• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amplifikasi fragmen gen FSHR|Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60°C selama 45 detik dan diperoleh produk PCR dengan panjang 306 pb yang divisualisasikan dengan menggunakan 1,5% gel agarose. Primer yang digunakan dalam proses PCR ini menggunakan rancangan Houde et al. (1994). Proses amplifikasi fragmen gen FSHR|Alu-1 berhasil dilakukan 100% pada sampel sapi lokal Indonesia yang terdiri atas sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan dengan jumlah sampel sebanyak 129 sampel (Gambar 4).

Keterangan: M= marker (100pb), pb= pasang basa, 1-16= produk amplifikasi gen FSHR|Alu-1. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR|Alu-1pada gel agarose 1,5%.

Suhu annealing dalam amplifikasi fragmen gen merupakan perlakuan suhu optimum terjadinya penempelan primer pada titik pemotongan DNA. Penelitian ini menggunakan suhu annealing 60°C, yang berbeda dengan kondisi suhu penempelan primer yang disarankan oleh Palmer et al. (1998) yaitu 62°C. Perbedaan suhu annealing tersebut dikarenakan perbedaan komposisi mix yang digunakan untuk amplifikasi gen berbeda. Muladno (2002) menyatakan bahwa suhu penempelan primer (annealing) berkisar antara 36°C sampai dengan 72°C, namun suhu yang biasa digunakan 50-60°C. Keberhasilan amplifikasi gen menurut Palumbi (1986), ditentukan oleh kondisi penempelan primer gen target (DNA genom) pada saat proses PCR, kondisi mesin thermocycler dan tergantung pada interaksi komponen campuran PCR.

Follicle Stimulating Hormone (FSH) sangat berpengaruh terhadap proses sistem reproduksi ternak. Keberadaan gen Receptor Follicle Stimulating Hormone (FSHR) membantu terjadinya proses reproduksi. Gen FSHR akan membawa FSH

16 melalui impuls FSHR menuju sel target sehingga proses pembentukan sel ovum pada ternak betina dan sel spermatozoa pada ternak jantan dapat terjadi. Penempelan primer yang terjadi melalui primer forward dan reverse yang akan menjadi perhitungan panjang primer dari produk PCR yang dihasilkan. Amplifikasi DNA gen FSHR pada sampel sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan melalui proses PCR menghasilkan panjang produk amplifikasi DNA sepanjang 306 bp.

Keragaman Gen FSHR|Alu-1

Keragaman gen FSHR|Alu-1 dapat dideteksi dengan teknik PCR-RFLP menggunakan enzim restriksiAlu-1. Enzim restriksiAlu-1 memotong DNA dengan mengenali situs pemotongan AG|CT. Keragaman genetik berdasarkan frekuensi genotipe dan alel tersebut akan terdeteksi setelah terjadi pemotongan pada titik potong DNA.

Fragmen gen FSHR|Alu-1yang dihasilkan setelah proses PCR dan RFLP dari masing-masing sampel sapi diperoleh dua macam alel (C dan G) dan tiga macam genotipe (CC, CG, dan GG). Alel C merupakan titik potong yang dikenali oleh enzim restriksi dalam fragmen gen FSHR pada posisi basa ke 243 pb, sedangkan alel G berada pada posisi basa ke 193 pb dan 243 pb. Pemotongan alel C menghasilkan dua fragmen (243 pb dan 63 pb) dan pemotongan alel G menghasilkan tiga fragmen (193, 63 dan 50 pb).

Keragaman genotipe fragmen gen FSHR|Alu-1 yang dihasilkan menunjukkan kemunculan pita yang beragam dengan tiga macam genotipe, yaitu CC, CG, dan GG. Genotipe CC terdiri dari dua pita dengan panjang 243 dan 63 pb, genotipe CG terdiri dari empat pita dengan panjang 243, 193, 63, dan 50 pb, sedangkan genotipe GG terdiri dari tiga pita dengan panjang 193, 63, dan 50 pb (Marson, 2005).

Genotipe homozigot CC dan GG menujukkan bahwa masing-masing tetua menyumbangkan jumlah gen (alel) yang sama, sedangkan ternak dengan genotipe heterozigot (GC) menunjukkan bahwa ternak tersebut memiliki kombinasi gen yang berbeda dari kedua tetuanya.

Hasil visualisasi produk PCR-RFLP pada gel agarose 2% ditampilkan pada Gambar 5. Hasil visualisasi tersebut menunjukkan pita yang terlihat adalah pita dengan panjang 243 dan 193 pb, sedangkan panjang pita 63 dan 50 pb tidak dapat

17 dilihat. Hal tersebut terjadi karena gel yang digunakan untuk menvisualisasikan hasil genotyping dalam penelitian ini adalah gel Agarose.

Keterangan: M= marker (100pb), pb= pasang basa, 1-16= produk PCR-RFLP.

Gambar 5. Hasil Visualisasi PCR-RFLP Gen FSHR|Alu-1 pada gel agarose 2%. Muladno (2002) menyatakan bahwa agarose dengan konsentrasi 2% dapat menganalisis ukuran DNA yang berada pada kisaran 100 hingga 200 pb. Sehingga pita dengan titik potong 63 dan 50 pb tidak terlihat dalam gel tray pada proses elektroforesis. Gel yang dapat menvisualisikan titik potong DNA di bawah 100 bp adalah gel Poliakrilamid. Elektroforesis dengan gel poliakrilamida lebih efektif memisahkan fragmen DNA pada kisaran 5-500 bp, namun pembuatannya lebih sulit dibanding agarose karena poliakrilamid bisasanya digunakan dengan resolusi yang lebih tinggi (Windiastika, 2012). Sketsa visualisasi Penentuan Genotipe Gen FSHR|Alu-1 ditunjukkan pada Gambar 6.

Keterangan: M= marker (100pb), pb= pasang basa, 1-3= pemotongan dengan enzim Alu-1 Gambar 6. Sketsa Visualisasi Penentuan Genotipe Gen FSHR|Alu-1.

18 Hasil pemotongan fragmen gen FSHR|Alu-1 pada masing-masing individu ternak sapi menunjukkan alel yang berbeda dikarenakan terjadinya proses mutasi gen. Mutasi yang terjadi pada fragmen gen FSHR|Alu-1 merupakan perubahan basa yang dikenali oleh enzim restriksi Alu-1. Mutasi tersebut merupakan mutasi substitusi transversi dengan terjadinya perubahan basa purin (Guanin) menjadi basa pirimidin (Cytocine). Mutasi transversi terjadi karena adanya subtitusi antara satu basa purin (Adenin atau Guanin) menjadi satu basa pirimidin (Timin atau Cytocine) ataupun sebaliknya (Li et al., 2000).

Genotipe yang ditemukan pada masing-masing sapi lokal Indonesia adalah genotipe CC dan GG pada sapi Bali. Hasil identifikasi gen sapi Bali dengan genotipe homozigot CC atau GG mengindikasikan bahwa kedua tetua masing-masing menyumbangkan sejumlah gen (alel) yang sama. Genotipe yang muncul pada sapi Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan adalah genotipe CC, CG, dan GG. Hal ini menunjukkan bahwa tetua ternak menyumbangkan sejumlah gen (alel) yang sama dan adanya gen dari tetua yang menghasilkan kombinasi gen pada keturunannya.

Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe Gen FSHR|Alu-1

Hasil analisis frekuensi alel (C dan G) dan frekuensi genotipe (CC, CG, dan GG) fragmen gen FSHR|Alu-1 pada sapi lokal Indonesia yaitu sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe dari Gen FSHR|Alu-1

Ternak Sapi n Frekuensi Alel Frekuensi Genotipe

C G CC CG GG Bali 16 0,125 0,875 0,125 0,000 0,875 Aceh 12 0,542 0,458 0,333 0,417 0,250 Pesisir 29 0,379 0,621 0,276 0,207 0,517 PO 32 0,609 0,391 0,583 0,094 0,344 Katingan 40 0,188 0,813 0,050 0,275 0,675

Keterangan: n = jumlah individu

Frekuensi alel merupakan frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Hasil PCR-RFLP gen FSHR|Alu-1 yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh sampel sapi memiliki dua jenis alel yaitu alel C dan

19 G. Frekuensi alel sapi Aceh dan PO menunjukkan bahwa nilai frekuensi alel C yang lebih tinggi dibandingkan dengan alel G, sedangkan sapi Bali, Pesisir dan Katingan menunjukkan nilai frekuensi alel yang tertinggi adalah alel G dan alel yang terendah adalah alel C. Hasil keragaman gen FSHR|Alu-1 menunjukkan bahwa seluruh sampel sapi bersifat polimorfik. Hal tersebut dikarenakan, frekuensi alel masing-masing ternak sapi bernilai kurang dari 0,99. Menurut Nei (1987), suatu alel dikatakan polimorfik jika frekuensi alel bernilai sama dengan atau kurang dari 0,99 atau lebih dari 1% (Nei dan Kumar, 2000).

Identifikasi frekuensi genotipe gen FSHR|Alu-1 menunjukkan bahwa sapi Bali hanya menunjukkan dua macam genotipe yaitu genotipe CC dan GG. Hasil frekuensi genotipe sapi Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan menunjukkan frekuensi genotipe yang lebih beragam, dengan ditemukannya ketiga macam genotipe yaitu CC, CG, dan GG. Sapi Aceh menunjukkan tiga macam genotipe dengan genotipe tertinggi adalah CG dan terendah adalah GG. Sapi Pesisir menghasilkan genotipe tertinggi adalah GG dan genotipe terendah CG. Frekuensi genotipe tertinggi sapi PO adalah CC dan terendah adalah GG, sedangkan sapi Katingan menunjukkan frekuensi genotipe tertinggi adalah GG dan terendah adalah CC. Frekuensi tertinggi yang ditemukan pada genotipe CC dan GG menunjukkan bahwa salah satu tetua menyumbangkan gen yang lebih dominan, sedangkan frekuensi genotipe CG menunjukkan bahwa ternak memiliki kombinasi gen yang sama besar dari kedua tetuanya.

Noor (2000), menyatakan jika frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift, selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi genotipe. Frekuensi genotipe yang seringkali muncul pada individu ternak dapat dijadikan sebagai salah satu alel (penciri) spesifik pada semua bangsa sapi Indonesia.

Heterozigositas

Hasil analisis pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) gen FSHR|Alu-1 pada sapi lokal Indonesia yaitu sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan disajikan pada Tabel 4.

20 Tabel 4. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He)

gen FSHR|Alu-1

Ternak Sapi n Heterozigositas

Ho He Bali 16 0,000 0,219 Aceh 12 0,417 0,497 Pesisir 29 0,207 0,471 PO 32 0,094 0,476 Katingan 40 0,275 0,305

Keterangan: n = jumlah individu

Keragaman genetik gen FSHR|Alu-1 dapat dilihat berdasarkan nilai heterozigositas. Nilai heterozigositas merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat keragaman genetik dalam suatu populasi (Johari et al., 2007). Nilai heterozigositas merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur variasi genetik, heterozigositas disebut juga sebagai keragaman gen (Nei, 1987). Perhitungan nilai heterozigositas menurut Nei (1987), adalah nilai heterozigositas yang memiliki nilai berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu), apabila heterozigositas sama dengan 0 (nol), maka diantara populasi yang diukur tersebut memilki hubungan genetik yang sangat dekat dan apabila nilai heterozigositas sama dengan 1 (satu), maka diantara populasi yang diukur tidak terdapat hubungan genetik atau pertalian genetik sama sekali.

Penetapan nilai heterozigositas ini didasarkan pada nilai frekuensi alel masing-masing sampel yang menghasilkan perbedaan persentasi nilai frekuensi genotipe. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam (inbreeding) pada suatu kelompok ternak (Hartl et al., 1997). Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dihitung berdasarkan nilai genotipe yang bersifat heterozigot, yaitu genotipe CG. Moioli et al. (2004) menjelaskan bahwa nilai heterozigositas harapan (He) merupakan pendugaan keragaman genetik yang tepat dalam populasi ternak karena perhitungannya didasarkan langsung pada frekuensi alel.

Perhitungan yang diperoleh dari berdasarkan Tabel 4 di atas menujukkan bahwa pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) tertinggi terdapat pada sapi

21 Aceh (0,417). Tingginya nilai heterozigositas pada sapi Aceh menunjukkan keragaman genetik yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi tingginya nilai heterozigositas pada populasi sapi Aceh disebabkan oleh perkawinan acak atau peluang inbreeding yang rendah (Mulliadi et al., 2010). Avise (1994) menyatakan jika semakin tinggi derajat heterozigositas dalam suatu populasi maka daya tahan populasi tersebut akan semakin tinggi.

Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) terendah ditemukan pada sapi Bali (0,000). Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa heterozigositas dengan nilai di bawah 50% akan mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya keragaman gen FSHR|Alu-1 pada sapi Bali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil PCR-RFLP gen FSHR|Alu-1 terhadap sampel sapi Bali, Aceh, Pesisir, PO, dan Katingan memiliki nilai heterosigositas pengamatan (Ho) yang lebih rendah dibandingkan nilai heterosigositas harapan (He). Machado et al. (2003) menyatakan jika nilai Ho lebih rendah dari nilai He, hal ini mengindikasikan adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat proses seleksi yang intensif.

Apabila ditemukan perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis (Tambasco et al., 2003). Sebaliknya dengan ditemukannya nilai Ho dan He yang relatif sama, maka menunjukkan keseimbangan genotipe pada populasi tersebut.

Dokumen terkait