• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Rodentisida

Pengujian rodentisida bromadiolon 0.005% di tiga wilayah permukiman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rodentisida relatif sama di setiap kelurahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang rodentisida untuk dikonsumsi paling tinggi terdapat di Kelurahan Karadenan namun rodentisida yang dikonsumsi kenyataan lebih rendah dibandingkan dengan kelurahan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa banyak tikus yang tertarik mendekati rodentisida, namun hanya sedikit tikus yang mengonsumsinya. Berbeda dengan di Kelurahan Nanggewer Mekar, peluang rodentisida untuk dikonsumsi paling rendah namun kenyataannya rodentisida yang dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan kelurahan lain. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun tikus yang tertarik mendekati rodentisida sedikit, namun banyak tikus mengonsumsi rodentisida walaupun dalam jumlah yang sedikit (kurang dari 1 g).

Tabel 1 Konsumsi rodentisida yang diharapkan dan konsumsi rodentisida kenyataan pada pengujian di tiga kelurahan

Lokasi Jejak tikus (%) Peluang rodentisida untuk dikonsumsi (%) Konsumsi rodentisida kenyataan (Rata-rata ± SD, g)a Konsumsi rodentisida kenyataan (%) Nanggewer 42.00 29.58 0.81 ± 1.17 a 28.62 Nanggewer Mekar 32.00 22.54 1.51 ± 1.27 a 53.36 Karadenan 68.00 47.88 0.51 ± 0.83 a 18.02 Rerata 47.33 0.94 ± 1.09 a a

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%

Yuliani et al. (2011) menyatakan bahwa masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah pada umumnya kurang memedulikan keberadaan tikus permukiman, selama gejala kerusakan yang ditimbulkan tidak parah. Masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi dan pendidikan yang tinggi sudah mulai memandang bahwa keberadaan tikus di lingkungan tempat tinggal dapat menjadi masalah serius.

Sejalan dengan hasil wawancara yang menyatakan bahwa tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat di Kelurahan Karadenan lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat di kelurahan lain (Gambar 5). Masyarakat di Kelurahan Karadenan seluruhnya telah menempuh pendidikan sarjana serta didominasi oleh masyarakat dengan penghasilan lebih dari 5 juta rupiah. Tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Nanggewer dan Nanggewer Mekar bervariasi serta didominasi oleh masyarakat dengan penghasilan antara 2-5 juta rupiah. Hal ini memengaruhi tindakan masyarakat dalam mengendalikan tikus di permukiman.

10

Tindakan masyarakat dalam melakukan pengendalian terhadap tikus permukiman berpotensi memengaruhi bobot rodentisida kenyataan yang dikonsumsi. Masyarakat yang melakukan tindakan antisipatif atau kuratif di lingkungan tempat tinggal dapat menyebabkan konsumsi rodentisida sedikit akibat tingkat kecurigaan tikus semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Liem (1979) yang menyebutkan bahwa setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan akan segera dijauhi dan dihindari oleh tikus. Kejadian ini mengakibatkan tikus cenderung memasuki rumah yang tidak dilakukan pengendalian apapun.

Tindakan pengendalian terhadap tikus permukiman tertinggi dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Karadenan. Hal ini menyebabkan konsumsi rodentisida lebih rendah karena tikus memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi terhadap metode pengendalian yang digunakan.

Masyarakat yang tidak memedulikan keberadaan tikus permukiman di lingkungan tempat tinggal umumnya tidak melakukan tindakan pengendalian. Priyambodo (2003) mengemukakan bahwa tikus bergerak antar lokasi hanya melalui suatu jalan khusus yang selalu diulang-ulang yang disebut dengan runway. Tindakan pengendalian yang tidak dilakukan di lingkungan tempat tinggal menyebabkan tikus mudah beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggal, sehingga menimbulkan habitat yang nyaman bagi tikus untuk beraktivitas, seperti membuat sarang, mencari pakan, dan berkembang biak.

Pengetahuan masyarakat di Kecamatan Cibinong mengenai rodentisida sebagai metode pengendalian tikus permukiman yaitu 60% (18 responden), namun tidak ada masyarakat yang mengaplikasikan rodentisida di tempat tinggalnya. Hal ini diakibatkan masyarakat memandang bahwa rodentisida bersifat racun sehingga dapat kontak langsung dan membahayakan manusia atau hewan peliharaaan. 0 2 4 6 8 10 Tindakan pengendalian ≤ 2 Juta 2 Juta < x > 5 Juta ≥ 5 Juta SMA Diploma Sarjana Jumlah responden Karadenan Nanggewer Mekar Nanggewer

Gambar 5 Tingkat pendidikan dan ekonomi serta tindakan pengendalian oleh masyarakat di tiga kelurahan

11

Pengujian Perangkap

Pengujian perangkap tikus dilakukan dengan melihat selisih antara keberhasilan pemerangkapan kenyataan (real trap success) dan keberhasilan pemerangkapan yang diharapkan (expected trap success), dengan asumsi bahwa setiap ubin jejak yang teramati berasal dari satu ekor tikus (Tabel 2). Keberhasilan pemerangkapan tertinggi terdapat di Kelurahan Karadenan diikuti oleh Nanggewer Mekar dan Nanggewer. Menurut Hadi et al. (1991), pada kondisi normal keberhasilan pemerangkapan di habitat rumah adalah sebesar 7%. Hal ini menunjukkan bahwa angka kepadatan tikus di tiga kelurahan ini tergolong tinggi sehingga perlu dilakukan pengendalian tikus secara intensif.

Tabel 2 Keberhasilan pemerangkapan yang diharapkan dan keberhasilan pemerangkapan nyata antar tiga kelurahan

Lokasi Keberhasilan pemerangkapan yang diharapkan (%) Keberhasilan pemerangkapan kenyataan (%) Selisih keberhasilan pemerangkapan (%) Nanggewer 24 20 4 Nanggewer Mekar 22 22 0 Karadenan 48 28 20 Rerata 31.33 23.33 8

Jumlah bekas pijakan pada ubin jejak yang ditempatkan di depan bumbung bambu (47.33%) lebih tinggi dibandingkan di depan perangkap (31.33%). Priyambodo (2006) menjelaskan bahwa tikus memiliki sifat mudah curiga atau berhati-hati terhadap setiap benda yang ditemuinya. Kecurigaan tikus terhadap perangkap lebih besar dibandingkan dengan bumbung bambu karena kondisi dalam bumbung bambu gelap dan lembap serupa dengan kondisi habitat tikus. Sementara itu, perangkap terbuat dari ram kawat sehingga menimbulkan kondisi asing bagi tikus.

Di Kelurahan Nanggewer Mekar tidak terdapat selisih antara keberhasilan pemerangkapan yang diharapkan dengan keberhasilan pemerangkapan kenyataan, artinya setiap tikus yang tertarik dengan umpan dan mendekati perangkap berhasil terperangkap. Selisih keberhasilan pemerangkapan paling tinggi terdapat di Kelurahan Karadenan sebesar 20%, artinya terdapat 24 ekor tikus yang mendekati perangkap namun 10 ekor tikus tidak masuk perangkap. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh tindakan masyarakat antar kelurahan dalam melakukan pengendalian tikus dengan menggunakan perangkap. Masyarakat di Kelurahan Karadenan sudah terbiasa menggunakan perangkap untuk mengendalikan tikus, sedangkan Kelurahan Nanggewer dan Nanggewer Mekar lebih sedikit (Gambar 6).

Buckle dan Smith (1996) merekomendasikan bahwa perangkap hanya digunakan untuk 2 sampai 3 kali pemerangkapan saja, karena tikus memiliki sifat

trap shyness (jera perangkap). Jera perangkap adalah suatu kejadian ketika tikus tidak mau masuk ke dalam perangkap yang disediakan atau suatu keadaan ketika pada saat awal pemerangkapan tikus mudah sekali ditangkap, tetapi pada pemerangkapan berikutnya tikus sulit diperangkap (Priyambodo 2006).

12

Hasil pemerangkapan menunjukkan bahwa terdapat dua jenis mamalia kecil yang terperangkap, yaitu tikus rumah (R. rattus diardii) dan cecurut rumah (Suncus murinus) (Tabel 3). Hasil pemerangkapan di Kelurahan Karadenan menunjukkan bahwa cecurut rumah lebih banyak terperangkap, sedangkan di Kelurahan Nanggewer dan Nanggewer Mekar menunjukkan bahwa tikus rumah lebih banyak terperangkap.

Ristiyanto et al. (2006) mengemukakan bahwa cecurut rumah merupakan insektivora yang cenderung beraktivitas di luar rumah daripada di dalam rumah, seperti membuat sarang, berkembang biak, berlindung, dan mencari makan. Cecurut rumah masuk ke dalam rumah saat sanitasi rumah buruk, terdapat banyak lubang di dinding rumah, dan tertarik oleh sisa makanan manusia. Hal ini sesuai dengan Priyambodo (2003) yang mengungkapkan bahwa cecurut rumah mampu beradaptasi baik dengan pakan selain serangga, yaitu sisa makanan manusia.

Hasil identifikasi berdasarkan karakter kuantitatif menunjukkan bahwa spesies tikus yang terperangkap ialah tikus rumah (R. rattus diardii) (Tabel 4). Tikus rumah memiliki bentuk badan sedang atau kecil dengan ukuran panjang total kurang dari 400 mm. Warna badan bagian ventral gelap, mirip dengan warna bagian dorsal. Ekor dapat berukuran lebih panjang atau lebih pendek dari ukuran panjang kepala dan badan.

Tabel 3 Jenis mamalia kecil yang terperangkap di tiga kelurahan Lokasi

Jenis hewan terperangkap Tikus rumah (ekor) Cecurut rumah (ekor) Jumlah (ekor) Nanggewer Jantan Betina 6 0 4 10 Nanggewer Mekar Jantan Betina 5 4 2 11 Karadenan Jantan Betina 4 2 8 14

Gambar 6 Pemilik rumah di tiga kelurahan yang menggunakan perangkap

6 responden 4 responden 9 responden Nanggewer Nanggewer Mekar Karadenan

13 Tabel 4 Hasil identifikasi karakter kuantitatif tikus hasil pemerangkapan dengan

perangkap tunggal Jenis tikus Jenis kelamin Karakter kuantitatif W (g) HB (mm) T (mm) TL (mm) E (mm) HF (mm) I (mm) MF (pasang) Nanggewer TR Jantan 90.80 185 147 332 20 33 4 0 TR Jantan 114.70 185 175 360 21 35 5 0 TR Jantan 55.54 128 149 277 15 34 3 0 TR Jantan 18.75 89 108 197 10.8 26 2 0 TR Jantan 42.51 110 128 238 15 28 3 0 TR Jantan 88.11 161 174 335 17 34 4 0 Nanggewer Mekar TR Jantan 31.28 107 126 233 16 28 3 0 TR Jantan 17.63 86 110 188 15 22 2 0 TR Betina 55.76 118 137 255 14 33 3 5 TR Jantan 88.11 161 174 335 17 34 4 0 TR Betina 64.00 118 162 280 19 32 3 5 TR Betina 40.72 108 142 250 19 34 3 5 TR Jantan 18.88 87 142 102 11 26 2 0 TR Betina 40.76 98 143 250 18 34 3 5 Karadenan TR Jantan 114.37 185 175 350 12 23 5 0 TR Jantan 92.30 187 147 334 20 34 4 0 TR Betina 49.76 108 135 243 13 31 3 5 TR Betina 55.83 120 137 257 13 33 3 5 TR Jantan 20.37 95 120 215 10 21 2 0 TR Jantan 41.35 109 125 234 15 26 3 0

Keterangan: TR= Tikus rumah; W (weight)= bobot tubuh; HB (head and body)= ukuran panjang kepala dan badan; T (tail)= ukuran panjang ekor; TL (total length)= ukuran panjang total; E (ear)= ukuran lebar daun telinga; HF (hind foot)= ukuran panjang telapak kaki belakang; I (incisors)= ukuran lebar sepasang gigi pengerat rahang atas; MF (Mammary formula)= jumlah puting susu.

Hasil identifikasi berdasarkan karakter kualitatif menunjukkan bahwa tikus rumah pradewasa memiliki warna badan coklat muda atau coklat kekuningan, moncong berbentuk kerucut, badan berbentuk silindris, dan rambut bertekstur halus (Tabel 5). Tikus rumah dewasa memiliki warna badan coklat kehitaman atau coklat tua, moncong berbentuk kerucut terpotong, badan berbentuk silindris membesar ke belakang, dan rambut bertekstur kasar.

Tikus rumah merupakan jenis tikus yang paling banyak terperangkap di dalam rumah dan merupakan tikus yang umum ditemukan pada rumah penduduk di Pulau Jawa (Aplin et al. 2003). Tikus rumah berperan penting dalam penularan beberapa penyakit seperti pes, leptospirosis, dan enterobiasis. (Ramadhani dan Yuniarto 2012).

14

Tabel 5 Hasil identifikasi karakter kualitatif tikus hasil pemerangkapan dengan perangkap tunggal Jenis tikus Jenis kelamin Karakter kualitatif Warna Bentuk hidung (moncong) Bentuk badan Rambut Dorsal Ventral T U B E B E Nanggewer TR Jantan CK CK CM CK KT SB KA SE TR Jantan CK CK CM CK KT SB KA PA TR Jantan CT CK CT CK K S HA PE TR Jantan CM CT CN CT K S HA PE TR Jantan CM CT CN CT K S HA PE TR Jantan CK CK CM CK KT SB KA SE Nanggewer Mekar TR Jantan CN CK CN CK K S HA PE TR Jantan CM CT CN CT K S HA PE TR Betina CM CT CN CT K S HA PE TR Jantan CT CT CM CT K SB HA SE TR Betina CM CT CN CT K S HA SE TR Betina CM CT CN CT K S HA PE TR Jantan CM CT CN CT K S HA PE TR Betina CM CT CN CT K S HA PE Karadenan TR Jantan CK CK CM CK KT SB KA PA TR Jantan CK CT CT CT KT SB KA SE TR Betina CN CT CM CT K S HA PE TR Betina CM CK CM CK K S HA PE TR Jantan CM CT CN CT K S HA PE TR Jantan CM CT CN CT K S HA PE

Keterangan: TR= Tikus rumah; B= badan; E= ekor; T= tekstur; U= ukuran; CK= coklat kehitaman; CM= coklat muda; CT= coklat tua; CN= coklat kekuningan; KT= kerucut terpotong; K= kerucut; SB= silindris membesar ke belakang; S= silindris; KA= kasar, HA= halus, PA= panjang, SE= sedang, PE= pendek.

Perkembangbiakan tikus tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sanitasi rumah akan tetapi ada beberapa faktor lain, yaitu jenis makanan, susunan barang, serta suhu, dan kelembaban. Tikus memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi makanan yang disenangi manusia yaitu, karbohidrat, protein, lemak, serta akan membuat sarang yang tidak jauh dari sumber makanan dan air. Barang yang tidak tersusun dengan rapi akan menyebabkan tikus mudah untuk membuat sarang atau tempat persembunyian. Barang-barang harus disusun pada rak dengan ketinggian 30 cm dari permukaan lantai (Priyambodo 2006).

15 Menurut jenis kelamin, jumlah tikus yang paling banyak tertangkap ialah tikus jantan sebesar 71% (15 ekor), sedangkan tikus betina sebesar 29% (6 ekor). Hal ini sejalan dengan penelitian Handayani dan Ristiyanto (2008) dan Jacob et al.

(2004) yang menunjukkan bahwa tikus yang tertangkap lebih banyak berjenis kelamin jantan daripada betina. Hal ini berbeda dengan pernyataan Priyambodo (2003) yang menyebutkan bahwa tikus betina lebih mudah ditangkap daripada tikus jantan, karena dalam kelompok tikus, tikus betina merupakan individu pencari makan untuk anak-anaknya, sedangkan jantan berperan sebagai penjaga sarang atau wilayah teritorialnya. Perbedaan hasil pemerangkapan antara jantan dan betina dapat dipengaruhi oleh jumlah populasi awal, kondisi lingkungan, dan musim. Hasil pemerangkapan pada musim hujan menunjukkan tikus betina lebih mudah diperangkap, namun pada musim kemarau sebaliknya.

Jenis kelamin jantan lebih banyak ditemukan dalam penelitian ini diduga karena adanya pengaruh perebutan wilayah territorial (kekuasaan), home range

(daya jelajah harian), serta ketersediaan pakan dan air. Menurut Ristiyanto et al.

(2006) wilayah teritorial merupakan suatu wilayah atau daerah tempat tinggal tikus yang dipertahankan dari masuknya tikus sejenis. Jika terjadi peningkatan populasi tikus di daerah territorial maka akan timbul kompetisi yang memaksa kedudukan tikus jantan yang lebih rendah statusnya dalam hierarki sosial untuk segera keluar dan mencari wilayah yang baru. Home range merupakan wilayah tempat tinggal yang tidak dapat dipertahankan oleh tikus, sehingga dapat ditempati oleh tikus jenis lain atau tikus sejenis dari kelompok lain. Jika home range diambil tikus lain maka tikus jantan akan mencari wilayah home range

yang lainnya. Selain itu, ketersediaan pakan dan air yang kurang juga dapat menyebabkan tikus jantan keluar dari sarang untuk mencari sumber pakan dan air.

Pengujian Repelen

Pengujian repelen di tiga permukiman dilakukan dengan mengamati bobot gabah yang dikonsumsi dan jumlah bekas pijakan tikus pada ubin jejak, dengan asumsi bahwa setiap ubin jejak yang teramati berasal dari satu ekor tikus. Rata-rata gabah yang diletakkan di dalam nampan yang telah diolesi repelen tidak dikonsumsi oleh tikus (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak buah mengkudu memberikan pengaruh untuk mengusir tikus. Hasil pengujian sesuai dengan penelitian Wathkins et al (1998) yang mengungkapkan bahwa repelen dapat digunakan untuk memanipulasi pola konsumsi vertebrata hama sehingga dapat menurunkan tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh hama tersebut.

Menurut Marsh dan Salmon (2010) dan Hansen et al. (2015), keberhasilan repelen sebagai metode pengendalian tikus sangat dipengaruhi oleh jenis tikus, cara kerja, dan kondisi lingkungan. Hermawan (2010) menyebutkan bahwa semakin transparan daging buah mengkudu, maka penggunaan sebagai repelen semakin efektif. Ekstrak buah mengkudu memiliki kemampuan untuk mengusir tikus karena mengeluarkan aroma yang menyengat. Winarti (2005) mengemukakan bahwa kandungan asam kaproat dan kaprat dalam buah mengkudu menyebabkan munculnya aroma yang menyengat terutama pada buah matang.

Tikus memiliki indera penciuman yang berkembang dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas tikus menggerak-gerakkan kepala serta mendengus pada saat mencium bau pakan, tikus lain, atau musuhnya (predator). Penciuman

16

tikus yang baik ini juga bermanfaat untuk mencium urin dan sekresi genitalia. Dengan kemampuan ini tikus dapat menandai wilayah pergerakan tikus lainnya, mengenali jejak tikus yang masih tergolong dalam kelompoknya, mendeteksi tikus betina yang sedang estrus (berahi) (Priyambodo 2003).

Tabel 6 Tikus yang mendekati umpan dan konsumsi gabah Kelurahan Jumlah tikus yang mendekati

umpan (ekor) Rata-rata konsumsi gabah (g) Nanggewer 16 0.01 Nanggewer Mekar 7 0 Karadenan 11 0

Indera penciuman tikus diketahui memiliki dua jenis reseptor pengidentifikasi bau yang berbeda. Reseptor mengirimkan informasi ke otak untuk mengasosiasikan bau dengan bahaya, misalnya bau tubuh predator atau bau tidak menyenangkan, seperti bau busuk yang berarti makanan tidak layak (Yusri 2015).

Tikus terusir oleh repelen diakibatkan karena tikus curiga terhadap lingkungan yang baru, tidak menyukai aroma yang dihasilkan oleh bahan repelen, atau terganggu oleh aroma ekstrak mengkudu. Terdapat keterkaitan antara aroma spesifik yang dihasilkan ekstrak buah mengkudu dengan tikus yang memiliki indera penciuman yang sangat peka. Menurut Alviventiasari (2012), aroma dapat memengaruhi pikiran maupun tingkah laku tikus. Aroma yang dihirup tersebut dapat memberi rangsangan yang kuat terhadap indera penciuman. Penggunaan bahan repelen yang mampu menekan aktivitas makan tikus secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian akibat kemampuan bertahan tikus berkurang.

Pengetahuan masyarakat di Kecamatan Cibinong mengenai mengkudu sebagai bahan repelen nabati dapat menjadi metode pengendalian tikus permukiman yaitu 36.7% (11 responden), namun hanya 3.3% (1 responden) yang mengaplikasikan di tempat tinggalnya. Hal ini karena masyarakat memandang bahwa hasil pengaplikasian buah mengkudu sebagai repelen tidak dapat segera terlihat dibandingkan metode pengendalian lain seperti perangkap. Selain itu, beberapa responden menyatakan terganggu dengan aroma yang dihasilkan oleh buah mengkudu.

SIMPULAN

Simpulan

Uji rodentisida bromadiolon 0.005% di tiga wilayah permukiman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar kelurahan. Peluang tertinggi tikus dalam mengonsumsi rodentisida terdapat di Nanggewer Mekar (47.89%). Perangkap tunggal yang dipasang menunjukkan keberhasilan pemerangkapan yang tinggi (28%). R. rattus diardii merupakan jenis tikus yang paling banyak terperangkap 52.3% (11 ekor). Tikus yang terperangkap didominasi oleh tikus jantan 71% (15 ekor). Ekstrak buah mengkudu sebagai repelen yang diaplikasikan memiliki pengaruh yang sama untuk mengusir tikus permukiman. Tingkat ekonomi dan pengetahuan masyarakat memengaruhi tindakan pengendalian terhadap tikus permukiman. Metode pengendalian tikus permukiman yang efektif sesuai dengan karakteristik wilayah permukiman dan diterima oleh masyarakat ialah penggunaan perangkap.

Saran

Perlu dilakukan penelitian mengenai pengelolaan tikus di permukiman. Pengelolaan tikus harus berdasarkan pada aspek sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi mengingat populasi tikus di permukiman sangat tinggi dan sudah meresahkan masyarakat.

Dokumen terkait