KOTORAN AYAM DAN KOTORAN SAPI
Oleh
Balthasar Fahik Feo
A14070078
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
BALTHASAR FAHIK FEO. Karakterisasi Senyawa Organik Larut Air (SOLA) dalam Kompos Berbahan Dasar Kotoran Ayam dan Kotoran Sapi. Dibawah bimbingan ISKANDAR dan DYAH TJAHYANDARI SURYANINGTYAS.
Kompos merupakan bahan organik padat yang biasa digunakan sebagai pupuk organik untuk memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, Namun, kompos memiliki kandungan hara yang rendah sehingga penggunaan kompos harus dalam jumlah yang bayak. Hal ini menjadi faktor penghambat dalam penggunaan kompos, oleh karena itu diperlukan suatu teknologi untuk mengatasi kekurangan tersebut. Teknologi yang telah diteliti yaitu penggunaan ekstrak bahan organik yang dikenal dengan istilah senyawa organik larut air (SOLA) atau Water Extractable Organic Matter (WEOM).
Tujuan penelitian ini adalah karakterisasi terhadap SOLA yang diperoleh melalui penyaringan ekstrak bahan organik menggunakan saringan membran 0,45 µ m. Bahan organik yang digunakan berupa tiga jenis kompos yang berbahan dasar kotoran ayam dan kotoran sapi. Kompos yang digunakan yaitu kompos A (kompos kotoran ayam), kompos B (kompos kotoran sapi) dan kompos C (kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan sekam). Parameter SOLA yang dianalisis adalah pH, daya hantar listrik, karbon organik terlarut, kandungan hara dari kompos yang digunakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SOLA yang diekstrak dari ketiga jenis kompos memiliki pH netral. SOLA dari Kompos A dan kompos B memiliki pH 6,7, sedangkan SOLA kompos C memiliki pH 6,4. Kompos B dan kompos C memiliki daya hantar listrik (DHL) berturut-turut sebesar 0,7 mS/cm dan 0,8 mS/cm, sedangkan kandungan karbon organik terlarut (DOC) dari kedua jenis kompos tersebut berturut-turut yaitu 142,7 mg/L dan 40,0 mg/L. Kompos kotoran ayam memiliki DHL yang salin (5,6 mS/cm) dan DOC yang sangat tinggi (1.046,1 mg/L).
Gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos diantaranya adalah: gugus C-H (alkana dan alkena), C-O (alkohol, eter, ester dan asam karboksilat), O-H (asam karboksilat), N-H (bend amina dan amida primer dan sekunder) dan gugus berhalogen C-X (khloro, bromo, iodo dan fluoro). Adapun gugus fungsional yang hanya terkandung pada kompos tertentu seperti gugus fungsional O-H (alkohol dan fenol H-bonded) dan C-N (amina) hanya terdapat pada kompos A dan kompos B. Gugus fungsional C-H (aromatik) hanya terdapat pada kompos A dan kompos C, sedangkan gugus fungsional C=C (alkena) dan C-H (aldehida) dan O-C-H (alkohol dan fenol -free) hanya terdapat pada kompos B dan kompos C. Gugus fungsional C≡C (alkuna) dan C-H (alkana-CH3 (bend)) hanya terdapat pada kompos A.
SUMMARY
BALTHASAR FAHIK FEO. Characterization of Water Extractable Organic Matter (WEOM) in Chicken Manure and Cow Manure Base Compost. Under supervision of ISKANDAR and DYAH TJAHYANDARI SURYANINGTYAS. Compost is a solid organic matter which is used as organic fertilizer to improve physical, chemical and biological characteristics of soil. The use of compost should be in huge significant amounts, due to its low nutrient content. This is a limiting factor in the use of compost, therefore a technology to overcome these shortage is needed. The technology has been investigated is the use of extracts from organic matter known as Watter Extractable Organic Matter (WEOM).
The objective of this research is to characterize of WEOM which is
obtained by filtering the extract organic matter with a 0,45 μm filter. The organic matter which used for this research are compost made from chicken manure and cow manure. The compost used are compost A (chicken manure compost), compost B (cow manure compost) and compost C (compost from a mixture of chicken manure, cow manure, straw and chaff). The analyzed parameter of WEOM are pH, electrical conductivity, dissolved organic carbon, nutrient content of compost being used.
The results showed that the WEOM extracted from three types of compost has a neutral pH. (WEOM from compost A and compost B has pH 6,7, whereas WEOM from compost C has pH 6,4. Compost B and compost C respectively has the electrical conductivity (EC) of 0,7 mS/cm and 0,8 mS/cm, whereas the content of dissolved organic carbon (DOC) from both types of compost is 142,7 mg/L and 40,0 mg/L. Compost A has a salin EC (5,6 mS/cm) and very high DOC (1.046,1 mg / L).
Functional groups which contained in three types of compost are: C-H (alkanes and alkenes), C-O (alcohols, ethers, esters and carboxylic acids), O-H (carboxylic acid), N-H (Primary and secondary amines and amides (bend)) and halogen groups C-X (chloride, bromide, iodide and fluoride). The functional groups that are only contained in certain compost such as functional group O-H (alcohols and phenols H-bonded) and C-N functional group (amine) is only found in compost A and compost B. The functional groups of C-H (aromaties) is only found in compost A and compost C, while the functional group of C = C (alkene), O-H (alcohol and phenol-free) and C-H (aldehyde) is only found in compost B and compost C. The functional group C≡C (alkyne) and C-H (alkane -CH3 (bend)) is only found in compost A.
KARAKTERISASI SENYAWA ORGANIK LARUT AIR
(SOLA) DALAM KOMPOS BERBAHAN DASAR
KOTORAN AYAM DAN KOTORAN SAPI
Balthasar Fahik Feo
A14070078
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Karakterisasi Senyawa Organik Larut Air (SOLA) dalam Kompos
Berbahan Dasar Kotoran Ayam dan Kotoran Sapi
Nama :Balthasar Fahik Feo
NRP : A14070078
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Iskandar Dr. Ir. Dyah Tj.Suryaningtyas, M. Appl.Sc NIP. 19611001198703 1 002 NIP. 19660622199103 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Loofoun, Belu, NTT pada tanggal 15 Februari 1987.
Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Lazarus Feo
dan Ibu Martha Seuk Fahik.
Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Katolik St. Yusuf Atambua
pada tahun 1994 dan lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP
Katolik Donbosco Atambua, dan lulus pada tahun 2004. Selanjutnya penulis
melanjutkan ke SMA N. 1 Atambua dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah
(BUD).
Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis berkesempatan menjadi asisten
praktikum mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah pada tahun 2011.
Kegiatan kemahasiswaan yang pernah penulis ikuti seperti Himpunan Mahasiswa
Ilmu Tanah (HMIT) IPB sebagai penanggungjawab badan olahraga dan seni
(BOS-HMIT) periode 2010/2011 dan ketua organisasi daerah Keluarga
Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (GAMANUSRATIM) di Bogor periode
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan rahmat dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Karakterisasi Senyawa Organik Larut Air (SOLA) dalam Kompos Berbahan Dasar Kotoran Ayam dan Kotoran Sapi” merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program studi Manajemen Sumberdaya
Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian ini
dan penulisan skripsi, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak,
terutama kepada:
1. Dr. Ir. Iskandar selaku dosen pembimbing akademik dan dosen
pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan
nasehat serta saran kepada penulis selama menjalani masa kuliah,
penelitian sampai penulisan skripsi.
2. Dr. Ir. Dyah Tj. Suryaningtyas, M. Appl. Sc selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
masukan selama penelitian dan penulisan skripsi.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat-NYA dan membalas
kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis, baik yang tersebutkan
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membacanya.
Bogor, Desember 2011
DAFTAR TABEL
1. Kandungan Hara dari Kotoran dan Kompos Kompos Sapi dan Ayam.. 11
2. Parameter dan Metode Analisis Bahan Organik Padat……… 10
3. Parameter dan Metode Analisis SOLA………... 10
4. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Bahan Organik Padat…………... 16
5. Hasil Analisis FTIR Kompos A, Kompos B dan Kompos C…………. 14
6. Hasil Analisis Kadar Hara Total dari Beberapa Kompos……….. 22
7. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam SOLA………... 25
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram Alir Ekstraksi Senyawa Organik Larut Air………... 11
2. Kemunculan Gugus Fungsional C-O (alkohol, eter, eter, dan sam karboksilat………... 15
3. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkana stretch)………. 16
4. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkena)……… 16
5. Kemunculan Gugus Fungsional N-H amina dan amida primer dan sekunder-bend)………... 16
6. Kemunculan Gugus Fungsional C-X (chloride, fluoride, bromide, dan iodide)………... 17
7. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (asam karboksilat)……… 17
8. Kemunculan Gugus Fungsional C=O (amida)………. 17
9. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aromatik)………. 18
10. Kemunculan Gugus Fungsional N-H amina dan amida primer dan sekunder-strecth)……… 18
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos A……….…... 32
2. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos B ……… 33
3. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos C……… 34
4. Hasil Analisis FTIR pada kompos A……….. 35
5. Hasil Analisis FTIR pada kompos B……… 35
6. Hasil Analisis FTIR pada kompos…………………… 36
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas dengan intensitas
penggunaannya yang sangat tinggi. Tingkat penggunaan lahan pertanian yang
tinggi ini sering diiringi dengan penggunaan pupuk anorganik untuk
meningkatkan produksi pertanian. Padahal berbagai penelitian telah banyak
menyebutkan bahwa cara pertanian demikian telah menyebabkan terjadinya
kerusakan tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Kerusakan tanah
perlu diperbaiki sebab bila dibiarkan akan dapat menurunkan produktivitas
pertanian.
Kerusakan tanah akibat kegiatan pertanian dapat diperbaiki dengan
menambahkan bahan organik. Penambahan bahan organik ke lahan pertanian
tidak hanya memperbaiki sifar-sifat tanah yang rusak tetapi dapat juga
meningkatkan produktivitas tanaman dan mengurangi penggunaan pupuk
anorganik. Hal ini dibuktikan oleh Hatta (2005) dimana produktivitas tanaman
padi gogorancah yang diberi pupuk kotoran ayam 1 ton ha-1 lebih tinggi 1,4 ton ha-1 dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk organik, serta penggunaan bahan organik juga dapat mengurangi penggunaan pupuk urea dan
KC1 masing-masing sebanyak 30 kg dan 25 kg.
Bahan organik yang sering digunakan sebagai pupuk dalam pertanian
adalah kotoran ternak yang dikenal dengan istilah pupuk kandang. Pupuk kandang
sering diolah menjadi kompos untuk meningkatkan haranya dan mematangkan
pupuk kandang dengan menurunkan nisbah C/N dari pupuk kandang tersebut. Hal
ini dilakukan agar penambahan bahan organik tidak menggangu pertumbuhan
tanaman.
Bahan organik yang digunakan seperti pupuk kandang atau kompos
maka tingkat dekomposisinya sangat cepat, sehingga efek residunya kecil. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan ini, maka diperlukan suatu teknologi yang dapat menyediakan unsur hara yang berasal dari bahan organik yang segera tersedia bagi tanaman.
Salah satu teknologi yang telah diterapkan adalah penggunaan ekstrak bahan organik. Bahan organik diekstrak menggunakan H2O dan dikenal dengan
sebutan Water-Extractable Organic Matter (WEOM) atau senyawa organik larut air (SOLA). SOLA memiliki peran utama dalam banyak proses kimia dan biologis yang terjadi dalam pembentukan kompos, termasuk reaksi xenobiotik organik dan
anorganik, transportasi hara dan bioavailabilitas, aktivitas mikroba dan biokontrol
berbagai macam phytopathogens tanaman (Bernal-Vicente et al., 2008 dan Kohler
et al., 2008 dalam Traversa et al., 2010).
Senyawa organik larut air memberikan pengaruh yang kuat terhadap ekologi, berperan sebagai pelarut dan transport pencemar organik seperti logam
berat (Kalbitz dan Wennrich, 1998 dalam Embacher et al., 2007). Efektifitas
SOLA pada tanaman telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh
Traversa et al.(2010) dimana penggunaan SOLA tidak hanya memperkaya bahan organik tanah namun dapat juga memberikan efek positif pada tanaman, yaitu
pada pertumbuhan awal tanaman tomat dan selada, khususnya pada panjang tunas
dan bobot basah.
Pemanfaatan SOLA akan sangat menguntungkan, baik dari segi ekonomi
maupun lingkungan. Namun minimnya informasi dan pengetahuan tentang SOLA
menjadi suatu penghambat dalam pengembangan teknologi ini. Oleh sebab itu
penelitian bertujuan menyelidiki sifat-sifat atau karakter dari SOLA yang berasal dari tiga jenis kompos yang berbeda yaitu kompos kotoran ayam, kompos kotoran
sapi dan kompos campuran perlu dilakukan. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang SOLA kepada semua pihak yang
1.2. Tujuan Penelitian
a) Melakukan karakterisasi SOLA dari tiga jenis kompos yang berbahan dasar kotoran ayam dan kotoran sapi.
b) Membandingkan karakteristik SOLA dengan bahan asalnya (bahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bahan Organik
Bahan organik tersusun atas bahan-bahan yang sangat beraneka berupa zat
yang ada dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sisa organik yang sedang
menjalani perombakan, dan hasil metabolisme mikroorganisme yang
menggunakan sisa organik sebagai sumber energi. Perombakan bahan organik
dapat berlangsung terbatas atau tuntas. Perombakan yang berlangsung terbatas
menghasilkan zat-zat organik lebih sederhana dari yang ada semula, sedangkan
yang berlangsung tuntas membebaskan unsur-unsur yang semula berada dalam
ikatan molekul organik menjadi senyawa-senyawa anorganik (Notohadiprawiro,
1999).
Pelapukan bahan organik merupakan salah satu kegiatan jazad mikro, yang
membebaskan unsur hara yang terikat dalam bentuk organik menjadi tersedia bagi
tumbuhan. Kecepatan pelapukan tergantung pada kandungan senyawa dari bahan
organik tersebut. Adapun urutan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk
yaitu: gula, zat pati, protein sederhana, protein kasar, hemiselulosa, selulosa,
lignin, lemak dan lilin (Supardi, 1983).
Senyawa organik memiliki peranan yang sangat penting dalam sifat-sifat
kimia tanah. Menurut Kussow (1971) senyawa organik dapat mempertahankan pH
tanah pada kisaran 5,0 - 8,5 dan senyawa organik berfungsi secara langsung dalam
reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah.
Bahan organik segar tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman
karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan
C/N tanah dimana rasio C/N tanah berkisar antara 10-20 (Suryadikarta dan
Simanungkalit, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan nilai C/N rasio
bahan organik dengan cara melakukan pengomposan terhadap bahan tersebut.
Menurut Indranada (1986) pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar
perombakan bahan organik ini terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas
biologi mikroba dan mesofauna (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006).
Hasil pengomposan berupa kompos, yaitu jenis pupuk yang terjadi karena
proses penghancuran oleh alam (Sarief, 1985) dan mikroorganisme pengurai
terhadap bahan organik (daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan,
dedak padi, batang jagung serta kotoran hewan). Adapun karakteristik umum
yang dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan
jumlah bervariasi tergantung bahan asal, (2) menyediakan unsur hara secara
lamban (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan (3) mempuyai fungsi utama
memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Suryadikarta dan Simanungkalit,
2006).
Sifat fisik dari kompos antara lain kadar kelembaban (< 35%), bobot isi,
kemampuan memegang air, dan ukuran bahan, sedangkan sifat kimia dari kompos
antara lain karbon organik total, kapasitas tukar kation, Nitrogen total, pH, daya
hantar listrik (DHL), P, K, Ca, Mg dan unsur mikro (Sullivan dan Miller, 2001).
Hasil analisis hara kotoran sapi dan ayam serta kandungan hara dalam
kompos yang berasal dari kedua jenis kotoran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Hara dari Kotoran dan Kompos Kotoran Sapi dan Ayam
Jenis Bahan Asal Kadar Hara
Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik yang
selanjutnya membentuk koloid organik dengan tapak muatan yang jauh lebih
banyak dibandingkan koloid inorganik. Tapak-tapak reaktif ini terdiri dari
(1991) bahan organik mengandung sejumlah gugus fungsional seperti gugus
karboksilat, gugus-gugus hidroksil fenolat dan alkoholik, gugus asam amino,
amida, keton, dan aldehida. Gugus fungsional yang mempunyai peranan dalam
jerapan air adalah gugus karboksil.
Menurut Hart (2003) gugus fungsional utama dapat digolongkan dalam
beberapa kelompok, seperti gugus fungsional yang merupakan bagian dari
kerangka molekul (alkana, alkuna, dan alkena), gugus yang mengandung oksigen
(alkohol, eter, aldehida, keton, asam karboksilat, ester), gugus yang mengandung
nitrogen (amina dan amida), dan gugus yang mengandung belerang (tiol, tioter,
asam sulfonat), serta gugus yang mengandung halogen (alkil dan halide asam).
Alkohol dan fenol digolongkan dalam gugus hidroksil (-OH). Fenol
mempunyai gugus yang sama dengan alkohol, tetapi gugus fungsinya melekat
langsung pada cicin aromatik. Gugus hidroksil bersifat polar sebagai akibat atom
oksigen elektronegatif yang menarik elektron ke arah dirinya sendiri. Akibatnya,
molekul air tertarik ke gugus fungsional. Hal ini akan membantu melarutkan
senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil. Sedangkan, asam karboksilat
digolongkan sebagai gugus karboksil (COOH). Alkohol, fenol dan asam
karboksilat dapat mengion dan melepaskan H+ dari ion hidroksilnya. Aldehida dan keton digolongkan dalam gugus fungsional karbonil (C=O) (Hart, 2003).
Alkana tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena molekul air
bersifat polar, sedangkan alkana bersifat nonpolar. Ketidaklarutan alkana dan air
sangat menguntungkan bagi tumbuhan (Hart, 2003).
2.3 Senyawa Organik Larut Air
Senyawa organik larut air (SOLA) merupakan fraksi dari bahan organik
yang terlarut atau dissolved organic matter (DOM) yang diekstrak dengan air
secara perlahan-lahan, dan secara konseptual merupakan bagian dari DOM total
yang mobile dan yang tersedia (Zsolnay, 1996 dalam Corvasce et al., 2006).
DOM menggambarkan bagian bahan organik yang paling aktif dan mobile
(Corvasce et al., 2006). SOLA diperoleh dengan melakukan penyaringan ekstrak
bahan organik menggunakan saringan 0,45 µ m yang sebelumnya dikocok dan
disentrifuse (Zsolnay, 2003).
Karbon organik terlarut (dissolved organic carbon/DOC) merupakan
bagian dari SOLA dan salah satu cadangan karbon yang paling aktif dalam siklus
karbon organik dan berperan penting pada transportasi nutrisi seperti N, P dan S,
serta logam berat (Jimenez dan Lal, 2006 dalam Undurraga et al., 2009). Siklus
DOC dalam tanah dipengaruhi oleh kombinasi proses kimia, fisika dan biologi.
Proses pengendalian siklus DOC dalam horizon tanah yang utama adalah mikroba
dan pengaturan retensi DOC dalam horizon mineral melalui adsorpsi pada
permukaan tanah (Kalbitz et al., 2000 dalam Kothawala et al., 2008)
Ketersediaan DOC dalam tanah dipengaruhi oleh tingkat pemupukan dan
kedalaman dari sampel tanah (Undurraga et al., 2009). Menurut Zsolnay (1996 dalam Chantigny, 2003) konsentrasi SOLA cenderung lebih besar di hutan
daripada di tanah pertanian, yaitu konsentrasi DOC di lantai hutan berkisar 5
sampai 440 mg/L, sedangkan DOC di tanah pertanian nilainya bervariasi dari 0
sampai 70 mg/L.
Senyawa organik larut air dari kompos memiliki peran utama dalam
banyak proses kimia dan biologi selama proses terjadinya kompos. Aktifitas
biologi SOLA yang berasal dari kompos sebagian besar bergantung pada jenis
substrat aktif yang digunakan untuk proses pengomposan dan lamanya proses
tersebut. Selama terjadinya proses pengomposan yang terdiri atas penghancuran
bahan asal dari bahan organik berukuran besar yang didegradasi oleh
mikroorganisme dan sintesis biokimia dari bahan molekul berbobot rendah,
sebagian besar berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi dan komposisi kimia
2.4. Spektrofotometer Infra Merah
Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom. Atom
dan molekul dalam suatu senyawa bergetar pada frekuensi sekitar 103-1014 hitungan per detik. Frekuensi ini sesuai dengan frekuensi radiasi inframerah, oleh
karena itu radiasi inframerah dapat diserap oleh getaran molekul. Getaran molekul
atau atom menyebabkan perubahan jarak antar atom karena pergerakan atom. Hal
ini disebut osilasi. Ada dua jenis getaran yaitu getaran regang/uluran dan getaran
lengkung/tekukan. Getaran regang/uluran yaitu atom berosilasi pada arah sumbu
ikatan tanpa mengubah sudut ikatan. Geteran lengkung/tekukan yaitu gerakan
atom-atom menghasilkan perubahan dalam sudut ikatan. Posisi pita dalam analisis
inframerah dinyatakan dalam satuan frekuensi yaitu cm- (Tan, 1991).
Frekuensi uluran dari suatu ikatan kimia tergantung pada beberapa faktor,
antara lain masa atom, energi ikatan, dan ikatan ganda. Ikatan yang terbentuk dari
atom yang berat dan atom yang ringan selalu bergetar pada frekuensi yang lebih
tinggi dibadingkan ikatan yang terbentuk dari dua atom yang berat. Ikatan ganda
dua bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan tunggal
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011 di
Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kompos yaitu Kompos
A (kompos kotoran ayam), Kompos B (kompos kotoran sapi), Kompos C
(kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan
sekam) dan bahan kimia untuk analisis N, C-organik, kapasitas tukar kation
(KTK), K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn dan karbon organik terlarut dan gugus
fungsional dalam senyawa organik. Alat yang digunakan antara lain: ayakan,
kertas saring, membran saring 0,45µ m, alat analisa berupa Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) untuk analisis Ca, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mn.
Flamephotometer untuk analisis K, Na, pH meter, EC-meter, Hiper TOC untuk
analisis karbon organik terlarut dan FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Spectrophotometer untuk analisis gugus fungsional bahan organik dan berbagai
peralatan analisis kimia lainnya.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu persiapan bahan dan
analisis sifat kimia. Pada tahap persiapan bahan, bahan organik yang digunakan
dikeringanginkan lalu diayak dengan ayakan ukuran 2 mm. Tahap analisis terdiri
dari dua bagian yaitu analisis bahan organik padat dan analisis senyawa organik
3.3.1. Analisis Bahan Organik Padat
Parameter dan metode yang digunakan untuk menganalisis bahan organik
padat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter dan Metode Analisis Bahan Organik Padat
3.3.2. Analisis Senyawa Organik Larut Air
Analisis SOLA diawali dengan pengocokan bahan organik dengan air
destilata (aquades) selama 120 menit pada kecepatan 125 rpm. Perbandingan
antara bahan organik dan air yaitu 1: 10 (150 gram bahan organik : 1,5 liter air
destilata). Setelah pengocokan, campuran tersebut disentrifuse selama 30 menit.
Larutan setelah proses sentrifuse disaring menggunakan saringan membran 0,45
µ m. Kemudian dilakukan analisis pH, DHL, KTK, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn,
Mn dan karbon organik terlarut dalam senyawa organik larut air. Parameter dan
metode analisis SOLA dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan kegiatan
pengekstrakkan SOLA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 3. Parameter dan Metode Analisis SOLA
No Parameter Metode
1 Kadar air Gravimetri
2 pH pH - meter
3 Kapasitas Tukar Kation NH4OAc pH 7
4 Kadar Hara Nitrat-Perklorat
5 C-Organik Walkley and Black
6 N-total Kjeldahl
7 Gugus Fungsional KBr Pelet
No Parameter Metode
1 pH pH - meter
2 Daya hantar listrik EC - meter
3 Kadar Hara AAS
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Bahan Organik Padat
Karakteristik dari ketiga jenis bahan organik padat yaitu kadar air,
C-organik, N-total, C/N ratio, pH dan KTK disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Bahan Organik Padat
Contoh Kadar Air C-Organik N-total C/N pH KTK ---%--- ---% bobot kering--- (me/100 g)
Kompos A 35,0 28,0 2,4 11,7 7,4 33,8
Kompos B 227,0 35,0 1,8 19,5 6,5 95,9
Kompos C 41,0 23,4 1,5 15,6 5,4 47,7
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman.
Penggunaan bahan organik oleh tanaman dipengaruhi oleh tingkat kematangan
bahan tersebut yang ditunjukkan dengan nisbah karbon (C) dan nitrogen (N). Bila
suatu bahan organik memiliki nisbah C/N yang tinggi, maka pemberian bahan
organik tersebut dapat menggangu pertumbuhan tanaman. Bahan organik yang
mempunya nisbah C/N mendekati atau sama dengan nisbah C/N tanah (10-20),
maka bahan organik tersebut dapat digunakan tanaman (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006).
Analisis C-organik dan N-total dari ketiga jenis kompos digunakan untuk
mengetahui nisbah C/N kompos tersebut. Nisbah C/N dari ketiga jenis kompos
berada dalam kisaran nisbah C/N tanah yaitu 10-20. Kompos A memiliki nisbah
C/N sebesar 11,7, nisbah C/N kompos B sebesar 19,5 dan kompos C sebesar 15,6.
Nisbah C/N kompos dipengaruhi oleh jenis bahan penyusun kompos tersebut.
Kompos B memiliki nisbah C/N yang lebih tinggi dibandingkan kedua jenis
kompos yang lain. Bahan penyusun Kompos B berasal dari kotoran sapi yang
Kemasaman suatu kompos terlihat dari pH kompos tersebut. pH
merupakan salah satu syarat kematangan dari suatu kompos. Kompos yang baik
memiliki pH mendekati netral atau sedikit kearah alkali (Setyorini et.al., 2006).
Kompos yang memiliki pH masam akan mempengaruhi kemasaman tanah apabila
kompos tersebut diberikan ke tanah karena dapat menyumbangkan ion H+. Hal ini akan mempengaruhi juga tingkat ketersediaan unsur hara dalam tanah tersebut.
Kriteria pH kompos yang baik menurut SNI 19-7030-2004 yaitu 6,8 - 7,5.
Hasil analisis pH ketiga jenis kompos yang digunakan menunjukkan bahwa
kompos A memiliki pH sebesar 7,4, kompos B memiliki pH sebesar 6,5 dan pH
kompos C sebesar 5,4.
Kapasitas tukar kation merupakan kemampuan koloid menjerap dan
mempertukarkan kation. Jerapan dan pertukaran kation memegang peran penting
dalam penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan
pemupukan (Tan, 1991). KTK suatu kompos dapat dijadikan indikator
kematangan suatu kompos (Harada dan Inoko, 1980).
Menurut Setyorini et. al. (2006) kompos mengandung humus yang sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman.
Misel humus mempunyai KTK yang lebih besar daripada misel liat (3-10 kali)
sehingga penyediaan hara makro dan mikro lebih lama. Hasil analisis KTK
terhadap ketiga jenis kompos menunjukkan bahwa kompos A memiliki KTK
sebesar 33,8 me/100g, kompos B memiliki KTK sebesar 95,9 me/100g, dan
kompos C sebesar 47,7 me/100g.
Pengukuran FTIR bertujuan untuk mengetahui kandungan gugus
fungsional dari ketiga jenis kompos. Secara umum gugus fungsional yang
terkandung pada ketiga jenis kompos hampir sama, diantaranya adalah: gugus
fungsional O-H (alkohol, fenol, dan asam karboksilat), H (alkana, aromatik),
C-O (alkohol, eter, ester, asam karboksilat), C=C-O (amida), N-H (amina dan amida
primer dan sekunder), C-X (chlorida, fluorida dan bromida). Bilangan gelombang
Jenis Vibrasi Bilangan Gelombang (cm
Bromide, iodide <667s 648,08 648,08 532,35
543,93 636,21 466,77 470,63 470,63 435,91
428,20 432,05
Keterangan:
* : Bilangan gelombang rujukan dari Tabel korelasi (Pavia et al., 2001) s : kuat
Kemunculan setiap setiap gugus fungsional pada ketiga jenis kompos
dapat dilihat pada Gambar 2 sampai Gambar 8, sedangkan kurva hasil analisis
FTIR dari setiap jenis kompos dapat dilihat pada Lampiran 4, 5, dan 6.
Gambar 4. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (alkena)
Gambar 5. Kemunculan Gugus Fungsional N-H (amina dan amida primer dan sekunder-bend)
Keterangan :
: Kompos A : Kompos B : Kompos C
Gambar 6. Kemunculan Gugus Fungsional C-X (chlorida, fluorida, bromide dan iodida)
Gambar 7. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (asam karboksilat)
Adapun gugus fungsional yang hanya terkandung pada kompos tertentu
seperti gugus fungsional O-H (alkohol dan fenol terikat -H) dan C-N (amina)
hanya terdapat pada kompos A dan kompos B. Gugus fungsional C-H (aromatik)
hanya terdapat pada kompos A dan kompos C, sedangkan gugus fungsional C=C
(alkena) dan C-H (aldehida) dan O-H (alkohol dan fenol -free) hanya terdapat
pada kompos B dan kompos C. Gugus fungsional C≡C (alkuna), dan C-H
(alkana-CH3 (bend)) hanya terdapat pada kompos A. Kemunculan dari setiap gugus fungsional diatas dapat dilihat pada Gambar 9 sampai 16.
Keterangan :
: Kompos A : Kompos B : Kompos C
Gambar 9. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aromatik)
Keterangan :
: Kompos A : Kompos B : Kompos C
Gambar 11. Kemunculan Gugus Fungsional C-N (Amina)
Gambar 12. Kemunculan Gugus Fungsional O-H (alkohol, fenol H-bonded)
Keterangan :
: Kompos A : Kompos B : Kompos C
Gambar 14. Kemunculan Gugus Fungsional C-H (aldehida)
Gambar 15. Kemunculan Gugus Fungsional C=C (alkena)
Kandungan gugus fungsional hidroksil dan karboksil diperlukan untuk
pelepasan hara. Menurut Ismangil dan Hanudin (2005) sifat-sifat asam organik
yang penting dalam pelarutan mineral ditentukan oleh gugus karboksil (COO- ) dan gugus hidroksil (OH- ) fenolatnya serta tingkat disosiasinya. Jumlah gugus yang mengalami disosiasi ditentukan oleh jumlah gugus fungsionalnya dan pH
lingkungannya. Jumlah gugus karboksil menentukan jumlah proton yang mungkin
dapat dilepas. Dari hasil analisis gugus fungsional terlihat bahwa ketiga jenis
kompos mengandung gugus fungsional karboksil (asam karboksilat) dan hidroksil
(alkohol dan fenol) sehingga apabila ketiga jenis kompos ini diberikan ke tanah
dapat melepaskan hara yang terikat dalam tanah. Selain itu, gugus fungsional
bersifat hidrofilik sehingga meningkatkan kelarutan senyawa organik dalam air.
Kompos merupakan salah satu sumber unsur hara makro dan mikro secara
lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Kandungan hara dalam
kompos bergantung dari jenis bahan asalnya. Ketiga jenis kompos yang
digunakan dalam penelitian ini berbahan dasar kotoran ternak. Menurut Hartatik
dan Widowati (2006) kandungan hara dalam kotoran ternak tergantung pada
jumlah dan jenis makanan ternak. Hara dalam kotoran ternak tidak mudah untuk
tersedia bagi tanaman. Rendahnya ketersediaan hara dari pupuk kandang
disebabkan karena bentuk N, P, serta unsur hara lain dalam bentuk senyawa
kompleks organo protein atau senyawa asam humat, atau lignin yang sulit
terdekomposisi. Proses pengomposan dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi
tanaman karena perubahan bentuk dari tidak tersedia menjadi tersedia.
Hasil analisis kadar hara ketiga jenis kompos secara umum menunjukkan
bahwa, kompos A memiliki kandungan hara (kecuali Na, Fe dan Mn) yang lebih
tinggi dari kedua jenis kompos yang lainnya. Kadar hara kompos A dipengaruhi
oleh jenis konsentrat yang diberikan. Selain itu, dalam kompos A terdapat
campuran sisa-sisa makanan ayam, serta sekam sebagai alas kandang yang dapat
menyumbangkan hara dalam kompos tersebut.
Kadar hara kompos C lebih rendah dari kompos A dan kompos B
walaupun bahan asal kompos C merupakan campuran antara kotoran ayam,
kotoran sapi, sekam, dan jerami. Hal ini desebabkan oleh kotoran ayam dan
milik petani biasa, sedangkan kotoran ayam dan kotoran sapi yang digunakan
untuk membuat kompos A dan kompos B berasal dari kandang milik Institut
Pertanian Bogor (IPB). Kotoran ayam dan kotoran sapi yang berasal dari kandang
IPB memiliki kandungan hara yang tinggi karena bahan makanan yang diberikan
pada ternak diatur atau dihitung nutrisinya. Kadar hara dari ketiga jenis kompos
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisis Kadar Hara Total dari Beberapa Kompos
Contoh K Na Ca Mg Fe Cu Zn Mn
---%--- Kompos A 0,96 0,03 0,70 0,68 0,60 0,02 0,06 0,09 Kompos B 0,36 0,04 0,19 0,37 2,06 0,01 0,02 0,11 Kompos C 0,24 0,02 0,18 0,21 0,61 0,01 0,02 0,05
4.2. Hasil Analisis Senyawa Organik Larut Air
Senyawa organik larut air merupakan bagian dari bahan organik yang terlarut dalam air yang diperoleh dengan menyaring bahan organik menggunakan
saringan 0,45µ m. Hasil penyaringan terhadap ketiga jenis bahan organik padat
menunjukkan adanya perubahan karakteristik dari bahan tersebut. Karakteristik
SOLA dari ketiga jenis kompos seperti pH, DHL, karbon organik terlarut
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisis Karbon Organik Terlarut, DHL dan pH SOLA dari Beberapa Kompos
* : Jumlah bahan organik yang diekstrak sudah memperhitungkan kkadar air
DOC : Karbon organik terlarut/disolve organic carbon
Karbon organik terlarut menggambarkan senyawa C terlarut yang
terkandung dalam air yang berasal dari bahan organik. Hasil pengukuran DOC
kandungan DOC sebesar 1.046,1 mg/L atau 0,105%, kompos B memiliki
kandungan DOC sebesar 142,7 mg/L atau 0,014% dan kandungan DOC kompos
C sebesar 40,0 mg/L atau 0,004%.
Kandungan DOC dari Kompos B dan kompos C menurut Zsolnay (1996
dalam Zsolnay, 2003) masih dikatakan normal dalam ekosistem tanah karena
kandungan DOC dari kedua jenis kompos kurang dari 100 mg/L, sedangkan
kandungan DOC kompos C sangat tinggi. Tingginya DOC ini menurut Andersson
et al. (2000)disebabkan oleh pH yang tinggi dan meningkatnya aktivitas mikroba.
Menurut Bernal et al. (1998) kadar DOC yang terkandung dalam kompos apabila
kurang dari 1,7% maka kompos tersebut dikategorikan telah matang. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka ketiga jenis kompos yang digunakan dikategorikan telah
matang.
Daya hantar listrik merupakan ukuran dari kandungan garam terlarut.
Menurut Petrik (1985 dalam Turan, 2008) kompos yang ideal harus memiliki
DHL kurang dari 2 mS/cm. Apabila DHL kompos melebihi 2 mS/cm maka
kompos tersebut dikatakan salin. Hasil pengukuran DHL terhadap SOLA dari
ketiga jenis kompos yang digunakan menunjukkan bahwa kompos A tergolong
salin karena memiliki DHL 5,6 mS/cm, sedangkan kompos B dan kompos C
digolongkan normal karena DHL kedua kompos tersebut berturut-turut yaitu 0,7
mS/cm dan 0,8 mS/cm.
Senyawa organik yang telah diekstrak dengan air memiliki beberapa
karakter yang berbeda dengan bahan asalnya. Perbedaan karakter tersebut
diantaranya terdapat dalam pH dan kandungan unsur hara. Perubahan pH yang
terjadi tidak terlalu tinggi. Gambar 17 memperlihatkan bahwa penyaringan
menggunakan saringan 0,45 µ m menyebabkan perubahan pH menuju ke arah
reaksi yang netral (mendekati pH 7). Kompos A mengalami penurunan pH dari
7,4 menjadi 6,7, sedangkan kompos B dankompos C mengalami peningkatan pH.
Peningkatan pH pada kompos B tidak terlalu tinggi yaitu dari pH 6,5 menjadi pH
6,7, sedangkan peningkatan pH kompos C cukup tinggi yaitu 5,4 menjadi 6,4.
Menurut Zsolnay (2003) konsentrasi proton dapat memberikan efek yang kuat
berbeda, sehingga perubahan pH dapat mempengaruhi struktur dari SOLA.
Perubahan pH dapat disebabkan oleh keadaan reduktif saat pembuatan SOLA.
Gambar 17. Grafik Perubahan pH Bahan Baku Setelah Disaring. Keterangan :
Kom-A : Kompos A Kom-B : Kompos B Kom-C : Kompos C
Penyaringan menggunakan saringan membran 0,45 µ m tidak hanya
menyebabkan perubahan pH, namun menyebabkan juga perubahan kandungan
hara. Kandungan unsur hara mikro (Fe, Cu, dan Zn) dalam SOLA sangat rendah
dibandingkan bahan bakunya (kompos padat), sedangkan kandungan unsur hara
makro (K, Ca, dan Mg) dalam SOLA lebih rendah dari pada bahan bakunya. Hal
ini disebabkan oleh kandungan hara SOLA dari ketiga jenis kompos merupakan
yang larut air, sedangkan kandungan hara dari bahan baku SOLA (kompos padat)
merupakan hara total yang terkandung dalam kompos tersebut.
Penyaringan menggunakan saringan membran dapat menyebabkan
terjadinya fouling. Fouling merupakan proses terakumulasinya komponen secara
permanen akibat filtrasi itu sendiri. Fouling terjadi akibat interaksi yang sangat
spesifik secara fisik dan kimia antara berbagai padatan terlarut pada membran
(Juansah et al., 2009). Padatan terlarut yang terdapat pada membran dapat
menggangu proses penyaringan sehingga dapat dimungkinkan kandungan hara
dalam SOLA lebih rendah dari bahan asalnya. Selain itu, penyaringan juga
menyebabkan hara tertentu tidak terukur dalam SOLA seperti Mn. Perubahan
kandungan hara dari masing-masing kompos dapat dilihat pada Gambar 18
sampai 20.
Kandungan Na dalam SOLA dari ketiga jenis kompos dan Ca dalam
SOLA dari kompos C tidak dipengaruhi oleh proses fouling. Hal ini ditunjukkan
dengan kandungan Na dalam SOLA ketiga jenis kompos dan kandunan Ca dalam
SOLA dari kompos C sama dengan bahan asalnya (kompos padat). Kandungan
hara dalam SOLA dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Analisis Kandungan Hara dalam SOLA
Contoh K Na Ca Mg Fe Cu Zn Mn
---%--- ---ppm--- Kompos A 0,40 0,03 0,13 0,27 28,61 3,81 2,66 - Kompos B 0,10 0,04 0,02 0,02 8,79 0,99 0,50 - Kompos C 0,07 0,02 0,18 0,05 0,76 0,58 0,36 -
Gambar 18. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos A
Gambar 19. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos B
Gambar 20. Grafik Perubahan Kandungan Unsur Hara Makro dari Kompos C
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Senyawa organik larut air (SOLA) dari kompos A memiliki DHL 5,6
mS/cm dan DOC sebesar 1.046,1 mg/L. SOLA dari kompos B memiliki
DHL 0,7 mS/cm dan DOC sebesar 142,7 mg/L, sedangkan SOLA dari
kompos C memiliki DHL 0,8 mS/cm dan DOC sebesar 40,0 mg/L. Secara
umum gugus fungsional yang terkandung pada ketiga jenis kompos hampir
sama seperti: gugus C-H (alkana-stretch dan alkena), C-O (alkohol, eter,
ester dan asam karboksilat), O-H (asam karboksilat), N-H (bend amina dan
amida primer dan sekunder), C=O (amida) dan C-X (chlorida, fluorida,
bromide dan iodide).
2. Penyaringan dengan saringan 0,45 µ m menyebabkan terjadinya perubahan
beberapa karakter bahan organik seperti pH dan kandungan hara. pH
setelah penyaringan (pH SOLA) mengalami perubahan ke arah reaksi
netral (pH 7). Kandungan hara SOLA lebih rendah dari kompos padat
kecuali Na dari ketiga jenis kompos dan Ca dari kompos C (jumlah hara
dalam SOLA sama dengan kompos padat). Penyaringan juga
menyebabkan adanya hara yang tidak terukur dalam SOLA dari ketiga
jenis kompos seperti Mn.
5.2. Saran
Untuk mengetahui potensi SOLA dalam menyediakan hara bagi tanaman maka diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap SOLA, baik dalam
peningkatan produksi tanaman maupun kesuburan tanah terutama pada
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, S., S.I. Nilsson, P. Saetre. 2000. Leaching of dissolved organic carbon (DOC) and dissolved organic nitrogen (DON) in mor humus as affected by temperature and pH. Soil Biology & Biochemistry. 32: 1-10.
Anwar, S., dan U. Sudadi. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bernal, M.P., C. Paredes, M.A. Sanchez-Monedero, and J. Cegarra. 1998. Maturity and stability parameters of composts prepared with a wide-range of organic wastes. Bioresour. Technol. 63:91-99.
Chantigny, M. H. 2003. Dissolved and water-extractable organic matter in soils: a review on the influence of land use and management practices. Geoderma. 113: 357– 380.
Corvasce, M., A. Zsolnay, V. D’Orazio, R. Lopez, T. M. Miano. 2006. Characterization of water extractable organic matter in a deep soil profile. Chemosphere. 62: 1583–1590.
Embacher, A., A. Zsolnay, A. Gattinger, and J.C. Munch. 2007. The dynamics of water extractable organic matter (WEOM) in common arable topsoils: I. Quantity, quality and function over a three year period. Geoderma. 139: 11– 22.
Harada, Y. dan A. Inoko. 1980. The measurament of the cation exchange capacity of compost for the estimation of the maturity. Soil Sci. Plant Nutr. 26: 127-134.
Hart, H. 1983. Kimia Organik, Suatu Kuliah Singkat, Edisi Keenam. S. Achmadi, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry, a Short Course, Sixth Edition.
Hartatik, W. dan L.R. Widowati. 2006. Pupuk Kandang. dalam: R.D.M Simanungkalit, D.A. Suryadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Hatta, M. 2005. Kajian bahan organik dan cara pengelolaan tanah dalam budidaya padi gogorancah di Kabupaten Jeneponto. J. Agrivigor. 5 (1): 16-25.
Indranada, H.K.1986. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bina Aksara. Jakarta.
Juansah, J., K. Dahlan dan F. Huriati. 2009. Peningkatan mutu sari buah nanas dengan memanfaatkan sistem filtrasi aliran dead-end dari membran selulosa asetat. Makara sains. 13(1): 94-100.
Kothawala, D.N., T.R. Moore, and W.H. Hendershot. 2008. Adsorption of dissolved organic carbon to mineral soils: A comparison of four isotherm approaches. Geoderma. 148: 43–50.
Kussow, W.R. 1971. Introduction to Soil Chemistry. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Notohadiprawiro, T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Pavia, D.L., G.M. Lampaman, G.S. Kriz. 2001. Introduction to Spectroscopy.3th ed. Departemen of Chemistry. Western Washington University. Bellingham, Washington.
Sarief, E.S. 1985. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Setyorini, D., R. Saraswati, dan E.A. Anwar. 2006. Kompos. Dalam: R.D.M Simanungkalit, D.A. Suryadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (Eds). 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Suryadikarta, D.A., dan R.D.M Simanungkalit. 2006. Pendahuluan. Dalam: R.D.M Simanungkalit, D.A. Suryadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini dan W. Hartatik (Eds). 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Sullivan, D.M., dan R. O. Miller. 2001. Compost Quality Attributes, Measurements, and Variability. Dalam: Peter J. Stoffella dan Brian A. Kahn (Eds). Compost Utilization in Horticultural Cropping Systems. Lewis Publishers. New York.
Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tan K.H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Traversa A., E. Loffredo, C. E. Gattullo, and N. Senesi. 2010. Water-extractable organic matter of different composts: A comparative study of properties and allelochemical effects on horticultural plants. Geoderma. 156: 287–292. Turan, N. G. 2008. The effects of natural zeolite on salinity level of poultry litter
Undurraga, P., E. Zagal, G. Sepúlveda, N. Valderrama. 2009. Dissolved organic carbon and nitrogen in Andisol for six crop rotations with different soil management intensity. Chilean journal of agricultural research. 69(3): 445-454.
Lampiran 1. Data Pengukuran Gugus Fungsional Kompos Kotoran Ayam
No Peak Intensity Corr. Base (H) Base (L) Are Corr.Area Intensity
Lampiran 4. Hasil Analisis FTIR pada kompos A
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas dengan intensitas
penggunaannya yang sangat tinggi. Tingkat penggunaan lahan pertanian yang
tinggi ini sering diiringi dengan penggunaan pupuk anorganik untuk
meningkatkan produksi pertanian. Padahal berbagai penelitian telah banyak
menyebutkan bahwa cara pertanian demikian telah menyebabkan terjadinya
kerusakan tanah, baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Kerusakan tanah
perlu diperbaiki sebab bila dibiarkan akan dapat menurunkan produktivitas
pertanian.
Kerusakan tanah akibat kegiatan pertanian dapat diperbaiki dengan
menambahkan bahan organik. Penambahan bahan organik ke lahan pertanian
tidak hanya memperbaiki sifar-sifat tanah yang rusak tetapi dapat juga
meningkatkan produktivitas tanaman dan mengurangi penggunaan pupuk
anorganik. Hal ini dibuktikan oleh Hatta (2005) dimana produktivitas tanaman
padi gogorancah yang diberi pupuk kotoran ayam 1 ton ha-1 lebih tinggi 1,4 ton ha-1 dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk organik, serta penggunaan bahan organik juga dapat mengurangi penggunaan pupuk urea dan
KC1 masing-masing sebanyak 30 kg dan 25 kg.
Bahan organik yang sering digunakan sebagai pupuk dalam pertanian
adalah kotoran ternak yang dikenal dengan istilah pupuk kandang. Pupuk kandang
sering diolah menjadi kompos untuk meningkatkan haranya dan mematangkan
pupuk kandang dengan menurunkan nisbah C/N dari pupuk kandang tersebut. Hal
ini dilakukan agar penambahan bahan organik tidak menggangu pertumbuhan
tanaman.
Bahan organik yang digunakan seperti pupuk kandang atau kompos
maka tingkat dekomposisinya sangat cepat, sehingga efek residunya kecil. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan ini, maka diperlukan suatu teknologi yang dapat menyediakan unsur hara yang berasal dari bahan organik yang segera tersedia bagi tanaman.
Salah satu teknologi yang telah diterapkan adalah penggunaan ekstrak bahan organik. Bahan organik diekstrak menggunakan H2O dan dikenal dengan
sebutan Water-Extractable Organic Matter (WEOM) atau senyawa organik larut air (SOLA). SOLA memiliki peran utama dalam banyak proses kimia dan biologis yang terjadi dalam pembentukan kompos, termasuk reaksi xenobiotik organik dan
anorganik, transportasi hara dan bioavailabilitas, aktivitas mikroba dan biokontrol
berbagai macam phytopathogens tanaman (Bernal-Vicente et al., 2008 dan Kohler
et al., 2008 dalam Traversa et al., 2010).
Senyawa organik larut air memberikan pengaruh yang kuat terhadap ekologi, berperan sebagai pelarut dan transport pencemar organik seperti logam
berat (Kalbitz dan Wennrich, 1998 dalam Embacher et al., 2007). Efektifitas
SOLA pada tanaman telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh
Traversa et al.(2010) dimana penggunaan SOLA tidak hanya memperkaya bahan organik tanah namun dapat juga memberikan efek positif pada tanaman, yaitu
pada pertumbuhan awal tanaman tomat dan selada, khususnya pada panjang tunas
dan bobot basah.
Pemanfaatan SOLA akan sangat menguntungkan, baik dari segi ekonomi
maupun lingkungan. Namun minimnya informasi dan pengetahuan tentang SOLA
menjadi suatu penghambat dalam pengembangan teknologi ini. Oleh sebab itu
penelitian bertujuan menyelidiki sifat-sifat atau karakter dari SOLA yang berasal dari tiga jenis kompos yang berbeda yaitu kompos kotoran ayam, kompos kotoran
sapi dan kompos campuran perlu dilakukan. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang SOLA kepada semua pihak yang
1.2. Tujuan Penelitian
a) Melakukan karakterisasi SOLA dari tiga jenis kompos yang berbahan dasar kotoran ayam dan kotoran sapi.
b) Membandingkan karakteristik SOLA dengan bahan asalnya (bahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bahan Organik
Bahan organik tersusun atas bahan-bahan yang sangat beraneka berupa zat
yang ada dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sisa organik yang sedang
menjalani perombakan, dan hasil metabolisme mikroorganisme yang
menggunakan sisa organik sebagai sumber energi. Perombakan bahan organik
dapat berlangsung terbatas atau tuntas. Perombakan yang berlangsung terbatas
menghasilkan zat-zat organik lebih sederhana dari yang ada semula, sedangkan
yang berlangsung tuntas membebaskan unsur-unsur yang semula berada dalam
ikatan molekul organik menjadi senyawa-senyawa anorganik (Notohadiprawiro,
1999).
Pelapukan bahan organik merupakan salah satu kegiatan jazad mikro, yang
membebaskan unsur hara yang terikat dalam bentuk organik menjadi tersedia bagi
tumbuhan. Kecepatan pelapukan tergantung pada kandungan senyawa dari bahan
organik tersebut. Adapun urutan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam
jaringan tumbuhan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk
yaitu: gula, zat pati, protein sederhana, protein kasar, hemiselulosa, selulosa,
lignin, lemak dan lilin (Supardi, 1983).
Senyawa organik memiliki peranan yang sangat penting dalam sifat-sifat
kimia tanah. Menurut Kussow (1971) senyawa organik dapat mempertahankan pH
tanah pada kisaran 5,0 - 8,5 dan senyawa organik berfungsi secara langsung dalam
reaksi oksidasi-reduksi dalam tanah.
Bahan organik segar tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman
karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai dengan
C/N tanah dimana rasio C/N tanah berkisar antara 10-20 (Suryadikarta dan
Simanungkalit, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan penurunan nilai C/N rasio
bahan organik dengan cara melakukan pengomposan terhadap bahan tersebut.
Menurut Indranada (1986) pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar
perombakan bahan organik ini terjadi secara biofisiko-kimia, melibatkan aktivitas
biologi mikroba dan mesofauna (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006).
Hasil pengomposan berupa kompos, yaitu jenis pupuk yang terjadi karena
proses penghancuran oleh alam (Sarief, 1985) dan mikroorganisme pengurai
terhadap bahan organik (daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan,
dedak padi, batang jagung serta kotoran hewan). Adapun karakteristik umum
yang dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan
jumlah bervariasi tergantung bahan asal, (2) menyediakan unsur hara secara
lamban (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan (3) mempuyai fungsi utama
memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Suryadikarta dan Simanungkalit,
2006).
Sifat fisik dari kompos antara lain kadar kelembaban (< 35%), bobot isi,
kemampuan memegang air, dan ukuran bahan, sedangkan sifat kimia dari kompos
antara lain karbon organik total, kapasitas tukar kation, Nitrogen total, pH, daya
hantar listrik (DHL), P, K, Ca, Mg dan unsur mikro (Sullivan dan Miller, 2001).
Hasil analisis hara kotoran sapi dan ayam serta kandungan hara dalam
kompos yang berasal dari kedua jenis kotoran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Hara dari Kotoran dan Kompos Kotoran Sapi dan Ayam
Jenis Bahan Asal Kadar Hara
Dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik yang
selanjutnya membentuk koloid organik dengan tapak muatan yang jauh lebih
banyak dibandingkan koloid inorganik. Tapak-tapak reaktif ini terdiri dari
(1991) bahan organik mengandung sejumlah gugus fungsional seperti gugus
karboksilat, gugus-gugus hidroksil fenolat dan alkoholik, gugus asam amino,
amida, keton, dan aldehida. Gugus fungsional yang mempunyai peranan dalam
jerapan air adalah gugus karboksil.
Menurut Hart (2003) gugus fungsional utama dapat digolongkan dalam
beberapa kelompok, seperti gugus fungsional yang merupakan bagian dari
kerangka molekul (alkana, alkuna, dan alkena), gugus yang mengandung oksigen
(alkohol, eter, aldehida, keton, asam karboksilat, ester), gugus yang mengandung
nitrogen (amina dan amida), dan gugus yang mengandung belerang (tiol, tioter,
asam sulfonat), serta gugus yang mengandung halogen (alkil dan halide asam).
Alkohol dan fenol digolongkan dalam gugus hidroksil (-OH). Fenol
mempunyai gugus yang sama dengan alkohol, tetapi gugus fungsinya melekat
langsung pada cicin aromatik. Gugus hidroksil bersifat polar sebagai akibat atom
oksigen elektronegatif yang menarik elektron ke arah dirinya sendiri. Akibatnya,
molekul air tertarik ke gugus fungsional. Hal ini akan membantu melarutkan
senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil. Sedangkan, asam karboksilat
digolongkan sebagai gugus karboksil (COOH). Alkohol, fenol dan asam
karboksilat dapat mengion dan melepaskan H+ dari ion hidroksilnya. Aldehida dan keton digolongkan dalam gugus fungsional karbonil (C=O) (Hart, 2003).
Alkana tidak larut dalam air. Hal ini disebabkan karena molekul air
bersifat polar, sedangkan alkana bersifat nonpolar. Ketidaklarutan alkana dan air
sangat menguntungkan bagi tumbuhan (Hart, 2003).
2.3 Senyawa Organik Larut Air
Senyawa organik larut air (SOLA) merupakan fraksi dari bahan organik
yang terlarut atau dissolved organic matter (DOM) yang diekstrak dengan air
secara perlahan-lahan, dan secara konseptual merupakan bagian dari DOM total
yang mobile dan yang tersedia (Zsolnay, 1996 dalam Corvasce et al., 2006).
DOM menggambarkan bagian bahan organik yang paling aktif dan mobile
(Corvasce et al., 2006). SOLA diperoleh dengan melakukan penyaringan ekstrak
bahan organik menggunakan saringan 0,45 µ m yang sebelumnya dikocok dan
disentrifuse (Zsolnay, 2003).
Karbon organik terlarut (dissolved organic carbon/DOC) merupakan
bagian dari SOLA dan salah satu cadangan karbon yang paling aktif dalam siklus
karbon organik dan berperan penting pada transportasi nutrisi seperti N, P dan S,
serta logam berat (Jimenez dan Lal, 2006 dalam Undurraga et al., 2009). Siklus
DOC dalam tanah dipengaruhi oleh kombinasi proses kimia, fisika dan biologi.
Proses pengendalian siklus DOC dalam horizon tanah yang utama adalah mikroba
dan pengaturan retensi DOC dalam horizon mineral melalui adsorpsi pada
permukaan tanah (Kalbitz et al., 2000 dalam Kothawala et al., 2008)
Ketersediaan DOC dalam tanah dipengaruhi oleh tingkat pemupukan dan
kedalaman dari sampel tanah (Undurraga et al., 2009). Menurut Zsolnay (1996 dalam Chantigny, 2003) konsentrasi SOLA cenderung lebih besar di hutan
daripada di tanah pertanian, yaitu konsentrasi DOC di lantai hutan berkisar 5
sampai 440 mg/L, sedangkan DOC di tanah pertanian nilainya bervariasi dari 0
sampai 70 mg/L.
Senyawa organik larut air dari kompos memiliki peran utama dalam
banyak proses kimia dan biologi selama proses terjadinya kompos. Aktifitas
biologi SOLA yang berasal dari kompos sebagian besar bergantung pada jenis
substrat aktif yang digunakan untuk proses pengomposan dan lamanya proses
tersebut. Selama terjadinya proses pengomposan yang terdiri atas penghancuran
bahan asal dari bahan organik berukuran besar yang didegradasi oleh
mikroorganisme dan sintesis biokimia dari bahan molekul berbobot rendah,
sebagian besar berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi dan komposisi kimia
2.4. Spektrofotometer Infra Merah
Serapan inframerah berkaitan dengan getaran molekul atau atom. Atom
dan molekul dalam suatu senyawa bergetar pada frekuensi sekitar 103-1014 hitungan per detik. Frekuensi ini sesuai dengan frekuensi radiasi inframerah, oleh
karena itu radiasi inframerah dapat diserap oleh getaran molekul. Getaran molekul
atau atom menyebabkan perubahan jarak antar atom karena pergerakan atom. Hal
ini disebut osilasi. Ada dua jenis getaran yaitu getaran regang/uluran dan getaran
lengkung/tekukan. Getaran regang/uluran yaitu atom berosilasi pada arah sumbu
ikatan tanpa mengubah sudut ikatan. Geteran lengkung/tekukan yaitu gerakan
atom-atom menghasilkan perubahan dalam sudut ikatan. Posisi pita dalam analisis
inframerah dinyatakan dalam satuan frekuensi yaitu cm- (Tan, 1991).
Frekuensi uluran dari suatu ikatan kimia tergantung pada beberapa faktor,
antara lain masa atom, energi ikatan, dan ikatan ganda. Ikatan yang terbentuk dari
atom yang berat dan atom yang ringan selalu bergetar pada frekuensi yang lebih
tinggi dibadingkan ikatan yang terbentuk dari dua atom yang berat. Ikatan ganda
dua bergetar pada frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikatan tunggal
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011 di
Laboratorium Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa kompos yaitu Kompos
A (kompos kotoran ayam), Kompos B (kompos kotoran sapi), Kompos C
(kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam, kotoran sapi, jerami dan
sekam) dan bahan kimia untuk analisis N, C-organik, kapasitas tukar kation
(KTK), K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn dan karbon organik terlarut dan gugus
fungsional dalam senyawa organik. Alat yang digunakan antara lain: ayakan,
kertas saring, membran saring 0,45µ m, alat analisa berupa Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) untuk analisis Ca, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mn.
Flamephotometer untuk analisis K, Na, pH meter, EC-meter, Hiper TOC untuk
analisis karbon organik terlarut dan FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Spectrophotometer untuk analisis gugus fungsional bahan organik dan berbagai
peralatan analisis kimia lainnya.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu persiapan bahan dan
analisis sifat kimia. Pada tahap persiapan bahan, bahan organik yang digunakan
dikeringanginkan lalu diayak dengan ayakan ukuran 2 mm. Tahap analisis terdiri
dari dua bagian yaitu analisis bahan organik padat dan analisis senyawa organik
3.3.1. Analisis Bahan Organik Padat
Parameter dan metode yang digunakan untuk menganalisis bahan organik
padat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter dan Metode Analisis Bahan Organik Padat
3.3.2. Analisis Senyawa Organik Larut Air
Analisis SOLA diawali dengan pengocokan bahan organik dengan air
destilata (aquades) selama 120 menit pada kecepatan 125 rpm. Perbandingan
antara bahan organik dan air yaitu 1: 10 (150 gram bahan organik : 1,5 liter air
destilata). Setelah pengocokan, campuran tersebut disentrifuse selama 30 menit.
Larutan setelah proses sentrifuse disaring menggunakan saringan membran 0,45
µ m. Kemudian dilakukan analisis pH, DHL, KTK, K, Na, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn,
Mn dan karbon organik terlarut dalam senyawa organik larut air. Parameter dan
metode analisis SOLA dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan kegiatan
pengekstrakkan SOLA dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 3. Parameter dan Metode Analisis SOLA
No Parameter Metode
1 Kadar air Gravimetri
2 pH pH - meter
3 Kapasitas Tukar Kation NH4OAc pH 7
4 Kadar Hara Nitrat-Perklorat
5 C-Organik Walkley and Black
6 N-total Kjeldahl
7 Gugus Fungsional KBr Pelet
No Parameter Metode
1 pH pH - meter
2 Daya hantar listrik EC - meter
3 Kadar Hara AAS
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Bahan Organik Padat
Karakteristik dari ketiga jenis bahan organik padat yaitu kadar air,
C-organik, N-total, C/N ratio, pH dan KTK disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Analisis Beberapa Sifat Kimia Bahan Organik Padat
Contoh Kadar Air C-Organik N-total C/N pH KTK ---%--- ---% bobot kering--- (me/100 g)
Kompos A 35,0 28,0 2,4 11,7 7,4 33,8
Kompos B 227,0 35,0 1,8 19,5 6,5 95,9
Kompos C 41,0 23,4 1,5 15,6 5,4 47,7
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman.
Penggunaan bahan organik oleh tanaman dipengaruhi oleh tingkat kematangan
bahan tersebut yang ditunjukkan dengan nisbah karbon (C) dan nitrogen (N). Bila
suatu bahan organik memiliki nisbah C/N yang tinggi, maka pemberian bahan
organik tersebut dapat menggangu pertumbuhan tanaman. Bahan organik yang
mempunya nisbah C/N mendekati atau sama dengan nisbah C/N tanah (10-20),
maka bahan organik tersebut dapat digunakan tanaman (Suryadikarta dan Simanungkalit, 2006).
Analisis C-organik dan N-total dari ketiga jenis kompos digunakan untuk
mengetahui nisbah C/N kompos tersebut. Nisbah C/N dari ketiga jenis kompos
berada dalam kisaran nisbah C/N tanah yaitu 10-20. Kompos A memiliki nisbah
C/N sebesar 11,7, nisbah C/N kompos B sebesar 19,5 dan kompos C sebesar 15,6.
Nisbah C/N kompos dipengaruhi oleh jenis bahan penyusun kompos tersebut.
Kompos B memiliki nisbah C/N yang lebih tinggi dibandingkan kedua jenis
kompos yang lain. Bahan penyusun Kompos B berasal dari kotoran sapi yang