasti menjadi tanda yang membuat hubungan

keluarga antara pelaku dan keluarga korban menjadi baik, sebagai

orang bersaudara. Kita tahu keluarga yang baru ini akan menerima

dan akan memelihara dan menjaga anak ini sampai dia besar nanti,

sama seperti saya yang sudah melahirkannya, mereka pasti

menjaga dia, menyayangi dia sampai besar. Kita mendirikan anak

ini untuk menggantikan orang yang meninggal kepada keluarga

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 2.2.

Referensi

Dokumen terkait

Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk siswa menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum

Net yang dipergunakan dalam permainan tenis meja biasanya terbuat dari nilon atau bahan lain yang sejenis, biasanya berwarna hijau tua dan di bagian sisinya dilapisi dengan kain

Further utilization of after-TPA performance profile (Teacher Performance Assessment) is made Continuous Professional Development (CPD) activity which include

Tujuan yang diharapkan dari penelitian dan pengembangan ini adalah untuk menghasilkan produk bahan ajar matematika berupa lembar kerja siswa SMP/MTs pada materi

Nilai F = 13,157 dan sig = 0,000 < 0,05 maka Ho ditolak, atau terdapat perbedaan keterampilan permainan tradisional antara siswa yang belajar menggunakan

Dalam melaksanakan penelitian hal yang harus diperhatikan adalah (a) Tanggung jawab, tanggung jawab terhadap profesi adalan bagaimana mengambangkan suatu penelitian yang

Hasil penelitian ini adalah terwujudnya perangkat lunak server pengisian ulang pulsa otomatis berbasiskan web yang dapat diaplikasikan sebagai server yang melayani pembelian