• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis peramalan produksi ikan lainnya menggunakan metode

Produksi ikan layang di Selat Bali adalah rata-rata sebesar 2,786.01 ton per tahun, terbagi ke dalam tiga daerah yaitu kabupaten Buleleng sebesar 96.61 ton per tahun atau 3.47 % dari total produksi, kabupaten Jembrana sebesar 812.67 ton per tahun atau 29.17 % dari total produksi dan Muncar 1,876.73 ton per tahun atau sebesar 67.36 % dari total produksi, Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6. Ikan layang di Selat ini dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang, pancing, gillnet dan pukat pantai. Alat purse seine merupakan alat tangkap paling dominan produksi tangkapannya yaitu sebesar 1,942.58 ton per tahun atau 80 % dari rata-rata total produksi ikan layang per tahun. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7.

2.2 Kemiskinan dan Kesejahteraan Nelayan 2.2.1 Kemiskinan Nelayan

Menurut Dahuri (2001), kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dan atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah tidak dapat dipenuhi dengan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan merupakan persoalan yang mendasar dalam kehidupan nelayan.

Ada tiga jenis kemiskinan yang biasanya terjadi di kalangan nelayan, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural maupun kemiskinan alamiah. Kemiskinan struktural dapat terjadi bila kondisi struktur sosial nelayan yang tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Hal ini umumnya terjadi pada nelayan kecil yang tidak mempunyai akses kepada pasar sehingga mereka tidak ikut menikmati harga riil dari hasil produksinya, dan disisi lain marjin harga lebih banyak dinikmati oleh pedagang atau pengusaha.

Kemiskinan kultural terjadi karena faktor kultur dari nelayan, yaitu budaya nelayan yang belum mampu mengelola ekonomi rumah tanga secara baik karena budaya hidup konsumtif. Disamping itu belum kuatnya budaya organisasi dikalangan mereka menyebabkan secara kolektif nelayan belum mampu memberdayakan dirinya. Sedangkan kemiskinan alamiah di kalangan nelayan lebih banyak disebabkan karena rusaknya sumberdaya pesisir dan laut. Kerusakan sumberdaya pesisir dan laut tersebut dapat disebabkan oleh karena faktor alam maupun oleh faktor manusia seperti pemboman ikan, pencemaran dan sebagainya.

16

Adapun penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan diantaranya kurangnya akses kepada sumber modal, kurangnya akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam ini. Sedangkan menurut Dahuri (2000), kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, berkembangnya kriminalitas, serta alasan-alasan lain seperti minimnya sarana dan prasarana umum diwilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan. Studi yang dilakukan pada dua propinsi pada dua pulau yaitu di Pulau Sumatera (Propinsi Riau) oleh IPB (Monintja, 2001), menunjukkan bahwa tidak selamanya peluang- peluang ekonomi yang tersedia di kawasan pesisir dan lautan dapat diadopsi dan menguntungkan mayoritas nelayan miskin kawasan.

Hasil penelitian di Propinsi Riau menunjukkan bahwa kesederhanaan alat tangkap, terbatasnya modal, keterampilan dan kesempatan kerja lain, telah menyebabkan rendahnya tangkapan nelayan dan kalah bersaing dengan nelayan yang lebih kuat. Di samping itu, hambatan geografis, kelemahan organisasi dan kehadiran kelompok pemangsa (predatory group) menyebabkan KUD, TPI dan Program Penyuluhan perikanan tidak berfungsi. Kondisi ini memaksa nelayan terjerat hutang berkepanjangan dengan tengkulak yang justru mengekalkan kemiskinan (Muchtar, 1985 dan Hermawan, 2006).

Dalam kaitan dengan usaha penangkapan, kemiskinan nelayan dapat terjadi karena sumberdaya perikanan sulit diramalkan, investasi modal dan teknologi penuh risiko, sasaran tangkap tergolong liar, sehingga hasil tangkapan nelayan bersifat untung untungan. Isu kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pedesaan, khususnya nelayan memang sangat menarik untuk dikaji, nelayan merupakan kelompok masyarakat relatif lebih miskin di antara masyarakat miskin lainnya. Menurut Tridoyo (2003) dalam lingkungan masyarakat nelayan tercipta suasana kesenjangan pendapatan yang sangat memprihatinkan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh pandega (klien). Tingkat kesenjangan ini ditunjukkan dengan angka koefisien gini (KG) yang dihitung dengan pendekatan tingkat pendapatan yaitu mencapai 0.73. Angka tersebut menunjukkan betapa kesenjangan pendapatan antara dua kelompok nelayan tersebut sudah mendekati titik kritis (BPS, 2008).

17

Kasus kemiskinan di Jawa Tengah, ternyata hanya 15% nelayan yang bisa menjadi anggota KUD. Sedangkan 85 % dari itu merupakan nelayan kecil yang merasa lebih aman bergantung kepada tengkulak dan pada ketidaktentuan patronase birokratis. Jumlah anggota KUD yang terbatas ini disebabkan karena kebanyakan nelayan tidak punya uang untuk membayar iuran. Motorisasi mempengaruhi lembaga- lembaga bagi hasil yang menjamin kelangsungan hidup nelayan miskin. Bunga yang harus dibayar nelayan pada tengkulak berkisar 15%- 30% setiap bulan. Nelayan banyak mengeluh karena semakin miskin. Sementara itu, pengurus KUD dan TPI semakin kaya dan hidup berlebihan (Jusuf, 1999).

2.2.2 Kesejahteraan Nelayan

Kesejahteraan merupakan suatu kondisi dimana kebutuhan dan atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah dapat dipenuhi dengan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, baik langsung maupun tidak langsung sehingga dapat memberikan rasa aman, nyaman, serta meningkatkan produktivitas kerja. Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Mantjoro (1997) menyatakan bahwa nelayan adalah orang yang melakukan kegiatan menangkap ikan secara terus menerus, baik secara langsung (seperti penebar dan pamakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai pekerjaan untuk memperoleh pendapatan.

Secara umum pendapatan yang rendah identik dengan tingkat kesejahteraan yang rendah, hal ini pula yang berlaku di kalangan nelayan. Pendapatan mereka yang relatif rendah selalu identik dengan kesejahteraannya, meskipun pendapatan bukanlah merupakan satu-satunya indikator dari kesejahteraan. Ada beberapa parameter yang sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan nelayan, yaitu pendapatan, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja.

Untuk menilai kesejahteraan nelayan, dapat dilihat dari beberapa hal yang menyebabkan kemiskinan nelayan, konflik sosial, dan lainnya, seperti :

 Kurangnya aksesibilitas terhadap sumber modal, teknologi, pasar;

 Faktor sifat dari sumberdaya perikanan ;

Dokumen terkait