• Tidak ada hasil yang ditemukan

DENGAN METODE PCR-RFLP

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR

Ruas gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer yang dirancang oleh Houde et al. (1994). Suhu annealing yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60oC selama 45 detik. Produk amplifikasi ruas gen FSHR adalah sebesar 306 pb dengan presentase keberhasilan amplifikasi mencapai 100% (207/207). Hasil amplifikasi gen FSHR yang divisualisasikan pada gel agarose 1,5% ditampilkan dalam Gambar 4.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen FSHR Menggunakan Gel Agarose 1,5 %. Ket : M=marker (100 pb); pb= pasang basa; 1-10= beberapa sampel sapi yang digunakan

Suhu annealing merupakan suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan primer pada DNA yang merupakan proses paling penting dalam amplifikasi. Viljoen et al. (2005) menyatakan jika keberhasilan amplifikasi gen ditentukan oleh keberhasilan penempelan primer pada gen target. Loss et al. (2008); Marson et al. (2008); dan Hernandez et al. (2009) menggunakan suhu annealing 58 oC selama 30 detik dalam mengamplifikasi ruas gen FSHR dan menghasilkan produk PCR yang baik. Perbedaan suhu annealing dengan hasil penelitian ini dapat disebabkan adanya perbedaan komposisi mix sebagai komponen PCR. Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan penempelan primer pada gen target yakni kondisi suhu PCR (denaturasi, annealing, dan ekstensi) serta interaksi antar komponen pereaksi PCR.

16 Rychilk (1995) menambahkan jika konsentrasi sampel DNA, konsentrasi primer, garam, dan konsentrasi pelarut dalam Premix yang digunakan juga mempengaruhi keberhasilan proses amplifikasi.

. Gen FSHR merupakan gen yang berperan dalam proses reproduksi. Produk dari gen FSHR yaitu FSHR berperan untuk membawa hormon FSH menuju sel target sehingga dapat melakukan fungsi reproduksinya (pembentukan ovum pada betina dan sperma pada jantan). Gen FSHR pada sapi terletak di kromosom 11 dan terdiri atas 10 ekson dan 9 intron (Aguirre dan Timossi, 1998). Panjang produk amplifikasi ruas gen FSHR pada sapi-sapi Bos Javanicus, Bos Taurus, dan Bos Indicus dihitung dari awal primer forward menempel hingga akhir penempelan primer reverse. Penempelan primer dalam ruas gen FSHR ini terletak pada ekson 10 dengan panjang 306 pb. Loss et al. (2008), Marson et al. (2008), dan Hernandez et al. (2009) juga menemukan panjang produk amplifikasi gen FSHR sepanjang 306 pb.

Keragaman Gen FSHR|AluI

Pendeteksian keragaman genetik gen FSHR dilakukan dengan metode RFLP. Metode ini menggunakan enzim pemotong AluI (FSHR|AluI) yang mengenali situs pemotongan AG|CT. Pemotongan ruas gen hasil amplifikasi ini menentukan genotipe dan alel masing-masing individu sapi yang berperan dalam pendeteksian keragaman genetiknya. Hasil pemotongan sekuens DNA gen FSHR pada sapi-sapi Bos taurus dan Bos indicus ditemukan dua alel (alel C dan G) dalam ruas gen FSHR, sedangkan pada Bos javanicus hanya ditemukan satu alel yaitu alel G. Alel C dalam ruas gen FSHR diakibatkan oleh adanya satu titik potong yang dikenali enzim AluI pada posisi basa ke 243 pb. Pemotongan tersebut menghasilkan dua fragmen yang panjangnya 243 pb dan 63 pb. Sedangkan alel G diakibatkan oleh adanya dua titik potong yaitu pada posisi basa ke 193 pb dan 243 pb. Pemotongan tersebut menghasilkan tiga fragmen yang panjangnya 193, 63, dan 50 pb.

Hasil PCR-RFLP ruas gen FSHR|AluI menunjukkan adanya pola pita beragam dengan tiga macam genotipe. Genotipe CC terdiri dari dua pita (243 pb dan 63 pb), genotipe CG terdiri dari empat pita (243, 193, 63, dan 50 pb), dan genotipe GG terdiri dari tiga pita (193, 63, dan 50 pb). Individu CC dan GG disebut sebagai individu homozigot karena kedua tetuanya menyumbangkan alel yang sama, sedangkan individu CG disebut sebagai individu heterozigot karena kedua tetuanya

17 menyumbangan alel yang berbeda. Hasil visualisasi produk PCR dengan pada gel agarose 2% ditampilkan pada Gambar 4. Hasil visualisasi dalam Gambar 5, pita dengan panjang 50 bp dan 63 bp tidak terlihat dalam agarose 2% karena panjang pita tersebut terlalu rendah (terjadi running out) sehingga butuh konsentrasi agarose yang lebih tinggi sehingga dapat memunculkannya. Muladno (2002) menyatakan jika dalam konsentrasi agarose 2% kisaran ukuran DNA yang dapat dianalisis berada diantara 100 hingga 2000 pb.

M 1 2 3 4 5 6 7 10 11 12 13 14

GG GG CG CG CC CC GG GG CG CG CC CC

Gambar 5. Hasil Visualisasi PCR-RFLP Gen FSHR|AluI dalam Gel Agarose 2%

Perbedaan alel yang ditemukan dalam ruas gen FSHR dari individu sapi yang satu dengan lainnya disebabkan adanya perubahan basa sehingga dapat dikenali oleh enzim AluI. Mutasi yang ditemukan dalam ruas gen FSHR termasuk dalam tipe mutasi subtitusi transversi karena basa Cytosine berubah menjadi basa Guanin. Sebagaimana yang dinyatakan Li dan Graur (1991) mutasi tipe transversi terjadi akibat adanya pertukaran basa antara basa purin (A=Adenin, G=Guanin) dengan basa pirimidin (C=Cytosine, T=Timin). Mutasi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan susunan asam amino yaitu asam amino Asparagin berubah menjadi asam amino lysin (AAC – Asparagin; AAG – Lysin). Akan tetapi dalam penelitian ini, mutasi hanya terjadi pada sapi-sapi Bos taurus dan Bos indicus saja. Pada sapi Bali (Bos javanicus) meskipun alel yang ditemukan dalam ruas gen FSHR ini hanya alel G saja namun hal tersebut bukan disebabkan oleh mutasi melainkan karena adanya perbedaan nukleotida pada sapi Bali dengan sapi Bos taurus dan Bos indicus. Hasil pemotongan tersebut dapat digunakan sebagai penciri genetik gen FSHR|AluI untuk sapi Bali (Bos javanicus).

18 Genotipe yang ditemukan pada sapi Bos taurus dan sapi Bos indicus adalah CC, CG, dan GG, sedangkan pada sapi Bos javanicus (sapi Bali) hanya ditemukan satu genotipe saja yaitu genotipe GG. Sapi limousin, simmental, FH, yang merupakan sapi Bos taurus muncul ketiga genotipe tersebut, akan tetapi pada sapi Angus hanya muncul dua genotipe saja yaitu CC dan CG. Jumlah sampel sapi angus yang digunakan dalam penelitian ini hanya enam sampel. Jumlah tersebut harus diperbanyak agar mendapatkan hasil yang lebih akurat. Sapi Bos indicus yaitu sapi Brahman yang digunakan dalam penelitian ini muncul ketiga genotipe CC, CG, dan GG, akan tetapi pada sapi PO hanya menunjukkan dua genotipe yakni CC dan GG.

Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen FSHR

Frekuensi genotipe adalah rasio dari jumlah suatu genotipe dengan menghitung perbandingan antara jumlah genotipe tertentu. Sedangkan frekuensi alel adalah rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada satu lokus dalam populasi. Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dari penelitian yang dilakukan ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel dari Gen FSHR|AluI

Spesies Bangsa n Genotipe Alel

CC CG GG C G

Bos javanicus Sapi Bali 59 0,00 (0) 0,00 (0) 1,00 (59) 0,00 1,00

Bos taurus Limousin

Simmental Angus FH 57 50 6 24 0,63 (36) 0,54 (27) 0,83 (5) 0,42 (10) 0,32 (18) 0,28 (14) 0,17 (1) 0,46 (11) 0,05 (3) 0,18 (9) 0,00 (0) 0,12 (3) 0,79 0,68 0,92 0,65 0,21 0,32 0,08 0,35 Total 137 0,57 0,32 0,11 0,73 0,27

Bos indicus Brahman

PO 9 2 0,12 (1) 0,50 (1) 0,44 (4) 0,00 (0) 0,44 (4) 0,50 (1) 0,33 0,5 0,67 0,5 Total 11 0,18 0,36 0,46 0,36 0,64

Keterangan : angka di dalam kurung menunjukkan jumlah sampel

Hasil analisis frekuensi genotipe dan frekuensi alel dalam Tabel 3 menunjukkan jika pada sapi Limousin, Simmental, dan Angus memiliki frekuensi genotipe CC yang lebih besar dibandingkan dua genotipe lainya dengan nilai frekuensi genotipe CC masing-masing sebesar 0,63, 0,54, dan 0.83. Sapi Limousin

19 dan sapi Simmental memiliki nilai frekuensi genotipe GG yang paling kecil yaitu 0,05 dan 0,18. Pada sapi Angus hanya ditemukan genotipe CC dan CG saja dengan nilai frekuensi genotipe CG sebesar 0,17. Sapi FH memiliki frekuensi genotipe CG yang lebih besar dibandingkan kedua genotipe lainnya dengan nilai 0,46. Sapi Brahman memiliki frekuensi genotipe CC yang paling rendah yaitu 0,12 sedangkan genotipe CG dan GG memiliki nilai frekuensi genotipe yang sama yaitu 0,44. Sapi PO yang diamati dalam penelitian hanya menunjukkan dua genotipe saja yaitu CC dan GG dengan nilai yang sama masing-masing yaitu 0,50. Sapi Bali yang merupakan sapi lokal Indonesia hanya menunjukkan satu buah genotipe saja dari keseluruhan sampel yaitu genotipe GG. Hal ini menyebabkan frekuensi genotipe GG pada sapi Bali sangat tinggi yaitu 1,00. Gambar 6 menunjukkan grafik frekuensi genotipe pada spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus.

Gambar 6. Frekuensi Genotipe FSHR|AluI di Berbagai Spesies Sapi (dalam Persen)

Gambar 6 menunjukkan dengan jelas perbedaan antara spesies sapi Bos taurus dengan spesies sapi Bos indicus. Spesies sapi Bos taurus memiliki genotipe CC yang terbesar, sedangkan pada spesies sapi Bos indicus genotipe yang terbesar adalah genotipe GG. Genotipe GG yang merupakan genotipe satu-satunya yang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Bos javanicus Bos taurus Bos indicus

0 57 18 0 32 36 100 11 46 F re kue ns i G eno ti pe ( p ers en ) Spesies Sapi CC CG GG

20 muncul pada sapi Bali (Bos javanicus) menjadikan frekuensi genotipe GG pada spesies sapi Bos javanicus adalah sebesar 1,00, sedangkan frekuensi genotipe CC dan CG adalah 0,00. Sapi Bos taurus memiliki frekuensi genotipe CC yang lebih besar dari dua genotipe lainnya yaitu sebesar 0,57. Genotipe GG merupakan genotipe dengan frekuensi yang paling rendah dari spesies sapi Bos taurus yaitu sebesar 0,11. Hasil ini berbanding terbalik dengan spesies sapi Bos indicus dengan frekuensi genotipe GG paling besar yaitu 0,46 dan frekuensi genotipe CC paling rendah yaitu 0,18. Frekuensi genotipe CG pada sapi Bos taurus dan Bos indicus secara berurutan adalah 0,32 dan 0,36.

Tipe alel yang ditemukan dalam penelitian ini adalah alel C dan alel G. Frekuensi alel C pada sapi Simmental, Limousin, Angus, dan FH lebih tinggi dibandingkan frekuensi alel G. Nilai frekuensi alel C dan G pada sapi Simmental, Limousin, Angus, dan FH berturut-turut adalah 0,680 dan 0,320, 0,789 dan 0,211, 0,917 dan 0,083, serta 0,646 dan 0,354. Pada sapi Bali dan Brahman nilai frekuensi alel G lebih besar dibandingkan frekuensi alel C yaitu sebesar 1,000 dan 0,000 pada sapi Bali serta 0,667 dan 0,333 pada sapi Brahman. Sapi PO memiliki nilai frekuensi alel C dan G yang sama yaitu 0,500. Hal ini disebabkan hanya ditemukan 2 genotipe saja pada sapi PO yaitu CC dan GG.

Frekuensi alel C pada spesies Bos taurus lebih besar dibandingkan dengan frekuensi alel G. Frekuensi alel C Bos taurus 0,73 sedangkan frekuensi alel G sebesar 0,27. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Ishak (2012) yang menunjukkan frekuensi alel C lebih besar dibandingkan frekuensi alel G pada sapi Bos taurus. Hasil tersebut berbanding terbalik dengan spesies Bos javanicus dan Bos indicus. Kedua spesies ini menujukkan jika frekuensi alel G lebih besar dibandingkan frekuensi alel C. Frekuensi alel G pada spesies Bos javanicus adalah 1,00 dan pada spesies Bos indicus adalah 0,64. Penelitian yang dilakukan Ishak (2012) menunjukkan jika sapi dari spesies Bos javanicus (sapi Bali) memiliki nilai frekuensi alel G 0,951 dan alel C 0,049. Terdapatnya alel G dalam hasil tersebut dikarenakan sapi Bali yang diteliti oleh Ishak (2012) berasal dari NTT, NTB dan Sulawesi yang diduga telah mengalami pencemaran. Penelitian yang dilakukan oleh Loss et al. (2008) pada sapi spesies Bos indicus (sapi Nellore) memiliki hasil yang sama

21 dengan penelitian yaitu memiliki frekuensi alel G yang besar dibandingkan dengan alel C.

Nilai frekuensi alel dalam penelitian ini pada spesies sapi Bos taurus dan Bos indicus bersifat polimorfik. Nilai frekuensi alel pada spesies sapi Bos javanicus hanya ditemukan genotipe GG dan hanya memiliki satu alel yaitu alel G dengan nilai 1,000. Oleh karena itu Gen FSHR yang ditemukan pada sapi Bos javanicus bersifat monomorfik atau seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Nei (1987) yang menyatakan bahwa suatu alel dikatakan polimorfik atau beragam jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99, akan tetapi jika terjadi lebih dari 0,99 dikatakan monomorfik atau seragam. Keragaman yang bersifat monomorfik pada sapi Bos javanicus menunjukkan jika adanya manajemen perkawinan yang tidak acak terlebih sampel sapi Bali yang digunakan bersasal dari daera Bali saja, selain itu adanya seleksi dalam sifat tertentu, serta tingkat silang dalam yang tinggi.

Tabel 4 menunjukkan beberapa pembanding hasil frekuensi alel gen FSHR|AluIdari beberapa literatur yang juga menggunakan metode PCR-RFLP. Pada tabel tersebut terlihat jika Marson et al (2008) mengidentifikasi keragaman gen FSHR menggunakan sapi persilangan spesies Bos taurus dan Bos indicus. Hasil dari penelitian tersebut adalah nilai frekuensi alel C lebih tinggi dibandingkan alel G. Antara nilai frekuensi alel C dan alel G juga tidak berbeda jauh. Hasil penentuan genotipe sapi persilangan ini memiliki frekuensi genotipe CG yang lebih tinggi dibandingkan genotipe CC dan GG.

Tabel 4.Frekuensi alel gen FSHR|AluI pada Beberapa sumber

Spesies Bangsa Asal Frekuensi Alel Sumber

C G

Bos javanicus Sapi Bali Sulsel, NTT,

NTB, dan Bali 0,049 0,951 Ishak (2012) Bos taurus Bos indicus Angus Limousin FH Nellore Brasil BIB Lembang BIB Lembang Brasil 0,500 0,688 0.891 0,250 0,500 0,313 0,109 0,750 Loss et al. (2008) Ishak (2012) Ishak (2012) Loss et al. (2008) Persilangan Bos

taurus dan Bos indicus Sapi Zebu x continental Europian Sapi Zebu x British Europian Brasil Brasil 0,536 0,529 0,474 0,471 Marson et al. (2008) Marson et al. (2008)

22 Gen FSHR berperan dalam fungsi reproduksi sangat menentukan kualitas sperma sapi pada sapi jantan. Huhtaniemi dan Kristiina (1998) menyatakan jika FSHR yang merupakan produk dari gen FSHR sangat menentukan ukuran testis, jumlah sperma, dan motilitas sperma bagi pejantan, serta keberhasilan fungsi ovarium pada betina. Ishak (2012) dalam penelitianya menunjukkan jika sapi Bos taurus dan Bos indicus dengan genotipe GG memiliki tingkat keabnormalitas yang lebih tinggi dibandingkan dua genotipe lainnya. Ishak (2012) juga menyatakan bangsa sapi Bali (Bos javanicus) memiliki kualitas sperma yang paling baik dibandingkan dengan bangsa sapi dari dua spesies lainnya. Arifianti et al. (2010) menyatakan bahwa presentase abnormanilitas sapi Bali (Bos javanicus) sebesar 6% dengan 2% kecatatan pada kepala. Kualitas sperma sapi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik saja. Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh besar pada kualitas sperma sapi seperti kandungan nutrisi pakan, manajemen pemeliharaan, dan cuaca lingkungan.

Heterozigositas

Nilai heterozigositas dihitung untuk mengetahui keragaman genetik gen FSHR|AluI pada suatu populasi. Analsisis hetorozigositas pada berbagai sapi ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Harapan (He) Gen FSHR

Spesies Bangsa n Ho He

Bos javanicus Sapi Bali 59 0,00 0,00

Bos taurus Limousin

Simmental Angus FH 57 50 6 24 0,32 0,28 0,17 0,46 0,33 0,44 0,15 0,46 Total 137 0,32 0,39

Bos indicus Brahman

PO 9 2 0,44 0,00 0,44 0,50 Total 11 0,36 0,46

Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui karena dapat memberikan informasi mengenai tingkat polimorfisme suatu alel, serta prospek populasi di masa yang akan datang (Falconer dan Mackay, 1996). Marson et al.

23 (2005) menambahkan jika pendugaan nilai heterozigositas diperoleh untuk mendapatkan kergaman genetik dalam populasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk program seleksi dan menjadi sumber genetik pada generasi berikutnya. Pendugaan nilai heterozigositas pada penelitian ini berdasarkan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He). Heterosigositas harapan (He) merupakan

penduga keragaman genetik yang tepat pada populasi hewan ternak karena perhitungannya langsung berdasarkan pada frekuensi alel (Moioli et al., 2004).

Heterozigositas pengamatan (Ho) dalam penelitian ini paling besar adalah

pada spesies sapi Bos indicus yaitu 0,36 dan yang paling terendah adalah spesies Bos javanicus yaitu 0,00. Pada spesies sapi Bos taurus, sapi FH memiliki nilai Heterozigositas pengamatan (Ho) yang paling tinggi yaitu 0,46 dan pada spesies sapi

Bos indicus sapi Brahman memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 0,44.

Javanmard et al. (2005) menyatakan jika nilai heterozigositas dibawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi.Hal demikian menunjukkan jika rendahnya keragaman gen FSHR|AluI pada sapi-sapi spesies Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus. Nilai heterozigositas dipengaruhi oleh banyaknya sampel, jumlah alel, dan frekuensi alel dalam suatu populasi (Nei, 1987). Jumlah sampel pada spesies Bos indicus yang sangat rendah (11 sampel) mengurangi keakuratan nilai heterozigositas.

Nilai heterozigositas harapan (He) pada spesies sapi Bos javanicus dan Bos

taurus yang diamati tidak menunjukkan perbedaan yang besar dengan nilai heterozigositas pengamatannya (Ho). Akan tetapi, pada spesies sapi Bos indicus

memiliki perbedaan yang cukup tinggi. Tambasco et al. (2003) menyatakan jika terjadi pebedaan yang besar antara heterozigositas harapan (He) dan heterozigositas

pengamatannya (Ho) maka terjadi ketidakseimbangan genotipe dalam populasi yang

diamati. Hal yang serupa juga terjadi pada nilai heterozigositas sapi Simmental dari spesies Bos tarus. Nilai Ho pada keseluruhan spesies sapi memiliki nilai yang lebih

rendah dari nilai He. Machado et al. (2003) menyatakan jika nilai Ho lebih rendah

dari He mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif. Berdasarkan hal

tersebut maka deiperkirakan telah terjadi proses seleksi intensif berdasarkan gen FSHR|AluI.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Gen FSHR|AluI pada spesies sapi Bos taurus dan Bos indicus bersifat polimorfik dengan ditemukannya dua alel (alel C dan G) dan tiga genotipe (genotipe CC, CG, dan GG), sedangkan pada spesies Bos javanicus (sapi Bali) bersifat monomorfik dengan ditemukan satu alel (G) dan satu genotipe (GG). Derajat heterozigositas pada spesies Bos taurus (Limousin, Simmental, Angus, dan FH) dan Bos indicus (Brahman dan Peranakan Ongole) memiliki nilai heterozigositas tinggi dibandingkan dengan sapi yang termasuk dalam spesies Bos javanicus (sapi Bali).

Saran

Penelitian terhadap gen FSHR|AluI perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang banyak terutama pada sampel sapi yang termasuk spesies Bos indicus. Selain itu, perlu dicari situs lain yang dianggap polimorfik dalam gen FSHR.

Dokumen terkait