• Tidak ada hasil yang ditemukan

ԑ ij : Pengaruh kesalahan percobaan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Deposit Asphaltene

Asphaltene merupakan campuran kompleks senyawa hidrokarbon dan

nitrogen, serta berbagai jenis logam, diantaranya adalah vanadium, besi, nikel, dan magnesium. Komposisi dan interaksi antar komponen sangat menentukan sifat fisik dan kimia asphaltene. Asphaltene yang berasal dari reservoir yang berbeda, atau dari sumur yang berbeda di reservoir yang sama, biasanya memiliki komposisi yang berbeda pula, sehingga sifat fisik dan kimianya juga berbeda (Mullins et al. 2012). Oleh sebab itu, analisis perlu dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun dan kandungan deposit asphaltene yang diperoleh dari lapangan. Deposit asphaltene pada penelitian ini diperoleh dari unit kerja Gold Water Talang Akar (GW TAL) lapangan minyak Prabumulih, Sumatera Selatan.

Berdasarkan analisis terhadap komponen penyusun deposit asphaltene yang telah dilakukan, kandungan komponen anorganik dalam deposit asphaltene relatif rendah dengan persentase hanya sebesar 0,04%, sedangkan komponen organik penyusun deposit asphaltene sebesar 99,96%. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa komponen utama penyusun deposit asphaltene yang digunakan pada penelitian ini adalah komponen organik. Selanjutnya, deposit asphaltene dilakukan fraksinasi dengan metode analisis SARA. SARA merupakan singkatan dari

saturates, aromatics, resin, dan asphaltene. Analisis SARA adalah salah satu teknik

analisis minyak bumi melalui fraksinasi menjadi komponen yang lebih kecil. Setiap komponen memiliki komposisi yang berbeda dengan komponen lainnya dan dipisahkan berdasarkan perbedaan kelarutannya di dalam berbagai pelarut polar dan non polar (Tinguang dan Buckley 2002).

Pada penelitian ini, analisis SARA dibatasi pada penentuan fraksi

asphaltene dan maltene (saturates, aromatics, dan resin). Kadar asphaltene di

dalam deposit asphaltene dihitung berdasarkan prosedur American Standard of Test

and Material (ASTM) D 6560-00. Dari hasil analisis kandungan fraksi asphaltene

deposit asphaltene diperoleh nilai sebesar 64,40% dan 35,60% adalah fraksi

maltene. Menurut Wang (2003) berdasarkan rasio dari kandungan saturates

terhadap total kandungan resin dan asphaltene, komponen deposit dapat digolongkan dalam 3 tipe, yaitu : jika S/(A+R)<1, deposit tergolong tipe aspaltik, jika S/(A+R)>1 tergolong tipe parafinik dan jika S/(A+R)=1 merupakan tipe campuran. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Chaogang et al. (2012), bahwa deposit yang mengandung fraksi asphaltene lebih besar dari 35% tergolong dalam tipe aspaltik. Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut deposit asphaltene yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam golongan tipe aspaltik.

Karakteristik Surfaktan

Pada penelitian ini digunakan surfaktan MESA dan MES yang diformulasikan dengan toluena sebagai asphaltene dissolver untuk diujikan keefektifannya dalam meningkatkan kemampuan pelarutan deposit asphaltene. Surfaktan MES dibuat dari surfaktan MESA melalui proses netralisasi dengan menggunakan NaOH 50%. Surfaktan MESA sendiri diproduksi melalui proses sulfonasi fatty acid methyl ester (FAME) yang diperoleh dari reaksi transesterifikasi olein minyak sawit. Sifat fisikokimia surfaktan MESA terutama dipengaruhi oleh jenis dan komposisi bahan baku. Selain itu, jenis alkohol dan rasio molar

minyak/alkohol, jenis reaktan dan lama proses sulfonasi, serta jenis katalis yang digunakan juga menentukan karakter surfaktan MESA yang dihasilkan (Rivai 2011). Penambahan NaOH pada proses netralisasi akan mempengaruhi struktur molekul MESA karena adanya ikatan yang terbentuk antara ion Na+ dan gugus sulfonat surfaktan sehingga menghasilkan surfaktan MES dan H2O sebagai produk

samping yang sekaligus teruapkan saat pemanasan. Oleh sebab itu, surfaktan MESA dan MES perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum digunakan dalam formulasi asphaltene dissolver. Analisis surfaktan yang dilakukan adalah kadar bahan aktif, pH, densitas, dan viskositas. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Surfaktan MESA dan MES

Parameter MESA MES

Kadar bahan aktif (%) 24,08 23,51

Densitas (g/cm3) 0,83 0,94

Viskositas (cP) 19,2 25,5

Nilai pH 0,88 6,39

Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu bahan. pH didefinisikan sebagai logaritma negatif konsentrasi ion hidrogen (H+) yang terdapat di dalam larutan dengan nilai berkisar antara 0 sampai 14. Suatu bahan dikatakan asam apabila memiliki pH di bawah 7, tergolong basa apabila memiliki pH di atas 7, dan tergolong netral apabila memiliki pH tepat 7. Surfaktan MESA memiliki pH sebesar 0,88 yang berarti memiliki keasaman yang sangat tinggi. pH MESA yang rendah disebabkan oleh adanya gugus sulfonat yang terdapat dalam produk hasil sulfonasi karena keberadaan molekul SO3 yang bersifat

asam. Kondisi selama proses sulfonasi akan mempengaruhi pH MESA yang dihasilkan, semakin lama proses sulfonasi maka senyawa asam yang terbentuk akan semakin bertambah sehingga pH MESA yang dihasilkan semakin menurun. Untuk memperoleh surfaktan MES perlu dilakukan netralisasi menggunakan NaOH 50%. Selama proses netralisasi gugus Na+ akan terikat pada gugus sulfonat surfaktan sehingga menyebabkan pH MES meningkat menjadi 6,39. Derajat keasaman atau pH akan mempengaruhi efektifitas pelarutan asphaltene nantinya. Menurut Hashmi

et al. (2012), mekanisme dispersi surfaktan terhadap molekul asphaltene

melibatkan sifat keasamaan surfaktantersebut.

Kadar bahan aktif menunjukkan jumlah gugus SO3 yang terkandung dalam

surfaktan. Pengukuran kadar bahan aktif surfaktan anionik didasarkan pada reaksi antagonis dengan surfaktan kationik yang memiliki muatan berlawanan sehingga membentuk garam yang tidak larut air. Garam yang terbentuk bergerak menuju kloroform dan membentuk warna biru. Setelah titrasi dengan surfaktan kationik dilakukan, warna biru pada lapisan kloroform tersebut bergerak menuju lapisan surfaktan hingga mencapai titik akhir titrasi dimana intensitas warna pada kedua lapisan menjadi sama. Teknik ini dikenal dengan titrasi dua fasa atau metode Epton (Rivai 2011). Hasil analisis kandungan bahan aktif sampel surfaktan MESA adalah 24,08 % dan surfaktan MES sebesar 23,51%. Kadar bahan aktif merupakan parameter yang menunjukkan kualitas surfaktan. Semakin tinggi kandungan bahan aktif maka semakin baik kinerja surfaktan tersebut.

Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida, yang mengindikasikan berubahnya struktur dan ikatan antar molekul. Kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel, demikian pula dengan sifat alir bahan akan tergantung pada viskositas dan densitas cairan. Proses netralisasi dengan NaOH menyebabkan terikatnya gugus Na+ pada gugus sulfonat, sehingga MES cenderung memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Hal ini menyebabkan viskositas MES yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan MESA.

Densitas atau bobot jenis adalah bobot suatu cairan per berat satuan volume. Densitas diukur untuk mengetahui kerapatan antar molekul dalam material. Pada umumnya densitas dikaitkan dengan viskositas, yaitu cairan yang lebih padat (densitasnya tinggi) memiliki viskositas lebih tinggi dibandingkan cairan yang densitasnya rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa densitas MES lebih besar dibandingkan MESA dengan nilai 0,94 g/cm3 dan 0,83 g/cm3, hal ini berkorelasi dengan viskositas dimana MES lebih kental dengan nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan MESA.

Formula Asphaltene dissolver Penentuan Jenis Pelarut Terbaik

Tahap awal yang dilakukan dalam formulasi asphaltene dissolver adalah penentuan jenis pelarut terbaik. Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pelarut yang paling efektif dan efisien dalam melarutkan endapan asphaltene. Jenis pelarut yang biasanya dan paling umum digunakan berasal dari golongan hidrokarbon aromatik seperti toluena, xylena, dan benzena. Pada penelitian ini digunakan dua jenis pelarut aromatik yaitu toluena dan xylena untuk melihat peforma yang paling baik diantara kedua jenis pelarut tersebut, sedangkan pelarut benzena tidak digunakan karena jenis pelarut tersebut memiliki flash point sangat rendah yaitu –11 oC sehingga menyebabkan pelarut ini paling jarang digunakan dalam pelarutan asphaltene. Disamping itu, karakteristik kelarutan benzena terhadap asphaltene relatif lebih rendah dibandingkan dua jenis pelarut lainnya.

Selain pelarut hidrokarbon aromatik (toluena dan xylena), pelarut dari golongan heavy hidrokarbon aromatik seperti naftalena juga banyak dikaji kemampuannya dalam melarutkan asphaltene. Penggunaan pelarut tersebut sebagai alternatif pengganti pelarut aromatik dikarenakan pelarut aromatik pada umumnya memiliki flash point yang cukup rendah. Pelarut dengan flash point yang rendah memiliki resiko keamanan dalam pengaplikasiannya. Pada penelitian ini juga digunakan pelarut solvesso 150 sebagai pelarut deposit asphaltene. Solvesso 150 merupakan pelarut yang mengandung senyawa naftalena. Solvesso 150 memiliki

flash point yang cukup tinggi yakni berkisar pada suhu 150o F/66oC.

Pada penelitian ini diujikan beberapa jenis pelarut, antara lain: toluena, xylena, solvesso 150, diesel, dan metil ester untuk melihat efektivitasnya dalam melarutkan asphaltene dan mendapatkan derajat kelarutan yang paling optimal. Hasil pengukuran derajat kelarutan ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa jenis pelarut

Gambar 9 menunjukkan bahwa jenis pelarut yang berbeda memberikan nilai derajat kelarutan yang berbeda. Derajat kelarutan yang terendah diperoleh pada penggunaan pelarut diesel dengan kelarutan sebesar 14,56%, sedangkan kelarutan tertinggi didapatkan pada penggunaan toluena dengan derajat kelarutan sebesar 65,09%. Pada penggunaan pelarut xylena, solvesso, dan metil ester diperoleh kelarutan masing-masing sebesar 61,95%, 59,84%, dan 16,83%. Dari keseluruhan perlakuan yang diujikan, toluena memberikan derajat kelarutan paling tinggi diantara jenis pelarut lainnya sehingga toluena merupakan pelarut terpilih karena memiliki nilai derajat kelarutan paling optimal.

Toluena dipilih sebagai pelarut pada penelitian ini karena memiliki kemampuan pelarutan yang paling baik sebagai dissolver. Toluena merupakan jenis pelarut hidrokarbon aromatik dengan rumus molekul C6H5CH3 memiliki densitas

0,87 g/cm3, titik didih 110,6 oC, dan flash point sebesar 4 oC. Toluena tergolong

dalam pelarut aromatik homosiklik yang mengandung cincin aromatik. Oseghale dan Ebhodaghe (2011) melakukan pengujian pelarutan asphaltene dalam toluena, diesel dan campuran keduanya pada beberapa variasi konsentrasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelarutan asphaltene paling optimal diperoleh pada toluena dengan konsentrasi 100%, sedangkan campuran kedua pelarut menunjukkan hasil yang kurang baik bahkan diesel hanya dapat melarutkan

asphaltene kurang dari 15% dalam waktu 150 menit.

Menururt Bianco et al. (1997) secara umum pelarut aromatik seperti toluena dan xylena digunakan untuk menghilangakan deposit asphaltene. Keefektifan pelarut tersebut cukup tinggi tergantung pada struktur kimia penyusun, karakteristik kelarutan serta jenis dari deposit asphaltene. Namun, berdasarkan beberapa pengujian menunjukkan bahwa kapasitas pelarut alkilbenzena relatif lebih rendah dibandingkan highly condensed aromatic hydrocarbons (HCAH) seperti tertralin dan naftalena.

Hal serupa juga disampaikan oleh Charles (1991) bahwa kelarutan deposit

asphaltene lebih tinggi di dalam hidrokarbon aromatik monosiklik dan bisiklik dari

pada di dalam aromatik trisiklik atau polisiklik. Begitu juga dengan hasil penelitian

Canonico et al. (1994) yang menunjukkan bahwa performa tetralin dan 1-metilnaftalena sebagai solvent asphaltene lebih baik dibandingkan dengan

toluena dan benzena. Akan tetapi untuk menghasilkan pelarut highly condensed

aromatic hydrocarbons atau hidrokarbon aromatik bisiklik tersebut menjadi

senyawa murni membutuhkan proses pemurnian dan derivatisasi petrokimia pelarut 0 20 40 60 80 100

Toluena Xylena Solvesso Diesel Metil ester

Der aj at k elar u tan asp h alten e (%) Jenis Pelarut

dari campuran kimia yang sangat kompleks sehingga menjadikan harga jual pelarut menjadi mahal dan sangat tidak ekonomis digunakan sebagai pelarut asphaltene (Bianco et al. 1997).

Solvesso 150 yang digunakan pada penelitian ini bukanlah senyawa murni, tetapi terdiri dari beberapa komposisi senyawa penyusun pelarut tersebut. Berdasarkan material safety data sheet (MSDS) yang dikeluarkan oleh Pharmaco- AAPER, solvesso 150 terdiri dari komposisi hidrokarbon 88-89,5%, naftalena 9-10%, dan 1,2,4-trimethilbenzena sebesar 1,5-2%. Proporsi masing-masing senyawa tersebut dalam solvesso 150 mempengaruhi kefektifannya sebagai pelarut. Dengan demikian, kandungan dari pelarut tersebut diduga menentukan kemampuan pelarutannya terhadap deposit asphaltene.

Allen dan Roberts (1984) mengemukakan pendapat bahwa asphaltene memiliki sifat larut dalam hidrokarbon dengan rantai bercabang dan tidak larut dalam hidrokarbon berantai lurus seperti diesel, minyak tanah dan kebanyakan kondensat namun hidrokarbon dan kondensat yang mengandung komponen aromatik memiliki kemampuan untuk melarutkannya. Selanjutnya pelarut terpilih yang digunakan dalam formulasi menggunakan surfaktan adalah toluena.

Penentuan Jenis dan Konsentrasi Surfaktan

Pada tahapan ini toluena sebagai pelarut terpilih diformulasikan dengan surfaktan MESA dan MES. Surfaktan MESA dan MES masing-masing akan digunakan dalam beberapa konsentrasi yaitu 0%, 0,5%, 1%, 3%, dan 5%. Proses pengujian diawali dengan pengukuran tegangan antarmuka asphaltene dissolver, diharapkan asphaltene dissolver tersebut mampu menurunkan tegangan antar muka minyak-air mencapai nilai terendah yang mencapai nilai ultra-low interfacial

tension (≤ 10-3 dyne/cm). Hal ini disyaratkan karena dengan nilai tegangan

antarmuka yang sangat rendah akan memperbesar nilai capillary number, serta merubah kondisi batuan suka minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet) agar proses pelarutan asphaltene dapat dilakukan secara optimal dan pengendapan kembali deposisi asphaltene dapat dicegah. Untuk memperoleh kinerja terbaik dari surfaktan, maka dilakukan proses formulasi untuk menentukan jenis dan konsentrasi surfaktan terbaik. Grafik nilai tegangan antarmuka beberapa konsentrasi surfaktan MESA dan MES dalam toluena ditampilkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Nilai tegangan antarmuka beberapa konsentrasi surfaktan MESA dan MES dalam toluena

1,00,E-03 1,00,E-02 1,00,E-01 1,00,E+00 1,00,E+01 1,00,E+02 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 Teg ang an a nta rm uk a ( dy ne /c m ) Konsentrasi surfaktan (%) MESA MES

Dari hasil pengujian tegangan antarmuka, diketahui bahwa surfaktan MESA menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada surfaktan MES dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka. Berdasarkan Gambar 10, nilai tegangan antarmuka terkecil diperoleh pada surfaktan dengan konsentrasi 1%. Kecenderungan yang terjadi adalah pada saat konsentrasi surfaktan yang ditambahkan dalam toluena 0,5% dan 1% terjadi penurunan tegangan antarmuka sampai tegangan antarmuka terkecil pada konsentrasi surfaktan 1% yaitu sebesar 3,95x10-3 dyne/cm pada penggunaan surfaktan MESA, kemudian tegangan antarmuka kembali meningkat pada konsentrasi surfaktan 3% dan 5%. Hal yang sama terjadi pada penggunaan surfaktan MES. Dari kedua jenis surfaktan yang diujikan, nilai tegangan antarmuka MESA yang dihasilkan relatif lebih rendah dibandingkan MES pada konsentrasi yang sama. Hasil pengukuran tegangan antarmuka menunjukkan kisaran nilai antara 2,87x10-2 dyne/cm hingga 1,71x10-2 dyne/cm pada penambahan MESA dan kisaran nilai 6,32x10-2 dyne/cm sampai 2,80x10-2 dyne/cm pada penambahan MES.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi surfaktan berpengaruh nyata (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%) terhadap penurunan nilai tegangan antar muka. Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi surfaktan menunjukkan bahwa taraf konsentrasi 0% menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penurunan nilai tegangan antar muka dengan perlakuan 0,5%, 1%, 3%, dan 5% pada tingkat kepercayaan 95% pada kedua jenis surfaktan baik MESA maupun MES. Sedangkan faktor konsentrasi pada taraf perlakuan 0,5%, 1%, 3%, dan 5% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Faktor konsentrasi surfaktan MESA 1% memberikan rata-rata nilai tegangan antar muka terendah sebesar 3,95x10-3 dyne/cm dan rataan penurunan tegangan antarmuka tertinggi sebesar 99,97%.

Adsorpsi surfaktan akan menyebabkan penurunan energi bebas pada daerah antar muka. Energi bebas antarmuka atau interfacial tension adalah jumlah kerja minimum yang dibutuhkan untuk memperluas daerah antar muka. Semakin banyak surfaktan yang teradsorpsi, penurunan interfacial tension akan semakin besar. Namun, saat mencapai konsentrasi tertentu, tegangan antar muka akan konstan, walaupun konsentrasi surfaktan terus ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi konsentrasi ini maka akan terbentuk misel. Konsentrasi pada saat terbentuk misel disebut critical micelle concentration (CMC). Setelah CMC tercapai, tegangan permukaan akan konstan yang menunjukkan bahwa daerah antar muka menjadi jenuh sehingga terbentuk misel yang berada dalam keseimbangan dinamis dengan monomernya (Tadros, 2005). Kondisi ini diduga yang terjadi pada pengujian tegangan antarmuka pada penelitian ini. Surfaktan mencapai critical

micelle concentration (CMC) pada konsentrasi 1 %, sehingga peningkatan

konsentrasi surfaktan 3% dan 5% menyebabkan peningkatan nilai tegangan antarmuka.

Proses pengujian dilanjutkan dengan tahapan terstruktur dalam penentuan konsentrasi optimal surfaktan untuk asphaltene dissolver guna meningkatkan pelarutan asphaltene. Penentuan konsentrasi surfaktan optimal dilihat dari derajat kelarutan yang dihasilkan oleh larutan tersebut. Grafik nilai derajat kelarutan

Gambar 11 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa konsentrasi surfaktan MESA dan MES dalam toluena

Berdasarkan Gambar 11, derajat kelarutan asphaltene tertinggi diperoleh pada konsentrasi surfaktan 1%, kemudian mengalami penurunan pada konsentrasi 3% dan 5%. Begitu juga halnya pada konsentrasi surfaktan 0,5%, kelarutan

asphaltene relatif lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi 1%. Hal ini terjadi

pada kedua jenis surfaktan yang digunakan baik MESA maupun MES. Dari kedua jenis surfaktan tersebut, surfaktan MESA menghasilkan derajat kelarutan tertinggi dibandingkan surfaktan MES. Derajat kelarutan tertinggi diperoleh pada surfaktan MESA 1% dengan nilai mencapai 69,58%, sedangkan pada surfaktan MES 1% hanya mencapai nilai sebesar 67,57%.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi surfaktan berpengaruh nyata (signifikan pada tingkat kepercayaan 95%) terhadap derajat kelarutan asphaltene. Uji lanjut Duncan terhadap konsentrasi surfaktan MES menunjukkan bahwa taraf konsentrasi 1% menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi surfaktan lainnya pada tingkat kepercayaan 95%. Begitu juga halnya pada surfaktan MESA menunjukkan bahwa konsentrasi 1% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan konsentrasi 0,5%, 3% dan 5%, sedangkan konsentrasi 0,5%, 3% dan 5% menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Faktor konsentrasi surfaktan MESA 1% memberikan rata-rata derajat kelarutan asphaltene tertinggi sebesar 69,58%. Kriteria yang ditetapkan dalam pemilihan jenis dan konsentrasi surfaktan adalah konsentrasi surfaktan terkecilyang memberikan nilai tegangan antarmuka terendah dan derajat kelarutan tertinggi yang kemudian ditetapkan sebagai konsentrasi optimum. Dengan demikian, berdasarkan hasil percobaan ini ditetapkan konsentrasi optimum surfaktan adalah 1% pada penggunaan surfaktan MESA.

Kemampuan surfaktan untuk teradsorpsi di permukaan partikel asphaltene merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme pelarutan asphaltene. Surfaktan yang bersifat asam dapat teradsorpsi di permukaan partikel asphaltene dengan sangat kuat. Sedangkan sebaliknya, surfaktan yang bersifat basa atau netral memiliki kemampuan yang lemah untuk teradsorpsi di permukaan partikel

asphaltene. Hal ini mengindikasikan bahwa ikatan hidrogen yang terbentuk antara

gugus asam pada surfaktan dengan gugus basa pada partikel asphaltene lebih kuat dibandingkan dengan ikatan hidrogen gugus basa surfaktan dengan gugus asam

0 20 40 60 80 0,5 1 3 5 Der aj at k elar u tan asp h alten e (%) Konsentrasi surfaktan (%) MES MESA

asphaltene (Ostlund, 2004). Dalam arti kata bahwa meskipun sama-sama dapat membentuk ikatan hidrogen dengan partikel asphaltene, namun daya dispersi surfaktan asam relatif lebih baik dibandingkan dengan surfaktan netral.

Menurut Chang dan Fogler (1994), surfaktan dapat membentuk ikatan asam-basa atau ikatan hidrogen dengan partikel asphaltene jauh lebih efektif dibandingkan dengan surfaktan yang berinteraksi melalui mekanisme lain. Hal ini disebabkan karena ikatan hidrogen yang terbentuk antara surfaktan dengan partikel

asphaltene relatif lebih kuat dan stabil, sehingga tidak mudah lepas. Disamping itu,

interaksi asam-basa biasanya terjadi melalui gugus hidrofilik surfaktan yang akan menyebabkan rantai samping yang bersifat hidrofobik mengarah keluar, dan akan menghalangi dimerisasi asphaltene serta memodifikasi kepolaran asphaltene menjadi lebih mirip minyak bumi sehingga dapat dilarutkan dalam pelarut.

Surfaktan MESA memiliki gugus sulfonat (SO3H) yang bersifat sangat

asam sehingga dapat berinteraksi dengan asphaltene melalui interaksi asam-basa. Pola interaksi surfaktan MESA dengan partikel asphaltene diduga mirip dengan resin. Gugus asam surfaktan yang terikat pada partikel asphaltene memungkinkan pembentukan steric stabilization layer oleh rantai samping surfaktan. Steric

stabilization layer bersifat non polar, sehingga dapat mendispersi asphaltene ke

dalam pelarut. Selain itu, steric stabilization layer dapat mencegah pembentukan dimer asphaltene sehingga peningkatan ukuran partikel asphaltene dapat dicegah (Chang dan Fogler 1994).

Leon et al. (2001) mengemukakan bahwa kestabilan asphaltene meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan yang teradsorpsi di permukaan partikel asphaltene. Namun adsorpsi ini dibatasi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah luas bidang aktif partikel asphaltene dan konsentrasi optimum surfaktan yang dapat teradsorpsi di permukaan partikel asphaltene. Hal ini diduga menjadi penyebab menurunnya kelarutan asphaltene pada konsentrasi di atas 1%. Sempitnya bidang aktif dan rendahnya kapasitas adsorpsi menyebabkan partikel

asphaltene cepat jenuh, sehingga pengaruh peningkatan konsentrasi surfaktan di

atas 1% tidak sebesar saat konsentrasi 1%.

Kinerja Asphaltene dissolver

Asphaltene dissolver yang dihasilkan perlu dilakukan uji kinerja terlebih

dahulu sebelum diaplikasikan langsung di lapangan. Asphaltene dissolver dengan pelarut terbaik serta jenis dan konsentrasi surfaktan terbaik dilihat kinerjanya dalam mengubah sifat kebasahan batuan dan permukaan logam, daya dispersi pada molekul asphaltene, kemampuan desorpsi pada batuan serta kemungkinan pembentukan plugging.

Daya Dispersi Asphaltene Dissolver

Dalam upaya meningkatkan kemampuan pelarutan asphaltene, penting untuk mengetahui efektifitas dispersi asphaltene dissolver pada partikel asphaltene. Mekanisme dispersi dapat terjadi karena adanya interaksi asam-basa antara gugus sulfonat surfaktan MESA dengan gugus basa asphaltene. Surfaktan dapat memecah

ikatan antar molekul asphaltene dan mendispersi molekul asphaltene ke dalam pelarut sehingga dapat dilarutkan.

Menurut Kelland (2014) surfaktan dapat berinteraksi dengan partikel

asphaltene melalui interaksi asam-basa atau ikatan hidrogen, interaksi dipol-dipol,

pembentukan ion kompleks, dan interaksi gugus aromatik atau gugus tak jenuh antara surfaktandengan asphaltene. Pola interaksi asam-basa atau ikatan hidrogen diketahui jauh lebih efektif dibandingkan dengan surfaktan yang berinteraksi melalui mekanisme lain. Interaksi asam-basa surfaktan dan asphaltene dapat terjadi dengan sangat kuat dan stabil.

Menurut Nezhad et al. (2013) untuk mempelajari mekanisme dispersi

asphaltene dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

Berdasarkan metode ini, efektifitas dispersi diidentifikasi berdasarkan konsentrasi

asphaltene yang terkandung dalam larutan dengan mengukur nilai absorbansinya.

Hal ini juga menjadi dasar metode desorpsi asphaltene dari core atau batuan (Minssieux 1998).

Efektivitas dispersi dapat dilihat dari kestabilan asphaltene dalam larutan setelah ditambahkan surfaktan. Proses dispersi asphaltene oleh surfaktan diawali dengan adsorpsi surfaktan di permukaan partikel asphaltene. Menurut Leon et al.

Dokumen terkait