• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) pada Spesies Sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus dengan Metode PCR-RFLP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) pada Spesies Sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus dengan Metode PCR-RFLP."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

SEPTYANINGTYAS ANGGIA SARI. D14080028. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) pada Spesies Sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt,M.Si.

Sapi dari spesies Bos javanicus, Bos taurus,dan Bos indicus merupakan sapi-sapi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Sumber daya genetik ternak yang harus dipertahankan agar mencegah terjadinya kepunahan menjadi alasan untuk mengkaji keragaman gen FSHR yang berperan dalam fungsi reproduksi. Gen FSHR (Follicle Stimulating Hormone Receptor) akan menghasilkan produk yaitu FSHR yang diperlukan oleh hormone FSH untuk mencapai sel target sehingga dapat melaksanakan fungsi reproduksi (menghasilkan sperma dan ovum). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) dengan menggunakan metode PCR-RFLP pada spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus.

Sampel yang digunakan berjumlah 207 sampel yaitu terdiri dari sampel spesies sapi Bos javanicus 59 sampel, spesies Bos taurus 137 sampel, dan spesies Bos indicus 11 sampel. Sampel spesies sapi Bos javanicus berasal dari sapi Bali, sampel sapi Bos taurus terdiri dari sapi Limousin (57 sampel), Simmental (50 sampel), Angus (6 sampel), dan FH (24 sampel), serta sampel spesies sapi Bos indicus terdiri dari sampel Brahman (9 sampel) dan sapi Ongole (2 sampel). Sampel sapi yang digunakan berasal dari BIB Lembang, BIB Singosari, BPTU Bali, BIBD Bali, dan BET Cipelang. Penelitian ini menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) untuk mendeteksi adanya keragaman genetic pada gen FSHR menggunakan enzim rektriksi AluI yang memotong basa AG|CT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak sejak bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012. Keragaman gen FSHR ditentukan dengan analisis frekuensi genotipe, frekuensi alel, nilai heterozigositas pengamatan (Ho), dan

nilai heterozigositas harapan (He).

Amplifikasi gen FSHR menghasilkan fragmen dengan panjang 306 bp yang terletak pada ekson 10 dengan suhu annealing 60oC selama 45 detik. Genotyping gen FSHR|AluI menghasilkan dua jenis alel yaitu alel C dan alel G serta menghasilkan tiga jenis genotipe yaitu CC (243 dan 63 bp), CG (243, 293, 50, 63 bp), dan GG (193, 50, dan 63 bp). Frekuensi genotipe GG tertinggi pada spesies sapi Bos javanicus yaitu 1,00, Bos indicus sebesar 0,46 dan terendah pada spesies sapi Bos taurus yaitu 0,11. Frekuensi genotype CC paling tinggi pada spesies sapi Bos taurus yaitu 0,57, Bos indicus sebesar 0,18, dan terendah pada spesies sapi Bos javanicus. Nilai heterozigositas Ho dan He paling tinggi pada spesies sapi Bos indicus sedangkan nilai

terendah pada spesies sapi Bos javanicus.

(2)

ABSTRACT

Identification Polymorphism of The Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) Gene in Species Bos javanicus, Bos taurus, and Bos indicus

Using PCR-RFLP Method Sari, S.A., C. Sumantri, and Jakaria

Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) gene is a very important in reproduction trait. FSHR is required by Follicle Stimulating Hormone (FSH) to carry out on target tissues. The purpose of this study was to identify polymorphism of the Follicle Stimulating Hormone Receptor gene in Bos javanicus, Bos taurus, and Bos indicus Cattle. Blood samples used 207 samples consisting of Bos javanicus (Bali Cattle) 59 heads, Bos taurus 137 heads (Limousin 57 heads, Simmental 50 heads, Angus 6 heads, and Holstein Friesian (FH) 24 heads), and Bos indicus 11 heads (Brahman 9 heads and Ongole 2 heads). The polymorphism site analysis from digestion with AluI restriction enzyme allowed the genotype identification. AluI restriction enzyme cut the base position at AG|CT in 193 and 243 bp. Genotyping FSHR gene produced two alleles, namely C and G alleles. These allele produced three genotypes respectively, there are CC (243 and 63 bp), GG (193, 63, and 50 bp), and CG (243, 193, 63, and 50 bp). The highest G allele frequency was found in Bos javanicus (Bali cattle), but the lowest in Bos taurus. The highest C allele frecuency was found in Bos taurus. The value of heterozigosity was the highest in Bos indicus and the lowest in Bos javanicus. The result of this study showed that the allele of FSHR gene in Bos taurus and Bos indicus were polymorphic, while in Bos javanicus was monomorphic.

(3)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sapi-sapi yang tersebar luas di Indonesia terbagi menjadi tiga kriteria yaitu

sapi asli Indonesia, sapi impor, dan sapi yang sudah beradaptasi (Sarbaini, 2004).

Secara garis besar, spesies sapi yang tersebar di Indonesia terdiri dari spesies sapi

Bos taurus yang merupakan sapi asal Eropa dan Afrika Barat, spesies Bos indicus

yang berasal dari wilayah Asia dan Afrika Selatan, serta Bos javanicus yang

merupakan spesies asli Indonesia yang berasal dari domestikasi Banteng

(Rahmatullah, 2011). Spesies Bos taurus dan Bos indicus merupakan spesies sapi

yang di impor ke Indonesia dan beberapa diantaranya telah dapat beradaptasi dengan

lingkungan di Indonesia seperti sapi FH. Sapi impor tersebut kemudian disebar

keseluruh wilayah Indonesia untuk disilangkan dengan sapi lokal Indonesia dan

membentuk bangsa sapi baru seperti sapi Peranakan Ongole.

Kebutuhan akan pangan dan produksi dari ternak sapi di Indonesia menjadi

perlu untuk mempertahankan secara optimal sumber daya genetik ternak terutama

ternak asli Indonesia. Departemen Pertanian (2006) menyatakan jika sumber daya

genetik ternak merupakan substansi ternak yang secara genetik unik, terbentuk dari

proses domestikasi yang memiliki nilai potensial serta dapat dimanfaatkan dan

dikembangkan dengan baik untuk menciptakan rumpun atau galur unggul. Sapi Bali

merupakan salah satu sumberdaya genetik ternak asli Indonesia yang menjadi plasma

nutfah nasional. Keberadaan sumberdaya genetik ternak perlu dipertahankan dan

dimanfaatkan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan mutu genetik ternak

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi

adalah melalui seleksi dan persilangan. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan sifat

reproduksi dari masing-masing ternak. Pemanfaatan penerapan teknologi molekuler

dapat digunakan sebagai metode seleksi pada tingkat DNA, dalam hal ini DNA yang

berperan dalam sifat reproduksi. Salah satu gen yang memiliki peranan penting

dalam reproduksi adalah gen FSHR (Follicle Stimulating Hormone Receptor). Gen

ini sangat penting dalam proses pembentukan sperma pada sapi jantan dan ovum

pada sapi betina. Gen ini terletak pada kromosom ke 11 yang terdiri dari 10 ekson

dan 9 intron (Aguirre dan Timossi, 1998). Teknik yang dapat digunakan untuk

(4)

2 Chain Reaction) dengan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism).

Metode RFLP menggunakan enzim pemotong AluI untuk mengidentifikasi

polymorfisme gen FSHR pada ekson 10 dengan menggunakan primer forward dan

reverse berdasarkan Houde et al. (1994). Apabila polymorfisme yang terjadi pada

gen FSHR berhubungan dengan sifat produksi dan reproduksi sapi, maka dapat

dijadikan sebagai Marker Assisted Selection (MAS). Untuk dapat memenuhi kriteria

seleksi MAS maka perlu terlebih dahulu dilakukan identifikasi keragaman gen.

Melalui seleksi MAS diharapkan ketepatan seleksi dapat lebih baik sejak periode

anakan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen Follicle

Stimulating Hormone Receptor (FSHR|Alu I) dengan menggunakan metode

(5)

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar

diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia

Utara yang disebut dengan spesies Bos taurus, serta spesies sapi berpunuk dari Asia

Selatan dan Afrika yang disebut dengan Bos indicus. Perbedaan antara keduanya

terletak dari ada/tidaknya punuk, cara beradaptasi (Bos indicus lebih mendiami

daerah kering dan panas, sedangkan Bos taurus di daerah beriklim sedang dengan

curah hujan cukup).

Sapi yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi : 1) sapi asli Indonesia, 2)

sapi impor, dan 3) sapi yang telah beradaptasi (Sarbaini, 2004). Kusdiantoro et al.

(2007) menyatakan pejantan sapi Ongole di-impor ke Indonesia pada akhir abad

ke-19 ke pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya di Indonesia kecuali pulau Bali dan

Madura. Utoyo (2002) menjelaskan penyebaran sapi Ongole pada abad ke-20

dimaksudkan agar dapat disilangkan dengan sapi asli jawa yang akhirnya

membentuk bangsa sapi peranakan ongole dan sapi Madura. Sapi domestikasi yang

ada di Indonesia merupakan sapi spesies bibos dan sapi silangan yang berbeda

dengan sapi domestikasi di Afrika dan Eropa (Jakaria, 2008).

Menurut Rollinson (1984) sapi Bali (Bibos sondaicus) berasal dari hasil

domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Proses domestikasi sapi Bali itu terjadi

sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan

di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga

di Malaysia (Payne dan Rollinson 1973). Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai

pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya

dilakukan pada tahun 1920 dan 1927. Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah

penyakit jembrana secara besar-besaran yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh

dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber

bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan

dan NTB (Talib, 2002).

Bangsa sapi dari spesies Bos taurus yang banyak dimanfaatkan di Indonesia

(6)

4 Bos indicus yang banyak dimanfaatkan adalah sapi Peranakan Ongole dan Brahman.

Karakteristik bangsa sapi dari berbagai spesies tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Bangsa Sapi pada Tiga Spesies

Spesies Bangsa Sapi Karakteristik

Bos javanicus

Sapi Bali Ciri sapi ini yaitu memiliki warna bulu merah bata kecoklatan hingga berumur 6 bulan dan akan berubah warna (bagi jantan) menjadi coklat tua hingga hitam mencapai dewasa. Sapi ini memiliki warna putih pada bagian pantat, bagian kaki (white stocking) hingga di atas kuku (Williamson dan Payne, 1993). Presentase karkas tinggi (55,85-60,80%), tingkat fertilitas tinggi (83-86%), serta angka kelahiran tinggi (72,6-92,6%) (Martodjo, 1990).

Bos taurus Limousin Sapi ini memiliki karakteristik warna bulu merah keemasan, kaki dan lutut kebawah memiliki warna merah agak muda, dan umumnya terdapat lingkaran berwarna merah muda disekeliling mata (Pane, 1986).

Simmental Karakteristik sapi ini memiliki warna bulu kecoklatan hingga sedikit merah, bulu muka berwarna putih dan bagian ekor serta lutut kebawah berwarna putih pula. Ukuran tanduk tidak begitu besar (Pane, 1986).

Angus Sapi Angus memiliki karakteristik kulit berwarna hitam, tidak bertanduk, tubuh rata, lebar dan dalam, seperti balok, padat dengan urat daging yang baik. Berat badan betina dewasa mencapai 1600 pounds sedang jantan dewasa 2000 pounds (Pane, 1986).

FH Sapi perah ini memiliki warna putih dengan belang hitam, hitam belang putih, sampai warna hitam. Sapi ini merupakan bangsa sapi perah dengan produksi susu paling tinggi (Syarif dan Sumopastowo, 1984).

Bos indicus Brahman Sap ini memiliki karakteristik ponok besar dan kulit yang longgar dengan lipatan kulit dibawah leher dan perut yang lebar, telinga menggantung. Warna kulit merah kecoklatan dengan tanduk melengkung keatas (Balai Pembibitan Ternak Potong Nusa Tenggara Timur, 2009).

(7)

5 Perbedaan karakteristik fenotipik dari berbagai bangsa sapi dapat terlihat jelas

dengan melihat gambar. Gambar 1 merupakan gambar fenotipik berbagai bangsa sapi

dari spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

(8)

6

Keragaman Genetik

Sumber daya genetik yang semakin beragam menurut Frankham et al.(2002)

akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama,

serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan. Estimasi

perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kualitatif dapat diperoleh

melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme

dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam lokus (Nei, 1987).

Keragaman genetik dalam antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat

persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000).

Falconer dan Mackay (1996) menyatakan jika suatu alel dinyatakan polimorfik jika

memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99.

Noor (2000) menyatakan jika frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup

besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi dan

genetic drift, selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi

frekuensi genotipe. Derajat heterozigositas merupakan rataan presentase lokus

heterozigositas tipe individu atau rataan presentase individu heterozigot dalam

populasi (Nei, 1987). Avise (1994) menyatakan jika semakin tinggi derajat

heterozigositas dalam suatu populasi maka daya tahan populasi tersebut akan

semakin tinggi. Javanmard et al. (2005) menyatakan jika nilai heterozigositas

dibawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi.

Machado et al. (2003) menyatakan jika nilai Ho lebih rendah dari He

mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif.

Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR)

Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon yang disintesa dan

disekresikan oleh gonadotropes di kelenjar anterior pituitary. Fungsi utama FSH

adalah menstimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel de graaf di dalam ovarium

dan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi testis. Proses spermatogenesis

meliputi proses spermatocytogenesis (pembentukan spermatosit primer dan

sekunder) dan spermiogenesis (proses pembentukan spermatozoa) (Toelihere, 1979).

Keberadaan hormon FSH sangat dipengaruhi oleh adanya gen FSH dan gen

FSHR. Gen FSH terbagi atas dua subunit yaitu α-subunit dan β-subunit dengan

(9)

7 memproduksi FSH reseptor yang membawa FSH ke target jaringan sehingga dapat

berfungsi untuk spermatogenesis pada jantan dan oogenesis pada betina. FSH

reseptor terekspreksi pada sel-sel granulose di ovarium dan sel-sel sertoli di testis.

Gen FSHR terdapat pada kromosom 11 dan terdiri dari 10 ekson dan 9 intron dengan

panjang keseluruhan ekson 2375 bp (Houde et al., 1994). Struktur pada sembilan

ekson pertama mengkodekan bagian terminal-amino ekstra-selular yang besar

sedangkan pada ekson kesepuluh mengkodekan bagian transmembran dan

intraselular dari protein. Ekson kedua hingga kedelapan memiliki panjang yang

hampir sama (68-77 bp) (Heckert and Griswold, 2002). Marson (2008) menyebutkan

jika penentuan genotipe gen FSHR adalah GG (193 dan 63/50 bp), CG (243/193 dan

63/50 bp), dan CC (243 dan 63 bp). Huhtaniemi dan Kristiina (1998) menyatakan

FSHR merupakan produk dari gen FSHR sangat menentukan ukuran testis, jumlah

sperma, dan motilitas sperma bagi pejantan, serta keberhasilan fungsi ovarium pada

betina.

Gambar 2. Struktur gen FSHR (Aguirre dan Timossi, 1998)

Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)

Poymerase Chain Reaction (PCR) menurut Mullis (1986) merupakan suatu

teknologi untuk mengamplifikasi (memperbanyak) fragmen DNA spesifik secara

in-vitro. Williams (2005) menambahkan jika PCR merupakan suatu teknik yang dapat

menggandakan jumlah molekul DNA pada ruas-ruas tertentu dan

monomer-monomer nukleotida yang berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase.

Proses PCR terdiri dari tiga tahapan yaitu : (1) Denaturasi, yaitu perubahan struktur

DNA utas ganda menjadi utas tunggal, (2) Anealing, yaitu penempelan primer pada

sekuens DNA komplementer yang akan diperbanyak, dan (3) Ekstensi, yaitu

(10)

8 menyatakan jika proses PCR berlangsung dalam mesin thermocycler dimana pada

tahap denaturasi, annealing, dan ekstension berlangsung dalam 25-30 siklus. Tahap

DNA berlangsung dalam suhu 94oC sehingga DNA utai ganda dapat terpisah menjadi utai tunggal. Tahap yang paling menentukan adalah tahap penempelan

primer, karena setiap pasang primer memiliki suhu penempelan primer yang spesifik.

Tahap pemanjangan primer berlangsung pada suhu 27oC. Pada tahap ini enzim taq polymerase, buffer, dNTP, dan Mg2+ memulai aktifitasnya memperpanjang primer.

PCR-RFLP merupakan salah satu metode dalam PCR yang dikembangkan

untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan oleh penggunaan

enzim pemotong (restriction enzyme). Enzim restriksi ini dapat memotong DNA

pada sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998). Metode PCR

memanfaatkan runutan nukleotida yang dikenali oleh enzim restriksi dan disebut

dengan situs restriksi. Jika situs retriksi mengalami mutasi maka enzim restriksi tidak

mampu mengenalinya. Analisi RFLP biasa digunakan untuk mendeteksi ada atau

tidaknya keragaman pada gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis (Sumantri et

(11)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian

Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

pada bulan Oktober 2011 hingga bulan Februari 2012.

Materi Ternak

Sampel darah yang digunakan berasal dari tiga spesies sapi yaitu Bos

javanicus (sapi Bali), Bos taurus (sapi Limousin, Simmental, Angus, dan FH), dan

Bos indicus (sapi Brahman dan PO) dari berbagai lokasi. Sampel tersebut merupakan

koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak dengan jumlah seperti yang tertera

pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian

No Spesies Bangsa Asal Jumlah Sampel

Total Keseluruhan Sampel 207

Keterangan : Angka di dalam kurung menunjukkan jumlah sampel setiap bangsa sapi

Pengambilan Sampel

Bahan yang digunakan untuk pengambilan sampel adalah alkohol 70%, es,

dan kapas. Alat yang digunakan adalah jarum venoject, tabung vacutainer 10 ml, dan

(12)

10

Ekstraksi DNA

Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA adalah sampel darah,

Destilation Water (DW), NaCl, Proteinase-K, 1 x STE (5M NaCl, 2M tris HCl, 0,2M

EDTA), SDS 10% (sodium dodesil sulfat), CIAA, etanol absolute, etanol 70%,

phenol, buffer TE 80% (tris EDTA). Peralatan yang digunakan adalah tabung

eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip, vortexmixer, mikrosentrifuge, inkubator,

dan freezer.

Primer

Primer yang digunakan dalam penelitian untuk mengamplifikasi gen

FSHR|Alu1 berdasarkan Houde et al. (1994) adalah forward : 5’-CTG CCT CCC

TCA AGG TGC CCC TC-3’; dan reverse : 5’-CCC CCT AAG ACA TTT AGC

CAA GAA CT -3’.

Amplifikasi Gen FSHR|Alu1

Bahan yang digunakan dalam amplifikasi metode analisa PCR-RFLP

(Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Lenght Polymorphism) adalah

sampel DNA, destilated water (DW), buffer, MgCl2, pasangan primer fragmen Gen

FSHR|AluI, enzim Taq polymerase, dan dNTP (deoxy Nukleotida Triposfat). Alat

yang digunakan adalah satu set pipet mikro, sentrifuge, mesin thermocycler, rak dan

tabung eppendorf, tip pipet dan vortex.

Elektroforesis

Bahan yang digunakan adalah produk PCR, agarose, loading dye, marker

100 pb, 0,5 x TBE, dan Ethidium Bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet,

mikropipet, gelas ukur, stirrer, microwave, gel tray, pencetak untuk sumur (comb),

power supply electrophoresis 100 volt, alat foto UV trans-iluminator, dan sarung

tangan.

Genotyping (Penentuan Genotipe)

Bahan yang digunakan untuk genotyping adalah produk PCR, agarose,

loading dye, marker 100pb, enzim restriksi AluI, DW, buffer tango, 0,5 x TBE, dan

Ethidium Bromide (EtBr). Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P

(13)

11 (comb), power supply electrophoresis 100 volt, alat foto UV trans iluminator, dan

sarung tangan.

Prosedur Pengambilan Sampel

Sampel darah diambil melalui vena jugularis dengan menggunakan jarum

venoject. Sampel darah ditaruh pada tabung vaccutainer yang ditambahkan etanol

absolute dengan perbandingan 1:2 dan disimpan dalam lemari es hingga akan

digunakan lebih lanjut.

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan metode yang dikemukakan

oleh Sambrook et al. (1989). Ekstraksi DNA dimulai dengan preparasi sampel.

Sampel darah sebanyak 200 µl dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml dan ditambahkan

1000 µl DW (destilation water). Campuran sampel darah dan DW tersebut

selanjutnya dikocok atau di vortex dan didiamkan selama lima menit, setelah itu

disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Bagian supernatannya

dibuang selanjutnya diulangi seperti proses sebelumnya. Tahap selanjutnya dari

ekstraksi DNA adalah degradasi protein. Proteinase-K sebanyak 10 µl, 350 µl

1xSTE (sodium tris-EDTA) serta 40 µl 10% SDS (sodium dodesil sulfat)

ditambahkan. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 55oC selama 2 jam sambil dikocok perlahan menggunakan alat pemutar (nutator).

Degradasi bahan organik dilakukan dengan menambahkan 40 µl 5M NaCl,

400 µl larutan fenol, dan 400 µl CIAA (chloroform iso amil alcohol), lalu dikocok

pelan pada suhu ruang selama satu jam. Tahap terakhir dari ekstraksi DNA adalah

presipitasi DNA yakni dengan larutan hasil degradasi bahan organik disentrifugasi

dengan kecepatan 12.000 selama lima menit sehingga terbentuk fase DNA. Fase

DNA tersebut selanjutnya diambil sebanyak 40 µl dan dipindahkan ke tabung baru

1,5 ml. NaCl 5M sebanyak 40 µl dan etanol absolut sebanyak 800 µl ditambahkan,

kemudian dihomogenkan, dan didiamkan over night pada suhu -20oC. Molekul DNA kemudian dipisahkan daru etanol absolute dengan cara disentrifugasi pada kecepatan

12.000 rpm selama lima menit.Supernatan yang terbentuk dibuang sehingga

(14)

12 disuspensikan dalam 100 µl 80% buffer TE (tris EDTA) lalu di spin down. Sampel

selanjutnya dielektroforesis untuk mengetahui ada atau tidaknya DNA menggunakan

agar 1,5%.

Amplifikasi DNA

Amplifikasi gen FSHR dilakukan dengan menggunakan metode PCR-RFLP.

Pereaksi yang dicampurkan untuk melakukan amplifikasi terdiri dari 1 µl sampel

DNA, 10,85 µl DW, 0,3 µl primer, 0,05 µl taq polymerase, 1,5 µl buffer, 0,3 µl

dNTP, dan 1 µl MgCl2. Amplifikasi invitro ini menggunakan mesin thermocycler.

Kondisi suhu yang terjadi pada setiap tahapan PCR yaitu pra-denaturasi 95oC selama lima menit dalam satu siklus, 35 siklus untuk tahapan denaturasi 95oC selama 45 detik, annealing pada suhu 60oC selama 45 detik, dan elongasi pada suhu 72oC selama satu menit. Tahap selanjutnya adalah elongasi akhir 72oC selama lima menit dalam satu siklus.

Elektroforesis

Elektroforesis produk PCR dilakukan dengan terlebih dahulu membuat gel

agarose 1,5% dengan cara agarose 0,45 g dilarutkan dalam larutan 0,5 x TBE

sebanyak 30 ml lalu dipanaskan dalam microwave selama lima menit dan distirer

dengan menambahkan 2,5 µl EtBr. Larutan yang masih cair dituangkan ke dalam

pencetak gel serta sisir ditempatkan di dekat tepian gel dan dibiarkan mengeras. Sisir

dicabut setelah gel mengeras sehingga terbentuk sumur-sumur. Gel selanjutnya

ditempatkan ke dalam gel tray elektroforesis yang sudah berisi larutan buffer. Produk

PCR sebanyak 5 µl dicampur dengan loading dye (bromothymol blue 0,01%, xylene

cyanol 0,01%, dan gliserol 50%) sebanyak 1 µl dengan menggunakan mikropipet

dimasukkan dalam sumur-sumur gel. Marker sebanyak 2 µl ditaruh dalam sumur

paling kiri sebagai penanda. Gel tray selanjutnya dialiri listrik 100 volt selama 30

menit, molekul DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak

(bermigrasi) ke arah positif. Setelah elektroforesis selesai, gel agarose diambil untuk

dilihat panjang pita DNA dengan menggunakan sinar ultraviolet dalam mesin

UV-transiluminator. Pembacaan fragmen DNA dilakukan dengan menarik garis lurus

(15)

13

Genotyping

Tahapan RFLP dilakukan dengan memindahkan 5 µl produk PCR kedalam

tabung 0,5 ml dan ditambahkan 0,3 µl enzim restriksi AluI, buffer tango 0,7 µl, dan

DW 1 µl. Campuran tersebut kemudian diinkubator pada suhu 37oC selama 16 jam.

Sampel DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi ditambahkan

loading dye sebanyak 1 µl, dielektroforesis pada gel agarose 2% (0,6 agarose dalam

30 ml 0,5 x TBE) dengan tegangan 100 volt selama 45 menit. Setelah

dielektroforesis, gel agarose diambil untuk dilihat panjang pita DNA dengan

menggunakan sinar ultraviolet dan dibandingkan dengan marker untuk mengetahui

panjangnya. Gambar 3 merupakan posisi penempelan primer gen FSHR dan posisi

pemotongan oleh enzim AluI.

forward

1 ctgcctccct caaggtgccc ctcatcactg tgtccaagtc aaagatcctc ctggtcctgt

61 tctaccccat caactcctgt gccaacccct tcctctatgc catcttcacc aagaacttcc

121 gcagggattt cttcattctg ctgagcaagt ttggctgcta tgaagtgcaa gcccagacct

181 ataggtcaga aACCTcatcc actgcccaca actttcatcc aaggaatggc cactgccccc

241 cAG|CTcccag ggttactaat ggttccaatt acacccttat ccccctaaga catttagcca

301 agaact

reverse

Alel C : 5’---tcagaaACCTcatcc---3’ Alel G : 5’---tcagaaAGCTcatcc---3’ Keterangan : Alel C mempunyai basa C pada posisi basa ke 193

Alel G mempunyai basa G pada posisi basa ke 193

Gambar 3. Fragmen gen Follicle Stimulating Hormone Reseptor (FSHR|AluI) berdasakan sekuens gen FSHR di genbank (kode akses: L22319.1)

Analisis Data Frekuensi Alel dan Genotipe

Frekuensi genotipe adalah rasio dari jumlah suatu genotipe terhadap suatu

populasi dengan menghitung perbandingan antara jumlah genotipe tertentu pada

setiap populasi. Rumus menghitung frekuensi genotipe menurut Nei dan Kumar

(2000) adalah sebagai berikut :

�ii =

� Keterangan :

�ii = frekuensi genotipe ke-ii

nii = jumlah individu bergenotipe ii

(16)

14 Frekuensi alel adalah rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada satu

lokus dalam populasi. Frekuensi alel (�i) gen FSHR dapat dihitung berdasarkan

rumus Nei dan Kumar (2000) seperti di bawah ini :

�i = +∑

Keterangan :

�i = frekuensi alel ke-i

nii = jumlah individu bergenotipe ii

nij = jumlah individu bergenotipe ij

N = jumlah individu sampel

Heterozigositas

Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas

pengamatan yang diperoleh dari masing-masing populasi dengan menggunakan

rumus Weir (1996) sebagai berikut :

� = � �

≠ Keterangan :

Ho = heterozigositas pengamatan (populasi) nij = jumlah individu heterozigot

N = jumlah individu yang diamati

Heterozigositas harapan (He) berdasarkan frekuensi alel dihitung dengan

menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) :

��= − � �

= Keterangan :

He = nilai heterozigositas harapan �i = frekuensi alel

(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR

Ruas gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) diamplifikasi

dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer yang

dirancang oleh Houde et al. (1994). Suhu annealing yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 60oC selama 45 detik. Produk amplifikasi ruas gen FSHR adalah sebesar 306 pb dengan presentase keberhasilan amplifikasi mencapai 100%

(207/207). Hasil amplifikasi gen FSHR yang divisualisasikan pada gel agarose 1,5%

ditampilkan dalam Gambar 4.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 4. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen FSHR Menggunakan Gel Agarose 1,5 %. Ket : M=marker (100 pb); pb= pasang basa; 1-10= beberapa sampel sapi yang digunakan

Suhu annealing merupakan suhu yang memungkinkan terjadinya penempelan

primer pada DNA yang merupakan proses paling penting dalam amplifikasi. Viljoen

et al. (2005) menyatakan jika keberhasilan amplifikasi gen ditentukan oleh

keberhasilan penempelan primer pada gen target. Loss et al. (2008); Marson et al.

(2008); dan Hernandez et al. (2009) menggunakan suhu annealing 58 oC selama 30 detik dalam mengamplifikasi ruas gen FSHR dan menghasilkan produk PCR yang

baik. Perbedaan suhu annealing dengan hasil penelitian ini dapat disebabkan adanya

perbedaan komposisi mix sebagai komponen PCR. Faktor-faktor yang menentukan

keberhasilan penempelan primer pada gen target yakni kondisi suhu PCR

(18)

16 Rychilk (1995) menambahkan jika konsentrasi sampel DNA, konsentrasi primer,

garam, dan konsentrasi pelarut dalam Premix yang digunakan juga mempengaruhi

keberhasilan proses amplifikasi.

. Gen FSHR merupakan gen yang berperan dalam proses reproduksi. Produk

dari gen FSHR yaitu FSHR berperan untuk membawa hormon FSH menuju sel target

sehingga dapat melakukan fungsi reproduksinya (pembentukan ovum pada betina

dan sperma pada jantan). Gen FSHR pada sapi terletak di kromosom 11 dan terdiri

atas 10 ekson dan 9 intron (Aguirre dan Timossi, 1998). Panjang produk amplifikasi

ruas gen FSHR pada sapi-sapi Bos Javanicus, Bos Taurus, dan Bos Indicus dihitung

dari awal primer forward menempel hingga akhir penempelan primer reverse.

Penempelan primer dalam ruas gen FSHR ini terletak pada ekson 10 dengan panjang

306 pb. Loss et al. (2008), Marson et al. (2008), dan Hernandez et al. (2009) juga

menemukan panjang produk amplifikasi gen FSHR sepanjang 306 pb.

Keragaman Gen FSHR|AluI

Pendeteksian keragaman genetik gen FSHR dilakukan dengan metode RFLP.

Metode ini menggunakan enzim pemotong AluI (FSHR|AluI) yang mengenali situs

pemotongan AG|CT. Pemotongan ruas gen hasil amplifikasi ini menentukan genotipe

dan alel masing-masing individu sapi yang berperan dalam pendeteksian keragaman

genetiknya. Hasil pemotongan sekuens DNA gen FSHR pada sapi-sapi Bos taurus

dan Bos indicus ditemukan dua alel (alel C dan G) dalam ruas gen FSHR, sedangkan

pada Bos javanicus hanya ditemukan satu alel yaitu alel G. Alel C dalam ruas gen

FSHR diakibatkan oleh adanya satu titik potong yang dikenali enzim AluI pada

posisi basa ke 243 pb. Pemotongan tersebut menghasilkan dua fragmen yang

panjangnya 243 pb dan 63 pb. Sedangkan alel G diakibatkan oleh adanya dua titik

potong yaitu pada posisi basa ke 193 pb dan 243 pb. Pemotongan tersebut

menghasilkan tiga fragmen yang panjangnya 193, 63, dan 50 pb.

Hasil PCR-RFLP ruas gen FSHR|AluI menunjukkan adanya pola pita

beragam dengan tiga macam genotipe. Genotipe CC terdiri dari dua pita (243 pb dan

63 pb), genotipe CG terdiri dari empat pita (243, 193, 63, dan 50 pb), dan genotipe

GG terdiri dari tiga pita (193, 63, dan 50 pb). Individu CC dan GG disebut sebagai

individu homozigot karena kedua tetuanya menyumbangkan alel yang sama,

(19)

17 menyumbangan alel yang berbeda. Hasil visualisasi produk PCR dengan pada gel

agarose 2% ditampilkan pada Gambar 4. Hasil visualisasi dalam Gambar 5, pita

dengan panjang 50 bp dan 63 bp tidak terlihat dalam agarose 2% karena panjang pita

tersebut terlalu rendah (terjadi running out) sehingga butuh konsentrasi agarose yang

lebih tinggi sehingga dapat memunculkannya. Muladno (2002) menyatakan jika

dalam konsentrasi agarose 2% kisaran ukuran DNA yang dapat dianalisis berada

diantara 100 hingga 2000 pb.

M 1 2 3 4 5 6 7 10 11 12 13 14

GG GG CG CG CC CC GG GG CG CG CC CC

Gambar 5. Hasil Visualisasi PCR-RFLP Gen FSHR|AluI dalam Gel Agarose 2%

Perbedaan alel yang ditemukan dalam ruas gen FSHR dari individu sapi yang

satu dengan lainnya disebabkan adanya perubahan basa sehingga dapat dikenali oleh

enzim AluI. Mutasi yang ditemukan dalam ruas gen FSHR termasuk dalam tipe

mutasi subtitusi transversi karena basa Cytosine berubah menjadi basa Guanin.

Sebagaimana yang dinyatakan Li dan Graur (1991) mutasi tipe transversi terjadi

akibat adanya pertukaran basa antara basa purin (A=Adenin, G=Guanin) dengan basa

pirimidin (C=Cytosine, T=Timin). Mutasi tersebut menyebabkan terjadinya

perubahan susunan asam amino yaitu asam amino Asparagin berubah menjadi asam

amino lysin (AAC – Asparagin; AAG – Lysin). Akan tetapi dalam penelitian ini,

mutasi hanya terjadi pada sapi-sapi Bos taurus dan Bos indicus saja. Pada sapi Bali

(Bos javanicus) meskipun alel yang ditemukan dalam ruas gen FSHR ini hanya alel

G saja namun hal tersebut bukan disebabkan oleh mutasi melainkan karena adanya

perbedaan nukleotida pada sapi Bali dengan sapi Bos taurus dan Bos indicus. Hasil

pemotongan tersebut dapat digunakan sebagai penciri genetik gen FSHR|AluI untuk

(20)

18 Genotipe yang ditemukan pada sapi Bos taurus dan sapi Bos indicus adalah

CC, CG, dan GG, sedangkan pada sapi Bos javanicus (sapi Bali) hanya ditemukan

satu genotipe saja yaitu genotipe GG. Sapi limousin, simmental, FH, yang

merupakan sapi Bos taurus muncul ketiga genotipe tersebut, akan tetapi pada sapi

Angus hanya muncul dua genotipe saja yaitu CC dan CG. Jumlah sampel sapi angus

yang digunakan dalam penelitian ini hanya enam sampel. Jumlah tersebut harus

diperbanyak agar mendapatkan hasil yang lebih akurat. Sapi Bos indicus yaitu sapi

Brahman yang digunakan dalam penelitian ini muncul ketiga genotipe CC, CG, dan

GG, akan tetapi pada sapi PO hanya menunjukkan dua genotipe yakni CC dan GG.

Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen FSHR

Frekuensi genotipe adalah rasio dari jumlah suatu genotipe dengan

menghitung perbandingan antara jumlah genotipe tertentu. Sedangkan frekuensi alel

adalah rasio suatu alel terhadap keseluruhan alel pada satu lokus dalam populasi.

Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dari penelitian yang dilakukan ditampilkan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel dari Gen FSHR|AluI

Spesies Bangsa n Genotipe Alel

Keterangan : angka di dalam kurung menunjukkan jumlah sampel

Hasil analisis frekuensi genotipe dan frekuensi alel dalam Tabel 3

menunjukkan jika pada sapi Limousin, Simmental, dan Angus memiliki frekuensi

genotipe CC yang lebih besar dibandingkan dua genotipe lainya dengan nilai

(21)

19 dan sapi Simmental memiliki nilai frekuensi genotipe GG yang paling kecil yaitu

0,05 dan 0,18. Pada sapi Angus hanya ditemukan genotipe CC dan CG saja dengan

nilai frekuensi genotipe CG sebesar 0,17. Sapi FH memiliki frekuensi genotipe CG

yang lebih besar dibandingkan kedua genotipe lainnya dengan nilai 0,46. Sapi

Brahman memiliki frekuensi genotipe CC yang paling rendah yaitu 0,12 sedangkan

genotipe CG dan GG memiliki nilai frekuensi genotipe yang sama yaitu 0,44. Sapi

PO yang diamati dalam penelitian hanya menunjukkan dua genotipe saja yaitu CC

dan GG dengan nilai yang sama masing-masing yaitu 0,50. Sapi Bali yang

merupakan sapi lokal Indonesia hanya menunjukkan satu buah genotipe saja dari

keseluruhan sampel yaitu genotipe GG. Hal ini menyebabkan frekuensi genotipe GG

pada sapi Bali sangat tinggi yaitu 1,00. Gambar 6 menunjukkan grafik frekuensi

genotipe pada spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus.

Gambar 6. Frekuensi Genotipe FSHR|AluI di Berbagai Spesies Sapi (dalam Persen)

Gambar 6 menunjukkan dengan jelas perbedaan antara spesies sapi Bos

taurus dengan spesies sapi Bos indicus. Spesies sapi Bos taurus memiliki genotipe

CC yang terbesar, sedangkan pada spesies sapi Bos indicus genotipe yang terbesar

adalah genotipe GG. Genotipe GG yang merupakan genotipe satu-satunya yang 0

Bos javanicus Bos taurus Bos indicus

(22)

20 muncul pada sapi Bali (Bos javanicus) menjadikan frekuensi genotipe GG pada

spesies sapi Bos javanicus adalah sebesar 1,00, sedangkan frekuensi genotipe CC dan

CG adalah 0,00. Sapi Bos taurus memiliki frekuensi genotipe CC yang lebih besar

dari dua genotipe lainnya yaitu sebesar 0,57. Genotipe GG merupakan genotipe

dengan frekuensi yang paling rendah dari spesies sapi Bos taurus yaitu sebesar 0,11.

Hasil ini berbanding terbalik dengan spesies sapi Bos indicus dengan frekuensi

genotipe GG paling besar yaitu 0,46 dan frekuensi genotipe CC paling rendah yaitu

0,18. Frekuensi genotipe CG pada sapi Bos taurus dan Bos indicus secara berurutan

adalah 0,32 dan 0,36.

Tipe alel yang ditemukan dalam penelitian ini adalah alel C dan alel G.

Frekuensi alel C pada sapi Simmental, Limousin, Angus, dan FH lebih tinggi

dibandingkan frekuensi alel G. Nilai frekuensi alel C dan G pada sapi Simmental,

Limousin, Angus, dan FH berturut-turut adalah 0,680 dan 0,320, 0,789 dan 0,211,

0,917 dan 0,083, serta 0,646 dan 0,354. Pada sapi Bali dan Brahman nilai frekuensi

alel G lebih besar dibandingkan frekuensi alel C yaitu sebesar 1,000 dan 0,000 pada

sapi Bali serta 0,667 dan 0,333 pada sapi Brahman. Sapi PO memiliki nilai frekuensi

alel C dan G yang sama yaitu 0,500. Hal ini disebabkan hanya ditemukan 2 genotipe

saja pada sapi PO yaitu CC dan GG.

Frekuensi alel C pada spesies Bos taurus lebih besar dibandingkan dengan

frekuensi alel G. Frekuensi alel C Bos taurus 0,73 sedangkan frekuensi alel G

sebesar 0,27. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Ishak (2012) yang menunjukkan

frekuensi alel C lebih besar dibandingkan frekuensi alel G pada sapi Bos taurus.

Hasil tersebut berbanding terbalik dengan spesies Bos javanicus dan Bos indicus.

Kedua spesies ini menujukkan jika frekuensi alel G lebih besar dibandingkan

frekuensi alel C. Frekuensi alel G pada spesies Bos javanicus adalah 1,00 dan pada

spesies Bos indicus adalah 0,64. Penelitian yang dilakukan Ishak (2012)

menunjukkan jika sapi dari spesies Bos javanicus (sapi Bali) memiliki nilai frekuensi

alel G 0,951 dan alel C 0,049. Terdapatnya alel G dalam hasil tersebut dikarenakan

sapi Bali yang diteliti oleh Ishak (2012) berasal dari NTT, NTB dan Sulawesi yang

diduga telah mengalami pencemaran. Penelitian yang dilakukan oleh Loss et al.

(23)

21 dengan penelitian yaitu memiliki frekuensi alel G yang besar dibandingkan dengan

alel C.

Nilai frekuensi alel dalam penelitian ini pada spesies sapi Bos taurus dan Bos

indicus bersifat polimorfik. Nilai frekuensi alel pada spesies sapi Bos javanicus

hanya ditemukan genotipe GG dan hanya memiliki satu alel yaitu alel G dengan nilai

1,000. Oleh karena itu Gen FSHR yang ditemukan pada sapi Bos javanicus bersifat

monomorfik atau seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Nei (1987) yang

menyatakan bahwa suatu alel dikatakan polimorfik atau beragam jika memiliki

frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99, akan tetapi jika terjadi lebih dari

0,99 dikatakan monomorfik atau seragam. Keragaman yang bersifat monomorfik

pada sapi Bos javanicus menunjukkan jika adanya manajemen perkawinan yang

tidak acak terlebih sampel sapi Bali yang digunakan bersasal dari daera Bali saja,

selain itu adanya seleksi dalam sifat tertentu, serta tingkat silang dalam yang tinggi.

Tabel 4 menunjukkan beberapa pembanding hasil frekuensi alel gen

FSHR|AluIdari beberapa literatur yang juga menggunakan metode PCR-RFLP. Pada

tabel tersebut terlihat jika Marson et al (2008) mengidentifikasi keragaman gen

FSHR menggunakan sapi persilangan spesies Bos taurus dan Bos indicus. Hasil dari

penelitian tersebut adalah nilai frekuensi alel C lebih tinggi dibandingkan alel G.

Antara nilai frekuensi alel C dan alel G juga tidak berbeda jauh. Hasil penentuan

genotipe sapi persilangan ini memiliki frekuensi genotipe CG yang lebih tinggi

dibandingkan genotipe CC dan GG.

Tabel 4.Frekuensi alel gen FSHR|AluI pada Beberapa sumber

Spesies Bangsa Asal Frekuensi Alel Sumber

C G

Bos javanicus Sapi Bali Sulsel, NTT,

(24)

22 Gen FSHR berperan dalam fungsi reproduksi sangat menentukan kualitas

sperma sapi pada sapi jantan. Huhtaniemi dan Kristiina (1998) menyatakan jika

FSHR yang merupakan produk dari gen FSHR sangat menentukan ukuran testis,

jumlah sperma, dan motilitas sperma bagi pejantan, serta keberhasilan fungsi

ovarium pada betina. Ishak (2012) dalam penelitianya menunjukkan jika sapi Bos

taurus dan Bos indicus dengan genotipe GG memiliki tingkat keabnormalitas yang

lebih tinggi dibandingkan dua genotipe lainnya. Ishak (2012) juga menyatakan

bangsa sapi Bali (Bos javanicus) memiliki kualitas sperma yang paling baik

dibandingkan dengan bangsa sapi dari dua spesies lainnya. Arifianti et al. (2010)

menyatakan bahwa presentase abnormanilitas sapi Bali (Bos javanicus) sebesar 6%

dengan 2% kecatatan pada kepala. Kualitas sperma sapi tidak hanya dipengaruhi oleh

faktor genetik saja. Faktor lingkungan juga memiliki pengaruh besar pada kualitas

sperma sapi seperti kandungan nutrisi pakan, manajemen pemeliharaan, dan cuaca

lingkungan.

Heterozigositas

Nilai heterozigositas dihitung untuk mengetahui keragaman genetik gen

FSHR|AluI pada suatu populasi. Analsisis hetorozigositas pada berbagai sapi

ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Harapan (He) Gen FSHR

Spesies Bangsa n Ho He

Pendugaan nilai heterozigositas memiliki arti penting untuk diketahui karena

dapat memberikan informasi mengenai tingkat polimorfisme suatu alel, serta prospek

(25)

23 (2005) menambahkan jika pendugaan nilai heterozigositas diperoleh untuk

mendapatkan kergaman genetik dalam populasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk

program seleksi dan menjadi sumber genetik pada generasi berikutnya. Pendugaan

nilai heterozigositas pada penelitian ini berdasarkan nilai heterozigositas pengamatan

(Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He). Heterosigositas harapan (He) merupakan

penduga keragaman genetik yang tepat pada populasi hewan ternak karena

perhitungannya langsung berdasarkan pada frekuensi alel (Moioli et al., 2004).

Heterozigositas pengamatan (Ho) dalam penelitian ini paling besar adalah

pada spesies sapi Bos indicus yaitu 0,36 dan yang paling terendah adalah spesies Bos

javanicus yaitu 0,00. Pada spesies sapi Bos taurus, sapi FH memiliki nilai

Heterozigositas pengamatan (Ho) yang paling tinggi yaitu 0,46 dan pada spesies sapi

Bos indicus sapi Brahman memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 0,44.

Javanmard et al. (2005) menyatakan jika nilai heterozigositas dibawah 0,5

(50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi.Hal demikian

menunjukkan jika rendahnya keragaman gen FSHR|AluI pada sapi-sapi spesies Bos

javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus. Nilai heterozigositas dipengaruhi oleh

banyaknya sampel, jumlah alel, dan frekuensi alel dalam suatu populasi (Nei, 1987).

Jumlah sampel pada spesies Bos indicus yang sangat rendah (11 sampel) mengurangi

keakuratan nilai heterozigositas.

Nilai heterozigositas harapan (He) pada spesies sapi Bos javanicus dan Bos

taurus yang diamati tidak menunjukkan perbedaan yang besar dengan nilai

heterozigositas pengamatannya (Ho). Akan tetapi, pada spesies sapi Bos indicus

memiliki perbedaan yang cukup tinggi. Tambasco et al. (2003) menyatakan jika

terjadi pebedaan yang besar antara heterozigositas harapan (He) dan heterozigositas

pengamatannya (Ho) maka terjadi ketidakseimbangan genotipe dalam populasi yang

diamati. Hal yang serupa juga terjadi pada nilai heterozigositas sapi Simmental dari

spesies Bos tarus. Nilai Ho pada keseluruhan spesies sapi memiliki nilai yang lebih

rendah dari nilai He. Machado et al. (2003) menyatakan jika nilai Ho lebih rendah

dari He mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif. Berdasarkan hal

tersebut maka deiperkirakan telah terjadi proses seleksi intensif berdasarkan gen

(26)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Gen FSHR|AluI pada spesies sapi Bos taurus dan Bos indicus bersifat

polimorfik dengan ditemukannya dua alel (alel C dan G) dan tiga genotipe (genotipe

CC, CG, dan GG), sedangkan pada spesies Bos javanicus (sapi Bali) bersifat

monomorfik dengan ditemukan satu alel (G) dan satu genotipe (GG). Derajat

heterozigositas pada spesies Bos taurus (Limousin, Simmental, Angus, dan FH) dan

Bos indicus (Brahman dan Peranakan Ongole) memiliki nilai heterozigositas tinggi

dibandingkan dengan sapi yang termasuk dalam spesies Bos javanicus (sapi Bali).

Saran

Penelitian terhadap gen FSHR|AluI perlu dilakukan dengan jumlah sampel

yang banyak terutama pada sampel sapi yang termasuk spesies Bos indicus. Selain

(27)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

FOLLICLE STIMULATING

HORMONE RECEPTOR

(FSHR|

Alu

I) PADA SPESIES SAPI

Bos javanicus

,

Bos taurus

, DAN

Bos indicus

DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI

SEPTYANINGTYAS ANGGIA SARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(28)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

FOLLICLE STIMULATING

HORMONE RECEPTOR

(FSHR|

Alu

I) PADA SPESIES SAPI

Bos javanicus

,

Bos taurus

, DAN

Bos indicus

DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI

SEPTYANINGTYAS ANGGIA SARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(29)

RINGKASAN

SEPTYANINGTYAS ANGGIA SARI. D14080028. 2012. Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) pada Spesies Sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir.Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Jakaria, S.Pt,M.Si.

Sapi dari spesies Bos javanicus, Bos taurus,dan Bos indicus merupakan sapi-sapi yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Sumber daya genetik ternak yang harus dipertahankan agar mencegah terjadinya kepunahan menjadi alasan untuk mengkaji keragaman gen FSHR yang berperan dalam fungsi reproduksi. Gen FSHR (Follicle Stimulating Hormone Receptor) akan menghasilkan produk yaitu FSHR yang diperlukan oleh hormone FSH untuk mencapai sel target sehingga dapat melaksanakan fungsi reproduksi (menghasilkan sperma dan ovum). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) dengan menggunakan metode PCR-RFLP pada spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus.

Sampel yang digunakan berjumlah 207 sampel yaitu terdiri dari sampel spesies sapi Bos javanicus 59 sampel, spesies Bos taurus 137 sampel, dan spesies Bos indicus 11 sampel. Sampel spesies sapi Bos javanicus berasal dari sapi Bali, sampel sapi Bos taurus terdiri dari sapi Limousin (57 sampel), Simmental (50 sampel), Angus (6 sampel), dan FH (24 sampel), serta sampel spesies sapi Bos indicus terdiri dari sampel Brahman (9 sampel) dan sapi Ongole (2 sampel). Sampel sapi yang digunakan berasal dari BIB Lembang, BIB Singosari, BPTU Bali, BIBD Bali, dan BET Cipelang. Penelitian ini menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) untuk mendeteksi adanya keragaman genetic pada gen FSHR menggunakan enzim rektriksi AluI yang memotong basa AG|CT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak sejak bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012. Keragaman gen FSHR ditentukan dengan analisis frekuensi genotipe, frekuensi alel, nilai heterozigositas pengamatan (Ho), dan

nilai heterozigositas harapan (He).

Amplifikasi gen FSHR menghasilkan fragmen dengan panjang 306 bp yang terletak pada ekson 10 dengan suhu annealing 60oC selama 45 detik. Genotyping gen FSHR|AluI menghasilkan dua jenis alel yaitu alel C dan alel G serta menghasilkan tiga jenis genotipe yaitu CC (243 dan 63 bp), CG (243, 293, 50, 63 bp), dan GG (193, 50, dan 63 bp). Frekuensi genotipe GG tertinggi pada spesies sapi Bos javanicus yaitu 1,00, Bos indicus sebesar 0,46 dan terendah pada spesies sapi Bos taurus yaitu 0,11. Frekuensi genotype CC paling tinggi pada spesies sapi Bos taurus yaitu 0,57, Bos indicus sebesar 0,18, dan terendah pada spesies sapi Bos javanicus. Nilai heterozigositas Ho dan He paling tinggi pada spesies sapi Bos indicus sedangkan nilai

terendah pada spesies sapi Bos javanicus.

(30)

ABSTRACT

Identification Polymorphism of The Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) Gene in Species Bos javanicus, Bos taurus, and Bos indicus

Using PCR-RFLP Method Sari, S.A., C. Sumantri, and Jakaria

Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) gene is a very important in reproduction trait. FSHR is required by Follicle Stimulating Hormone (FSH) to carry out on target tissues. The purpose of this study was to identify polymorphism of the Follicle Stimulating Hormone Receptor gene in Bos javanicus, Bos taurus, and Bos indicus Cattle. Blood samples used 207 samples consisting of Bos javanicus (Bali Cattle) 59 heads, Bos taurus 137 heads (Limousin 57 heads, Simmental 50 heads, Angus 6 heads, and Holstein Friesian (FH) 24 heads), and Bos indicus 11 heads (Brahman 9 heads and Ongole 2 heads). The polymorphism site analysis from digestion with AluI restriction enzyme allowed the genotype identification. AluI restriction enzyme cut the base position at AG|CT in 193 and 243 bp. Genotyping FSHR gene produced two alleles, namely C and G alleles. These allele produced three genotypes respectively, there are CC (243 and 63 bp), GG (193, 63, and 50 bp), and CG (243, 193, 63, and 50 bp). The highest G allele frequency was found in Bos javanicus (Bali cattle), but the lowest in Bos taurus. The highest C allele frecuency was found in Bos taurus. The value of heterozigosity was the highest in Bos indicus and the lowest in Bos javanicus. The result of this study showed that the allele of FSHR gene in Bos taurus and Bos indicus were polymorphic, while in Bos javanicus was monomorphic.

(31)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

FOLLICLE STIMULATING

HORMONE RECEPTOR

(FSHR|

Alu

I) PADA SPESIES SAPI

Bos javanicus

,

Bos taurus

, DAN

Bos indicus

DENGAN METODE PCR-RFLP

SEPTYANINGTYAS ANGGIA SARI D14080028

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(32)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis dipanjakan kepada Allah SWT atas segala

rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan. Skripsi yang berjudul Identifikasi Keragaman Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR|AluI) pada Spesies Sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus dengan Metode PCR-RFLP ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Bogor.

Upaya perbaikan produktivitas ternak khususnya dalam reproduksi dapat

dilakukan melalui seleksi menggunakan penciri genetik pada level DNA. Sifat

reproduksi ternak dikontrol oleh banyak gen salah satunya adalah gen FSHR. Gen

FSHR memiliki produk bernama FSHR yang berfungsi membawa hormon FSH ke sel

target. Interaksi antara keduanya berfungsi dalam proses spermatogenesis dan oogenesis

pada sapi yang berhubungan dengan reproduksi ternak. Teknik PCR-RFLP dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman gen FSHR tersebut.

Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi mengenai identifikasi

keragaman gen FSHR menggunakan metode PCR-RFLP dengan enzim rektriksi AluI

pada spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus. Informasi mengenai

keragaman gen FSHR diharapkan menjadi dasar seleksi pada level DNA. Penulis sangat

menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi dunia peternakan. Amin.

Bogor, Juli 2012

(33)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Depok pada tanggal 25 September 1990. Penulis

adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Imam Sudarmo dan Ibu Sri

Indrayati Faidah. Pendidikan taman kanak-kanak penulis diselesaikan di TK Panca

Daya Depok pada tahun 1996. Sekolah dasar diselesaikan pada tahun 2002 di SD

Negeri Mekarjaya 8 Depok. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun

2005 di SMP Negeri 4 Depok dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun

2008 di SMA Al-Ma’soem Bandung.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu

Produksi dan Teknologi Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis

aktif di berbagai kepanitiaan dan organisasi. Penulis aktif dalam Tim Manajerial

Olahraga Fakultas Peternakan sebagai Manajer Badminton Fapet IPB periode

2010-2012, penulis juga menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas

Peternakan sebagai sekertaris departemen Informasi dan Komunikasi (Infokom)

periode 2010-2011, penulis menjadi anggota Himaproter, anggota Animal Breeding

and Genetic Student Community (ABGSCi) periode 2011-2012, serta menjadi

anggota paguyuban mahasiswa Bandung (Pamaung).

Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) di bidang

penelitian yang dibiayai Dikti dengan judul “Penggunaan Gen Cyt-b sebagai

Pendeteksi Adanya Kandungan Gelatin Babi pada Produk Permen Jelly”. Penulis

juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi Pengolahan Telur dan Daging

Unggas (TPTDU) tahun ajaran 2011-2012. Penulis berkesempatan menjadi penerima

beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun 2010-2011 dan

(34)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN………. ii

ABSTRAK ……… iii

LEMBAR PERNYATAAN ……….... iv

LEMBAR PENGESAHAN ………. v

Asal Usul Sapi di Indonesia ……… Keragaman Genetik ……….. Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR) ……… Polymerase Chain Reaction – Restrictiom Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) ……….... Amplifikaasi Gen FSHR|AluI ……… Elektroforesis ………

Rancangan dan Analisis Data……… Frekuensi Alel dan Genotipe ………

(35)

ix

Heterozigositas ……… 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 15

Amplifikasi Gen FSHR ………. Keragaman Gen FSHR|AluI ………... Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen FSHR|AluI ………… Heterozigositas ………

15 16 18 22

KESIMPULAN DAN SARAN ………. 24

Kesimpulan ……… Saran ………...

24 24

UCAPAN TERIMAKASIH ………. 25

DAFTAR PUSTAKA ……… 26

(36)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik Bangsa Sapi pada Beberapa Spesies……… 4

2. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian ……….. 9

3. Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen FSHR|AluI ………….... 18

4. Frekuensi Alel Gen FSHR|AluI dari Beberapa Sumber ………. 21

5. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Harapan (He)

(37)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Fenotipik Berbagai Bangsa Sapi (a) sapi Bali, (b) sapi Limousin,

(c) sapi Simmental (d) sapi Angus, (e) sapi FH, (f) sapi Brahman

dan (g) sapi PO ………... 5

2. Struktur Gen FSHR ……….………. 7

3. Fragmen Gen FSHR|AluI berdasarkan GenBank ……… 13

4. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen FSHR menggunakan Gel Agarose 1,5% ………..

15

5. Hasil Visualisasi PCR-RFLP Gen FSHR|AluI dalam Gel

Agarose 2% ……… 17

(38)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(39)

xiii

(40)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sapi-sapi yang tersebar luas di Indonesia terbagi menjadi tiga kriteria yaitu

sapi asli Indonesia, sapi impor, dan sapi yang sudah beradaptasi (Sarbaini, 2004).

Secara garis besar, spesies sapi yang tersebar di Indonesia terdiri dari spesies sapi

Bos taurus yang merupakan sapi asal Eropa dan Afrika Barat, spesies Bos indicus

yang berasal dari wilayah Asia dan Afrika Selatan, serta Bos javanicus yang

merupakan spesies asli Indonesia yang berasal dari domestikasi Banteng

(Rahmatullah, 2011). Spesies Bos taurus dan Bos indicus merupakan spesies sapi

yang di impor ke Indonesia dan beberapa diantaranya telah dapat beradaptasi dengan

lingkungan di Indonesia seperti sapi FH. Sapi impor tersebut kemudian disebar

keseluruh wilayah Indonesia untuk disilangkan dengan sapi lokal Indonesia dan

membentuk bangsa sapi baru seperti sapi Peranakan Ongole.

Kebutuhan akan pangan dan produksi dari ternak sapi di Indonesia menjadi

perlu untuk mempertahankan secara optimal sumber daya genetik ternak terutama

ternak asli Indonesia. Departemen Pertanian (2006) menyatakan jika sumber daya

genetik ternak merupakan substansi ternak yang secara genetik unik, terbentuk dari

proses domestikasi yang memiliki nilai potensial serta dapat dimanfaatkan dan

dikembangkan dengan baik untuk menciptakan rumpun atau galur unggul. Sapi Bali

merupakan salah satu sumberdaya genetik ternak asli Indonesia yang menjadi plasma

nutfah nasional. Keberadaan sumberdaya genetik ternak perlu dipertahankan dan

dimanfaatkan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan mutu genetik ternak

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi

adalah melalui seleksi dan persilangan. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan sifat

reproduksi dari masing-masing ternak. Pemanfaatan penerapan teknologi molekuler

dapat digunakan sebagai metode seleksi pada tingkat DNA, dalam hal ini DNA yang

berperan dalam sifat reproduksi. Salah satu gen yang memiliki peranan penting

dalam reproduksi adalah gen FSHR (Follicle Stimulating Hormone Receptor). Gen

ini sangat penting dalam proses pembentukan sperma pada sapi jantan dan ovum

pada sapi betina. Gen ini terletak pada kromosom ke 11 yang terdiri dari 10 ekson

dan 9 intron (Aguirre dan Timossi, 1998). Teknik yang dapat digunakan untuk

(41)

2 Chain Reaction) dengan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism).

Metode RFLP menggunakan enzim pemotong AluI untuk mengidentifikasi

polymorfisme gen FSHR pada ekson 10 dengan menggunakan primer forward dan

reverse berdasarkan Houde et al. (1994). Apabila polymorfisme yang terjadi pada

gen FSHR berhubungan dengan sifat produksi dan reproduksi sapi, maka dapat

dijadikan sebagai Marker Assisted Selection (MAS). Untuk dapat memenuhi kriteria

seleksi MAS maka perlu terlebih dahulu dilakukan identifikasi keragaman gen.

Melalui seleksi MAS diharapkan ketepatan seleksi dapat lebih baik sejak periode

anakan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman gen Follicle

Stimulating Hormone Receptor (FSHR|Alu I) dengan menggunakan metode

(42)

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Sapi di Indonesia

MacHugh (1996) menyatakan jika terdapat dua spesies sapi yang tersebar

diseluruh dunia yaitu spesies tidak berpunuk dari Eropa, Afrika Barat, dan Asia

Utara yang disebut dengan spesies Bos taurus, serta spesies sapi berpunuk dari Asia

Selatan dan Afrika yang disebut dengan Bos indicus. Perbedaan antara keduanya

terletak dari ada/tidaknya punuk, cara beradaptasi (Bos indicus lebih mendiami

daerah kering dan panas, sedangkan Bos taurus di daerah beriklim sedang dengan

curah hujan cukup).

Sapi yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi : 1) sapi asli Indonesia, 2)

sapi impor, dan 3) sapi yang telah beradaptasi (Sarbaini, 2004). Kusdiantoro et al.

(2007) menyatakan pejantan sapi Ongole di-impor ke Indonesia pada akhir abad

ke-19 ke pulau Jawa dan beberapa pulau lainnya di Indonesia kecuali pulau Bali dan

Madura. Utoyo (2002) menjelaskan penyebaran sapi Ongole pada abad ke-20

dimaksudkan agar dapat disilangkan dengan sapi asli jawa yang akhirnya

membentuk bangsa sapi peranakan ongole dan sapi Madura. Sapi domestikasi yang

ada di Indonesia merupakan sapi spesies bibos dan sapi silangan yang berbeda

dengan sapi domestikasi di Afrika dan Eropa (Jakaria, 2008).

Menurut Rollinson (1984) sapi Bali (Bibos sondaicus) berasal dari hasil

domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Proses domestikasi sapi Bali itu terjadi

sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan

di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga

di Malaysia (Payne dan Rollinson 1973). Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai

pada tahun 1890 dengan adanya pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya

dilakukan pada tahun 1920 dan 1927. Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah

penyakit jembrana secara besar-besaran yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh

dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber

bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan

dan NTB (Talib, 2002).

Bangsa sapi dari spesies Bos taurus yang banyak dimanfaatkan di Indonesia

(43)

4 Bos indicus yang banyak dimanfaatkan adalah sapi Peranakan Ongole dan Brahman.

Karakteristik bangsa sapi dari berbagai spesies tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Bangsa Sapi pada Tiga Spesies

Spesies Bangsa Sapi Karakteristik

Bos javanicus

Sapi Bali Ciri sapi ini yaitu memiliki warna bulu merah bata kecoklatan hingga berumur 6 bulan dan akan berubah warna (bagi jantan) menjadi coklat tua hingga hitam mencapai dewasa. Sapi ini memiliki warna putih pada bagian pantat, bagian kaki (white stocking) hingga di atas kuku (Williamson dan Payne, 1993). Presentase karkas tinggi (55,85-60,80%), tingkat fertilitas tinggi (83-86%), serta angka kelahiran tinggi (72,6-92,6%) (Martodjo, 1990).

Bos taurus Limousin Sapi ini memiliki karakteristik warna bulu merah keemasan, kaki dan lutut kebawah memiliki warna merah agak muda, dan umumnya terdapat lingkaran berwarna merah muda disekeliling mata (Pane, 1986).

Simmental Karakteristik sapi ini memiliki warna bulu kecoklatan hingga sedikit merah, bulu muka berwarna putih dan bagian ekor serta lutut kebawah berwarna putih pula. Ukuran tanduk tidak begitu besar (Pane, 1986).

Angus Sapi Angus memiliki karakteristik kulit berwarna hitam, tidak bertanduk, tubuh rata, lebar dan dalam, seperti balok, padat dengan urat daging yang baik. Berat badan betina dewasa mencapai 1600 pounds sedang jantan dewasa 2000 pounds (Pane, 1986).

FH Sapi perah ini memiliki warna putih dengan belang hitam, hitam belang putih, sampai warna hitam. Sapi ini merupakan bangsa sapi perah dengan produksi susu paling tinggi (Syarif dan Sumopastowo, 1984).

Bos indicus Brahman Sap ini memiliki karakteristik ponok besar dan kulit yang longgar dengan lipatan kulit dibawah leher dan perut yang lebar, telinga menggantung. Warna kulit merah kecoklatan dengan tanduk melengkung keatas (Balai Pembibitan Ternak Potong Nusa Tenggara Timur, 2009).

(44)

5 Perbedaan karakteristik fenotipik dari berbagai bangsa sapi dapat terlihat jelas

dengan melihat gambar. Gambar 1 merupakan gambar fenotipik berbagai bangsa sapi

dari spesies sapi Bos javanicus, Bos taurus, dan Bos indicus.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g)

(45)

6

Keragaman Genetik

Sumber daya genetik yang semakin beragam menurut Frankham et al.(2002)

akan semakin tahan populasi tersebut untuk hidup dalam jangka waktu yang lama,

serta semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan. Estimasi

perhitungan keragaman genetik dalam populasi secara kualitatif dapat diperoleh

melalui dua ukuran keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme

dalam populasi dan rata-rata proporsi individu heterozigot dalam lokus (Nei, 1987).

Keragaman genetik dalam antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat

persamaan dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000).

Falconer dan Mackay (1996) menyatakan jika suatu alel dinyatakan polimorfik jika

memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99.

Noor (2000) menyatakan jika frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup

besar akan selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi dan

genetic drift, selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi

frekuensi genotipe. Derajat heterozigositas merupakan rataan presentase lokus

heterozigositas tipe individu atau rataan presentase individu heterozigot dalam

populasi (Nei, 1987). Avise (1994) menyatakan jika semakin tinggi derajat

heterozigositas dalam suatu populasi maka daya tahan populasi tersebut akan

semakin tinggi. Javanmard et al. (2005) menyatakan jika nilai heterozigositas

dibawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi.

Machado et al. (2003) menyatakan jika nilai Ho lebih rendah dari He

mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif.

Gen Follicle Stimulating Hormone Receptor (FSHR)

Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon yang disintesa dan

disekresikan oleh gonadotropes di kelenjar anterior pituitary. Fungsi utama FSH

adalah menstimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel de graaf di dalam ovarium

dan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi testis. Proses spermatogenesis

meliputi proses spermatocytogenesis (pembentukan spermatosit primer dan

sekunder) dan spermiogenesis (proses pembentukan spermatozoa) (Toelihere, 1979).

Keberadaan hormon FSH sangat dipengaruhi oleh adanya gen FSH dan gen

FSHR. Gen FSH terbagi atas dua subunit yaitu α-subunit dan β-subunit dengan

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Bangsa Sapi pada Tiga Spesies
Gambar 1. Fenotipik Berbagai Bangsa Sapi. (a) sapi Bali (Saputra, 2008); (b) sapi Limousin (Khairdin, 2012); (c) sapi Simmental (Khairdin, 2012); (d) sapi Angus (Khairdin, 2012); (e) sapi FH (Khairdin, 2012); (f) sapi Brahman (Khairdin, 2012); dan (g) sapi
Tabel 2. Jumlah Sampel yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 4. Visualisasi Amplifikasi PCR Fragmen Gen FSHR Menggunakan Gel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Keragaman Exon-1 Gen Hormon Pertumbuhan pada Itik Lokal (Bayang) Sumatera Barat Menggunakan Metoda PCR-RFLP.. Polymorphism Analysis of the Exon-1 Growth Hormone Gene in

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2015 ini ialah ayam lokal, dengan judul Identifikasi Kegaraman Gen Growth Hormone

Analisis Keragaman Exon-1 Gen Hormon Pertumbuhan pada Itik Lokal (Bayang) Sumatera Barat Menggunakan Metoda PCR-RFLP.. Polymorphism Analysis of the Exon-1 Growth Hormone Gene in