• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simplisia dan Ekstrak .1Simplisia .1Simplisia

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Simplisia dan Ekstrak .1Simplisia .1Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengesktraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

10

sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian, sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut, sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu:

1. Cara dingin, yaitu:

a. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya.

b. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction), yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (kamar). Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan esktrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

11 2. Cara panas, yaitu:

a. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Proses pengulangan umumnya dilakukan pada residu pertama sampai 3-5 kali, sehingga termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat soklet, sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

d. Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut air pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.3Diare

Diare merupakan suatu gejala klinis dari gangguan pencernaan yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya dan

12

berulang-ulang yang disertai adanya perubahan bentuk dan konsistensi feses menjadi lembek atau cair tergantung dari individu (Sugiarto, 2008). Peningkatan frekuensi didefinisikan oleh tiga atau lebih buang air besar per hari. Berat feses normal pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan gula, bervariasi dari 100 sampai 200 g/hari, sehingga berat feses >200 g/hari dianggap diare, namun beberapa orang yang mengkonsumsi serat memiliki berat feses 300 g/hari atau lebih dengan konsistensi feses normal, tidak berarti diare. Kombinasi frekuensi, konsistensi feses, dan berat feses harus diperhitungkan untuk menentukan diare (Navaneethan dan Giannella, 2011).

Makanan yang terdapat di dalam lambung, secara normal dicerna menjadi bubur (kimus), kemudian diteruskan ke usus halus untuk diuraikan lebih lanjut oleh enzim-enzim pencernaan. Sisa kimus yang terdiri dari 90% air dan sisa-sisa makanan yang sukar dicerna, diteruskan ke usus besar (colon). Bakteri-bakteri yang biasanya selalu berada di usus besar mencerna lagi sisa-sisa (serat-serat) tersebut, sehingga sebagian besar dari sisa-sisa tersebut dapat diserap pula selama perjalanan melalui usus besar. Air juga diresorpsi kembali sehingga lambat laun isi usus menjadi lebih padat dan dikeluarkan dari tubuh menjadi tinja (feses), namun pada diare terjadi peningkatan peristaltik usus, sehingga pelintasan kimus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja. Penyebab utamanya adalah bertumpuknya cairan di usus akibat terganggunya resorpsi air dan atau terjadinya hipersekresi (Tan dan Rahardja, 2008).

2.3.1Klasifikasi diare

13 1. Berdasarkan adanya infeksi, dibagi atas:

a. Diare infeksi enteral, yaitu diare karena infeksi di usus, misalnya infeksi bakteri (Vibrio cholera, Eschericia coli, Salmonella dan Shigella), infeksi virus (Rotavirus dan Enterovirus) dan infeksi parasit (cacing, protozoa dan jamur)

b. Diare infeksi parenteral, yaitu diare karena infeksi di luar usus, misalnya infeksi saluran pernapasan.

2. Berdasarkan lamanya diare, dibagi atas:

a. Diare akut, yaitu diare yang terjadi secara mendadak yang segera berangsur sembuh pada seseorang yang sebelumnya sehat. Diare akut biasanya berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu.

b. Diare kronis, yaitu diare yang timbul perlahan-lahan berlangsung 2 minggu atau lebih, baik menetap atau menahun atau bertambah hebat 3. Berdasarkan penyebab terjadinya diare, dibagi atas:

a. Diare spesifik, yaitu diare yang disebabkan oleh adanya infeksi, misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, parasit dan enterotoksin. b. Diare non spesifik, yaitu diare yang tidak disebabkan oleh adanya infeksi

misalnya alergi makanan atau minuman, gangguan gizi, kekurangan enzim dan efek samping obat (Enda, 2010).

2.3.2 Obat-obat diare

Kelompok obat yang sering sekali digunakan pada diare adalah:

1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal, yakni memberantas bakteri penyebab diare, seperti antibiotika, sulfonamid dan senyawa kinolon.

14

2. Obstipansia untuk terapi simtomatis, yang dapat menghentikan diare dengan beberapa cara, yakni:

a. Zat-zat penekan peristaltik sehingga lebih banyak waktu untuk resorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus, yakni derivat petidin (loperamid) dan antikolinergik (atropin dan ekstrak beladon).

b. Adstringensia, yang menciutkan selaput lendir usus, misalnya asam samak (tanin), tanalbumin, garam-garam bismut dan aluminium.

c. Adsorbensia, misalnya karbo adsorbens (pada permukaannya dapat menyerap zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau adakalanya berasal dari makanan, seperti udang atau ikan), mucilagines (zat-zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung, seperti kaolin, pektin, garam-garam bismuth dan aluminium). 3. Spasmolitik, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang

sering kali menyebabkan nyeri perut pada diare, misalnya papaverin (Tan dan Rahardja, 2008).

Dokumen terkait