• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Spektrofotometer Infra Merah

Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom. Atom dan molekul dalam suatu senyawa bergetar pada frekuensi sekitar 103-1014 hitungan per detik. Frekuensi ini sesuai dengan frekuensi radiasi inframerah, oleh karena itu radiasi inframerah dapat diserap oleh getaran molekul. Getaran molekul atau atom menyebabkan perubahan jarak antar atom karena pergerakan atom. Hal ini disebut osilasi. Ada dua jenis getaran yaitu getaran regang/uluran dan getaran lengkung/tekukan. Getaran regang/uluran yaitu atom berosilasi pada arah sumbu ikatan tanpa mengubah sudut ikatan. Geteran lengkung/tekukan yaitu gerakan atom-atom menghasilkan perubahan dalam sudut ikatan. Posisi pita dalam analisis inframerah dinyatakan dalam satuan frekuensi yaitu cm- (Tan, 1991).

Frekuensi uluran dari suatu ikatan kimia tergantung pada beberapa faktor, antara lain masa atom, energi ikatan, dan ikatan ganda. Ikatan yang terbentuk dari atom yang berat dan atom yang ringan selalu bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibadingkan ikatan yang terbentuk dari dua atom yang berat. Ikatan ganda dua bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan tunggal yang terbentuk diantara atom-atom yang sama (Hart, 2003).

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011 di Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah

dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kompos yaitu Kompos A (kompos kotoran ayam), Kompos B (kompos kotoran sapi), Kompos C (kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan sekam) dan bahan kimia untuk analisis N, C-organik, kapasitas tukar kation (KTK), K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn dan karbon organik terlarut dan gugus fungsional dalam senyawa organik. Alat yang digunakan antara lain: ayakan, kertas saring, membran saring 0,45µ m, alat analisa berupa Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) untuk analisis Ca, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mn. Flamephotometer untuk analisis K, Na, pH meter, EC-meter, Hiper TOC untuk analisis karbon organik terlarut dan FTIR (Fourier Transform Infra Red) Spectrophotometer untuk analisis gugus fungsional bahan organik dan berbagai peralatan analisis kimia lainnya.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu persiapan bahan dan analisis sifat kimia. Pada tahap persiapan bahan, bahan organik yang digunakan dikeringanginkan lalu diayak dengan ayakan ukuran 2 mm. Tahap analisis terdiri dari dua bagian yaitu analisis bahan organik padat dan analisis senyawa organik larut air.

3.3.1. Analisis Bahan Organik Padat

Parameter dan metode yang digunakan untuk menganalisis bahan organik padat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter dan Metode Analisis Bahan Organik Padat

3.3.2. Analisis Senyawa Organik Larut Air

Analisis SOLA diawali dengan pengocokan bahan organik dengan air destilata (aquades) selama 120 menit pada kecepatan 125 rpm. Perbandingan antara bahan organik dan air yaitu 1: 10 (150 gram bahan organik : 1,5 liter air destilata). Setelah pengocokan, campuran tersebut disentrifuse selama 30 menit. Larutan setelah proses sentrifuse disaring menggunakan saringan membran 0,45 µ m. Kemudian dilakukan analisis pH, DHL, KTK, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn dan karbon organik terlarut dalam senyawa organik larut air. Parameter dan metode analisis SOLA dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan kegiatan pengekstrakkan SOLA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 3. Parameter dan Metode Analisis SOLA

No Parameter Metode

1 Kadar air Gravimetri

2 pH pH - meter

3 Kapasitas Tukar Kation NH4OAc pH 7 4 Kadar Hara Nitrat-Perklorat 5 C-Organik Walkley and Black

6 N-total Kjeldahl

7 Gugus Fungsional KBr Pelet

No Parameter Metode

1 pH pH - meter

2 Daya hantar listrik EC - meter

3 Kadar Hara AAS

Gambar 1. Diagram Alir Ekstraksi dan Ananlisis Senyawa Organik Larut Air

Saring menggunakan saringan membran

(Syring Filter 0,45 µm)

Senyawa Organik Larut Air (SOLA)

Analisis Kimia:

(pH, DHL, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn, karbon organik terlarut)

Shaker (120 menit, 125 rpm)

 Kompos A (kotoran ayam)

 Kompos B (kotoran sapi)

 Kompos C (campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan sekam.)

Ditambah Aquades (1 : 10)

Analisis Kimia:

(pH, KA, C-organik, N, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn, KTK dan gugus fungsional)

Endapan dibuang Sentrifuse

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Bahan Organik Padat

Karakteristik dari ketiga jenis bahan organik padat yaitu kadar air, C-organik, N-total, C/N ratio, pH dan KTK disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Bahan Organik Padat

Contoh Kadar Air C-Organik N-total C/N pH KTK ---%--- ---% bobot kering--- (me/100 g)

Kompos A 35,0 28,0 2,4 11,7 7,4 33,8

Kompos B 227,0 35,0 1,8 19,5 6,5 95,9

Kompos C 41,0 23,4 1,5 15,6 5,4 47,7

Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman. Penggunaan bahan organik oleh tanaman dipengaruhi oleh tingkat kematangan bahan tersebut yang ditunjukkan dengan nisbah karbon (C) dan nitrogen (N). Bila suatu bahan organik memiliki nisbah C/N yang tinggi, maka pemberian bahan organik tersebut dapat menggangu pertumbuhan tanaman. Bahan organik yang mempunya nisbah C/N mendekati atau sama dengan nisbah C/N tanah (10-20), maka bahan organik tersebut dapat digunakan tanaman (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006).

Analisis C-organik dan N-total dari ketiga jenis kompos digunakan untuk mengetahui nisbah C/N kompos tersebut. Nisbah C/N dari ketiga jenis kompos berada dalam kisaran nisbah C/N tanah yaitu 10-20. Kompos A memiliki nisbah C/N sebesar 11,7, nisbah C/N kompos B sebesar 19,5 dan kompos C sebesar 15,6. Nisbah C/N kompos dipengaruhi oleh jenis bahan penyusun kompos tersebut. Kompos B memiliki nisbah C/N yang lebih tinggi dibandingkan kedua jenis kompos yang lain. Bahan penyusun Kompos B berasal dari kotoran sapi yang mengandung serat yang tinggi seperti selulosa.

Kemasaman suatu kompos terlihat dari pH kompos tersebut. pH merupakan salah satu syarat kematangan dari suatu kompos. Kompos yang baik memiliki pH mendekati netral atau sedikit kearah alkali (Setyorini et.al., 2006). Kompos yang memiliki pH masam akan mempengaruhi kemasaman tanah apabila kompos tersebut diberikan ke tanah karena dapat menyumbangkan ion H+. Hal ini akan mempengaruhi juga tingkat ketersediaan unsur hara dalam tanah tersebut.

Kriteria pH kompos yang baik menurut SNI 19-7030-2004 yaitu 6,8 - 7,5. Hasil analisis pH ketiga jenis kompos yang digunakan menunjukkan bahwa kompos A memiliki pH sebesar 7,4, kompos B memiliki pH sebesar 6,5 dan pH kompos C sebesar 5,4.

Kapasitas tukar kation merupakan kemampuan koloid menjerap dan mempertukarkan kation. Jerapan dan pertukaran kation memegang peran penting dalam penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan pemupukan (Tan, 1991). KTK suatu kompos dapat dijadikan indikator kematangan suatu kompos (Harada dan Inoko, 1980).

Menurut Setyorini et. al. (2006) kompos mengandung humus yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Misel humus mempunyai KTK yang lebih besar daripada misel liat (3-10 kali) sehingga penyediaan hara makro dan mikro lebih lama. Hasil analisis KTK terhadap ketiga jenis kompos menunjukkan bahwa kompos A memiliki KTK sebesar 33,8 me/100g, kompos B memiliki KTK sebesar 95,9 me/100g, dan kompos C sebesar 47,7 me/100g.

Pengukuran FTIR bertujuan untuk mengetahui kandungan gugus fungsional dari ketiga jenis kompos. Secara umum gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos hampir sama, diantaranya adalah: gugus fungsional O-H (alkohol, fenol, dan asam karboksilat), H (alkana, aromatik), C-O (alkohol, eter, ester, asam karboksilat), C=C-O (amida), N-H (amina dan amida primer dan sekunder), C-X (chlorida, fluorida dan bromida). Bilangan gelombang dari masing-masing gugus fungsional dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis FTIR Kompos A, Kompos B dan Kompos C

Jenis Vibrasi Bilangan Gelombang (cm

-1

)

Rujukan* Kom-A Kom-B Kom-C C-H Alkanes (stretch) 3000-2850 s 2954,95 2947,23 2947,23 2904,80 2900,94

-CH3 (bend) 1450 dan 1375 1450,47 - -

Alkenes (out-of-plane bend) 1000-690 s 910,40 914,26 914,26 875,68 875,68 713,66 775,38 694,37

Aromaties (out-of-plane bend) 900-690 s 875,68 648,08 713,66 - 875,68 775,38 694,37 Aldehyde 2900-2800 w - 2846,93 2846,93 C=C Alkene 1680-1600 m-w - 1651,07 1651,07 1600,92 C≡C Alkyne 2550-2100 w 2144,84 - - C=O Amida 1680-1630 s 1651,07 1651,07 1651,07

C-O Alcohols, ethers, esters, 1300-1000 s 1083,99 1219,01 1087,85

carboxylic acids, anhydrides 1037,70 1087,85 1041,56

1033,85 O-H Alcohols, phenols

Free 3650-3600 m - 3618,46 3622,32 H-bonded 3400-3200 m 3282,84 3282,84 - carboxylic acids 3400-2400 m 2954,95 3282,84 2947,23 2515,18 2904,80 2900,94 2947,23 2846,93 2519,03 N-H Primary and secondary amines and amides

(stretch) 3500-3100 m 3282,84 3282,84 - (bend) 1640-1550 m-s 1600,92 1597,06 1600,92 1554,63 C-N Amines 1350-1000 m-s 1037,70 1334,74 1083,99 1219,01 - 1087,85 1033,85

Jenis Vibrasi Bilangan Gelombang (cm

-1

)

Rujukan* Kom-A Kom-B Kom-C

C-X Fluoride 1400-1000 s 1323,17 1384,89 1384,89 1083,99 1334,74 1041,56 1037,70 1219,01 1087,95 1087,85 1033,85 Chloride 785-540 s 648,08 771,53 532,35 543,93 648,08 466,77 690,52 435,91 Bromide, iodide <667s 648,08 648,08 532,35 543,93 636,21 466,77 470,63 470,63 435,91 428,20 432,05 Keterangan:

* : Bilangan gelombang rujukan dari Tabel korelasi (Pavia et al., 2001) s : kuat m : sedang w : lemah Kom-A: Kompos A Kom-B: Kompos B Kom-C: Kompos C

Kemunculan setiap setiap gugus fungsional pada ketiga jenis kompos dapat dilihat pada Gambar 2 sampai Gambar 8, sedangkan kurva hasil analisis FTIR dari setiap jenis kompos dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, dan 6.

Gambar 2. Kemunculan Gugus Fungsional C-O (alkohol, eter, ester dan asam karboksilat)

Gambar 4. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkena)

Gambar 5. Kemunculan Gugus Fungsional N-H (amina dan amida primer dan sekunder-bend)

Keterangan :

: Kompos A : Kompos B : Kompos C

Gambar 6. Kemunculan Gugus Fungsional C-X (chlorida, fluorida, bromide dan iodida)

Gambar 7. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (asam karboksilat)

Adapun gugus fungsional yang hanya terkandung pada kompos tertentu seperti gugus fungsional O-H (alkohol dan fenol terikat -H) dan C-N (amina) hanya terdapat pada kompos A dan kompos B. Gugus fungsional C-H (aromatik) hanya terdapat pada kompos A dan kompos C, sedangkan gugus fungsional C=C (alkena) dan C-H (aldehida) dan O-H (alkohol dan fenol -free) hanya terdapat pada kompos B dan kompos C. Gugus fungsional C≡C (alkuna), dan C-H (alkana-CH3 (bend)) hanya terdapat pada kompos A. Kemunculan dari setiap gugus fungsional diatas dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 16.

Keterangan :

: Kompos A : Kompos B : Kompos C

Gambar 9. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aromatik)

Gambar 10. Kemunculan Gugus Fungsional N-H (Amina dan amida primer dan sekunder (Stretch))

Keterangan :

: Kompos A : Kompos B : Kompos C

Gambar 11. Kemunculan Gugus Fungsional C-N (Amina)

Gambar 12. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (alkohol, fenol H-bonded)

Keterangan :

: Kompos A : Kompos B : Kompos C

Gambar 14. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aldehida)

Gambar 15. Kemunculan Gugus Fungsional C=C (alkena)

Gambar 16. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkana –CH3 bend) dan

Kandungan gugus fungsional hidroksil dan karboksil diperlukan untuk pelepasan hara. Menurut Ismangil dan Hanudin (2005) sifat-sifat asam organik yang penting dalam pelarutan mineral ditentukan oleh gugus karboksil (COO- ) dan gugus hidroksil (OH- ) fenolatnya serta tingkat disosiasinya. Jumlah gugus yang mengalami disosiasi ditentukan oleh jumlah gugus fungsionalnya dan pH lingkungannya. Jumlah gugus karboksil menentukan jumlah proton yang mungkin dapat dilepas. Dari hasil analisis gugus fungsional terlihat bahwa ketiga jenis kompos mengandung gugus fungsional karboksil (asam karboksilat) dan hidroksil (alkohol dan fenol) sehingga apabila ketiga jenis kompos ini diberikan ke tanah dapat melepaskan hara yang terikat dalam tanah. Selain itu, gugus fungsional bersifat hidrofilik sehingga meningkatkan kelarutan senyawa organik dalam air.

Kompos merupakan salah satu sumber unsur hara makro dan mikro secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Kandungan hara dalam kompos bergantung dari jenis bahan asalnya. Ketiga jenis kompos yang digunakan dalam penelitian ini berbahan dasar kotoran ternak. Menurut Hartatik dan Widowati (2006) kandungan hara dalam kotoran ternak tergantung pada jumlah dan jenis makanan ternak. Hara dalam kotoran ternak tidak mudah untuk tersedia bagi tanaman. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang disebabkan karena bentuk N, P, serta unsur hara lain dalam bentuk senyawa kompleks organo protein atau senyawa asam humat, atau lignin yang sulit terdekomposisi. Proses pengomposan dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman karena perubahan bentuk dari tidak tersedia menjadi tersedia.

Hasil analisis kadar hara ketiga jenis kompos secara umum menunjukkan bahwa, kompos A memiliki kandungan hara (kecuali Na, Fe dan Mn) yang lebih tinggi dari kedua jenis kompos yang lainnya. Kadar hara kompos A dipengaruhi oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu, dalam kompos A terdapat campuran sisa-sisa makanan ayam, serta sekam sebagai alas kandang yang dapat menyumbangkan hara dalam kompos tersebut.

Kadar hara kompos C lebih rendah dari kompos A dan kompos B walaupun bahan asal kompos C merupakan campuran antara kotoran ayam, kotoran sapi, sekam, dan jerami. Hal ini desebabkan oleh kotoran ayam dan kotoran sapi yang digunakan dalam pembuatan kompos C berasal dari kandang

milik petani biasa, sedangkan kotoran ayam dan kotoran sapi yang digunakan untuk membuat kompos A dan kompos B berasal dari kandang milik Institut Pertanian Bogor (IPB). Kotoran ayam dan kotoran sapi yang berasal dari kandang IPB memiliki kandungan hara yang tinggi karena bahan makanan yang diberikan pada ternak diatur atau dihitung nutrisinya. Kadar hara dari ketiga jenis kompos dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Hara Total dari Beberapa Kompos

Contoh K Na Ca Mg Fe Cu Zn Mn

---%--- Kompos A 0,96 0,03 0,70 0,68 0,60 0,02 0,06 0,09 Kompos B 0,36 0,04 0,19 0,37 2,06 0,01 0,02 0,11 Kompos C 0,24 0,02 0,18 0,21 0,61 0,01 0,02 0,05

4.2. Hasil Analisis Senyawa Organik Larut Air

Senyawa organik larut air merupakan bagian dari bahan organik yang terlarut dalam air yang diperoleh dengan menyaring bahan organik menggunakan saringan 0,45µ m. Hasil penyaringan terhadap ketiga jenis bahan organik padat menunjukkan adanya perubahan karakteristik dari bahan tersebut. Karakteristik SOLA dari ketiga jenis kompos seperti pH, DHL, karbon organik terlarut disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Karbon Organik Terlarut, DHL dan pH SOLA dari Beberapa Kompos Contoh DOC (mg/L)* DHL (mS/cm) pH Kompos A 1.046,1 5,6 6,7 Kompos B 142,7 0,7 6,7 Kompos C 40,0 0,8 6,4 Keterangan

* : Jumlah bahan organik yang diekstrak sudah memperhitungkan kkadar air

DOC : Karbon organik terlarut/disolve organic carbon

Karbon organik terlarut menggambarkan senyawa C terlarut yang terkandung dalam air yang berasal dari bahan organik. Hasil pengukuran DOC terhadap ketiga jenis kompos menunjukkan bahwa kompos A memiliki

kandungan DOC sebesar 1.046,1 mg/L atau 0,105%, kompos B memiliki kandungan DOC sebesar 142,7 mg/L atau 0,014% dan kandungan DOC kompos C sebesar 40,0 mg/L atau 0,004%.

Kandungan DOC dari Kompos B dan kompos C menurut Zsolnay (1996 dalam Zsolnay, 2003) masih dikatakan normal dalam ekosistem tanah karena kandungan DOC dari kedua jenis kompos kurang dari 100 mg/L, sedangkan kandungan DOC kompos C sangat tinggi. Tingginya DOC ini menurut Andersson et al. (2000)disebabkan oleh pH yang tinggi dan meningkatnya aktivitas mikroba. Menurut Bernal et al. (1998) kadar DOC yang terkandung dalam kompos apabila kurang dari 1,7% maka kompos tersebut dikategorikan telah matang. Berdasarkan asumsi tersebut, maka ketiga jenis kompos yang digunakan dikategorikan telah matang.

Daya hantar listrik merupakan ukuran dari kandungan garam terlarut. Menurut Petrik (1985 dalam Turan, 2008) kompos yang ideal harus memiliki DHL kurang dari 2 mS/cm. Apabila DHL kompos melebihi 2 mS/cm maka kompos tersebut dikatakan salin. Hasil pengukuran DHL terhadap SOLA dari ketiga jenis kompos yang digunakan menunjukkan bahwa kompos A tergolong salin karena memiliki DHL 5,6 mS/cm, sedangkan kompos B dan kompos C digolongkan normal karena DHL kedua kompos tersebut berturut-turut yaitu 0,7 mS/cm dan 0,8 mS/cm.

Senyawa organik yang telah diekstrak dengan air memiliki beberapa karakter yang berbeda dengan bahan asalnya. Perbedaan karakter tersebut diantaranya terdapat dalam pH dan kandungan unsur hara. Perubahan pH yang terjadi tidak terlalu tinggi. Gambar 17 memperlihatkan bahwa penyaringan menggunakan saringan 0,45 µ m menyebabkan perubahan pH menuju ke arah reaksi yang netral (mendekati pH 7). Kompos A mengalami penurunan pH dari 7,4 menjadi 6,7, sedangkan kompos B dankompos C mengalami peningkatan pH. Peningkatan pH pada kompos B tidak terlalu tinggi yaitu dari pH 6,5 menjadi pH 6,7, sedangkan peningkatan pH kompos C cukup tinggi yaitu 5,4 menjadi 6,4. Menurut Zsolnay (2003) konsentrasi proton dapat memberikan efek yang kuat pada struktur SOLA dan efek ini dapat berbeda-beda antara sumber SOLA yang

berbeda, sehingga perubahan pH dapat mempengaruhi struktur dari SOLA. Perubahan pH dapat disebabkan oleh keadaan reduktif saat pembuatan SOLA.

Gambar 17. Grafik Perubahan pH Bahan Baku Setelah Disaring. Keterangan :

Kom-A : Kompos A Kom-B : Kompos B Kom-C : Kompos C

Penyaringan menggunakan saringan membran 0,45 µ m tidak hanya menyebabkan perubahan pH, namun menyebabkan juga perubahan kandungan hara. Kandungan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) dalam SOLA sangat rendah dibandingkan bahan bakunya (kompos padat), sedangkan kandungan unsur hara makro (K, Ca, dan Mg) dalam SOLA lebih rendah dari pada bahan bakunya. Hal ini disebabkan oleh kandungan hara SOLA dari ketiga jenis kompos merupakan yang larut air, sedangkan kandungan hara dari bahan baku SOLA (kompos padat) merupakan hara total yang terkandung dalam kompos tersebut.

Penyaringan menggunakan saringan membran dapat menyebabkan terjadinya fouling. Fouling merupakan proses terakumulasinya komponen secara permanen akibat filtrasi itu sendiri. Fouling terjadi akibat interaksi yang sangat spesifik secara fisik dan kimia antara berbagai padatan terlarut pada membran (Juansah et al., 2009). Padatan terlarut yang terdapat pada membran dapat menggangu proses penyaringan sehingga dapat dimungkinkan kandungan hara dalam SOLA lebih rendah dari bahan asalnya. Selain itu, penyaringan juga menyebabkan hara tertentu tidak terukur dalam SOLA seperti Mn. Perubahan

7.4 6.5 5.4 6.7 6.7 6.4 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0

Kom-A Kom-B Kom-C

pH H2O Bahan Organik Padat pH SOLA

kandungan hara dari masing-masing kompos dapat dilihat pada Gambar 18 sampai 20.

Kandungan Na dalam SOLA dari ketiga jenis kompos dan Ca dalam SOLA dari kompos C tidak dipengaruhi oleh proses fouling. Hal ini ditunjukkan dengan kandungan Na dalam SOLA ketiga jenis kompos dan kandunan Ca dalam SOLA dari kompos C sama dengan bahan asalnya (kompos padat). Kandungan hara dalam SOLA dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam SOLA

Contoh K Na Ca Mg Fe Cu Zn Mn

---%--- ---ppm--- Kompos A 0,40 0,03 0,13 0,27 28,61 3,81 2,66 - Kompos B 0,10 0,04 0,02 0,02 8,79 0,99 0,50 - Kompos C 0,07 0,02 0,18 0,05 0,76 0,58 0,36 -

Gambar 18. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos A

0.96 0.03 0.70 0.68 0.40 0.03 0.13 0.27 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 K Na Ca Mg K an d u n gan H ar a (% ) Hara Bahan baku SOLA

Gambar 19. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos B

Gambar 20. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos C

0.36 0.04 0.19 0.37 0.10 0.04 0.02 0.02 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 K Na Ca Mg K an d u n gan H ar a (% ) Hara Bahan baku SOLA 0.24 0.02 0.18 0.21 0.07 0.02 0.18 0.05 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 K Na Ca Mg K an d u n gan H ar a (% ) Hara Bahan baku SOLA

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Senyawa organik larut air (SOLA) dari kompos A memiliki DHL 5,6 mS/cm dan DOC sebesar 1.046,1 mg/L. SOLA dari kompos B memiliki DHL 0,7 mS/cm dan DOC sebesar 142,7 mg/L, sedangkan SOLA dari kompos C memiliki DHL 0,8 mS/cm dan DOC sebesar 40,0 mg/L. Secara umum gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos hampir sama seperti: gugus C-H (alkana-stretch dan alkena), C-O (alkohol, eter, ester dan asam karboksilat), O-H (asam karboksilat), N-H (bend amina dan amida primer dan sekunder), C=O (amida) dan C-X (chlorida, fluorida, bromide dan iodide).

2. Penyaringan dengan saringan 0,45 µ m menyebabkan terjadinya perubahan beberapa karakter bahan organik seperti pH dan kandungan hara. pH setelah penyaringan (pH SOLA) mengalami perubahan ke arah reaksi netral (pH 7). Kandungan hara SOLA lebih rendah dari kompos padat kecuali Na dari ketiga jenis kompos dan Ca dari kompos C (jumlah hara dalam SOLA sama dengan kompos padat). Penyaringan juga menyebabkan adanya hara yang tidak terukur dalam SOLA dari ketiga jenis kompos seperti Mn.

5.2. Saran

Untuk mengetahui potensi SOLA dalam menyediakan hara bagi tanaman maka diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap SOLA, baik dalam peningkatan produksi tanaman maupun kesuburan tanah terutama pada tanah-tanah tua atau miskin hara.

Dokumen terkait