Hasil uji antagonis dengan metode langsung menunjukkan bahwa T. harzianum menghambat pertumbuhan Botryodiplodia sp. pada hari ke-5 hingga 99.2% dan 70.4% berturut-turut pada PDA dan Czapex Agar, sedangkan Gliocladium sp. mampu menghambat Botryodiplodia sp. sebesar 86.4% dan 63% berturut-turut pada PDA dan Czapex Agar (Tabel 2).
Tabel 2 Penghambatan pertumbuhan in vitroBotryodiplodia sp. pada hari ke-5 oleh T. harzianum dan Gliocladium sp. pada media PDA dan Czapex Agar
Agens hayati Media Rata-rata Penghambatan (%)
T. harzianum PDA 99.2a
Czapex Agar 70.4b
Gliocladium sp. PDA 86.4b
Czapex Agar 63.0b
Penghambatan yang dilakukan kedua agens hayati terhadap Botryodiplodia sp. lebih tinggi dibandingkan penghambatannya terhadap Cylindrocladium sp. yaitu sebesar 24.2% dan 19.3% berturut-turut oleh Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. pada media PDA (Amalia et al. 2008). Menurut Widyastuti et al. (1999), bahwa kemampuan isolat Trichoderma spp. dalam menghambat S. rolfsii
berbeda-beda. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi pada kemampuan T. harzianum dan Gliocladium sp. dalam menghambat berbagai patogen
16
Gambar 8 Penghambatan pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. (B) oleh T. harzianum (T) dan Gliocladium sp.(G) pada media PDA (1) dan Czapex Agar (2)
Pengamatan terhadap kemampuan penghambatan dilakukan setiap 12 jam. Pada pengamatan ke-14 didapatkan data bahwa kedua jenis antagonis yaitu T. harzianum dan Gliocladium sp. menghambat Botryodyplodia sp. sebesar 100% pada PDA, sedangkan pada Czapex Agar hanya T. harzianum yang mampu mencapai penghambatan sebesar 100% (Gambar 6). Kandungan nutrisi pada PDA lebih tinggi dibandingkan Czapex Agar terlihat dari ketebalan miselia yang tumbuh (Gambar 7). Penghambatan yang dilakukan oleh kedua antagonis relatif stabil. Menurut Hjeljord dan Tronsmo (1998), ada 3 keunggulan dari pengendalian hayati menggunakan fungi antagonis khususnya Trichoderma spp. yaitu penghambatan bersifat dinamis, mampu berkompetisi dalam jangka waktu panjang, dan mikoparasit agresif. Antagonisme T. harzianum dan Gliocladium sp. terhadap Botryodiplodia sp. tidak menghasilkan zona penghambatan baik pada PDA maupun Czapex. Hal ini berbeda dengan Achmad (1997) yang menyatakan bahwa antagonisme antara T. harzianum dengan Fusarium oxysporum dan Rhizoctonia solani menimbulkan zona penghambatan berturut-turut sebesar 5.8 mm dan 2.4 mm pada PDA. Zona penghambatan menunjukkan adanya antibiosis. Hasil uji antagonis metode langsung menunjukkan bahwa tidak terjadi mekanisme antibiosis yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona penghambatan berupa zona bening antara patogen dan antagonisnya.
Gambar 9 Mekanisme mikoparasit secara mikroskopik antara T. harzianum (T) dan Gliocladium sp.(G) terhadap Botryodiplodia sp.(B) di mana pada 1 dan 2 terjadi penetrasi hifa patogen oleh agens hayati
Antagonisme dengan Metode Tak Langsung
Hasil uji antagonis dengan metode tak langsung menunjukkan bahwa filtrat T. harzianum dan Gliocladium sp. memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan Botryodiplodia sp. sebesar 13.42% dan 10.25% pada media PDB. Kemampuan penghambatan ditentukan dengan pengukuran bobot kering miselia Botryodiplodia sp. antara kontrol dibandingkan dengan bobot kering miselia yang diberika perlakuan penambahan filtrat antagonis. Penghambatan Botryodiplodia sp. oleh filtrat T. harzianum dan Gliocladium sp. berbeda nyata terhadap kontrol. Tabel 3 Penghambatan filtrat biakan agens hayati terhadap pertumbuhan miselia
Botryodiplodia sp.
Perlakuan Rataan Bobot Miselia Kering (g) Penghambatan (%)
Kontrol 0.205 0.00b
Filtrat T. harzianum 0.177 13.42a
Filtrat Gliocladium sp. 0.184 10.25a
Gambar 9 Miselia Botryodiplodia sp. (B) setelah 7 hari inkubasi : Kontrol (K), penambahan filtrat Gliocladium sp. (G), penambahan filtrat T. harzianum (T).
Menurut Achmad (1997), persentase penghambatan oleh filtrat T. harzianum pada media cair ME terhadap R. solani dan F. oxysporum
berturut-turut sebesar 86.87% dan 60.87%. Penghambatan yang dilakukan oleh filtrat T. harzianum pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan yang telah dilakukan oleh Achmad (1997). Menurut Adiningsih (2014), persen penghambatan yang dihasilkan dalam uji antagonis dengan metode tak langsung pada media kultur cair
yang telah ditambahkan filtrat T. harzianum terhadap pertumbuhan
K G K T
B B B b
B
18
Botryodiplodia sp. yaitu 16 % pada media PDB dan 12 % pada media PFB. Dengan demikian, dapat diduga bahwa nilai penghambatan oleh T. harzianum akan lebih tinggi bila dilakukan di dalam media cair ME dibandingkan PDB maupun PFB. Kemungkinan lain yang terjadi yaitu masa inkubasi mempengaruhi besarnya metabolit yang dikeluarkan. Aktifitas β-1,3-glukanase yang bersifat antipatogen, dipengaruhi oleh waktu tetapi tidak berhubungan dengan pertumbuhan Cendawan itu sendiri (Widyastuti dan Budiarti 2005 dalam Widyastuti 2007). Pengaruh metabolit penghambat pertumbuhan patogen akan ternetralisir bila ditumbuhkan pada media PDA (Achmad 1997). Proses netralisir juga dimungkinkan terjadi pada media PDB, yang memiliki bahan dasar yang sama yaitu Potato Dextrose. Analisis Komponen Kimia Filtrat Agens Hayati
Komponen kimia filtrat T. harzianum dan Gliocladium sp. dianalisis dengan menggunakan Pyrolysis Gass Chromatography Mass Spectrometry (Py-GC-MS). Jumlah senyawa yang terdapat dalam ekstrak ditunjukkan oleh jumlah puncak (peak) pada kromatogram, sedangkan nama/jenis senyawa yang ada diinterpretasikan berdasarkan data spektra dari setiap puncak tersebut dengan menggunakan metode pendekatan pustaka pada database GC-MS (Hendayana 1994).
Hasil Py-GC-MS menunjukkan bahwa ada beberapa senyawa dominan yang terdapat pada masing-masing filtrat T. harzianum dan Gliocladium sp. Komponen kimia yang dominan terdapat pada T. harzianum adalah Acetic Acid (33.4%), IRGANOX 1076 (18.53%), dan gliserol (8.38%) (Tabel 4) sedangkan pada filtrat Gliocladium sp. adalah 2,3-Butanediol (25.88%), Acetic Acid (17.92%), dan IRGANOX 1076 (16.81%) (Tabel 5). Pada kedua filtrat agens hayati terdapat komponen IRGANOX 1076.
Tabel 4 Hasil Py-GC-MS filtrat T. harzianum
No. Presentase (%) Nama senyawa 1. 3.70 Nitrogen oksida 2. 4.90 Trideuteroacetonitrile 3. 0.83 Ethanol 4. 33.40 Acetic Acid 5. 7.78 Acetol 6. 2.77 2,3-Butanediol 7. 6.05 2,3-Butanediol 8. 3.96 Cyclopropyl carbinol 9. 0.65 2L,4D-Dihydroxyeicosane 10. 2.01 Hexadecanoic acid 11. 4.42 Hexanedioc acid 12. 1.00 Oleic acid 13. 8.38 Glycerol 14. 1.63 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexane 15. 18.53 Irganox 1076
Tabel 5 Hasil Py-GC-MS filtrat Gliocladium sp.
No. Presentase (%) Nama senyawa 1. 2.42 Nitrogen oksida 2. 3.44 2-Amino-3-methylpentane 3. 5.11 Carbamic acid 4. 9.65 Ethanol 5. 17.92 Acetic Acid 6. 3.36 Acetol 7. 4.86 2,3-Butanediol 8. 25.88 2,3-Butanediol
9. 0.49 7-Octadeceboic acid, methyl ester 10. 0.42 Hexadecanamide 11. 0.92 Hexadecanoic acid 12. 3.57 Hexanedioc acid 13. 4.30 Glycerol 14. 0.85 2,6,10,14,18,22-Tetracosahexane 15. 16.61 Irganox 1076
Asam asetat adalah senyawa yang sangat berperan sebagai antimikroba. Peranannya semakin meningkat apabila terdapat asam asetat yang disertai senyawa fenol (Darmadji 1995). Irganox 1076 merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan yang biasa digunakan untuk pengawetan kayu (Mabicka et al. 2005).
Evaluasi Antagonisme secara In vivo
Antagonisme secara in vivo dilakukan pada bibit jabon berumur 2 bulan dengan metode inokulasi menggunakan pemberian suspensi cendawan untuk patogen maupun agens hayatinya. Perlakuan yang dilakukan berdasarkan jenis agens hayati dan waktu pemberian suspensi agens hayati. Hasil yang diperoleh bahwa pengendalian yang efektif dilakukan bersifat preventif (pencegahan). Bibit jabon yang telah diberikan perlakuan pemberian suspensi agens hayati baik T. harzianum maupun Gliocladium sp. mampu menghambat penyakit mati pucuk sebesar 100%. Sebagian besar kasus yang ditemukan di lapang bahwa penyakit mati pucuk pada bibit jabon tidak menyebabkan kematian. Hal itu terjadi dengan syarat bagian yang terserang langsung dibuang sehingga bibit jabon dapat pulih dengan cara trubus. Titik kerugian produsen berada pada penurunan kualitas dan nilai ekonomi dari bibit yang telah terserang penyakit mati pucuk tersebut.
Tabel 6 Evaluasi pengendalian hayati secara in vivo
Perlakuan Tingkat Kejadian Penyakit
Kontrol 0 0%
Kontrol 1 (Botryodiplodia sp. tanpa pelukaan)
100% Kontrol 2 (Botryodiplodia sp. dengan
pelukaan) 100% Botryodiplodia sp. + Gliocladium sp. 33.3% Botryodiplodia sp. + T. harzianum 66.7% Gliocladium sp. + Botryodiplodia sp. 0% T. harzianum + Botryodiplodia sp. 0%
20
Kontrol 1 dan Kontrol 2, memiliki tingkat kejadian yang sama yaitu 100%. Hal ini menginisiasikan bahwa Botryodiplodia sp. dapat menyerang bibit jabon melalui pelukaan maupun penetrasi langsung senada dengan yang dinyatakan oleh Aisah (2014). Sebelumnya, Botryodiplodia sp. dianggap sebagai patogen lemah (Semangun 2007). Perbedaan ini dimungkinkan akibat perbedaan isolat Botryodiplodia sp. yang digunakan baik dari segi jenis maupun strain cendawan tersebut.
Gejala penyakit pada tanaman merupakan bentuk penyimpangan baik morfologi atau fisiologi sebagai respon dari adanya gangguan patogen (Widyastuti et al. 2005). Respon tanaman terhadap suatu penyakit bergantung pada jenis tanaman inang dan patogennya. Penyakit mati pucuk memiliki gejala yang relatif sama pada beberapa jenis tanaman inang, yaitu berupa matinya bagian ujung tanaman. Sebagai contoh, gejala penyakit mati pucuk pada tanaman mangga yaitu berupa matinya bagian ranting, daun menggulung dan mengering yang diikuti gugur daun (Khanzada et al. 2004), kemudian pada tanaman ash (Fraxinus spp.) berupa nekrosis pada daun yang diikuti layu (Kräutler & Kirisits 2012). Gejala mati pucuk pada bibit jabon juga dapat diawali dengan adanya kerutan pada bagian batang. Menurut Aisah (2014), gejala yang muncul setelah tanaman jabon diinokulasi adalah berupa nekrosis pada titik inokulasi. Nekrosis selanjutnya menyebar ke bagian lain sehingga bagian yang terinfeksi akan terlihat berwarna kecoklatan. Penyakit yang terus berkembang akan menyebabkan bagian atas tanaman terkulai dan kering. Inokulasi isolat Botryodiplodia sp. pada bagian batang menimbulkan gejala nekrosis setelah masa inkubasi 2 sampai 3 hari. Nekrosis yang cepat berkembang ke bagian atas tanaman, menyebabkan batang bagian atas dan daun menjadi berwarna kecoklatan dan selanjutnya mati. Nekrosis yang tidak berkembang umumnya hanya mengalami perubahan warna dari coklat menjadi coklat kehitaman dengan arah penyebaran melintang.
Pembahasan Antagonis In vitro Metode Langsung
Pertumbuhan Botryodiplodia sp. dan agens hayatinya pada media PDA memiliki dinamika yang teratur daripada media Czapex Agar. Alam et al. (2001) melaporkan bahwa kecepatan pertumbuhan radial miselium B. theobromae menurun seiring dengan bertambahnya kadar glukosa pada media kultur. Pengaruh nutrisi tersebut juga terlihat pada ketebalan miselia cendawan patogen maupun agens hayati (Gambar 8). Miselia yang tumbuh di media PDA lebih tebal dibandingkan miselia yang tumbuh di media Czapex Agar. Achmad (1997) menyatakan bahwa PDA merupakan media kultur yang paling kaya kandungan nutrisinya.
Menurut Baker dan Cook (1974), terdapat tiga pola antagonis yaitu kompetisi, antibiosis, dan mikoparasit. Mekanisme yang terjadi antara kedua jenis antagonis yaitu T. harzianum dan Gliocladium sp. terhadap Botryodiplodia sp. adalah kompetisi dan mikoparasit. Hasil uji antagonis antara kedua antagonis dan Botryodiplodia sp. diduga terdapat mekanisme kompetisi dan mikoparasit.
Mekanisme kompetisi terjadi pada awal pertumbuhannya dikarenakan T. harzianum dan Gliocladium sp. terhadap Botryodiplodia sp. memiliki
pertumbuhan yang sama cepatnya. Hal ini menyebabkan adanya persaingan tumbuh sehingga terjadi penghambatan pertumbuhan koloni. Hal ini sama dengan mekanisme penghambatan T. harzianum dan Gliocladium sp. terhadap Cylindrocladium sp. dimana terjadi kompetisi antara agens hayati dan patogen (Amalia et al. 2008). Kompetisi merupakan mekanisme yang terjadi bila terdapat persaingan mendapatkan faktor tumbuh baik berupa ruang dan nutrisi antara patogen dan antagonis. Agens hayati T. harzianum, Gliocladium sp., dan patogen Botryodiplodia sp. memiliki kecepatan tumbuh yang sama yaitu dalam waktu 48-72 jam mampu memenuhi cawan berdiameter 9 cm. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya kompetisi. Mekanisme mikoparasit terjadi apabila cendawan mampu memproduksi enzim ektraselular untuk merusak dinding sel cendawan lain yang kemudian digunakan sebagai sumber makanan.
Agens hayati T. harzianum mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim hidrolitik β-1,3-glukanase, kitinase, dan selulase. Enzim-enzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel cendawan lain yang sebagian besar tersusun dari 1,3-glukan (linamirin) dan kitin sehingga dengan mudah T. harzianum dapat melakukan penetrasi ke dalam hifa cendawan inangnya (Elad et al. 1983). Degradasi kitin T. harzianum dilakukan secara bertahap menunjukkan bahwa kitinase dihasilkan secara terus-menerus (Achmad 1997). Hal ini terjadi pula pada antagonisme antara T. reesei terhadap Fusarium sp. (Harjono et al. 2001), T. reeseei dan T. harzianum terhadap R. solani (Widyastuti et al. 2006), Trichoderma spp. terhadap S. rolfsii pada tusam (Widyastuti et al. 2003), Fusarium sp. pada cendana (Widyastuti & Hariani 2006 dalam Widyastuti 2007), Gliocladium sp. terhadap Ganoderma boninense (Hadiwiyono 1996; Sinaga et al. 2001), Cylindrocladium sp. penyebab penyakit lodoh pada bibit Acacia mangium Wild. (Anggraeni et al. 2009), Gliocladium fimbriatum terhadap Marasmius palmivorus Sharples penyebab busuk buah tandan kelapa sawit (Sitompul 2013), dan T. harzianum dan Gliocladium virens terhadap B. theobromae dan Phytophthora citrophthora penyebab busuk pangkal batang jeruk (Retnosari 2011). Selain itu, Gupta et al. (1999) menyatakan bahwa sebagian besar mekanisme antagonis terhadap B. theobromae oleh Trichoderma spp., Gliocladium sp. dan Laetisaria sp. adalah mikoparasit.
Mekanisme mikoparasit juga terlihat dari hasil pengamatan secara mikroskopik. Hifa agens hayati Gliocladium sp. dan T. harzianum mampu melakukan penetrasi ke dalam dinding sel Botryodiplodia sp. (Gambar 9). Mekanisme mikoparasit terjadi pula pada B. theobromae penyebab penyakit pada mulberry di India. Proses mikoparasit diawali dari apresoria T. harzianum menempel pada hifa patogen kemudian terjadi penetrasi sehingga dinding sel hifa B. theobromae terdegradasi. Selain itu, T. harzianum terkadang membagi ujung hifanya menjadi dua cabang untuk menekan hifa patogen. Hifa utama dapat menghasilkan bentukan kait seperti cabang yang melakukan penetrasi sehingga terbentuk belitan dan mengakibatkan kerusakan pada miselia patogen (Gupta et al. 1999). Mikoparasit yang dilakukan oleh Gliocladium virens menyebabkan hifa B. theobromae kehilangan turgor dan isi sel keluar (Gupta et al. 1999). Selain itu, Gliocladium sp. TNC73 yang diisolasi sebagai agen biokontrol alami dari tanah supresif terhadap fitopatogen Phytophtora capsici dan terisolasi berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan kitinase. Produksi kitinase diberikan Gliocladium sp. TNC73 kemampuan menjadi mikoparasit patogen Fusarium sp.
22
(Nugroho 2006). Interaksi lain yang terjadi pada mekanisme mikoparasit oleh T. harzianum (Elad et al. 1983) dan T. reeseei (Widyastuti et al. 1998) yaitu kemampuan hifanya untuk membelit dan melubangi hifa cendawan inangnya. Selain itu, pada kontak pertama dengan antagonis mampu menginduksi enzim endokitinase yang dihasilkan Trichoderma spp. (Carsolio 1994).
Antagonisme dengan Metode Tak Langsung
Beberapa mekanisme biokontrol telah diidentifikasi pada pengendalian hayati, yaitu mikoparasitisme yang melibatkan enzim pendegradasi dinding sel, kompetisi nutrisi, produksi metabolit sekunder yang bertindak sebagai antibakteri atau antijamur, dan produksi metabolit yang dapat menginduksi ketahanan tanaman (Punja & Utkhede 2003; Harman 2006; Shoresh et al. 2010 dalam Widyastuti 2007). Pemodelan dan studi penelitian telah menunjukkan bahwa pengendalian hayati yang efektif harus mampu melakukan lebih dari satu mekanisme biokontrol (Xu et al. 2011). Mekanisme mikoparasitisme pada Trichoderma spp. belum diketahui secara lengkap namun ekspresi enzim ekstraseluler pengurai dinding sel terbukti memiliki peranan kunci dalam proses penghambatan patogen. Enzim ekstraseluler yang dikeluarkan dapat berupa enzim-enzim kitinase. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Achmad et al. (2010) bahwa T. harzianum dan T. pseudokoningii mampu menekan pertumbuhan R. solani dan F. oxysporum melalui mekanisme mikoparasitisme dengan memproduksi enzim kitinase. Menurut Lewis & Papavizas (1984), Trichoderma sp. menghasilkan sejumlah besar enzim ekstraseluler β-1,3-glukonase dan kitinase selama tumbuh aktif yang dapat melarutkan dinding sel patogen. Trichoderma spp. memiliki enzim endokitinase yang merupakan tipe enzim kitinase yang mempunyai aktivitas lisis dan antifungi yang tertinggi (Lorito et al. 1996 dalam Widyastuti 2007). Elad et al. (1983) menyatakan bahwa T. harzianum dan T. hamatum mampu menghasilkan enzim kitinase dan β-1,3-glukanase yang sinergis dalam lisis dinding sel dari S. rolfsii dan R. solani sehingga dapat menghambat pertumbuhan kedua patogen tersebut.
Gliocladium sp. merupakan cendawan saprofitik yang dapat berperan sebagai antagonis efektif untuk mengendalikan patogen tanaman, terutama patogen tanah. Beberapa metabolit sekunder yang dihasilkan Gliocladium sp. antara lain gliotoksin, viridian, dan paraquinon yang bersifat fungitoksik terhadap patogen (Roseline 2000). Beberapa laporan menyebutkan bahwa Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mampu menghambat pertumbuhan patogen antara lain Cylindrocladium sp. (Amalia et al. 2008) dan Phytium sp. (Octriana 2011). Beberapa spesies Gliocladium juga memproduksi siklik peptida dengan sifat antibakteri, seperti diketopiperazine (Koolen et al. 2011). Senyawa lain yang memiliki kemampuan menghasilkan antibiotik dari beberapa spesies Gliocladium lainnya termasuk p-terphenyl (Guo et al. 2007) dan poliketida (Kohno et al. 2000). Antibiotik menghambat Erwinia carotovora diproduksi oleh Gliocladium sp. TNC73 lebih cenderung menjadi bentuk diketopiperazine atau bentuk peptida siklik lainnya, terphenyl atau poliketida, daripada peptaibol linier. Selain itu, Gliocladium sp. memproduksi kitinase dan menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki sifat antibakteri terhadap bakteri gram positif Bacillus subtilis dan Staphylococcus aeureus. Eksplorasi kemampuan Gliocladium sp. TNC73 dalam mengelola penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri dilakukan dengan
mengekstrak etil asetat dari media fermentasi Gliocladium sp. TNC73. Ekstrak tersebut dianalisis kemampuannya untuk menghambat bakteri gram negatif E. carotovora. Patogen E. carotovora merupakan bakteri yang menyebabkan penyakit busuk lunak pada tanaman pangan (Saputra et al. 2013).
Analisis Pyrolisis Gass Chromatography Mass Spectrometry (Py-GC-MS) Filtrat Agens Hayati
Pirolisis kromatografi gas spektrometri digunakan untuk mengetahui karakteristik dari makromolekuler volatil dan kompleks di dalam berbagai materi alam. Contoh yang digunakan untuk analisis Py-GC-MS berupa filtrat antagonis yang sebelumnya dibiakkan di dalam PDB. Asam asetat adalah senyawa yang sangat berperan sebagai antimikroba. Peranannya semakin meningkat apabila terdapat asam asetat yang disertai senyawa fenol (Darmadji 1995). Irganox 1076 merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan yang biasa digunakan untuk pengawetan kayu (Mabicka et al. 2005).
Selain fenol, senyawa aldehida, aseton dan keton pada produk asap pengarangan kayu juga memiliki daya bakteriostatik dan bakteriosidal. Salah satu komponen kimia yang terkandung dalam cuka kayu yaitu fenol, di mana dalam kehidupan sehari-hari fenol dan turunannya dapat digunakan untuk bahan desinfektan dan inhibitor (Yatagai 2002; Nurhayati 2009). Komponen kimia lainnya adalah asam propionat yang berfungsi sebagai pencegah jamur dan pengawet untuk ikan (Metia 2010). Kandungan asam mudah menguap dalam asap cair akan menurunkan pH, sehingga dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle 1985). Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai
antioksidan. Mekanisme pengendalian patogen oleh Trichoderma harzianum
secara alamiah dapat dikelompokan menjadi tiga fenomena dasar yang bekerja simultan dan sekaligus (Suwahyono & Wahyudi 2004). Antibiosis agensia aktif fungisida selain menghasilkan enzim dinding sel jamur juga menghasilkan senyawa antibiotik yang termasuk kelompok furanon yang dapat menghambat pertumbuhan spora dan hifa jamur patogen. Beberapa spesies Gliocladium telah dilaporkan dapat menghasilkan antiamoebin peptaibol (Shenkarev et al. 2013). Peptaibol adalah antibiotik peptida linier yang memiliki sejumlah besar asam amino non-proteinogenic atau asam lipoamino, memiliki N-terminus yang terasilasi, dan C-terminus dengan kelompok alkohol (Kubicek et al. 2007). Peptaibols dapat diekstraksi dalam MeOH atau etil asetat. TLC tes peptaibols memberikan bintik-bintik merah dilihat di bawah cahaya tampak normal ketika disemprot dengan 0.5% p-anisaldehida (Berg et al. 2003; Chutrakul et al. 2008). Dalam penelitian ini, kedua ekstrak A dan B mengandung senyawa yang memberikan titik merah ketika disemprot dengan 0.5% p-anisaldehida, memiliki Rf 0.92 dalam tes TLC. Senyawa ini bisa menjadi peptaibol kandidat. Namun peptaibols menghambat hanya bakteri gram positif (Xiao-Yan et al. 2006), sehingga jika senyawa dengan Rf 0.92 adalah peptaibol, itu tidak akan menjadi antibiotik menghambat E. carotovora. Perlindungan tanaman oleh peptaibols terhadap bakteri gram negatif berasal lebih dari kemampuannya untuk menginduksi respon pertahanan tanaman (Viterbo et al. 2007).
Non-peptaibol antibiotik peptida ada yang dapat menghambat bakteri gram negatif. Terakhir antibiotik peptida, polimiksin, yang memiliki rantai peptida
24
siklik dan ekor hidrofobik dilaporkan sebagai inhibitor E. amylovora dan E. carotovora. (Niu et al. 2013)
Evaluasi Antagonisme secara In vivo
Antagonisme secara in vivo menunjukkan kemampuan penghambatan agens hayati terhadap patogen pada tanaman yang menjadi inangnya. Agen hayati T. harzianum menghasilkan penghambatan terbaik pada tahap in vitro. Hal ini dikonfirmasi pada penelitian in vivo dengan menyertakan pula Gliocladium sp.. Ada kemungkinan Gliocladium sp. pada tahap in vivo juga memiliki kemampuan penghambatan yang baik dikarenakan telah berada pada kondisi ekologinya. Penelitian ini mengungkap bahwa penghambatan agens hayati mampu memberikan hasil terbaik bila diinokulasikan terlebih dahulu sebelum patogen. Gliocladium sp. dan T. harzianum memiliki kemampuan yang sama yaitu mampu menghambat Botryodiplodia sp. sebesar 100% apabila diaplikasikan sebagai tindakan pencegahan. Kontrol 1 dan Kontrol 2, memiliki tingkat kejadian yang sama yaitu 100%. Hal ini menginisiasikan bahwa Botryodiplodia sp. dapat menyerang bibit jabon melalui pelukaan maupun penetrasi langsung senada dengan yang dinyatakan oleh Aisah (2014). Sebelumnya, Botryodiplodia sp. dianggap sebagai patogen lemah (Semangun 2007). Perbedaan ini dimungkinkan akibat perbedaan isolat Botryodiplodia sp. yang digunakan baik dari segi jenis maupun strainnya. Mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim ekstraseluler selulase yang sangat tinggi yang berguna untuk memisahkan selulosa dari lignoselulosa, kemudiaan dirombak menjadi senyawa sederhana yang larut dalam air (Chanchampee et al. 1999). Chang et al. (1986) melaporkan bahwa T. harzianum dapat merangsang pertumbuhan beberapa tanaman hortikultura. Penelitian Suwahyono (2004) bahwa pemberian T. harzianum mampu meningkatkan jumlah akar dan daun menjadi lebar, serta aplikasi T. harzianum pada tanaman alpukat yang terserang penyakit setelah beberapa minggu muncul pucuk daun yang baru. Adanya T. harzianum dalam kompos aktif merangsang pembentukan akar lateral. Cendawan T. harzianum mengeluarkan zat aktif semacam hormon auksin yang merangsang pembentukan akar lateral (Suwahyono 2004). Cendawan T. harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman, hasil produksi tanaman. Sifat ini menandakan bahwa juga T. harzianum berperan sebagai Plant Growth Enhancer. Hasil
Penelitian Herlina et al. (2003) menunjukkan pemberian kompos aktif T. harzianum berpengaruh terhadap pertumbuhan akar primer, berat kering
tanaman, kadar klorofil tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Hasil uji lanjut BNT menunjukan bahwa pemberian pupuk aktif T. harzianum pada semua perlakukan berbeda nyata kontrol pada panjang akar dan kadar klorofil, sedangkan pupuk aktif T. harzianum, dosis 250 g perpengaruh paling besar terhadap berat kering tanaman. Simpulan dari hasil penelitian bahwa pemberian kompos aktif T. harzianum berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman cabai. Respon pertumbuhan tanaman cabai akibat pemberian kompos aktif T. harzianum dapat meningkatkan jumlah akar lateral, kandungan klorofil serta berat kering tanaman cabai. Selain suspensi cendawan, T. harzianum dan Gliocladium sp. dapat diinvestasikan ke tubuh tumbuhan dalam bentuk pelet (Widyastuti et al. 2006), kompos dan pelet (Widyastuti & Hariani 2006), suspensi miselium, dan suspensi konidia.