• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis uji t untuk uji fisiko-kimia pada tahap dua

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan data Susenas tahun 1989, prevalensi obesitas di Indonesia untuk kota dan desa masing-masing adalah 1.1 dan 0.7%. Angka tersebut meningkat hampir lima kali menjadi 5.3 dan 4.3% pada tahun 1999. Hasil pantauan masalah gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan tahun 1997 menunjukkan prevalensi obesitas pada orang dewasa adalah 2.5% (pria) dan 5.9% (wanita). Prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada kelompok wanita berumur 41-55 tahun (9.2%). Hampir 10 dari 100 orang penduduk Jakarta menderita obesitas (Rimbawan dan Siagian 2004).

Masalah kelebihan berat badan dan obesitas tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di seluruh dunia. WHO menyatakan lebih dari 1 milyar orang dewasa kelebihan berat badan dan paling sedikit 300 juta di antaranya obesitas. Tingkat obesitas bervariasi mulai dari di bawah 5% di Cina, Jepang dan sebagian Afrika hingga 75% di Samoa (IFIC 2006). Kelebihan berat badan dan obesitas meningkat tajam, baik pada orang dewasa maupun anak-anak. CDC (Centre for Disease Control and Prevention) melaporkan bahwa peningkatan obesitas pada orang dewasa yang berumur 20-74 tahun juga terjadi di Amerika yaitu dari 15% pada tahun 1976-1980 menjadi 32.9% pada tahun 2003-2004 [CDC 2007].

Kelebihan berat badan dan obesitas dapat menyebabkan meningkatnya resiko terkena penyakit seperti tekanan darah tinggi, diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung, kanker kolon, osteoartritis, stroke, dan sebagainya (CDC 2007 dan IFIC 2006). Masalah kelebihan berat badan dan obesitas mendorong peningkatan kesadaran untuk melakukan perubahan gaya hidup yang lebih sehat, aktif melakukan kegiatan fisik, dan mengkonsumsi pangan yang rendah lemak dan rendah energi (IFIC 2006). Selain itu, kebutuhan produk untuk penderita diabetes juga meningkat. Hal ini mendorong perkembangan produk baru yang rendah lemak , rendah energi, dan bebas gula.

IDF (International Diabetes Federation) menyatakan bahwa obesitas dan diabetes tipe 2 merupakan ancaman terbesar bagi penduduk dunia. Menurut data dari IOTF (International Obesity Task Force), 1.7 triliun penduduk dunia

menderita penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit jantung akibat dari kelebihan berat badan. Obesitas dapat menyebabkan hidup manusia berkurang 8 tahun yang diakibatkan oleh penyakit diabetes tipe 2 ini. Diperkirakan setengah dari kasus diabetes tipe 2 dapat berkurang bila kenaikan berat badan dapat dicegah (IDF 2004).

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa 180 juta penduduk di dunia menderita diabetes (WHO 2006). Jumlah ini diperkirakan akan naik menjadi 330 juta pada tahun 2025 karena pertumbuhan populasi, usia manusia lebih panjang, urbanisasi dan perubahan gaya hidup (IDF 2004).

IDF menyatakan bahwa diabetes merupakan penyakit epidemik di dunia. Sebanyak 246 juta penduduk dunia menderita diabetes dan 46% di antaranya menyerang penduduk usia 40-59 tahun. Penderita diabetes terbanyak yaitu 67 juta berasal dari bagian barat Pasifik diikuti oleh Eropa sebanyak 53 juta. Penderita diabetes di India 40.9 juta, diikuti oleh Cina 39.8 juta dan negara-negara lain seperti Amerika, Rusia, Jerman, Jepang, Pakistan, Brazil, Meksiko dan Mesir. Negara berkembang termasuk dalam urutan ke 7 dari 10 besar dunia. Pada negara-negara miskin dan berkembang, kemajuan ekonomi menyebabkan perubahan gaya hidup, pola makan dan aktifitas fisik yang dapat mempengaruhi hingga generasi berikutnya (IDF 2006). Berdasarkan penelitian diabetes di Surabaya dan analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia, diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 1994 adalah 2.5 juta jiwa. Pada tahun 2000 terjadi peningkatan penderita diabetes menjadi 4 juta jiwa (Rimbawan dan Siagian 2004).

Peledakan jumlah penderita diabetes tipe 2 disebabkan oleh pengaruh dari genetik, sosial dan lingkungan. Diabetes dapat menyebabkan kematian melalui serangan jantung, stroke, kebutaan dan kelainan ginjal. Perbaikan perubahan gaya hidup dengan mengatur diet yang benar dan melakukan aktifitas fisik dapat mengurangi resiko menderita penyakit diabetes sebanyak 60% (IDF 2004)

Menurut ADA (American Diabetes Association), pemanis buatan dapat membantu konsumen untuk tetap menikmati rasa manis, menurunkan kadar energi, dan berat badan. Selain itu, juga membantu mengatur keadaan diabetes dan mencegah kerusakan gigi (ADA 2007).

Kesukaan akan rasa manis merupakan sifat manusia sejak dilahirkan karena secara alami air susu ibu mengandung gula yang tinggi dengan kandungan laktosa kurang lebih 7% (CCC 2006a dan Subagio 2007). Peninggalan sejarah juga menunjukkan bahwa ukiran pada dinding gua yang telah berumur 20 000 tahun melukiskan manusia neolitik mencari sarang lebah madu liar untuk mengambil madu. Hal ini berarti bahwa manusia selalu mempunyai kesukaan terhadap rasa manis seperti dinyatakan oleh Calorie Control Council (CCC 2006a). Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap rasa manis dari makanan bersifat utama dan universal. Sensasi tersebut muncul bila makanan yang mengandung rasa manis berinteraksi dengan indra pengecap yang terdapat pada mulut dan kerongkongan (Astawan 2006). Sukrosa dipakai sebagai standar kemanisan sejak 600 tahun yang lalu (CCC 2006a).

Hasil penelitian NMI (The Natural Marketing Institute) tahun 2005 menyatakan produksi pangan baru tanpa gula atau rendah gula meningkat dua kali di Amerika dan tiga kali lipat di seluruh dunia karena meningkatnya permintaan konsumen akan pangan yang sehat. Pada periode tahun 1996-2000 permintaan pangan tanpa atau rendah gula di seluruh dunia hanya 1438 produk, meningkat menjadi 4261 produk pada tahun 2001-2005 (French 2006). Perkembangan dan persetujuan berbagai pemanis yang aman, rendah energi, dan ingridien lain yang rendah energi membantu memenuhi kebutuhan konsumen. Lebih dari setengah penduduk Amerika dewasa (58%) menggunakan pemanis buatan dimana terjadi kenaikan 25% secara tetap sejak tahun 2002 (French 2006).

Hasil survei pasar yang dilakukan oleh perusahaan menunjukkan bahwa produk susu bubuk beraroma vanila kurang kemanisannya dibandingkan produk pesaing sejenis yang beredar di pasar. Oleh karena itu, diperlukan penambahan tingkat kemanisan. Penambahan kemanisan dilakukan dengan pemanis buatan yang tidak berkalori.

Alasan pemakaian pemanis buatan bervariasi, tetapi pendorong utama adalah diet dan pengaturan berat badan. Konsumen memilih memakai pemanis buatan dengan alasan sebagai berikut: untuk mengurangi gula dalam makanan (72%), mengurangi energi dalam makanan (69%), diet (57%), mengurangi karbohidrat dalam makanan (48%), dan diet diabetes (27%) (French 2006).

Pemanis yang ideal harus memberikan rasa manis paling tidak seperti sukrosa, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak bersifat karsinogenik. Selain itu, juga harus jernih, rasanya enak, dan tidak meninggalkan purna rasa. Pemanis buatan juga harus larut dalam air, stabil pada kondisi asam maupun basa, dan juga pada temperatur yang bervariasi. Pemanis juga harus tidak toksik, dapat dimetabolisme dengan normal, atau dikeluarkan oleh tubuh seutuhnya, dan terjamin keamanannya (Nabors 2001).

Salah satu pemanis yang memenuhi persyaratan ini adalah sukralosa karena rasanya manis seperti sukrosa dan stabil sehingga sesuai untuk berbagai macam produk. Sukralosa adalah pemanis buatan yang tidak mengandung energi meskipun dibuat dari sukrosa dan kemanisannya 600 kali dibandingkan sukrosa (Nabors 2001).

Kebutuhan masyarakat akan produk susu makin meningkat. Disisi lain ketersediaan susu di dunia terbatas, selain itu harganya juga meningkat terus. Kenaikan harga susu skim di Eropa meningkatkan kebutuhan akan protein whey sebagai penggantinya. Kondisi ini berbeda dengan di Amerika dimana protein whey dipakai untuk meningkatkan kadar protein untuk konsumsi manusia. Produk whey dipakai sebagai bahan pengisi (filler) untuk meningkatkan nilai gizi (Varman dan Sutherland 1996).

Salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dan juga agar tetap dapat bersaing di pasar adalah dengan melakukan reformulasi. Reformulasi dilakukan dengan cara mengganti sebagian susu bubuk dengan ingridien lain dengan tetap mempertahankan kadar zat gizi makro.

Untuk mempertahankan kadar zat gizi makro terutama kadar protein di dalam susu tetap tinggi maka sebagian dari susu bubuk diganti dengan konsentrat protein whey. Sedangkan maltodekstrin dipakai untuk memenuhi volume produk dalam kemasan dan juga agar harganya dapat menjadi lebih kompetitif. Dengan melakukan reformulasi diharapkan akan diperoleh harga produk yang lebih kompetitif agar dapat bersaing di pasar.

B. Tujuan, Sasaran dan Manfaat 1. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan jumlah sukralosa optimum yang akan ditambahkan pada susu bubuk beraroma vanila terhadap mutu sensori yang paling disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun. Selain itu, juga untuk menetapkan formula susu bubuk dengan penambahan konsentrat protein whey dan maltodekstrin agar diperoleh produk dengan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan harga saat ini.

2. Sasaran

Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan formula susu bubuk beraroma vanila dengan tingkat kemanisan yang disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun dengan harga yang lebih kompetitif.

3. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah diperoleh formula susu bubuk beraroma vanila dengan tingkat kemanisan yang disukai oleh konsumen berusia 19-50 tahun dengan harga yang lebih kompetitif

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Susu Bubuk

Susu merupakan sumber gizi terbaik bagi mamalia yang baru dilahirkan. Susu disebut makanan yang hampir sempurna karena kandungan gizinya yang lengkap. Oleh karena kandungan gizinya, maka susu dalam bentuk alami sangat mudah rusak.

Produksi dan komposisi susu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain jenis hewan dan keturunannya, pertumbuhan, umur hewan dan panjangnya masa laktasi, kesehatan hewan, jenis dan macam pakan, pengaruh musim serta manajemen pemerahan (Hadiwiyoto 1994). Hasil susu yang diperoleh setiap kali pemerahan susu sapi akan selalu berbeda baik dalam hal jumlahnya, sifatnya maupun komposisinya. Keturunan sapi yang berbeda akan memberikan hasil dan komposisi yang berbeda. Sebagai contoh sapi perah Holdstein dapat memberikan produksi susu lebih banyak daripada sapi perah lainnya, tetapi susu sapi perah Guernsey dan Jersey mempunyai kandungan lemak lebih tinggi . Warna susu dari sapi Guernsey juga lebih tua dibandingkan susu sapi perah lainnya. (Hadiwiyoto 1994).

Komposisi susu antara setiap spesies juga berbeda. Perbedaannya antara lain adalah kandungan protein, lemak, dan gula susu, vitamin, mineral, dan ukuran globula lemak. Air susu manusia rata-rata mengandung 1.1% protein, 4.2% lemak, 7.0% laktosa sebagai gula dan memberikan 72 kkal energi per 100 g. Sedangkan susu sapi rata-rata mengandung 3.4% protein, 3.6% lemak, 4.6% laktosa dan memberikan 66 kkal energi per 100g (Wikipedia 2007).

Setiap individu sapi akan menghasilkan susu dalam jumlah dan komposisi yang sedikit berbeda. Faktor individual ini disebabkan banyak hal, antara lain berasal dari warisan induknya yang merupakan faktor genetik dan perilakunya. Induk sapi yang sehat dan tegar akan menghasilkan susu dalam jumlah banyak. Sedangkan faktor perilaku berkaitan dengan kebiasaan hewan menghadapi faktor lingkungannya. Hewan yang tenang akan menghasilkan produksi susu yang lebih banyak daripada hewan yang mudah terkejut (Hadiwiyoto 1994).

Jumlah dari penyusun utama komposisi susu bervariasi tergantung jenis keturunan dan juga perbedaan antar individu sapi meskipun berasal dari jenis keturunan yang sama. Selain itu, produksi susu juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Pemberian pakan dalam jumlah banyak dapat meningkatkan produksi, tetapi jenis pakan akan dapat mempengaruhi komposisi susunya (Hadiwiyoto 1994). Sapi yang kekurangan gizi akan mengakibatkan komposisi susu menjadi abnormal. Contoh yang paling sering dijumpai adalah sapi yang kurang makan atau diberi pakan dengan kandungan nitrogen rendah akan menghasilkan susu dengan kandungan protein dan padatan bukan lemak yang rendah (Town 2005)

Komposisi susu juga dipengaruhi kesehatan sapi. Bila sapi dalam keadaan tidak sehat maka komposisi susu yang dihasilkan menjadi abnormal. Sapi yang menderita mastitis (radang pada kelenjar susu) akan mempengaruhi keseimbangan garam yang ada di dalam susu sehingga stabilitas panas susu yang dihasilkan buruk dan dapat mempengaruhi kelarutan (solubility) dan aroma susu (Town 2005).

Komposisi penyusun utama susu berupa kisaran seperti diperlihatkan pada Tabel 1 (Bylund G et al. 2003).

Tabel 1 Komposisi kuantitatif susu

Penyusun utama (%) Batas variasi Nilai rata-rata

Air 88.5 – 89.5 87.5 Total padatan 10.5 – 14.5 13.0 Lemak 2.5 – 6.0 3.9 Protein 2.9 – 5.0 3.4 Laktosa 3.6 – 5.5 4.8 Mineral 0.6 – 0.9 0.8 Sumber : Bylund G et al (2003)

Di samping total padatan (total solids), dipakai istilah padatan bukan lemak (solids-non-fat) yang sering disingkat sebagai SNF. SNF adalah semua total padatan tanpa lemak, jadi terdiri atas protein, karbohidrat, vitamin dan mineral.

Standar umum total padatan bukan lemak adalah 9.1%. Nilai pH susu umumnya berkisar antara 6.5 hingga 6.7 pada pengukuran suhu 25°C (Bylund G et al. 2003).

Protein susu terdiri atas kasein, laktalbumin dan laktoglobulin. Kasein merupakan protein terbanyak jumlahnya dibandingkan dengan laktalbumin dan laktoglobulin. Selain itu, juga terdapat jenis protein lainnya sebagai ensim dan imonoglobulin. Lemak susu juga merupakan komponen susu yang penting selain protein. Di dalam susu, lemak terdapat sebagai globula atau emulsi, yaitu bulatan- bulatan lemak yang berukuran kecil di dalam serum susu (Hadiwiyoto 1994). Lemak susu terdiri atas trigliserida yang merupakan komponen utama, di- dan mono- gliserida, asam lemak, sterol dan karetenoid yang memberikan warna kuning dari lemak, vitamin A, D, E dan K (Byund G et al. 2003). Karbohidrat yang paling banyak terdapat dalam bentuk disakarida adalah laktosa. Kemanisan dari laktosa seperenam kemanisan sukrosa. Pada pemanasan yang tinggi di atas 100ºC, laktosa akan menghasilkan karamel yang warnanya coklat. Laktosa mudah larut dalam air (Hadiwiyoto 1994). Susu juga mengandung berbagai garam mineral dengan jumlah kurang dari satu persen. Mineral yang terpenting adalah kalsium, kalium, potasium dan magnesium. Susu juga merupakan sumber vitamin yang jumlahnya bervariasi. Vitamin yang terbaik yang terkandung di dalam susu adalah vitamin A, kelompok vitamin B, vitamin C dan D (Byund G et al. 2003). Komponen terbanyak dari susu adalah air. Air merupakan tempat terdispersinya komponen-komponen susu yang lain. Komponen-komponen yang larut adalah laktosa, garam-garam mineral dan beberapa vitamin (Hadiwiyoto 1994).

Salah satu metode pengawetan susu adalah pengeringan yaitu dengan mengubahnya menjadi susu bubuk. Susu bubuk telah dihasilkan mulai 100 tahun yang lalu dan bekembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir. Pembuatan susu bubuk merupakan salah satu cara yang paling sukses dan penting untuk pengawetan susu (Town 2005).

Perubahan dari susu cair menjadi susu bubuk memerlukan penghilangan air beberapa tahap hingga menjadi produk akhir. Selama proses pengurangan air ini terjadi perubahan terhadap sifat, struktur kimia dan penampakan (appearance) susu. Susu merupakan produk yang sensitif dan kualitasnya sangat mudah dipengaruhi terutama oleh panas dan aktivitas bakteri (Pisecky 1997)

Prinsip pengawetan pada susu bubuk adalah melindungi susu bubuk terkontaminasi secara mikrobiologi yaitu dengan membuat kadar air atau water acitivity rendah. Water activity dari susu bubuk dibuat menjadi di bawah minimum dari yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Town 2005). Kadar air dari susu bubuk yang diperoleh berkisar antara 1.5% hingga 5%. (Bylund G et al. 2003).

Keunggulan dari susu bubuk adalah masa simpannya yang paling baik dibandingkan dengan cara pengawetan susu yang lain, tidak membutuhkan pendinginan selama penyimpanan dan transportasi. Kadar air lebih sedikit yaitu hanya seperdelapan berat dan seperempat volume dari susu cair sehingga menghemat transportasi, dan dapat diaplikasikan pada semua produk akhir (Town 2005).

Proses produksi susu bubuk dimulai dari pengurangan air pada suhu rendah agar sifat alami susu yang diinginkan yaitu warna, aroma, kelarutan dan nilai gizi dapat dipertahankan. Kandungan air pada komposisi susu sapi bervariasi antara 85.5 hingga 89.5% (Bylund G et al. 2003). Selama proses pembuatan susu bubuk sebagian besar air dihilangkan dengan cara evaporasi dengan mendidihkan susu pada tekanan yang telah dikurangi pada suhu yang rendah. Hasil susu yang kental kemudian diatomisasi pada penyemprot halus ke dalam udara panas untuk mengurangi kadar air sehingga diperoleh susu bubuk (NZMP 2006).

Secara garis besar, proses produksi susu bubuk dimulai dari standarisasi, pra-pemanasan, evaporasi, pengeringan, pengemasan serta penyimpanan. Proses produksi dimulai dari standarisasi atau separasi dengan cara memisahkan susu cair menjadi bentuk susu skim dan krim. Jika susu bubuk full krim yang diinginkan maka sebagian krim akan dikembalikan sehingga menghasilkan susu dengan kandungan lemak yang telah distandarkan yaitu tipikal 26 hingga 30% dalam susu bubuk. Kelebihan krim akan dipakai untuk membuat mentega atau anhydrous milkfat (AMF). Laktosa (gula susu) atau susu hasil dari permeasi ultrafiltrasi (merupakan produk samping dari pabrik konsentrat protein susu yang mengandung laktosa, garam mineral dan air) akan ditambahkan pada susu untuk menstandarkan kandungan protein hingga tingkat minimum yang ditetapkan oleh perjanjian internasional (NZMP 2006).

Proses pra-pemanasan dilakukan dengan cara memanaskan susu yang telah distandarisasi hingga suhu 75 dan 120°C dan ditahan selama waktu tertentu yang telah ditetapkan yaitu dari beberapa detik hingga beberapa menit. Proses pra- pemanasan dapat mengontrol denaturasi protein whey, membunuh bakteri, menginaktifkan enzim, menimbulkan antioksidan alami dan memberikan pengaruh sifat fungsional. Lamanya pemanasan (holding regime) tergantung pada jenis produk, tujuan penggunaan dan desain sistim pra-pemanasan. Susu bubuk full krim yang menerima pra-pemanasan pada suhu tinggi akan mempunyai kualitas penyimpanan yang lebih baik tetapi sifat kelarutannya berkurang. Pra- pemanasan dapat dilakukan secara tidak langsung dengan heat exhangers, atau secara langsung dengan injeksi uap air atau infusi ke produk, atau gabungan dari keduanya (NZMP 2006). .

Proses penguapan dilakukan pada susu dari proses pra-pemanasan dengan tujuan mengentalkan agar total padatan (total solid) dari susu skim 9.0% dan pada susu full krim 13% naik hingga mencapai total padatan 45 hingga 52%. Hal ini dicapai dengan cara mendidihkan susu dalam keadaan vakum pada suhu di bawah 72°C menjadi lapisan tipis di dalam tabung vertikal dan menghilangkan air menjadi uap air. Uap ini digunakan untuk memanaskan susu pada mesin penguap berikutnya sehingga proses berjalan pada tekanan dan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan proses sebelumnya (NZMP 2006). .

Proses pengeringan dengan spray dryer menyangkut atomisasi dari susu yang telah kental (konsentrat) dari mesin penguap (evaporator) menjadi bentuk droplet yang halus. Pengeringan dilakukan pada tempat (chamber) pengeringan yang besar dengan aliran udara panas dengan suhu hingga 200°C dapat dengan memakai piringan atomiser yang berputar atau dalam bentuk barisan dari pipa semprot bertekanan tinggi. Droplet susu didinginkan pada penguapan meskipun suhu tidak akan mencapai suhu udara. Susu pekat ini dapat dipanaskan dulu sebelum atomisasi untuk mengurangi viskositas sehingga pengeringan dilakukan pada konsentrat dengan total padatan yang lebih tinggi. Air yang tersisa banyak diuapkan di dalam chamber pengering dan membentuk susu bubuk yang sangat halus dengan kadar air 6% dan besarnya diameter partikel susu rata-rata kurang dari 0.12 mm. Pengeringan kedua atau yang terakhir dilakukan pada fluid bed atau

pada serangkaian bed dengan cara udara panas ditiupkan melalui lapisan dari susu tersebut untuk menghilangkan air sehingga diperoleh produk dengan kadar air 2 hingga 4%. Fluid bed merupakan peralatan yang dipakai untuk mengeringkan atau mendinginkan susu bubuk. Udara ditiupkan melalui susu bubuk dari bawah sehingga partikel susu akan terpisah dan terlihat seperti cairan (fluid) (NZMP 2006).

Meskipun susu bubuk lebih stabil dibandingkan dengan susu segar, tapi perlindungan terhadap kelembaban, oksigen, cahaya dan panas tetap diperlukan untuk mempertahankan kualitas dan masa simpan. Susu bubuk menyerap uap air dari udara sehingga menyebabkan kerusakan yang cepat pada kualitas dan menyebabkan penggumpalan. Lemak di dalam susu bubuk full krim bereaksi dengan oksigen yang berada di udara sehingga menyebabkan off-flavor, terutama bila disimpan pada suhu penyimpanan dengan suhu lebih dari 30°C. Pengemasan susu bubuk dilakukan dengan memakai kantung (bag) multi lapisan dari kertas. Lapisan paling dalam merupakan kantung plastik dengan tujuan mengontrol masuknya uap air dan kemudian lapisan kertas yang berlapis-lapis untuk memberikan kekuatan dan melindungi terhadap cahaya. Susu bubuk full krim dikemas dengan gas nitrogen untuk mencegah oksidasi, mempertahankan aroma dan memperpanjang masa simpan. Lapisan plastik kemasan yang paling dalam juga memberikan permeabilitas yang rendah, baik terhadap oksigen maupun uap air (NZMP 2006).

Umumnya metode pengeringan yang banyak dipakai untuk industri dairy adalah spray drying. Air dikurangi dengan cara evaporasi susu mendidih pada tekanan dan suhu rendah. Kemudian konsentrat susu ini diatomisasi dengan cara disemprotkan ke dalam udara panas untuk menghilangkan kadar air dan menjadi bubuk. Selain spray drying, ada juga metode roller drying untuk beberapa produk tertentu (Town 2005).

Tujuan spray drying untuk mendapatkan partikel yang kecil agar pengeringan berlangsung cepat. Pengeringan yang cepat sangat baik untuk mempertahankan aroma dan kelarutannya. Tetapi proses ini juga menghasilkan partikel susu yang bervariasi dari sangat kecil hingga kecil. Partikel susu yang sangat kecil mengakibatkan susu bubuk menjadi sangat berdebu (dusty). Selain itu,

partikel yang sangat kecil ini juga menyebabkan sangat sulit untuk rekonstitusi di dalam air. Untuk memperbaiki sifat rekonstitusi maka dilakukan aglomerasi susu bubuk (Town 2005).

Tujuan aglomerasi susu bubuk adalah menciptakan keadaan dimana partikel susu saling menempel sehingga terbentuk kumpulan partikel kecil yang disebut aglomerasi. Aglomerasi umumnya dipakai untuk membuat susu bubuk skim menjadi instan. Pada susu bubuk full krim ada lapisan tipis dari lemak yang menyebabkan susu bubuk sulit untuk menjadi basah dan larut terutama pada air dingin. Untuk membuat susu bubuk full krim instan maka ditambahkan agen permukaan aktif yaitu lesitin. Lesitin disemprotkan ke partikel susu selama pengeringan (Town 2005). Dengan cara demikian, akan diperoleh susu bubuk instant yang mempunyai wettability dan kelarutan yang baik (Early 1998).

Ada berbagai jenis susu bubuk dengan berbagai spesifikasi, sehingga penggunaannya tergantung dari industri dan pelanggan. Parameter yang penting pada spesifikasi susu bubuk adalah : komposisi kimia, kualitas mikrobiologi, sifat fisik, sifat fungsional, kualitas organoleptik , kemasan dan masa simpan (shelf-life) (Early 1998).

Komposisi kimia dari susu bubuk sangat dipengaruhi oleh ingridien dan keadaan waktu proses. Kadar protein, lemak dan karbohidrat tergantung pada sifat kimia yang ada pada bahan bakunya. Sedangkan proses produksi seperti perlakuan pra-pemanasan akan mempengaruhi pencoklatan Maillard dan denaturasi whey

Dokumen terkait