FORMULASI DAN KINERJA
ASPHALTENE DISSOLVER
MENGGUNAKAN SURFAKTAN ANIONIK DARI
MINYAK SAWIT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Formulasi dan Kinerja Asphaltene Dissolver Menggunakan Surfaktan Anionik dari Minyak Sawit” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Felga Zulfia Rasdiana F351130341
FELGA ZULFIA RASDIANA. F351130341. Formulasi dan Kinerja Asphaltene
Dissolver Menggunakan Surfaktan Anionik dari Minyak Sawit. Dibawah
bimbingan ERLIZA HAMBALI dan PUDJI PERMADI. 2016.
Asphaltene merupakan golongan fraksi berat dari minyak bumi dan
diterminologikan sebagai komponen sangat aromatik yang mengandung makromolekul heterosiklik tak jenuh dengan komponen utama yaitu karbon, hidrogen, dan komponen minor lain seperti sulfur, oksigen, nitrogen, serta akumulasi beberapa jenis logam berat seperti besi, nikel, vanadin, aluminium, dan magnesium (Okafor et al. 2013). Keberadaan asphaltene di dalam minyak bumi bukanlah sebagai molekul terlarut, melainkan sebagai nanopartikel yang dapat membentuk agregat. Ketika terjadinya perubahan kondisi termodinamika selama proses produksi minyak bumi, kestabilan nanopartikel akan terganggu sehingga saling bertumbukan dan membentuk agregat yang terus tumbuh menjadi partikel yang lebih besar, dari ukuran nano, mikron, sampai terbentuknya deposisi pada daur hidup produksi minyak bumi seperti perforasi, tubing, downhole, dan peralatan permukaan.
Proses deposisi asphaltene dapat terus terjadi selama proses produksi minyak bumi sehingga jumlah endapan yang terbentuk semakin meningkat. Terbentuknya deposisi asphlatene merupakan salah satu penyebab penurunan produksi sumur minyak dan peningkatan biaya operasional produksi (Oseghale et al. 2011; Li et al. 2014) serta menjadi masalah utama pada industri perminyakan yang menyebabkan lambatnya proses produksi atau bahkan pemberhentian proses produksi untuk menghilangkan asphaltene yang terdeposisi (Hasmi et al. 2012).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan deposisi tersebut adalah melalui injeksi langsung asphaltene dissolver dengan penambahan surfaktan. Surfaktan dapat berperan sebagai dispersant dan wetting
agent yang dapat terdispersi ke dalam molekul asphaltene dengan memecah
ikatan antar molekul asphaltene sehingga dapat menghambat pembentukan kembali endapan asphaltene. Namun kebanyakan surfaktan yang digunakan adalah surfaktan komersial dari bahan baku berbasis petroleum. Surfaktan ini bersifat tidak terbarukan seiring dengan semakin berkurangnya cadangan minyak bumi. Jenis surfaktan lain yang dapat digunakan adalah surfaktan anionik yang berasal dari bahan baku nabati seperti metil ester sulfonat acid (MESA) dan metil ester sulfonat (MES) dari minyak sawit.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk asphaltene dissolver terbaik menggunakan surfaktan anionik yang berasal dari minyak sawit. Disamping itu untuk mendapatkan informasi kinerja dari asphaltene dissolver yang dihasilkan serta mendapatkan informasi kinerja aplikasi dari asphaltene
dissolver yang dihasilkan dengan mengetahui pengaruh suhu dan waktu kontak
terhadap kelarutan asphaltene.
Penelitian diawali dengan karakterisasi deposit asphaltene dan karakterisasi surfaktan MESA dan MES. Selanjutnya dilakukan proses formulasi
asphaltene dissolver dengan tahapan awal yaitu pemilihan jenis pelarut terbaik
dissolver terbaik yang dihasilkan dilakukan uji kinerja yang meliputi pengukuran daya dispersi, desorpsi asphaltene dari batuan, wettability pada batuan, wetting
charateristic pada permukaan logam, dan uji filtrasi. Asphaltene dissolver yang
dihasilkan kemudian dilakukan pengujian kinerja aplikasi dengan melihat pengaruh suhu dan waktu kontak terhadap derajat kelarutan asphaltene.
Dari hasil analisis formulasi dan kinerja yang telah dilakukan, asphaltene
dissolver terbaik yang diperoleh adalah campuran surfaktan MESA 1% dalam
toluena yang menghasilkan derajat kelarutan asphaltene sebesar 69,58% dengan nilai tegangan antarmuka terendah yaitu sebesar 3,95x10-3 dyne/cm. Kinerja
asphaltene dissolver menunjukkan bahwa asphaltene dissolver yang dihasilkan
memiliki daya dispersi dan desorpsi yang baik dibandingkan toluena dengan nilai dispersi sebesar 95,56% dan nilai desorpsi sebesar 93,16%. Asphaltene dissolver yang dihasilkan dapat mengubah sudut kontak batuan dari 48,6o menjadi 80,89o. Sudut kontak yang dihasilkan merupakan sudut kontak terbaik dibandingkan dengan toluena. Uji wetting characteristic memperlihatkan kemampuan
asphaltene dissolver dalam meningkatkan sifat kebasahan pada permukaan logam
dengan pelepasan asphaltene sebesar 99,32% pada asphaltene dissolver dan toluena sebesar 26,59%. Pada uji filtrasi menunjukkan bahwa asphaltene
dissolver yang dihasilkan tidak menimbulkan penyumbatan dengan nilai filtration
ratio (Fr) sebesar 1,14 yang berarti masih dalam rentang nilai <1,2.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor suhu dan waktu kontak secara signifikan berpengaruh terhadap derajat kelarutan asphaltene dengan aplikasi asphaltene dissolver pada tingkat kepercayaan 95%. Derajat kelarutan asphaltene meningkat seiring dengan meningkatnya suhu pemanasan dan waktu kontak. Derajat kelarutan asphaltene tertinggi dihasilkan pada suhu 100 oC dengan waktu kontak selama 180 menit sebesar 99,38%.
FELGA ZULFIA RASDIANA. F351130341. Formulation and Performance of Asphaltene Dissolver Using Anionic Surfactant from Palm Oil. Under Supervision of ERLIZA HAMBALI and PUDJI PERMADI. 2016.
Asphaltene is a heavy fraction of petroleum and termed as a highly aromatic component containing unsaturated heterocyclic macromolecules with major components such as carbon, hydrogen, and other minor components such as sulphur, oxygen, nitrogen, and the accumulation of several heavy metals such as iron, nickel, vanadium, aluminum, and magnesium (Okafor et al. 2013). The existence of asphaltene in the petroleum is not as dissolved molecules, but as nanoparticle which is able to form an aggregate. When changes in the thermodynamics condition occurs during the oil production, nanoparticle stability is disturbed, which cause collision and form an aggregate that continues to grow to be greater particles, from nano to micron, and construction of deposition on the life cycle of oil production such as perforation, tubing, downhole, and the surface equipment.
The deposition of asphaltene continues to occur during petroleum production, which is responsible for increase of formed deposits. Asphaltene deposition is one of the factors that contributes to reduction of oil wells production and higher operational cost (Oseghale et al. 2011; Li et al. 2014) as well as becomes the major problem in petroleum industry causing slow production or even operational shutdown to remove the deposited asphaltene (Hasmi et al. 2012).
One of the efforts for deposition removal is direct injection of asphaltene dissolver by the addition of surfactant. Surfactant serves as dispersant and wetting agent that can be dispersed into the asphaltene molecules by breaking the molecular bond of asphaltenes, which obstruct the reformation process of asphaltene deposition. Most commercial surfactants used are from petroleum-based raw materials, and they are non-renewable along with the reduction in petroleum reserve. Another surfactant is anionic surfactant derived from vegetable raw materials such as methyl ester sulphonic acid (MESA) and sodium methyl ester sulphonic (MES) from palm oil.
The objective of this research was to produce the best formulation of asphaltene dissolver using an anionic surfactant derived from palm oil. In addition this work aimed to obtain the performance information of asphaltene dissolver and also to observe performance application of the asphaltene dissolver by investigating effects of temperature and contact time on asphaltene solubility.
wettability, wetting characteristic, and filtration tests. The influences of temperature and contact time on solubility of selected asphaltene were investigated.
The result shows that the best asphaltene dissolver was mixture of MESA 1% in toluene with the lowest interfacial tension (IFT) value 3,95x10-3 dyne/cm and solubility degrees of 69,58%. When compared with toluene, the performance of the asphaltene dissolver demonstrates that it has better dispersion and desorption values of 95,56% and 93,16%, respectively. The dissolver could alter the wettability of rocks with an increase on contact angle from 48,6o to 80,89o. The contact angle is higher than that resulted with toluene. Wetting characteristic test shows that the dissolver ability to remove asphaltene from a metal surface was up to 99,32%, where as toluene only 26,59%. The filtration test indicates that asphaltene dissolver did not cause plugging with the filtration ratio (Fr) of 1,14.
The analysis of variance demonstrates that the temperature and contact time significantly affects to the asphaltene solubility on the application of asphaltene dissolver. The asphaltene solubility increases with the increasing temperature and contact time. The highest solubility (99,38%) was attained at temperature of 100 oC and contact time of 180 minutes.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
FELGA ZULFIA RASDIANA
FORMULASI DAN KINERJA
ASPHALTENE DISSOLVER
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Formulasi dan Kinerja Asphaltene Dissolver Menggunakan Surfaktan Anionik dari Minyak Sawit”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Erliza Hambali dan Prof. Dr. Pudji Permadi selaku komisi pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di Laboratorium SBRC LPPM IPB yang telah membantu selama penelitian; rekan-rekan di Magister Teknologi Industri Pertanian angkatan 2013, serta the Agroindustrialist. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya disampaikan kepada ayahanda dan ibunda tercinta atas doa yang tak pernah putus dan kasih sayang yang tak pernah usai serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan penulisan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 3
Asphaltene 3
Deposisi Asphaltene 4 Surfaktan 7
Surfaktan MESA dan MES 8 Asphaltene Dissolver 10 METODOLOGI PENELITIAN 15 Kerangka Pemikiran 15 Waktu dan Tempat Penelitian 16 Bahan dan Alat 16
Metode Penelitian 16 HASIL DAN PEMBAHASAN 17 Karakteristik Deposit Asphaltene 17 Karakteristik Surfaktan 18 Formulasi Asphaltene Dissolver 20 Kinerja Asphaltene Dissolver 25 Kinerja aplikasi asphaltene dissolver akibat pengaruh suhu dan lama waktu kontak terhadap kelarutan asphaltene 35
KESIMPULAN DAN SARAN 39
Kesimpulan 39
Saran 39
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 43
DAFTAR TABEL
1 Hasil Analisis Surfaktan MESA dan MES 19
DAFTAR GAMBAR
1 Struktur molekul asphaltene 4
2 Mekanisme aggregasi molekul asphaltene 4
3 Reaksi esterifikasi asam lemak 9
4 Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol 9
5 Reaksi kimia pembentukan MESA dan MES 10
6 Struktur kimia toluena 11
7 Struktur kimia xylena 11
8 Struktur kimia benzena 12
9 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa jenis pelarut 21 10 Nilai tegangan antarmuka beberapa konsentrasi surfaktan MESA
dan MES dalam toluena 22
11 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa konsentrasi surfaktan
MESA dan MES dalam toluena 24
12 Perbandingan daya dispersi asphaltene pada asphaltene dissolver
dan toluena 26
13 Perbandingan daya desorpsi asphaltene dari permukaan batuan
antara asphaltene dissolver dan toluena 28 14 Perbandingan nilai sudut kontak pada permukaan batuan untuk
beberapa tahapan perendaman menggunakan asphaltene dissolver
dan toluena 30
15 Kelarutan asphaltene dan pelepasan asphaltene dari permukaan
logam pada asphaltene dissolver dan toluena 32
16 Kelarutan asphaltene dalam asphaltene dissolver akibat
pengaruh suhu dan waktu kontak 35
17 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa tingkatan suhu dan
lama kontak 60 menit 37
18 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa tingkatan suhu dan
lama kontak 120 menit 37
19 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa tingkatan suhu dan
lama kontak 180 menit 37
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur karakterisasi komponen deposit asphaltene 43 2 Prosedur analisis surfaktan metil ester sulfonat acid (MESA)
dan metil ester sulfonat (MES) 44
3 Prosedur analisis formulasi dan kinerja asphaltene dissolver 46
4 Hasil uji tegangan antarmuka 49
5 Hasil uji derajat kelarutan asphaltene 51
6 Hasil analisis derajat kelarutan asphaltene akibat
pengaruh suhu dan waktu 53
7 Rekapitulasi data hasil uji dispersi dan adsorpsi 57
8 Hasil analisis wettability 58
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Asphaltene merupakan golongan fraksi berat minyak bumi yang terdiri dari
makromolekul heterosiklik tak jenuh dengan komponen utama yaitu karbon, hidrogen, dan komponen minor lain seperti sulfur, oksigen, nitrogen, serta akumulasi beberapa jenis logam berat seperti besi, nikel, vanadin, aluminium, dan magnesium. Asphaltene membentuk sistem koloid dalam minyak bumi dengan adsorpsi resin pada bagian permukaan yang membentuk stabilisasi sterik sehingga mampu mempertahankan partikel asphaltene tetap larut dalam minyak bumi (Elochukwu et al. 2013).
Berbagai kondisi yang terjadi selama proses produksi minyak bumi seperti perubahan suhu, tekanan, komposisi minyak bumi, dan injeksi bahan kimia mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan stabilitas misel asphaltene dalam minyak bumi yang diawali dengan terlepasnya resin dari permukaan asphaltene, kemudian terjadi interaksi antar molekul asphaltene dan terbentuknya fase padat melalui proses presipitasi. Selanjutnya, fase padat mengalami pergerakan menuju permukaan yang menyebabkan terbentuknya deposisi asphaltene (Zewen dan Ansong 2000).
Proses deposisi asphaltene terjadi secara terus menerus selama proses produksi minyak bumi sehingga jumlah endapan yang terbentuk semakin meningkat. Deposisi asphaltene dapat terjadi pada daerah reservoir, perforasi, tubing, downhole, dan peralatan permukaan. Terbentuknya deposisi asphlatene merupakan salah satu penyebab penurunan produksi sumur minyak dan peningkatan biaya operasional produksi (Oseghale et al. 2011). Hasmi et al. (2012) menyatakan bahwa ketidakstabilan asphaltene oleh penurunan tekanan merupakan masalah utama pada industri perminyakan yang menyebabkan lambatnya proses produksi atau bahkan pemberhentian proses produksi untuk menghilangkan
asphaltene yang terdeposisi.
Deposisi asphaltene yang terbentuk pada sumur produksi maupun fasilitas produksi lainnya selama ini ditangani melalui injeksi langsung pelarut. Pelarutyang paling umum digunakan berasal dari golongan hidrokarbon aromatik seperti toluena, xylena, atau benzena (Chaogang et al. 2012), namun penggunaan pelarut tersebut hanya menghilangkan sekitar 50% endapan asphaltene, sedangkan molekul asphaltene yang sangat polar masih menutupi bagian permukaan. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif bahan yang dapat membantu meningkatkan efektifitas pelarutan asphaltene.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah melalui penambahan surfaktan dalam komposisi pelarut yang selanjutnya dinamakan dengan asphaltene
dissolver. Surfaktan dapat terdispersi ke dalam molekul asphaltene dengan
bahan baku nabati seperti metil ester sulfonat acid (MESA) dan metil ester sulfonat (MES) dari minyak sawit.
Surfaktan metil ester sulfonat acid (MESA) dan metil ester sulfonat (MES) merupakan jenis surfaktan anionik yang diperoleh dari proses sulfonasi metil ester minyak sawit. Surfaktan dari minyak sawit memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dan diaplikasikan dalam asphaltene dissolver karena melimpahnya ketersediaan bahan baku metil ester di Indonesia yang dapat disintesis menjadi surfaktan MESA dan MES. Surfaktan yang diperoleh dari hasil sulfonasi minyak sawit memperlihatkan karakteristik dispersi dan detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), tidak beracun, mudah didegradasi (good biodegradability), dan biaya produksi yang relatif rendah sehingga diharapkan surfaktan tersebut dapat terdispersi ke dalam molekul asphaltene dan membantu meningkatkan proses pelarutanan deposit
asphaltene.
Keberhasilan proses penghilangan deposisi asphaltene dari sistem produksi maupun peralatan permukaan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : penggunaan pelarut, jenis asphaltene, jumlah asphaltene, suhu, dan waktu kontak (Sarda dan Patil 2014). Pada penelitian ini dikaji pengaruh dari faktor-faktor tersebut dan melihat peforma asphaltene dissolver dalam melarutkan endapan
asphaltene.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendesain proses formulasi
asphaltene dissolver dengan menggunakan surfaktan anionik dari minyak sawit
pada konsentrasi tertentu.
Tujuan khusus dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Menghasilkan produk asphaltene dissolver terbaik menggunakan surfaktan anionik yang berasal dari minyak sawit
2. Mendapatkan informasi kinerja asphaltene dissolver yang dihasilkan
3. Mendapatkan informasi kinerja aplikasi asphaltene dissolver yang dihasilkan dengan mengetahui pengaruh suhu dan lama waktu kontak terhadap derajat kelarutan asphaltene
Ruang Lingkup Penelitian
1. Surfaktan anionik yang digunakan adalah surfaktan MESA dan MES yang disintesis dari minyak sawit
2. Pelarut asphaltene yang digunakan dalam penelitian ini adalah toluena, xylena, solvesso 150, diesel, dan metil ester
3. Asphaltene yang digunakan diperoleh dari Lapangan Minyak Prabumulih
2 TINJAUAN PUSTAKA
Asphaltene
Asphaltene merupakan komponen hidrokarbon minyak bumi dengan
susunan struktur molekul kompleks yang mengandung cincin poliaromatik, rantai alifatik, naftenik, dan heteroatom yang terdiri dari sulfur 10,3%), oksigen (0,3-4,8%), nitrogen (0,6-3,3%), dan sejumlah komponen logam seperti besi, nikel, dan vanadin (Nezhad et al. 2013). Asphaltene juga dinyatakan sebagai suatu terminologi yang digunakan untuk komponen minyak bumi yang berwarna hitam, struktur amorf yang larut dalam pelarut aromatik seperti toluena, xylena, atau benzena serta tidak larut dalam alkana ringan seperti pentana dan heptana.
Keberadaan asphaltene di dalam minyak bumi bukan dalam bentuk senyawa murni, akan tetapi terdiri dari senyawa kompleks sehingga sulit untuk menentukan sifat alami dari asphaltene tersebut. Speight (1999) mengemukakan suatu pendapat bahwa proporsi antara komponen hidrogen dan karbon dalam molekul asphaltene relatif sama, sehingga diyakini kandungan heteroatom menjadi faktor penentu sifat asphaltene. Heteroatom karbon dan hidrogen hadir sebagai komponen utama dalam struktur molekul asphaltene yang terikat pada suatu cincin aromatik dan menghubungkan satu cincin aromatik dengan cincin aromatik lainnya. Kandungan aromatik dan heteroatom tersebut meningkat seiring dengan peningkatan berat molekul asphaltene.
Kestabilan asphaltene dalam minyak bumi dipengaruhi oleh struktur dari
asphaltene itu sendiri. Struktur asphaltene menentukan kompatibilitas antara
asphaltene dan resin. Struktur yang tidak cocok (non compatible) akan
menghambat kinerja resin sebagai asphaltene peptizer. Kemiripan struktur
asphaltene dengan resin dapat mempermudah pembentukan misel sehingga
asphaltene menjadi lebih mudah distabilkan (Schabron dan Speight 1998).
Struktur utama molekul asphaltene adalah polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs) yang terdiri dari gabungan cincin-cincin aromatik seperti
disajikan pada Gambar 1. Komponen seperti sulfur, eter, rantai alifatik atau cincin naftenik terhubung pada molekul asphaltene tersebut. Molekul asphaltene memiliki berat berkisar antara 500-1000 Da dengan berat molekul rata-rata 760 Da.
Asphaltene yang memiliki berat molekul kurang dari 760 Da hanya memiliki satu
PAHs dalam strukturnya, sedangkan molekul asphaltene dengan berat molekul lebih besar dari 760 Da mempunyai PAHs lebih dari satu dan membentuk struktur yang lebih kompleks (Kelland 2014).
Asphaltene terikat dalam struktur molekul yang sama dengan resin yang
Gambar 1 Struktur molekul asphaltene (Kelland 2014)
Okafor et al. (2013) juga memaparkan bahwa asphaltene merupakan suatu komponen polar dengan berat molekul tinggi yang tersuspensi dalam bentuk koloid dalam minyak bumi dengan dispersi resin dan maltene dalam bentuk suatu lapisan perlindungan disekitar asphaltene yang menjaga kestabilan asphaltene dalam minyak bumi. Destabilisasi menjadikan resin dan maltene mengalami de-peptize (lepas dari permukaan asphaltene), kemudian asphaltene membentuk mikropartikel yang menjadi aggregat sehingga terbentuk suatu padatan, seperti disajikan pada Gambar 2, kemudian keluar dari larutan dan terdeposisi pada permukaan batuan dan permukaan logam.
Gambar 2 Mekanisme aggregasi molekul asphaltene (Kelland 2014)
Deposisi Asphaltene
Deposisi merupakan pergerakan fase solid menuju permukaan sehingga membentuk endapan (Zewen dan Ansong 2000). Peristiwa deposisi asphaltene terjadi melalui serangkaian proses yang biasanya diawali dengan proses presipitasi, yaitu pembentukan fase padat dari cairan karena pergeseran keseimbangan termodinamika. Namun, setelah proses presipitasi fase solid dapat mengalami aglomerasi atau flokulasi tanpa terjadi deposisi. Aglomerasi atau flokulasi merupakan proses bergabungnya fase padat yang terpresipitasi menjadi partikel yang ukurannya lebih besar (Karan et al. 2003).
Aggregasi molekul (2,0 nm) Molekul asphaltene
Peristiwa deposisi dimulai dengan adsorpsi partikel asphaltene yang terpresipitasi oleh sisi aktif permukaan. Penurunan tekanan pada sistem aliran produksi minyak bumi akan menyebabkan asphaltene kehilangan kestabilannya sehingga terjadi presipitasi. Presipitasi asphaltene terjadi melalui beberapa tahapan, antara lain: (1) molekul kecil terasosiasi ke dalam dimer atau trimer molekul, (2) terbentuknya misel dengan resin dan komponen aromatik, dan (3) aggregasi misel ke dalam molekul yang terpresipitasi. Laju deposisi asphaltene meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan jumlah molekul asphaltene yang terpresipitasi, tetapi menurun seiring dengan peningkatan laju alir minyak bumi.
Mekanisme pembentukan deposisi asphaltene tidak dipaparkan secara jelas sebelumnya, akan tetapi Alboudwarej et al. (2005) menjelaskan bahwa deposisi
asphaltene dapat terjadi melalui beberapa tahapan, antara lain: (1) presipitasi
asphaltene selama perubahan kondisi operasi, seperti suhu, tekanan, dan komposisi
minyak bumi, (2) flokulasi partikel asphaltene yang terpresipitasi, dan (3) adhesi flokulan asphaltene pada batuan reservoir atau pada permukaan peralatan produksi.
Asphaltene dapat juga teradsorbsi secara langsung pada permukaan sebelum
terpresipitasi.
Deposisi asphaltene terjadi pada serangkaian peristiwa produksi dimana terganggunya keseimbangan dan stabilitas misel asphaltene. Gangguan ini timbul akibat aktivitas produksi dan stimulasi operasi yang rutin dilakukan. Menurut Trbovich dan King (1991), terjadinya presipitasi dan deposisi asphaltene dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. CO2
Destabilisasi molekul asphaltene terjadi karena penurunan pH dan pergeseran keseimbangan akibat perubahan komposisi minyak bumi dan terbentuknya turbulensi. Kecenderungan deposisi asphaltene meningkat hampir di setiap daerah operasi yang dialiri CO2. Lokasi yang paling nyata terlihat
adanya endapan asphaltene dalam aliran CO2 selama proses operasi adalah pada
wellbore dan pompa. Permasalahan ini akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan volume CO2 selama aliran.
2. Kaya kandungan gas
Aliran yang kaya akan kandungan gas dapat menimbulkan destabilisasi komponen asphaltene dengan rendahnya rasio karbon dan hidrogen. Pelepasan gas dari minyak menunjukkan peningkatan kelarutan asphaltene.
3. Perubahan pH
Penurunan pH minyak bumi disebabkan oleh CO2, mineral asam, dan
bakteri yang memproduksi asam organik secara alami yang dapat memicu terbentuknya deposisi asphaltene. Perubahan kondisi operasi sumur dapat mengubah keseimbangan komponen minyak bumi di reservoir dan menyebabkan pembebasan asam alami yang lebih banyak, peningkatan pelepasan CO2, reaktan dan produk lainnya.
4. Pencampuran aliran minyak
Campuran beberapa fluida reservoar yang sangat kompleks dapat mengganggu kestabilan komposisi minyak. Kondisi ini akan menyebabkan penurunan pH oleh asam organik yang terkandung dalam minyak, pembebasan
CO2, physical shear atau gangguan lainnya yang menimbulkan presipitasi
5. Stimulasi
Endapan asphaltene dapat disebabkan oleh proses acidizing dan penggunaan bahan kimia lainnya saat proses stimulasi. Acidizing menyebabkan pergeseran keseimbangan komponen kimia, perubahan pH, dan pembebasan gas CO2 serta meningkatkan konsentrasi beberapa ion, seperti ion besi yang secara
langsung berhubungan dengan formasi endapan asphaltene, flokulan, dan deposit lainnya.
6. Shear
Shear berkaitan erat dengan pressure drop pada operasi downhole dan
dengan proses mixing pada surface facility. 7. Penurunan tekanan
Penurunan tekanan yang terjadi selama proses produksi dapat mengubah komposisi minyak bumi yang dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan dan terjadinya presipitasi asphaltene. Kelarutan asphaltene akan meningkat seiring dengan meningkatnya tekanan.
8. Streaming potensial
Streaming potensial melalui porous media diidentifikasi sebagai penyebab
presipitasi asphaltene dan dapat terasosiasi karena perubahan atau penurunan tekanan.
9. Penurunan suhu
Perubahan suhu relatif tidak mempengaruhi terjadinya deposisi
asphaltene, namun dapat mempengaruhi kelarutan dari maltene dan resin atau
menyebabkan presipitasi paraffin yang memerangkap beberapa molekul
asphaltene. Penurunan suhu yang disebabkan oleh cool stimulation fluid juga
dapat memicu terjadinya presipitasi dan deposisi asphaltene.
Menurut Mansoori (1997), deposisi asphaltene tidak akan terjadi apabila terdapatnya resin sebagai peptizing agent alami pada minyak bumi dalam jumlah yang cukup. Resin dapat teradsorpsi di permukaan asphaltene yang terpresipitasi, mencegah peningkatan ukuran partikel, sehingga asphaltene tetap larut di dalam minyak bumi dalam bentuk koloid. Kestabilan sterik koloid asphaltene menunjukkan fungsi dari konsentrasi resin di dalam minyak bumi, kapasitas adsorpsi resin di permukaan partikel asphaltene, serta kondisi kesetimbangan antara resin di permukaan partikel asphaltene dan di dalam minyak bumi (Mansoori, 1997). Variasi konsentrasi resin akan menyebabkan perubahan jumlah resin yang teradsorpsi di permukaan partikel asphaltene. Saat konsentrasi resin berkurang atau tercapai kesetimbangan antara resin yang ada di dalam minyak bumi dengan yang teradsorpsi di permukaan partikel asphaltene, maka laju presipitasi akan meningkat, terbentuk partikel asphaltene yang ukurannya terus bertambah, dan akhirnya dapat membentuk deposit di permukaan.
Surfaktan
Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu struktur yang sama. Senyawa ini akan meningkatkan kestabilan emulsi dengan menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air. Surfaktan dapat dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan gugus hidrofiliknya, yaitu surfaktan kationik, amforterik, nonionik, dan anionik (Rosen 2004). Surfaktan kationik merupakan surfaktan yang memiliki muatan positif pada gugus aktif permukaan (gugus hidrofilik). Surfaktan ini dapat teradsorbsi pada permukaan alami yang bermuatan negatif karena perbedaan muatan antara gugus hidrofilik surfaktan dengan permukaan dan gugus hidrofobik akan menjauhi permukaan sehingga permukaan tersebut menjadi hidrofobik (Rosen 2004). Sifat hidrofilik surfaktan ini umumnya disebabkan karena keberadaan garam ammonium, seperti Quaternary Ammonium Salt (QUAT). Surfaktan ini biasanya digunakan sebagai bahan untuk deodorant, pelembut pakaian, penyegar mulut, lotion, shampo dan lainnya.
Surfaktan amforterik, seperti alkilbetain, alkildimetilamin dan turunan imidazolinium, memiliki fungsi asam dan basa yang muatannya bergantung pada pH, sehingga bersifat kationik pada pH rendah. Menurut Matheson (1996), muatan surfaktan amforterik bergantung pada pH, apabila pH rendah surfaktan akan bermuatan positif, sedangkan surfaktan akan bermuatan negatif pada pH tinggi. Surfaktan ini dapat teradsorbsi pada suatu permukaan yang bermuatan positif atau negatif tanpa mempengaruhi atau mengubah muatan permukaan tersebut secara signifikan. Sifat iritasi dari surfaktan jenis ini cukup rendah dan mampu menurunkan sifat iritasi dari surfaktan anionik. Surfaktan jenis amforterik ini masih terbatas penggunaannya dikarenakan harga jualnya yang cukup mahal, sehingga kalah bersaing dengan surfaktan jenis lain.
Surfaktan nonionik merupakan surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi pada molekulnya. Beberapa surfaktan jenis ini dapat digunakan pada berbagai nilai pH dan toleran pada konsentrasi elektrolit. Gugus hidrofobik dan hidrofilik surfaktan nonionik dapat teradsorpsi ke bagian permukaan, tergantung pada sifat permukaan tersebut. Apabila gugus hidrofilik surfaktan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan permukaan, maka gugus hidrofobik akan bergerak menjauhi permukaan sehingga permukaan tersebut menjadi hidrofobik. Sebaliknya, apabila gugus hidrofobik surfaktan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan permukaan, maka gugus hidrofilik akan menjauhi permukaan sehingga permukaan menjadi hidrofilik. Surfaktan ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ester asam lemak pada polihidrik alkohol (gliseril stearat, propilen glikol ester, sorbitan ester dan gula ester) dan turunan polialkoksilat.
Sebagian besar surfaktan anionik digunakan sebagai emulsifier, pembersih dan pembentuk busa sabun. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan ini merupakan kelompok surfaktan terbesar yang diproduksi. Data jumlah konsumsi surfaktan dunia menunjukkan bahwa surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 50%, kemudian disusul non-ionik 45%, kationik 4%, dan amfoterik 1%. Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terdisosiasi menjadi gugus kation yang bermuatan postif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Contoh khas surfaktan anionik adalah alkohol sulfat dan ester sulfonat, surfaktan metil ester sulfonat acid (MESA) dan metil ester sulfonat (MES) termasuk ke dalam golongan surfaktan anionik.
Dalam aplikasinya pada industri perminyakan baik digunakan dalam injeksi kimia untuk Enhanced Oil Recovery maupun well stimulation agent, surfaktan yang paling banyak digunakan adalah surfaktan anionik. Hal ini dikarenakan surfaktan jenis ini menunjukkan adsorpsi yang relatif rendah pada batuan pasir yang permukaannya bermuatan negatif. Sedangkan surfaktan jenis lain seperti surfaktan nonionik terutama berfungsi sebagai co-surfaktan untuk memperbaiki kelakuan fasa. Meskipun pada dasarnya surfaktan nonionik lebih toleran terhadap salinitas yang tinggi, tetapi sebagian besar relatif tidak tahan terhadap panas yang tinggi, sehingga mengakibatkan meningkatnya nilai tegangan antarmuka pada suhu yang tinggi. Namun seringkali campuran surfaktan anionik dan nonionik digunakan untuk meningkatkan toleransi terhadap salinitas. Surfaktan kationik sangat jarang digunakan dalam reservoir batuan pasir dikarenakan daya adsorpsi yang tinggi pada batuan tersebut. Surfaktan zwitterionik mengandung dua kelompok aktif. Jenis surfaktan zwitterionik dapat bersifat anionik atau nonionik tergantung pada pH medianya. Surfaktan ini relatif tahan terhadap suhu dan salinitas yang tinggi, tetapi harganya relatif mahal.
Surfaktan Metil Ester Sulfonat Acid (MESA) dan Metil Ester Sulfonat (MES)
Surfaktan metil ester sulfonat acid (MESA) dan metill ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan. Surfaktan ini dapat diperoleh dari bahan baku berupa minyak nabati dan lemak hewani seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan lemak sapi (tallow) (Roberts 2001). Surfaktan MESA dan MES diperoleh melalui proses sulfonasi metil ester minyak sawit (MacArthur et al. 2002).
Gambar 3 Reaksi esterifikasi asam lemak (MacArthur et al. 2002)
Transesterifikasi trigliserida dilakukan dengan mereaksikan trigliserida dengan metanol yang disebut juga dengan reaksi metanolisis. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dengan metanol terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4 Reaksi transesterifikasi trigliserida (MacArthur et al. 2002)
Menurut Foster (1996), proses sulfonasi metil ester dilakukan dengan menggunakan SO3 yang dilarutkan dengan udara yang sangat kering dan
direaksikan secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO3 yang digunakan dapat berbentuk SO3 cair ataupun SO3 yang diproduksi
dari hasil pembakaran sulfur. Reaksi gas SO3 dengan bahan organik berlangsung
cukup cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO3 paling rendah dibandingkan proses
sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar. Untuk menghasilkan spesifikasi produk yang diinginkan, maka faktor rasio mol, waktu netralisasi, suhu reaksi, konsentrasi penambahan gugus sulfat, jenis dan konsentrasi katalis, serta pH dan suhu netralisasi harus sangat diperhatikan.
Surfaktan MESA merupakan produk awal yang dihasilkan dalam proses sulfonasi metil ester sebelum dilakukan netralisasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES) sehingga bersifat sangat asam. Mekanisme pembentukan MESA dalam reaktor sulfonasi terdiri dari beberapa tahap. Urutan proses yang terjadi adalah metil ester bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (I),
pada umumnya berupa senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (I) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa intermediet (II). Selanjutnya, senyawa intermediet (II) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat
Gambar 5 Reaksi kimia pembentukan MESA dan MES (MacArthur et al. 2002)
Menurut Matheson (1996), surfaktan dari minyak nabati memiliki kelebihan dibandingkan dengan surfaktan berbasis petroleum, yaitu memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah
didegradasi (good biodegradability). Surfaktan ini juga bersifat terbarukan dan biaya produksi lebih rendah (sekitar 57%) dari biaya produksi surfaktan dari petrokimia (linier alkilbenzen sulfonat, LAS).
Asphaltene dissolver
Penanggulangan masalah deposit asphaltene yang sudah terbentuk dapat dilakukan dengan cara melarutkan deposit tersebut menggunakan bahan kimia tertentu yang dalam hal ini disebut sebagai dissolver. Dissolver bekerja dengan menyerang ikatan antar molekul asphaltene dan menggantinya dengan ikatan
asphaltene dan dissolver melalui interaksi � − � sehingga deposit asphaltene dapat
dilarutkan ke dalam dissolver atau minyak bumi (Kelland 2014). Beberapa faktor dapat mempengaruhi efektifitas dissolver dalam menghilangkan deposit
asphaltene, faktor-faktor tersebut antara lain : penggunaan pelarut, jenis dan jumlah
asphaltene yang terbentuk, serta suhu dan waktu kontak (Sarda dan Patil 2014).
Menurut Garcia dan Chiaravallo (2001) karakteristik asphaltene sangat dipengaruhi oleh sumber dimana asphaltene tersebut diperoleh. Asphaltene dari suatu reservoir atau sumur biasanya memiliki karakter yang berbeda dengan
asphaltene dari reservoir dan sumur lain. Oleh karena itu, dissolver yang efektif
melarutkan deposit asphaltene pada suatu sumur belum tentu dapat digunakan di sumur lain. Begitu juga halnya berbeda jenis dissolver maka akan menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam melarutkan deposit asphaltene.
yaitu toluena, xylena, dan benzena. Toluena dideskripsikan sebagai cairan bening tidak berwarna, berbau aromatik yang khas dan tidak larut dalam air. Toluena merupakan senyawa turunan benzena yang salah satu atom hidrogennya tersubstitusi oleh gugus metil (-CH3). Struktur molekul toluena berbentuk cincin
aromatik seperti disajikan pada Gambar 6. Senyawa ini juga dikenal dengan nama lain yaitu metil benzena yang mempunyai rumus molekul C6H5CH3 dan termasuk
dalam golongan hidrokarbon aromatik bersifat non polar. Toluena diproduksi bersama dengan benzena, xylena, dan senyawa aromatik C9 dengan pembentukan
katalitik nafta yang kemudian diekstraksi dengan cara fraksinasi. Senyawa aromatik ini memiliki densitas 0,87 g/cm3, titik didih 110,6 oC, dan flash point sebesar 4 oC dengan berat molekul 92,14 g/mol (Kirk dan Othmer 1989).
Toluena digunakan terutama sebagai campuran yang ditambahkan ke dalam bensin untuk meningkatkan nilai oktan dan secara luas diaplikasikan dalam stok umpan industri dan sebagai pelarut diberbagai industri seperti industri cat, pelapis, pengharum sintetis, tinta, agen pembersih, dan industri karet. Selain itu, toluena juga digunakan dalam produksi polimer yang digunakan untuk membuat nilon, botol soda plastik, poliuretan serta obat-obatan, pewarna, dan produk kosmetik.
Xylena merupakan bahan kimia yang memiliki rumus C6H4(CH3)2 dengan
nama lain xylol atau dimetilbenzena. Senyawa ini didefinisikan sebagai cairan tidak berwarna dengan bau seperti benzena yang memiiliki densitas 0,95 g/cm3, titik didih 137 oC, flash point sebesar 25 oC, dan berat molekul 106,17 g/mol dengan komposisi karbon sebesar 95% dan hidrogen 9,5% dan bersifat larut dalam alkohol dan eter, namun tidak larut dalam air. Xylena memiliki tiga isomer yaitu ortho-xylena, meta-ortho-xylena, dan para-xylena. Struktur molekul xylena disajikan pada Gambar 7.
Xylena tergolong senyawa hidrokarbon aromatik yang diproduksi dari minyak bumi atau aspal cair dan secara luas digunakan dalam industri dan teknologi medis sebagai pelarut dan bahan kimia dasar di industri. Xylena dapat teroksidasi dimana gugus metil berubah menjadi gugus karboksilat, ortho-xylena akan membentuk phthalic acid sedangkan para-xylena akan membentuk terephthalic acid yang merupakan salah satu bahan dalam pembuatan poliester.
Gambar 6 Struktur kimia toluena
Gambar 8 Struktur kimia benzena
Benzena adalah senyawa organik siklik (berbentuk cincin) dengan enam atom karbon yang bergabung membentuk cincin segienam. Benzena memiliki rumus kimia C6H6 dengan nama IUPAC benzena atau 1,3,5-sikloheksatriena dan nama
lainnya benzol. Benzena tergolong senyawa aromatik dengan ciri khas berbau manis, tidak berwarna dan mudah terbakar. Senyawa aromatik ini memiliki densitas 0,88 g/cm3, titik didih 80 oC, dan flash point sebesar -11 oC dengan berat molekul 78,11 g/mol.
Banyak senyawa kimia penting lain yang berasal dari senyawa ini. Senyawa-senyawa tersebut dibuat dengan cara menggantikan satu atau lebih atom hidrogen pada benzena dengan gugus lainnya. Benzena adalah salah satu komponen dalam minyak bumi dan merupakan bahan petrokimia paling dasar serta pelarut yang penting dalam dunia industri. Karena memiliki bilangan oktan yang tinggi, maka benzena menjadi salah satu campuran penting dalam bensin. Benzena juga digunakan sebagai bahan dasar dalam produksi obat-obatan, industri plastik, bensin, karet sintetis, dan pewarna. Umumnya benzena digunakan sebagai bahan aditif untuk bahan kimia lainnya. Karena bersifat karsinogenik, maka pemakaian selain di bidang non-industri menjadi sangat terbatas.
Jenis pelarut lain dari golongan heavy aromatic petroleum naptha dapat juga digunakan dan menunjukkan kemampuan yang hampir sama dengan pelarut aromatik. Menurut Lightford et al. (2008) pelarut heavy aromatic naptha menunjukkan hasil rendemen asphaltene yang sama dengan xylena. Salah satu pelarut yang mengandung naptalena dalam komponennya adalah solvesso 150. Solvesso 150 merupakan pelarut yang tersusun oleh bahan utama berupa C10-12 alkil benzene yang mana salah satu komponen tersebut adalah naftalena. Naftalena merupakan golongan senyawa heavy hidrokarbon aromatik dengan rumus molekul C10H8 yang sering juga digunakan sebagai alternatif pelarut asphaltene.
Solvesso 150 diperoleh dari proses destilasi atau pemisahan minyak mentah yang dilakukan oleh industri melalui tahapan pemindahan dan penyimpanan dengan sistem kontinyu dan tertutup. Solvesso 150 memiliki titik nyala yang cukup tinggi yakni berkisar pada suhu 150o F/66oC. Senyawa ini mudah terbakar pada bentuk cair maupun uap, mempunyai tekanan uap yang tinggi dan harus terjaga pada keadaan ventilasi dan area yang memadai tanpa keberadaan sumber pengapian apapun seperti misalnya nyala api terbuka, sumber listrik statis, atau saklar lampu yang terbuka. Pemanfaatan pelarut solvesso 150 pada berbagai industri digunakan sebagai zat aditif bahan bakar, cat dan pelapis, formulasi pestisida, indusri pembersih dan pengolahan cairan.
Disamping pelarut aromatik dan naftalena, diesel juga banyak dikaji kemampuannya dalam melarutkan asphaltene. Diesel digunakan secara keseluruhan atau dicampurkan ke dalam pelarut aromatik untuk melarutkan
dihasilkan dari proses pengolahan minyak bumi. Pada dasarnya minyak mentah dipisahkan fraksi-fraksinya pada proses destilasi sehingga dihasilkan fraksi diesel dengan titik didih 250-300 oC. Diesel memiliki karakteristik yaitu tidak berwarna atau terkadang bewarna kekuningan dan berbau, memiliki kandungan sulfur yang tinggi dibandingkan bensin dan kerosin, memiliki titik nyala sekitar 40-100 oC.
Pada umumnya diesel digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermesin diesel ataupun peralatan industri lainnya.
Beberapa penelitian juga dilakukan untuk melihat kemampuan pelarutan metil ester. Yeong et al. (2006) mengemukakan bahwa metil ester memiliki kemampuan untuk melarutkan deposit polar. Ketika metil ester diaplikasikan bersamaan dengan surfaktan dapat meningkatkan kinerja dalam melarutkan deposit polar. Kinerja tersebut tidak hanya melarutkan tetapi juga menjaga deposit tersebut tetap tersuspensi dalam larutan, dengan demikian dapat menghambat redeposisi pada permukaan yang telah bersih. Joyce et al. (2009) juga melakukan investigasi kemungkinan penggunaan pembersih yang ramah lingkungan untuk menghilangkan tar atau asphalt. Tiga pembersih yang dipilih adalah terpen, metil ester dan surfaktan. Hasilnya menunjukkan bahwa campuran ketiga pembersih tersebut menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan diesel.
Metil ester merupakan senyawa dengan toksisitas yang rendah, mudah didegradasi dan memiliki titik nyala yang tinggi. Metil ester dapat diperoleh dari proses esterifikasi atau transesterifikasi minyak nabati yang secara umum dikenal sebagai biodiesel karena memiliki fungsi yang sama dengan diesel dalam mesin otomotif. Produksi metil ester dilakukan dengan mencampurkan minyak nabati dengan metanol dan ditambahkan katalis sehingga dihasilkan metil ester dan produk samping berupa gliserol. Metil ester merupakan senyawa polar dengan gugus fungsi metil yang terdiri dari rantai alifatik yang dapat membentuk ikatan hidrogen. Metil ester umumnya terdiri dari 12-24 atom karbon dengan rantai hidrokarbon panjang tidak bercabang dan mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Penggunaan pelarut aromatik menunjukkan hasil yang kurang efektif tanpa adanya penambahan aditif lain karena memberikan dampak penghilangan yang singkat. Penggunaan pelarut aromatik untuk menghilangkan deposit asphaltene hanya bertahan dalam waktu sesaat, kemudian kecenderungan asphaltene terdeposisi dapat terjadi kembali dan semakin meningkat. Untuk melarutkan dan menghilangkan endapan asphaltene dari permukaan batuan atau permukaan pipa dibutuhkan suatu komposisi pelarut dengan kepolaran kuat yang tidak hanya membawa asphaltene kedalam larutan tetapi juga memecah ikatan antar molekuler
asphaltene yang menahannya pada permukaan formasi (Lightford et al. 2008).
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk menemukan dissolver alternatif guna melarutkan deposit asphaltene. Penambahan kosolven atau aditif ke dalam
dissolver dapat dilakukan untuk menyesuaikan polaritas dissolver dengan
karakteristik kelarutan deposit asphaltene sekaligus meningkatkan efisiensi pelarutan endapan asphaltene. Beberapa jenis surfaktan sudah diteliti sebagai aditif untuk melarutkan endapan asphaltene. Chaogang et al. (2012) mempelajari peforma SDJ agent yang merupakan campuran antara surfaktan sodium
dodecylbenzene sulfonate, toluena, dan isoamil alkohol untuk menghilangkan
hidrogen dengan molekul asphaltene dan menghambat asphaltene untuk mengendap kembali. Hashmi and Firoozabadi (2013) melakukan investigasi penggunaan surfaktan dodecyl benzene sulfonic acid (DBSA) untuk menghilangkan endapan asphaltene dan dapat diketahui bahwa surfaktan DBSA efektif menghilangkan deposit asphaltene lebih baik dibandingkan toluena.
3 METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Keberadaan deposit asphaltene di berbagai formasi produktif dan peralatan permukaan dapat menurunkan produktifitas dan mengganggu proses produksi minyak bumi yang berujung pada meningkatnya biaya operasional produksi, oleh karena itu permasalahan ini harus segera diatasi dan ditangani secara efektif dan efisien. Penanggulangan endapan asphaltene yang telah terbentuk tersebut paling umum dilakukan dengan pelarutan menggunakan pelarut aromatik seperti toluena, xylena, dan benzena.
Namun, pelarut aromatik dalam penggunaannya dapat menimbulkan beberapa permasalahan, antara lain tingginya tingkat konsumsi, biaya proses yang mahal, singkatnya waktu perawatan dan menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan (Chaogang et al. 2012). Disamping itu, penggunaan pelarut aromatik masih meninggalkan formasi produktif dan peralatan permukaan dalam kondisi oil wet, kondisi ini tidak diharapkan karena mengakibatkan pembentukan kembali endapan asphaltene dengan mudah. Surfaktan dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Surfaktan dapat berfungsi sebagai dispersant dan wetting
agent yang dapat berinteraksi dengan molekul asphaltene sehingga memecah ikatan
antar molekul asphaltene dan mendispersi molekul asphaltene ke dalam pelarut sehingga dapat dilarutkan.
Surfaktan yang digunakan dapat bersifat asam maupun netral, Chaogang
et al. (2012) menyatakan bahwa surfaktan sodium dodecylbenzene sulfonate yang
bersifat netral menunjukkan hasil yang cukup baik dalam melarutkan endapan
asphaltene, namun pendapat lain disampaikan oleh Oslund et al. (2004) yang
memaparkan bahwa interaksi surfaktan asam dengan partikel asphaltene jauh lebih kuat dibandingkan dengan surfaktan netral. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan dua jenis surfaktan yaitu surfaktan MESA (bersifat asam) dan MES (bersifat netral) guna membandingkan peforma kedua jenis surfaktan tersebut untuk meningkatkan peforma pelarutan endapan asphaltene dan dapat mencegah pembentukan kembali endapan asphaltene.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei sampai Oktober 2015. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) LPPM Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain surfaktan metil ester sulfonat acid (MESA) dan surfaktan metil ester sulfonat (MES) yang berasal dari minyak sawit diperoleh dari SBRC LPPM IPB, air formasi, batuan formasi dan deposit asphaltene didapatkan dari lapangan minyak Prabumulih-Sumatera Selatan, pentana, toluena, xylena, solvesso 150, diesel, metil ester, NaOH, aquades, dan bahan-bahan kimia lain untuk keperluan analisa.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spinning drop tensiometer model TX500C, densitymeter Anton Paar DMA 4500 M, viskometer Brookfield DV-III Ultra, contact angle analyser Phoenix 300, spektrofotometer UV-Vis Hitachi U-2900, hotplate stirrer, core standard, pH meter Schott, neraca analitik Precisa XT220A, filter vakum, kertas saring whattman, ampul, oven, vial, gelas kimia, buret serta alat-alat untuk analisa lainnya.
Metode Penelitian
Karakterisasi deposit asphaltene
Tahapan awal yang dilakukan adalah menganalisis kandungan komponen organik dan anorganik pada deposit asphaltene dengan metode pengabuan berdasarkan prosedur yang merujuk pada Garcia et al. (2003) dengan modifikasi. Kemudian fraksi asphaltene dan maltene dalam deposit diukur berdasarkan prosedur ASTM 6560-00. Prosedur analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.
Karakterisasi surfaktan
Pada penelitian ini digunakan dua jenis surfaktan yaitu surfaktan metil ester sulfonat acid (MESA) yang bersifat asam dan metil ester sulfonat (MES) yang bersifat netral. Persiapan sampel dilakukan dengan pembuatan surfaktan MES menggunakan bahan baku surfaktan MESA (bersifat asam) yang dinetralisasi dengan menggunakan NaOH 50% hingga mencapai pH netral atau berkisar 6-7. Surfaktan MESA dan MES yang telah dibuat selanjutnya dianalisis sifat fisikokimia meliputi : pengukuran pH, kadar bahan aktif, densitas menggunakan
densitymeter Anton Paar DMA 4500 M, dan penentuan viskositas dengan
Formulasi asphaltene dissolver
Formulasi asphaltene dissolver diawali dengan pemilihan jenis pelarut terbaik untuk digunakan sebagai dissolver. Jenis pelarut yang digunakan yaitu toluena, xylena, solvesso, diesel, dan metil ester. Pemilihan jenis pelarut terbaik berdasarkan efektivitasnya dalam melarutkan asphaltene. Pengujian derajat kelarutan asphaltene dilakukan secara gravimetri yang merujuk pada metode yang digunakan Salgaonkar dan Danait (2012) dengan modifikasi.
Pelarut terbaik yang terpilih selanjutnya diformulasikan dengan dua jenis surfaktan yaitu surfaktan MESA (bersifat asam) dan MES (bersifat netral) dengan konsentrasi masing-masing 0%, 0,5%, 1%, 3%, 5% dan diformulasikan dalam gelas kimia pada hotplate stirer dengan pengadukan 300 rpm, suhu 40 oC selama 30
menit, kemudian didiamkan pada suhu ruang. Selanjutnya, setiap larutan dilakukan pengukuran tegangan antarmuka menggunakan spinning drop tensiometer dan pengukuran derajat kelarutan asphaltene berdasarkan modifikasi metode yang digunakan Salgaonkar dan Danait (2012). Konsentrasi surfaktan terkecil yang memberikan nilai tegangan antarmuka terendah dan derajat kelarutan tertinggi ditetapkan sebagai konsentrasi terbaik. Prosedur analisis selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.
Analisis kinerja asphaltene dissolver
Uji ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai hasil kinerja dari
asphaltene dissolver terbaik. Hasil uji kinerja ini akan menjadi gambaran efektifitas
asphaltene dissolver sebelum diaplikasikan langsung di Lapangan. Uji
laboratorium yang dilakukan meliputi pengukuran dispersi, uji desorpsi, wettability (sudut kontak), wetting caracteristic, dan filtration ratio. Pengujian kinerja juga dilakukan menggunakan toluena pada kondisi yang sama sebagai perbandingan. Prosedur penelitian disajikan pada Lampiran 3.
Analisis kinerja aplikasi asphaltene dissolver akibat pengaruh suhu dan lama waktu kontak terhadap kelarutan asphaltene
Tahapan ini dilakukan untuk melihat pengaruh beberapa tingkatan suhu dan waktu kontak terhadap derajat kelarutan asphaltene. Faktor suhu yang digunakan yaitu 40, 60, 80, dan 100 oC dan waktu yang digunakan dengan variasi 60, 120, dan 180 menit. Suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan variasi suhu dan waktu soaking pada sumur minyak.
Pengujian mengenai faktor suhu dan waktu kontak dilakukan dengan memanaskan asphaltene dissolver yang telah ditambahkan sejumlah deposit
asphaltene didalam oven. Sebanyak 10 mL asphaltene dissolver dimasukkan ke
dalam asphaltene dissolver yang dihasilkan diperbandingkan dengan toluena pada kondisi yang sama.
Rancangan Percobaan
Formulasi asphaltene dissolver
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal yaitu konsentrasi surfaktan dengan dua kali pengulangan. Model matematika dari rancangan percobaan yang digunakan pada penentuan jenis dan konsentrasi surfaktan adalah sebagai berikut :
� = � + � + �
Keterangan :
Yij : Pengaruh konsentrasi surfaktan taraf ke-i dan ulangan ke-j
µ : Rataan umum
Ai : Pengaruh konsentrasi ke-i (i=1,2,3,4)
ԑ
ij : Pengaruh kesalahan percobaanAnalisis kinerja aplikasi asphaltene dissolver akibat pengaruh suhu dan lama waktu kontak terhadap kelarutan asphaltene
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor yaitu faktor suhu (A) dan faktor waktu (B) yang dilakukan sebanyak dua kali pengulangan. Model matematis dari rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εk(ij)
Keterangan:
Yijk : Pengaruh suhu (faktor A) taraf i (i=1,2,3,4), waktu (faktor B) taraf
ke-j (ke-j=1,2,3), pada ulangan ke-k (k=1,2)
μ : Rata-rata umum
Ai : Pengaruh suhu taraf ke-i
Bj : Pengaruh waktu taraf ke-j
ABij : Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j εk(ij) : Pengaruh kesalahan percobaan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Deposit Asphaltene
Asphaltene merupakan campuran kompleks senyawa hidrokarbon dan
nitrogen, serta berbagai jenis logam, diantaranya adalah vanadium, besi, nikel, dan magnesium. Komposisi dan interaksi antar komponen sangat menentukan sifat fisik dan kimia asphaltene. Asphaltene yang berasal dari reservoir yang berbeda, atau dari sumur yang berbeda di reservoir yang sama, biasanya memiliki komposisi yang berbeda pula, sehingga sifat fisik dan kimianya juga berbeda (Mullins et al. 2012). Oleh sebab itu, analisis perlu dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun dan kandungan deposit asphaltene yang diperoleh dari lapangan. Deposit asphaltene pada penelitian ini diperoleh dari unit kerja Gold Water Talang Akar (GW TAL) lapangan minyak Prabumulih, Sumatera Selatan.
Berdasarkan analisis terhadap komponen penyusun deposit asphaltene yang telah dilakukan, kandungan komponen anorganik dalam deposit asphaltene relatif rendah dengan persentase hanya sebesar 0,04%, sedangkan komponen organik penyusun deposit asphaltene sebesar 99,96%. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa komponen utama penyusun deposit asphaltene yang digunakan pada penelitian ini adalah komponen organik. Selanjutnya, deposit asphaltene dilakukan fraksinasi dengan metode analisis SARA. SARA merupakan singkatan dari
saturates, aromatics, resin, dan asphaltene. Analisis SARA adalah salah satu teknik
analisis minyak bumi melalui fraksinasi menjadi komponen yang lebih kecil. Setiap komponen memiliki komposisi yang berbeda dengan komponen lainnya dan dipisahkan berdasarkan perbedaan kelarutannya di dalam berbagai pelarut polar dan non polar (Tinguang dan Buckley 2002).
Pada penelitian ini, analisis SARA dibatasi pada penentuan fraksi
asphaltene dan maltene (saturates, aromatics, dan resin). Kadar asphaltene di
dalam deposit asphaltene dihitung berdasarkan prosedur American Standard of Test
and Material (ASTM) D 6560-00. Dari hasil analisis kandungan fraksi asphaltene
deposit asphaltene diperoleh nilai sebesar 64,40% dan 35,60% adalah fraksi
maltene. Menurut Wang (2003) berdasarkan rasio dari kandungan saturates
terhadap total kandungan resin dan asphaltene, komponen deposit dapat digolongkan dalam 3 tipe, yaitu : jika S/(A+R)<1, deposit tergolong tipe aspaltik, jika S/(A+R)>1 tergolong tipe parafinik dan jika S/(A+R)=1 merupakan tipe campuran. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Chaogang et al. (2012), bahwa deposit yang mengandung fraksi asphaltene lebih besar dari 35% tergolong dalam tipe aspaltik. Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut deposit asphaltene yang digunakan pada penelitian ini termasuk dalam golongan tipe aspaltik.
Karakteristik Surfaktan
minyak/alkohol, jenis reaktan dan lama proses sulfonasi, serta jenis katalis yang digunakan juga menentukan karakter surfaktan MESA yang dihasilkan (Rivai 2011). Penambahan NaOH pada proses netralisasi akan mempengaruhi struktur molekul MESA karena adanya ikatan yang terbentuk antara ion Na+ dan gugus sulfonat surfaktan sehingga menghasilkan surfaktan MES dan H2O sebagai produk
samping yang sekaligus teruapkan saat pemanasan. Oleh sebab itu, surfaktan MESA dan MES perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum digunakan dalam formulasi asphaltene dissolver. Analisis surfaktan yang dilakukan adalah kadar bahan aktif, pH, densitas, dan viskositas. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Surfaktan MESA dan MES
Parameter MESA MES
Kadar bahan aktif (%) 24,08 23,51
Densitas (g/cm3) 0,83 0,94
Viskositas (cP) 19,2 25,5
Nilai pH 0,88 6,39
Derajat keasaman atau pH digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan suatu bahan. pH didefinisikan sebagai logaritma negatif konsentrasi ion hidrogen (H+) yang terdapat di dalam larutan dengan nilai berkisar antara 0 sampai 14. Suatu bahan dikatakan asam apabila memiliki pH di bawah 7, tergolong basa apabila memiliki pH di atas 7, dan tergolong netral apabila memiliki pH tepat 7. Surfaktan MESA memiliki pH sebesar 0,88 yang berarti memiliki keasaman yang sangat tinggi. pH MESA yang rendah disebabkan oleh adanya gugus sulfonat yang terdapat dalam produk hasil sulfonasi karena keberadaan molekul SO3 yang bersifat
asam. Kondisi selama proses sulfonasi akan mempengaruhi pH MESA yang dihasilkan, semakin lama proses sulfonasi maka senyawa asam yang terbentuk akan semakin bertambah sehingga pH MESA yang dihasilkan semakin menurun. Untuk memperoleh surfaktan MES perlu dilakukan netralisasi menggunakan NaOH 50%. Selama proses netralisasi gugus Na+ akan terikat pada gugus sulfonat surfaktan sehingga menyebabkan pH MES meningkat menjadi 6,39. Derajat keasaman atau pH akan mempengaruhi efektifitas pelarutan asphaltene nantinya. Menurut Hashmi
et al. (2012), mekanisme dispersi surfaktan terhadap molekul asphaltene
melibatkan sifat keasamaan surfaktantersebut.
Kadar bahan aktif menunjukkan jumlah gugus SO3 yang terkandung dalam
Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul. Viskositas menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggi pula tingkat kekentalan suatu fluida, yang mengindikasikan berubahnya struktur dan ikatan antar molekul. Kenaikan viskositas disebabkan karena meningkatnya konsentrasi partikel, demikian pula dengan sifat alir bahan akan tergantung pada viskositas dan densitas cairan. Proses netralisasi dengan NaOH menyebabkan terikatnya gugus Na+ pada gugus sulfonat, sehingga MES cenderung memiliki ukuran molekul yang lebih besar. Hal ini menyebabkan viskositas MES yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan MESA.
Densitas atau bobot jenis adalah bobot suatu cairan per berat satuan volume. Densitas diukur untuk mengetahui kerapatan antar molekul dalam material. Pada umumnya densitas dikaitkan dengan viskositas, yaitu cairan yang lebih padat (densitasnya tinggi) memiliki viskositas lebih tinggi dibandingkan cairan yang densitasnya rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa densitas MES lebih besar dibandingkan MESA dengan nilai 0,94 g/cm3 dan 0,83 g/cm3, hal ini berkorelasi dengan viskositas dimana MES lebih kental dengan nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan MESA.
Formula Asphaltene dissolver
Penentuan Jenis Pelarut Terbaik
Tahap awal yang dilakukan dalam formulasi asphaltene dissolver adalah penentuan jenis pelarut terbaik. Tahapan ini bertujuan untuk mendapatkan jenis pelarut yang paling efektif dan efisien dalam melarutkan endapan asphaltene. Jenis pelarut yang biasanya dan paling umum digunakan berasal dari golongan hidrokarbon aromatik seperti toluena, xylena, dan benzena. Pada penelitian ini digunakan dua jenis pelarut aromatik yaitu toluena dan xylena untuk melihat peforma yang paling baik diantara kedua jenis pelarut tersebut, sedangkan pelarut benzena tidak digunakan karena jenis pelarut tersebut memiliki flash point sangat rendah yaitu –11 oC sehingga menyebabkan pelarut ini paling jarang digunakan dalam pelarutan asphaltene. Disamping itu, karakteristik kelarutan benzena terhadap asphaltene relatif lebih rendah dibandingkan dua jenis pelarut lainnya.
Selain pelarut hidrokarbon aromatik (toluena dan xylena), pelarut dari golongan heavy hidrokarbon aromatik seperti naftalena juga banyak dikaji kemampuannya dalam melarutkan asphaltene. Penggunaan pelarut tersebut sebagai alternatif pengganti pelarut aromatik dikarenakan pelarut aromatik pada umumnya memiliki flash point yang cukup rendah. Pelarut dengan flash point yang rendah memiliki resiko keamanan dalam pengaplikasiannya. Pada penelitian ini juga digunakan pelarut solvesso 150 sebagai pelarut deposit asphaltene. Solvesso 150 merupakan pelarut yang mengandung senyawa naftalena. Solvesso 150 memiliki
flash point yang cukup tinggi yakni berkisar pada suhu 150o F/66oC.
Gambar 9 Derajat kelarutan asphaltene pada beberapa jenis pelarut
Gambar 9 menunjukkan bahwa jenis pelarut yang berbeda memberikan nilai derajat kelarutan yang berbeda. Derajat kelarutan yang terendah diperoleh pada penggunaan pelarut diesel dengan kelarutan sebesar 14,56%, sedangkan kelarutan tertinggi didapatkan pada penggunaan toluena dengan derajat kelarutan sebesar 65,09%. Pada penggunaan pelarut xylena, solvesso, dan metil ester diperoleh kelarutan masing-masing sebesar 61,95%, 59,84%, dan 16,83%. Dari keseluruhan perlakuan yang diujikan, toluena memberikan derajat kelarutan paling tinggi diantara jenis pelarut lainnya sehingga toluena merupakan pelarut terpilih karena memiliki nilai derajat kelarutan paling optimal.
Toluena dipilih sebagai pelarut pada penelitian ini karena memiliki kemampuan pelarutan yang paling baik sebagai dissolver. Toluena merupakan jenis pelarut hidrokarbon aromatik dengan rumus molekul C6H5CH3 memiliki densitas
0,87 g/cm3, titik didih 110,6 oC, dan flash point sebesar 4 oC. Toluena tergolong
dalam pelarut aromatik homosiklik yang mengandung cincin aromatik. Oseghale dan Ebhodaghe (2011) melakukan pengujian pelarutan asphaltene dalam toluena, diesel dan campuran keduanya pada beberapa variasi konsentrasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelarutan asphaltene paling optimal diperoleh pada toluena dengan konsentrasi 100%, sedangkan campuran kedua pelarut menunjukkan hasil yang kurang baik bahkan diesel hanya dapat melarutkan
asphaltene kurang dari 15% dalam waktu 150 menit.
Menururt Bianco et al. (1997) secara umum pelarut aromatik seperti toluena dan xylena digunakan untuk menghilangakan deposit asphaltene. Keefektifan pelarut tersebut cukup tinggi tergantung pada struktur kimia penyusun, karakteristik kelarutan serta jenis dari deposit asphaltene. Namun, berdasarkan beberapa pengujian menunjukkan bahwa kapasitas pelarut alkilbenzena relatif lebih rendah dibandingkan highly condensed aromatic hydrocarbons (HCAH) seperti tertralin dan naftalena.
Hal serupa juga disampaikan oleh Charles (1991) bahwa kelarutan deposit
asphaltene lebih tinggi di dalam hidrokarbon aromatik monosiklik dan bisiklik dari
pada di dalam aromatik trisiklik atau polisiklik. Begitu juga dengan hasil penelitian
Canonico et al. (1994) yang menunjukkan bahwa performa tetralin dan 1-metilnaftalena sebagai solvent asphaltene lebih baik dibandingkan dengan
toluena dan benzena. Akan tetapi untuk menghasilkan pelarut highly condensed
aromatic hydrocarbons atau hidrokarbon aromatik bisiklik tersebut menjadi