• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (Ghrh) Pada Kerbau Lokal (Bubalus Bubalis) Dengan Metode Pcr-Rflp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (Ghrh) Pada Kerbau Lokal (Bubalus Bubalis) Dengan Metode Pcr-Rflp"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

GROWTH HORMONE

RELEASING HORMONE

(GHRH) PADA KERBAU LOKAL

(

Bubalus bubalis

) DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI

ALMIRA PRIMASARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

ALMIRA PRIMASARI. 2009. Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mendapatkan ternak lokal yang memiliki produktivitas tinggi adalah dengan perbaikan manajemen pemeliharaan dan perbaikan genetik. Perbaikan secara genetik dapat dilakukan dengan mengetahui karakteristik genetik ternak yang berpengaruh terhadap sifat pertumbuhan yang dikontrol oleh banyak gen dan sebagian besar aksinya bersifat aditif. Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang berperan menstimulasi sintesis dan sekresi Growth Hormone yang berpengaruh secara aditif terhadap pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada kerbau lokal di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Sampel darah kerbau yang digunakan berjumlah 320 sampel yang berasal dari empat daerah, yaitu Semarang (Jawa Tengah), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Medan (Sumatera Utara) dan Banten. Amplifikasi gen GHRH dilakukan dengan teknik PCR, sedangkan untuk identifikasi keragaman dilakukan menggunakan metode PCR-RFLP dengan menggunakan enzim restriksi HaeIII. Gen GHRH kerbau yang berhasil diamplifikasi berukuran 451 pb terletak di sebagian ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Pendeteksian keragaman gen GHRH kerbau lokal Indonesia dengan metode PCR-RFLP menghasilkan dua tipe alel yaitu alel A (18%) dan alel B (82%). Genotipe yang diperoleh yaitu AA (0%), AB (36%) dan BB (64%) dengan nilai heterozigositas sebesar 46%. Frekuensi Alel A pada setiap populasi yaitu Semarang (15%), Mataram (19%), Medan (2%) dan Banten (45%). Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel A pada semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi alel B pada setiap populasi yaitu Semarang (85%), Mataram (81%), Medan (98%) dan Banten (48%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau Medan (98%) dengan nilai heterozigositas 4%. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi kerbau di Banten yaitu 48%. Nilai indeks fiksasi gen GHRH menunjukkan bahwa dari keempat populasi kerbau lokal tidak terdapat gen yang terfiksasi dengan nilai indeks fiksasi tidak sama dengan nol. Nilai jarak genetik gen GHRH terkecil yaitu antara populasi kerbau lokal Semarang dan kerbau lokal Mataram (0,001) dan terbesar antara populasi kerbau lokal Medan dan Banten (0,202).

(3)

ABSTRACT

Identification of Growth Hormone Releasing Hormone Gene in Local Buffalo (Bubalus bubalis) Using PCR-RFLP

Primasari, A., C. Sumantri and A. Farajallah

GHRH is a hypothalamic hormone which stimulates growth hormone secretion in the pituitary gland. The objective of this study was to identify polymorphisms Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) gene of Indonesian buffalo’s. A total of 320 blood samples from Indonesian buffalo were used to determined polymorphism using PCR-RFLP method. The polymorphism of GHRH gene that spanned within exon 2 and exon 3 was amplified, and their mutation was detected using endonuclease HaeIII. In this study, there were found to be three GHRH/HaeIII genotype (AA genotype 0%, AB genotype 36% and BB genotype 64%) determined by two alleles, A (18%) and B (82%). The frequency of A allele was found 15% for Semarang population, 19% for Mataram population, 2% for Medan population and 40% for Banten population. The frequency of B allele was found 85% for Semarang population, 81% for Mataram population, 98% for Medan population and 60% for Banten population. The observed heterozygosis value were different among populations. The highest heterozygosis ( ) 0,485 for Banten population and the lowest was 0.037 for Medan population and the average heterozygosis for all populations ( ) detected was 0.270. Index fixation value of GHRH gene showed there was not fixed into one gene type (Fski 0). The smallest genetic distance value

of GHRH gene was found between Semarang and Mataram population (0.001) and highest between Medan and Banten population (0.202).

(4)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

GROWTH HORMONE

RELEASING HORMONE

(GHRH) PADA KERBAU LOKAL

(

Bubalus bubalis

) DENGAN METODE PCR-RFLP

ALMIRA PRIMASARI D14051318

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

GROWTH HORMONE

RELEASING HORMONE

(GHRH) PADA KERBAU LOKAL

(

Bubalus bubalis

) DENGAN METODE PCR-RFLP

Oleh

ALMIRA PRIMASARI D14051318

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 April 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1988 di Sukabumi. Penulis

adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H.Tejo Sriwijoyo, SKM.,

M.MKes dan Hj.Henny Liswara.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD Negeri Cisande I,

Sukabumi. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di

SLTP Negeri 1 Cibadak, Sukabumi dan pendidikan lanjutan menengah atas

diselesaikan pada tahun 2005 di SMA Negeri 1 Sukabumi.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi

kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasisa Fakultas Peternakan

(2006-2007 dan (2006-2007-2008), Kelompok Pecinta Alam Fakultas Peternakan (2006-(2006-2007 dan

2007-2008), Ikatan Mahasiswa Sukabumi (2006-2007 dan 2007-2008) dan UKM

Tae Kwon Do (2006-2007). Skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya

dengan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian,

dan penulisan skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP.

Beberapa hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah

1) kerbau di Indonesia merupakan salah satu ternak lokal dengan beberapa kelebihan

yang dimilikinya sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi ternak penghasil

daging 2) masih rendahnya perkembangan populasi, produksi dan produktivitas

kerbau di Indonesia, serta 3) informasi molekuler kerbau lokal masih terbatas

terutama gen yang mempengaruhi pertumbuhan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada kerbau lokal dari empat daerah di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditujukan sebagai informasi awal

mengenai keragaman gen GHRH kerbau lokal Indonesia untuk penelitian

selanjutnya, guna mendapatkan ternak kerbau dengan produktivitas yang lebih baik.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan yang

berarti bagi kemajuan peternakan Indonesia. Amin

Bogor, April 2009

(8)

DAFTAR ISI

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) ... 11

Elektroforesis ... 11

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) .... 14

Elektroforesis ... 14

(9)

Halaman

Pendeteksian Keragaman DNA ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Amplifikasi Gen GHRH ... 16

Pendeteksian Keragaman Gen GHRH dengan Metode PCR RFLP ... 17

Keragaman Gen GHRH Kerbau Lokal ... 20

Nilai Heterozigositas ... 22

Indeks Fiksasi ... 24

Jarak Genetik dan Pohon Genetik ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

UCAPAN TERIMAKASIH ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Beberapa Informasi Sifat Biologis Ternak Kerbau dengan Pola

Pemeliharaan Ekstensif ... 5

2. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada

Beberapa Jenis Ternak ... 10

3. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen GHRH-HaeIII

Kerbau Lokal ... 21

4. Nilai Heterozigositas ( ) dan Rataan Heterozigositas ( ) Gen

GHRHKerbau Lokal ... 23

5. Nilai Indeks Fiksasi Gen GHRHKerbau Lokal ... 24

(11)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

GROWTH HORMONE

RELEASING HORMONE

(GHRH) PADA KERBAU LOKAL

(

Bubalus bubalis

) DENGAN METODE PCR-RFLP

SKRIPSI

ALMIRA PRIMASARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

RINGKASAN

ALMIRA PRIMASARI. 2009. Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mendapatkan ternak lokal yang memiliki produktivitas tinggi adalah dengan perbaikan manajemen pemeliharaan dan perbaikan genetik. Perbaikan secara genetik dapat dilakukan dengan mengetahui karakteristik genetik ternak yang berpengaruh terhadap sifat pertumbuhan yang dikontrol oleh banyak gen dan sebagian besar aksinya bersifat aditif. Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang berperan menstimulasi sintesis dan sekresi Growth Hormone yang berpengaruh secara aditif terhadap pertumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada kerbau lokal di Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Sampel darah kerbau yang digunakan berjumlah 320 sampel yang berasal dari empat daerah, yaitu Semarang (Jawa Tengah), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Medan (Sumatera Utara) dan Banten. Amplifikasi gen GHRH dilakukan dengan teknik PCR, sedangkan untuk identifikasi keragaman dilakukan menggunakan metode PCR-RFLP dengan menggunakan enzim restriksi HaeIII. Gen GHRH kerbau yang berhasil diamplifikasi berukuran 451 pb terletak di sebagian ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Pendeteksian keragaman gen GHRH kerbau lokal Indonesia dengan metode PCR-RFLP menghasilkan dua tipe alel yaitu alel A (18%) dan alel B (82%). Genotipe yang diperoleh yaitu AA (0%), AB (36%) dan BB (64%) dengan nilai heterozigositas sebesar 46%. Frekuensi Alel A pada setiap populasi yaitu Semarang (15%), Mataram (19%), Medan (2%) dan Banten (45%). Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel A pada semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi alel B pada setiap populasi yaitu Semarang (85%), Mataram (81%), Medan (98%) dan Banten (48%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau Medan (98%) dengan nilai heterozigositas 4%. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi kerbau di Banten yaitu 48%. Nilai indeks fiksasi gen GHRH menunjukkan bahwa dari keempat populasi kerbau lokal tidak terdapat gen yang terfiksasi dengan nilai indeks fiksasi tidak sama dengan nol. Nilai jarak genetik gen GHRH terkecil yaitu antara populasi kerbau lokal Semarang dan kerbau lokal Mataram (0,001) dan terbesar antara populasi kerbau lokal Medan dan Banten (0,202).

(13)

ABSTRACT

Identification of Growth Hormone Releasing Hormone Gene in Local Buffalo (Bubalus bubalis) Using PCR-RFLP

Primasari, A., C. Sumantri and A. Farajallah

GHRH is a hypothalamic hormone which stimulates growth hormone secretion in the pituitary gland. The objective of this study was to identify polymorphisms Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) gene of Indonesian buffalo’s. A total of 320 blood samples from Indonesian buffalo were used to determined polymorphism using PCR-RFLP method. The polymorphism of GHRH gene that spanned within exon 2 and exon 3 was amplified, and their mutation was detected using endonuclease HaeIII. In this study, there were found to be three GHRH/HaeIII genotype (AA genotype 0%, AB genotype 36% and BB genotype 64%) determined by two alleles, A (18%) and B (82%). The frequency of A allele was found 15% for Semarang population, 19% for Mataram population, 2% for Medan population and 40% for Banten population. The frequency of B allele was found 85% for Semarang population, 81% for Mataram population, 98% for Medan population and 60% for Banten population. The observed heterozygosis value were different among populations. The highest heterozygosis ( ) 0,485 for Banten population and the lowest was 0.037 for Medan population and the average heterozygosis for all populations ( ) detected was 0.270. Index fixation value of GHRH gene showed there was not fixed into one gene type (Fski 0). The smallest genetic distance value

of GHRH gene was found between Semarang and Mataram population (0.001) and highest between Medan and Banten population (0.202).

(14)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

GROWTH HORMONE

RELEASING HORMONE

(GHRH) PADA KERBAU LOKAL

(

Bubalus bubalis

) DENGAN METODE PCR-RFLP

ALMIRA PRIMASARI D14051318

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(15)

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN

GROWTH HORMONE

RELEASING HORMONE

(GHRH) PADA KERBAU LOKAL

(

Bubalus bubalis

) DENGAN METODE PCR-RFLP

Oleh

ALMIRA PRIMASARI D14051318

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 April 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si.

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 September 1988 di Sukabumi. Penulis

adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H.Tejo Sriwijoyo, SKM.,

M.MKes dan Hj.Henny Liswara.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD Negeri Cisande I,

Sukabumi. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di

SLTP Negeri 1 Cibadak, Sukabumi dan pendidikan lanjutan menengah atas

diselesaikan pada tahun 2005 di SMA Negeri 1 Sukabumi.

Penulis diterima sebagai mahasiswa pada departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005.

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi

kemahasiswaan diantaranya Badan Eksekutif Mahasisa Fakultas Peternakan

(2006-2007 dan (2006-2007-2008), Kelompok Pecinta Alam Fakultas Peternakan (2006-(2006-2007 dan

2007-2008), Ikatan Mahasiswa Sukabumi (2006-2007 dan 2007-2008) dan UKM

Tae Kwon Do (2006-2007). Skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya

dengan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian,

dan penulisan skripsi dengan judul Identifikasi Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Pada Kerbau Lokal (Bubalus bubalis) dengan Metode PCR-RFLP.

Beberapa hal yang mendasari dilakukannya penelitian ini diantaranya adalah

1) kerbau di Indonesia merupakan salah satu ternak lokal dengan beberapa kelebihan

yang dimilikinya sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi ternak penghasil

daging 2) masih rendahnya perkembangan populasi, produksi dan produktivitas

kerbau di Indonesia, serta 3) informasi molekuler kerbau lokal masih terbatas

terutama gen yang mempengaruhi pertumbuhan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) pada kerbau lokal dari empat daerah di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditujukan sebagai informasi awal

mengenai keragaman gen GHRH kerbau lokal Indonesia untuk penelitian

selanjutnya, guna mendapatkan ternak kerbau dengan produktivitas yang lebih baik.

Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan yang

berarti bagi kemajuan peternakan Indonesia. Amin

Bogor, April 2009

(18)

DAFTAR ISI

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) ... 11

Elektroforesis ... 11

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) .... 14

Elektroforesis ... 14

(19)

Halaman

Pendeteksian Keragaman DNA ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Amplifikasi Gen GHRH ... 16

Pendeteksian Keragaman Gen GHRH dengan Metode PCR RFLP ... 17

Keragaman Gen GHRH Kerbau Lokal ... 20

Nilai Heterozigositas ... 22

Indeks Fiksasi ... 24

Jarak Genetik dan Pohon Genetik ... 24

KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

UCAPAN TERIMAKASIH ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Beberapa Informasi Sifat Biologis Ternak Kerbau dengan Pola

Pemeliharaan Ekstensif ... 5

2. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada

Beberapa Jenis Ternak ... 10

3. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen GHRH-HaeIII

Kerbau Lokal ... 21

4. Nilai Heterozigositas ( ) dan Rataan Heterozigositas ( ) Gen

GHRHKerbau Lokal ... 23

5. Nilai Indeks Fiksasi Gen GHRHKerbau Lokal ... 24

(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hasil Amlifikasi Gen GHRH Menggunakan Metode PCR pada

Gel Poliakrilamida 6% ... 16

2. Posisi Penempelan Primer dan Situs Pemotongan Enzim Restriksi HaeIII didasarkan pada sekuens gen GHRH pada sapi di GenBank

(no akses GenBank AF242855) (Zhou et al., 2000) ... 17 3. Hasil Pemotongan Fragmen Gen GHRH Menggunakan Metode

PCR-RFLP dengan Enzim Pemotong HaeIII pada Gel

Poliakrilamida 6% ... 18

4. Diagram Elektroforesis Hasil Pemotongan Gen GHRH/HaeIII ... 19 5. Dendogram Pohon Genetik Berdasarkan Gen GHRH pada Empat

Populasi Kerbau Lokal Indonesia ... 25

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Modifikasi Metode Isolasi DNA Menggunakan Genomic DNA

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang dapat

dimanfaatkan sebagai penghasil daging, susu dan kerja. Secara umum pemeliharaan

ternak kerbau di Indonesia bukan ditujukan untuk diambil dagingnya. Peternak

kerbau di Indonesia umumnya hanya memelihara kerbau sebagai ternak kerja untuk

mengolah lahan pertanian dan sebagai tabungan hidup.

Daging kerbau dapat menjadi komplemen bahkan substitusi daging sapi

sehingga pengembangan kerbau perlu mendapat perhatian agar kerbau dapat

berkontribusi lebih besar terhadap program kecukupandaging nasional. Revitalisasi

peternakan kerbau harus dilakukan dalam upaya mendukung program kecukupan

daging sapi tahun 2010. Diharapkan pada tahun tersebut ketergantungan impor

daging dapat dikurangi secara signifikan (10%). Saat ini impor daging untuk

memenuhi permintaan daging di Indonesia masih sekitar 30% (Riady, 2006).

Perkembangan populasi, produksi dan produktivitas kerbau di Indonesia

masih kurang optimal. Populasi kerbau di Indonesia terus mengalami penurunan dari

tahun ke tahun. Populasi ternak kerbau di Indonesia dari 3,065 juta ekor pada tahun

1997 menjadi 2,201 juta ekor pada tahun 2006 (Badan Pusat Statistik, 2006).

Penurunan tersebut disebabkan oleh peralihan fungsi kerbau sebagai ternak kerja

karena adanya mesin atau traktor dan makin sempitnya areal lahan untuk

penggembalaan serta kurang adanya usaha – usaha perbaikan mutu genetik dan

teknik budidaya.

Perbaikan mutu genetik kerbau masih tertinggal jauh dari ternak lainnya.

Perbaikan dengan mempertimbangkan penanda genetik dapat dijadikan sebagai salah

satu alternatif dalam melakukan seleksi. Salah satu metode seleksi yang sedang

berkembang saat ini adalah metode MAS (Marker Assisted Selection) yaitu seleksi berdasarkan penciri DNA yang mengontrol sifat-sifat ekonomis.

Growth Hormone Releasing Hormone merupakan hormon yang menstimulasi sintesis dan sekresi Growth Hormone yang mempengaruhi pertumbuhan. Oleh karena itu, gen GHRH merupakan penciri genetik yang dapat dijadikan sebagai salah

(24)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman gen growth hormone releasing hormone (GHRH) dengan metode PCR-RFLP pada kerbau lokal dari empat daerah di Indoesia yaitu Semarang (Jawa Tengah), Mataram (Nusa

(25)

TINJAUANPUSTAKA

Kerbau

Tetua kerbau domestik (Bubalus bubalis) berasal dari kerbau liar Asia (Wild Asian buffalo – Bubalus bubalis). Kerbau domestik satu dengan lainnya agak berbeda, menunjukkan bahwa tetua mereka berasal dari beberapa subspesies yang

dapat dijumpai di beberapa bagian dunia. Kebanyakan kerbau domestik dijumpai

pada wilayah yang beriklim panas dan basah dimana padi dihasilkan. Sekitar 95%

dari kerbau domestik terdapat di Asia, dan sekitar 2,5% terdapat di Afrika,

khususnya Mesir (FAO, 2000).

Kerbau merupakan ternak yang multifungsi yaitu sebagai penghasil daging,

susu dan kerja yang potensial untuk mengolah lahan pertanian. Selain itu, kerbau

berfungsi sebagai sumber pupuk dan mempunyai fungsi sosial budaya di beberapa

daerah di Indonesia. Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi,

karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan

yang tersedia berkualitas sangat rendah. Pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau

justru lebih baik dibandingkan sapi dan masih dapat berkembang biak dalam kondisi

kualitas pakan yang tersedia relatif kurang baik. Kerbau memiliki beberapa

keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Salah satu kelemahan

kerbau adalah ketidaktahanannya terhadap udara yang panas. Oleh sebab itu untuk

melangsungkan proses faali hidupnya memerlukan waktu untuk merendam diri di

lumpur (berkubang) (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Umumnya semua tipe kerbau domestik (Bubalus bubalis) dibagi menjadi dua kelompok yaitu kerbau sungai (riverine buffalo) dan kerbau rawa atau kerbau lumpur (swamp buffalo). Kromosom kerbau liar Asia maupun kerbau domestik (kerbau rawa) adalah 2n = 48, sedangkan kerbau sungai (riverine buffalo) adalah 2n =50 (FAO, 2000). Kedua kelompok kerbau ini mempunyai sifat biologis yang berbeda.

Kerbau sungai menunjukkan kesenangan terhadap air mengalir yang bersih,

sedangkan kerbau rawa suka berkubang dalam lumpur, rawa-rawa dan air

menggenang (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Populasi kerbau di Indonesia sebagian besar merupakan kerbau rawa dan

hanya sedikit kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara

(26)

biasa digunakan sebagai ternak kerja, untuk nantinya dipotong sebagi penghasil

daging dan jarang digunakan sebagai penghasil susu. Hanya sedikit sekali kerbau

rawa yang dimanfaatkan susunya, karena produksi susunya sangat rendah yaitu

hanya 1-1,5 l/hari, dibandingkan dengan tipe sungai yang mampu menghasilkan susu

sebanyak 6-7 l/hari (Hasinah dan Handiwirawan, 2006).

Ciri – ciri Fisik Kerbau

Ciri - ciri fisik kerbau sungai yaitu memiliki tanduk melingkar ke bawah atau

lurus memanjang dan memiliki kulit berwarna hitam atau abu-abu agak gelap.

Sedangkan kerbau rawa atau kerbau lumpur umumnya memiliki tanduk melengkung

ke atas dan memiliki kulit berwarna abu – abu terang. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Erdiansyah (2008) di Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat

menunjukkan bahwa kerbau yang terdapat di daerah tersebut merupakan kerbau rawa

dengan jenis tanduk melingkar ke atas sebesar 98%. Hal tersebut sama dengan

penelitian yang dilakukan oleh Asoen (2008) yang melakukan pengamatan terhadap

kerbau rawa yang menghasilkan 96,2% dari jumlah kerbau memiliki bentuk tanduk

normal yang memanjang ke belakang lalu melengkung ke atas. Kerbau rawa yang

diamati memiliki warna abu – abu terang (36,5%), abu – abu gelap (29,5%) coklat

dan merah masing – masing 11% dan 19%. Sifat khas warna kulit berkaitan dengan

hasil pengukuran morfometrik tubuh kerbau dimana kerbau yang memiliki warna

kulit merah dan coklat memiliki ukuran relatif lebih besar (Erdiansyah, 2008).

Garis kalung (chevron) merupakan ciri spesifik kerbau rawa. Berdasarkan

hasil penelitian Sitorus (2008) ditemukan lima variasi garis kalung pada kerbau rawa

yaitu tunggal di bagian atas, tunggal di bagian bawah, tunggal di bagian bawah dan

bercabang, double yaitu di leher bagian atas dan bawah, serta double dengan bagian bawah yang bercabang. Erdiansyah (2008) menyebutkan terdapat juga sebanyak

1,5% kerbau lokal dalam penelitiannya di Nusa Tenggara Barat yang tidak memiliki

chevron dan terdapat pula kerbau lokal yang memiliki chevron tunggal yang memiliki persentase cukup besar yaitu 18,5%. Kaki kerbau lokal umumnya berwarna

terang Sitorus (2008) menyebutkan bahwa terdapat dua variasi warna kaki kerbau

rawa yaitu 94,12% berwarna abu – abu muda dan hanya 5,88% berwarna abu-abu.

Warna hitam pada kaki ditemukan hanya 4% dari kerbau lokal yang diamati. Kerbau

(27)

mengolah lahan pertanian karena kemampuannya menekan keras ke bawah

(Erdiansyah, 2008).

Penelitian yang dilakukan Hidayat (2007) menunjukkan bahwa antara kerbau

Banten dan Sumatera utara mempunyai ukuran tubuh yang berbeda, kerbau Sumatera

Utara mempunyai tinggi pundak, dan lingkar dada yang lebih besar dibandingkan

kerbau Banten. Rataan tinggi pundak kerbau Banten yaitu 120 cm, Sumaera Utara

126 cm. Rataan lingkar dada kerbau Banten yaitu 170 cm dan Sumatra Utara 182 cm.

Rataan panjang badan kerbau Banten 121 cm dan rataan panjang badan kerbau

Sumatera Utara yaitu 118 cm.

Produktivitas Kerbau

Produktivitas kerbau dalam beberapa hal lebih rendah dibandingkan sapi

terkait dengan sifat-sifat biologis yang dimilikinya. Dewasa kelamin kerbau relatif

lebih lambat, calving interval sekitar dua tahun dan persentase karkas relatif lebih kecil dibandingkan sapi (<50%). Pertambahan bobot badan kerbau sekitar 0,3-0,9 kg

per hari (Tabel 1).

Tabel 1. Beberapa Informasi Sifat Biologis Ternak Kerbau dengan Pola Pemeliharaan Ekstensif

Sifat biologis Keterangan

Umur beranak pertama 3,5-4 tahun Lama kebuntingan 11-12 bulan

Jarak beranak 20-24 bulan

Pertambahan bobot badan 0,3-0,9 kg per hari Persentase karkas <50%

Senang berkubang Perlu tempat berkubang

Estrus Tanda-tanda lemah dan relatif tenang (silent heat)

Anestrus Bermusim

Postpartum unestrus Panjang

Posisi vagina Bagian depan lebih rendah dibanding belakang, sewaktu berahi cairan tidak keluar Libido pejantan di musim kemarau Menurun drastis

Jumlah pejantan yang dipelihara peternak Terkadang terlalu banyak, sehingga tidak efisien, sering berkelahi dan kawin beberapa kali (>3 kali)

Perkawinan tidak terkontrol Meningkatnya inbreeding

(28)

Populasi Kerbau di Indonesia

Populasi kerbau di Indonesia berdasarkan data yang diperoleh dari Badan

Pusat Statistik (2006) menunjukkan bahwa jumlah populasi kerbau di Indonesia terus

mengalami penurunan dari tahun ke tahun, populasi ternak kerbau di Indonesia pada

tahun 1997, 1999, 2000, 2001, 2005 berturut – turut adalah sebanyak 3,065 juta

ekor, 2,504 juta ekor, 2,405 juta ekor, 2,333 juta ekor, 2,403 juta ekor, 2,428 juta

ekor dan pada tahun 2006 menjadi 2,201 juta ekor yang menyebar hampir di seluruh

propinsi tetapi tidak merata jumlahnya. Populasi kerbau terbanyak terdapat di

sepuluh propinsi di Indonesia yaitu propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Banten, Nusa Tenggara

Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan yang masing-masing

berjumlah 340.031, 261.308, 211.008, 156.570, 156.568, 145.439, 141.236, 128.502,

123.826 dan 103.577 ekor.Rataan pertumbuhan populasi kerbau di Indonesia adalah

sekitar 3,41% per tahun.

Potensi Ternak Kerbau

Kerbau lokal mempunyai potensi yang besar untuk dapat dikembangkan

sebagai ternak penghasil daging karena mudah menyesuaikan diri, mempunyai bobot

karkas yang relatif lebih tinggi dibandingkan sapi lokal serta telah biasa dipelihara di

perdesaan (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Ternak kerbau belum digunakan

sebagi ternak penghasil daging walaupun dari segi bobot badan cukup potensial.

(Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Kerbau dapat berkembang dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat

luas dari daerah dengan kondisi yang basah sampai dengan kondisi yang kering.

Melihat kemampuan adaptasi kerbau tersebut, pengembangan dan penyebaran kerbau

dapat dilakukan di banyak daerah di Indonesia dengan memperhatikan jenis kerbau

dan daya adaptasinya (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Daging kerbau lebih merah dibanding daging sapi karena mempunyai

pigmentasi yang lebih banyak dan kurang lemak intramuskuler. Kondisi ini

menyebabkan daging kerbau relatif lebih keras dibanding sapi, tetapi justru disukai

sebagian konsumen yang memiliki resep masakan tradisional yang unik. Secara

umum harga daging dan kerbau hidup lebih rendah dibandingkan sapi, kecuali di

(29)

rendah maka pasar bagi daging kerbau menjadi lebih luas, banyak konsumen yang

mampu untuk membelinya sehingga peluang pengembangannya menjadi lebih

terbuka (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006).

Analisis Keragaman DNA

Polimerase chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesa molekul

DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim

polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin thermocycler Metode ini berjalan secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu. Proses

yang terjadi dalam mesin PCR melipti tiga tahap utama yaitu denaturasi (pemisahan

untai ganda DNA), annealing (penempelan primer) dan ekstensi (pemanjangan primer). Proses dari mulai denaturasi, penempelan dan ektensi disebut sebagai satu

siklus. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses elektroforesis dan

dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Muladno, 2002).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) merupakan metode analisis lanjutan dari produk PCR. RFLP adalah profil DNA berupa

fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan enzim endonuklease atau enzim restriksi yang

mengenali situs pemotongan empat dan enam basa. RFLP memiliki kemampuan

untuk mendeteksi keragaman di tingkat alel didasarkan pada polimorfisme yang

muncul karena adanya basa yang mengalami substitusi, penambahan, pengurangan

dan perpindahan (translokasi) pada genom DNA. Perubahan tersebut menyebabkan

perbedaan ukuran dari fragmen restriksi yang dicerna oleh enzim restriksi tertentu.

RFLP hanya mendeteksi perbedaan-perbedaan dari fragmen tersebut, dimana satu

dengan lainnya berhubungan dengan homolognya dari probe molekuler yang

digunakan dalam hibridisasi. Probe molekuler yang digunakan untuk RFLP antara

lain probe genom DNA (yang diturunkan dari genom DNA) dan probe cDNA (yang

diturunkan dari mRNA). Kelebihan dari RFLP adalah dapat mendeteksi sifat

kodominan, artinya dapat membedakan antara yang homozigot dan heterozigot.

Selain itu kelebihan yang lain adalah diharapkan didapatkan homologi polimorfik

(Gupta et al., 2002).

Metode lain yang dapat digunakan untuk menganalisis keragaman pada

(30)

Conformation Polymorphism atau PCR-SSCP yang merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode ini didasarkan pada

asumsi bahwa perubahan yang terjadi pada fragmen DNA akan mempengaruhi

bentuk dari fragmen DNA untai tunggalnya yang terlihat dari perubahan pola migrasi

pada gel poliakrilamida nondenaturasi. Metode SSCP dapat mendeteksi adanya mutasi paa fragmen DNA akan tetapi tidak dapat memberikan informasi tentang

posisi dimana terjadinya mutasi pada fragmen DNA dan memiliki keterbatasan

dalam menentukan jumlah alel (Barroso et al., 1999).

Temperature-Gradient Gel Electrophoresis (TGGE) merupakan salah satu metode analisis keragaman yang mendeteksi adanya mutasi menggunakan gel yang

memiliki perbedaan suhu (Jasik dan Reichert, 2006). Denaturing-Gradient Gel Electrophoresis (DGGE) merupakan salah satu metode yang dapat membedakan adanya mutasi berdasarkan berat molekul fragmen DNA pada gel yang memiliki

perbedaan konsentrasi bahan untuk menyamakan berat molekul (denaturing) (Liu et al., 2008).

Analisis keragaman molekul DNA juga dapat dilakukan dengan metode

sekuensing yang merupakan satu dari terobosan utama dalam genetika molekuler.

Sekuensing merupakan proses penentuan urutan nukleotida pada suatu fragmen DNA

atau RNA. Sekuensing menghasilkan penggambaran linear simbolik yang disebut

sekuens yang meringkas sebagian besar struktur tingkat atom atas molekul yang

disekuensing. SekuensingDNA akan menghasilkan sekuens DNA yang digambarkan

sebagai untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA (Muladno,

2002). Tipe polimorfisme yang dideteksi analisis sekuen yaitu pertukaran satu basa

dan menghasilkan informasi sekuens yang dibutuhkan. Proses sekuensing dapat

dilakukan secara cepat dan hasil yang diperoleh diperoleh tinggi akan tetapi biaya

yang dibutuhkan cukup besar (Gupta et al., 2002).

Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dikenal juga dengan nama Growth Releasing Factor (GRF) atau Growth Hormone Releasing Factor (GHRF) atau somatocrinin terdiri dari 44 peptida asam amino dengan berat molekul 12447 Da

(31)

pituitari dan sel hipothalamus. Berdasarkan fungsi protein, somatoliberin sama

seperti jenis glukagon, sekretin dan VIP (Vasoactive Intestinal Peptide). GHRH

terikat pada spesifik reseptor (GHRH-R) yang terdapat dalam sel pituitari anterior

dan menstimulasi sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan (Growth Hormone).

Growth Hormone dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan berperan penting untuk reproduksi, laktasi, dan pertumbuhan tubuh (Etherton, 1998).

Beberapa penelitian telah dilakukan pada ternak sapi dan diketahui bahwa

somatotropin, somatoliberin dan sejenis sintesisnya meningkatkan produksi baik

pada ternak perah yaitu meningkatkan produksi dan lemak susu (Bonneau dan

Laarveld, 1999) maupun ternak pedaging (Achtung et al., 2001) yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan sehingga mempersingkat waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai bobot potong. Cheong et al. (2006) menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk

produksi daging.

Gen GHRH pada sapi terletak pada kromosom nomor 13 (Barendse et al., 1994) terdiri dari lima ekson dan empat intron (Zhou et al., 2000). Menurut Zhou et al. (2000) panjang gen GHRH pada sapi adalah 9356 pb (pasang basa).

Moody et al. (1995) melaporkan adanya keragaman gen GHRH pada sapi dengan metode PCR-RFLP menggunakan primer GHRH forward 5’-GTA AGG ATG CCA GCT CTG GGT3’ dan GHRH reverse 5’-TGC CTG CTC ATG ATG TCC TGG A-3’ serta enzim restriksi HaeIII yang menghasilkan dua alel yaitu 317,83, 55 pb (alel A) dan 196, 121, 83, 55 pb (alel B). Keragaman ditemukan pada

intron pertama gen GHRH pada sapi. Situs keragaman untuk GHRH/HaeIII pada sapi Polish Black and White menurut Dybus dan Grzesiak (2006) terletak menutupi bagian ekson 2, seluruh intron 2, dan sebagian dari ekson 3; analisis keragaman

terletak di intron 2 (no. Akses GenBank AF242855). Kmiéc et al. (2007) melakukan penelitian terhadap keragaman GHRH/HaeIII dan hubungannya dengan sifat produksi susu pada sapi Polish Red-and-White (salah satu varietas bangsa Fresian Holstein). Produk PCR teramplifikasi sepanjang 296 pb, menghasilkan tiga genotipe

yang memiliki pola pemotongan fragmen 194, 55 dan 48 pb (GHRHB /GHRHB) ;

242, 194, 55 dan 48 pb (GHRHA/GHRHB) dan 242, 55 dan 48pb (GHRHA/GHRHA).

(32)

GHRHA/GHRHB 37% dan genotipe GHRHB/GHRHB sebesar 53,4%. Frekuensi alel

GHRHA sebesar 28,1% dan Frekuensi alel GHRHB sebesar 79,1%.

Cheong et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan hubungan yang nyata antara keragaman gen GHRH dengan sifat karkas yang meliputi bobot karkas dan

perototan bagian longisimus pada ternak pedaging asli Korea (Hanwoo) dengan

metode analisis sekuen DNA, enam lokasi keragaman dipilih dari 12 keragaman

single nukleotida yang ditemukan untuk kemudian ditetapkan genotipe dari ternak

tersebut dan ditemukan lima penanda haplotipe (frekuensi > 0,1).

Pierzchala et al. (2003) menyatakan bahwa keragaman gen GHRH berhubungan dengan laju pertumbuhan dan kualitas karkas pada ternak babi dengan

enzim restriksi AluI yang menghasilkan Frekuensi genotipe AA (8,8%), AB (61,8%) dan BB (27,97%). Beberapa penelitian mengenai keragaman gen GHRH pada

beberapa ternak disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis Ternak

Ternak Jumlah Alel Posisi Marker Metode Sumber

Sapi Perah dan Pedaging

2 Intron 1 RFLP Moody et al. (1995)

Sapi Pedaging 2 Intron 2 RFLP Dybus et al. (2003)

Sapi Perah 2 Intron 2 RFLP Dybus dan Grzesiak (2006)

Sapi Pedaging 12 tipe 5’UTR dan intron Analisis sekuen Cheong et al. (2006)

Sapi Perah 2 Intron 2 RFLP Kmiec et al. (2007)

Babi 2 Ekson 3 RFLP Pierzchala et al. (2003)

Babi 2 Ekson 3 RFLP Franco et al. (2005)

(33)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September 2008 sampai dengan bulan

Desember 2008.

Materi

Sampel Darah dan Isolasi DNA

Sampel darah kerbau yang digunakan berjumlah 320 sampel yang diambil

dari empat daerah, yaitu 75 dari Semarang (Jawa Tengah), 103 dari Mataram (Nusa

Tenggara Barat), 65 dari Siborong-borong (Sumatera Utara), dan 77 dari Banten.

Sampling darah dilakukan menggunakan vaccutainer 10 ml berheparin yang

dilengkapi dengan jarum no. 18. Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA mini kit (Geneaid).

PCR (Amplifikasi DNA)

Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan primer yang

digunakan Moody et al. (1995), yaitu GHRH forward 5’-GTA AGG ATG CCA GCT CTG GGT3’ dan GHRH reverse 5’-TGC CTG CTC ATG ATG TCC TGG A-3’, enzim Taq polymerase, dNTP, 10x buffer dan air destilata

Alat – alat yang digunakan antara lain tabung PCR, pipet mikro dengan

tipsnya, alat sentrifugasi, vortex dan mesin thermocycler (TaKaRa PCR Thermal Cycler).

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Bahan – bahan yang digunakan adalah Produk PCR, enzim restriksi (RE) HaeIII dengan buffernya dan air destilata.

Alat – alat yang digunakan antara lain tabung PCR, pipet mikro dengan

(34)

Elektroforesis

Bahan – bahan yang digunakan adalah air destilata steril, akrilamida 30%, 5 x

TBE, TEMED (tetramethylendiamine), APS (ammonium persulfat) 10%, loading dye, dan marker.

Alat – alat yang digunakan yaitu gelas ukur, tabung reaksi, dua buah kaca

untuk cetakan gel, sisir khusus untuk sumur, pipet berskala, pipet mikro 2 µl dengan

tipsnya dan power supply 500VA.

Pewarnaan Perak

Bahan – bahan yang digunakan adalah air destilata, CTAB (cetyltrimetil

ammonium bromide), NH4OH, AgNO3, NaOH, Na2CO3, formaldehida dan asam

asetat glacial.

Alat – alat yang digunakan antar lain nampan, gelas ukur, tabung Erlenmeyer, dan water-bath shaker.

Rancangan

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA

yang ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran (marker)

yang sama dan dihitung frekuensi alelnya. Frekuensi alel dihitung berdasarkan rumus

Nei (1987) :

Keterangan :

Xi = Frekuensi alel i

nii = Jumlah individu bergenotip ii

nij = Jumlah individu bergenotip ij

n = Jumlah individu sampel

Derajat heterozigositas ( ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus

DNAmenggunakan rumus Nei (1987) :

Keterangan :

(35)

Xi = Frekuensi alel i

n = Jumlah individu sampel

Ragam heterozigositas (Vsl( )) pada tiap populasi dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut :

! " # $ %

Standar error (SE) diperoleh dari akar ragam heterozigositas.

Rataan heterozigositas ( ) dihitung dengan rumus sebagai berikut :

& '() ) '*+

Keterangan :

j= derajat heterozigositas untuk lokus ke-j

r = jumlah lokus yang diuji

= rataan heterozigositas

Indeks fiksasi pada masing – masing populasi diperoleh dari persamaan :

,-./ / /

/ 0 /

Keterangan :

Xkii = Frekuensi genotipe homozigot alel i pada populasi ke-k

Xki = Frekuensi alel i

J

arak genetik (D) dihitung berdasarkan rumus :

(36)

Pix = Frekuensi alel ke i pada populasi X

Piy = Frekuensi alel ke i pada populasi Y

Prosedur

Penanganan dan Pengambilan Sampel

Sampel darah diambil melalui vena jugularis kerbau menggunakan vaccutainer berheparin. Darah yang diperoleh kemudian disimpan dalam alkohol 70% dalam 1mM EDTA. Darah dibawa ke laboratorium untuk dikerjakan lebih

lanjut.

Ekstraksi DNA dari Sampel Darah

Ekstraksi DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA mini kit Geneaid yang dimodifikasi untuk darah yang disimpan dalam alkohol (lampiran 1).

Amplifikasi Gen GHRH

Proses amplifikasi DNA secara in vitro menggunakan pereaksi yang terdiri dari 2 µl sampel DNA dimasukkan kedalam tabung PCR, kemudian ditambah 2 µl

primer. Larutan dalam tabung kemudian ditambah dengan premix yang terdiri dari

17,85 µl air destilata, 10 x bufer 2,5 µl, 2 mM MgCl2, 0,24 mM dNTP, dan 0,75 unit

enzim Taq polymerase. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada mesin thermocycler dengan suhu pradenaturasi 940C selama 5 menit, 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 940C selama 1 menit, annealing 600C selama 1 menit dan elongasi 720C selama 2 menit. Elongasi akhir 720C selama 5 menit.

Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Produk PCR kemudian dipotong dengan enzim restriksi HaeIII yang mengenali situs pemotongan empat basa dan memotong pada posisi GG|CC. Produk

PCR sebanyak 5 µl dipindahkan ke dalam tabung baru 0,5 ml dan ditambahkan

dengan enzim restriksi HaeIII dan buffernya mengikuti petunjuk produsen. Campuran tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 12 jam.

Elektroforesis

Fragmen DNA produk PCR yang telah dipotong divisualisasikan dengan

teknik elektroforesis gel polyakrilamida 6%. Gel dibuat dengan cara mencampurkan

12 ml air destilata, 4 ml 5 x TBE, 4 ml akrilamida 30%, 15 µl TEMED, dan 160 µl

(37)

dilakukan selama 40 menit pada tagangan konstan 220 v atau sampai pewarna

bromtimol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan pewarnaan perak.

Pewarnaan perak

Pewarnaan perak (silver staining) dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

gel dimasukan kedalam larutan CTAB 0,2 gram /200 ml air destilata selama delapan

menit sambil digoyang, kemudian dicuci dengan air destilata selama 2 x 2 menit. Air

tersebut dibuang dan ditambahkan larutan NH4OH selama 6 menit sambil digoyang.

Kemudian dilanjutkan dengan larutan perak nitrat (AgNO3) selama 10 menit sambil

digoyang. Gel dicuci kembali dengan air destilata 2 x 2 menit. Untuk memunculkan

pita, gel direndam dalam larutan Na2CO3 dan formaldehid. Setelah pita muncul,

ditambahkan larutan asam asetat untuk menghentikan aktifitas oksidasi perak oleh

formaldehid.

Pendeteksian keragaman DNA

Setelah pewarnaan perak, akan muncul pita – pita DNA. Setiap pita DNA

yang muncul dibandingkan dengan marker untuk mengetahui panjangnya. Setiap pita

DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk menentukan genotip pita DNA. Satu

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen GHRH

Gen GHRH pada kerbau lokal dari empat populasi di Indonesia berhasil

diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan primer yang mengikuti Moody et al. (1995) pada ternak sapi. Gen GHRH kerbau lokal yang berhasil diamplifikasi berukuran 451 pb (gambar 1) dan sesuai dengan

sekuen DNA yang menjadi acuan (Gambar 2).

Gambar 1. Hasil Amplifikasi Gen GHRH Menggunakan Metode PCR pada Gel Poliakrilamida 6%

Ruas gen GHRH yang diamplifikasi pada penelitian ini terletak di sebagian

ekson 2, intron 2 dan sebagian ekson 3. Panjang fragmen gen GHRH hasil

(39)

Gambar 2. Posisi penempelan primer dan situs pemotongan Enzim Restriksi HaeIIIdidasarkan pada sekuens gen GHRH pada sapi di GenBank (no akses GenBank AF242855) (Zhou et al., 2000).

Keberhasilan amplifikasi gen GHRH sangat ditentukan oleh bahan pereaksi

PCR , kondisi penempelan primer pada DNA genom (gen target) dan kondisi mesin

PCR. Menurut Viljoen et al. (2005), keberhasilan mengamplifikasi DNA bergantung pada interaksi komponen PCR dalam konsentrasi yang tepat. Keberhasilan

amplifikasi DNA juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor, yaitu haemoglobin yang

dapat menghambat kerja enzim taq polymerase. Upaya yang umum dilakukan untuk optimasi PCR diantaranya yaitu suhu penempelan primer, konsentrasi primer,

konsentrasi DNA target dan konsentrasi Mg2+.

Pendeteksian Keragaman Gen GHRH dengan metode PCR-RFLP

Pendeteksian keragaman gen GHRH pada kerbau lokal Semarang, Mataram,

Medan dan Banten dilakukan dengan metode RFLP. Enzim restriksi yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu HaeIII yang mengenali situs pemotongan empat basa dan memotong pada posisi GG|CC. Berdasarkan sekuen gen GHRH sapi (no akses

GenBank AF242855) ditemukan tiga titik potong enzim restriksi HaeIII, yaitu pada nukleotida ke-4472, 4666 dan 4760 dari sekuen gen GHRH sapi sepanjang 9356 pb

atau pada posisi basa ke-118, 312 dan 406 dari produk PCR (Gambar 2 dan

Lampiran 2). Pemotongan tersebut menghasilkan empat fragmen yang panjangnya

adalah 118, 194, 94 dan 45 pb. Keempat pita tersebut menunjukkan alel B. Jika

terdapat mutasi satu basa dari keempat basa sebagai pengenal oleh enzim restriksi

4321 cctgtctgtc atttcccagg taccagcaca ggggtgaagg atgctgctct gggtgttctt

Primer Forward

4381 cctcgtgacc ctcaccctca gcagcggctc ccacggttcc ctgccttccc agcctctcag

4441 gtaagcagtt ctgagaagag aagcaagaga gg|ccctttga ggatgcgact cgagctggtc

4501 cccagctggg tcctcaggca gcctcccttg ctcatctctg ggagggtggc agactgagcc

4561 ccagagaggt caccacccag ccctggttcc agccctctct ggggacgagc agggcaagag

4621 gcgacagaaa gacctcacag agaccaagtg agcacagtcc cctggg|cctc ccaccccacc

4681 ctttgacctc tgactccttc tactaggatt ccacggtacg cagatgccat cttcactaac

4741 agctaccgga aggttctggg|ccagctgtct gcccgcaagc tactccagga tatcatgaac

Primer Reverse

(40)

HaeIII maka situs pemoton

ternak tersebut memiliki k

pemotongan fragmen gen G

3 dan Gambar 4.

Gambar 3. Hasil P PCR-R Poliakr

tongan tersebut tidak dikenali lagi sehingga frag

an fragmen tersebut menunjukkan alel A.

katakan memiliki genotipe AA apabila terdapat tig

jang 312 pb, 94 pb dan 45 pb. Genotipe AB d

ng memiliki panjang 312 pb, 194 pb, 118 pb, 94

kkan dengan terdapatnya empat fragmen yaitu 19

DNA dengan ukuran 45 pb tidak dapat ditampilk

ntrasi 6% kurang tepat digunakan untuk memisa

ari 60 pb (Muladno, 2002). Ternak kerbau denga

BB menunjukkan bahwa kedua tetua menyumba

kan kerbau dengan genotipe heterozigot AB me

i kombinasi gen yang berbeda dari kedua tetua

GHRH/HaeIII pada kerbau lokal ditunjukkan pad

(41)

M AA AB BB

Gambar 4. Diagram Elektroforesis Hasil Pemotongan Gen GHRH/HaeIII

Bagian struktural gen terdiri dari bagian yang dapat mengkode protein

(kodon) yang disebut ekson dan bagian yang tidak dapat mengkode protein (non

kodon) yang disebut intron atau interving sequences (IVS). Ekson berisi informasi kode asam amino yang akan di produksi oleh gen, sedangkan non kodon berperan

sebagai penyambung dalam proses produksi asam amino (Nei, 1987). Situs

keragaman yang diperoleh pada penelitian ini terletak di intron 2 sehingga mutasi

terjadi pada sekuen yang tidak ditranskripsikan.

Pola pemotongan fragmen DNA pada penelitian ini berbeda dengan

penelitian – penelitian yang telah dilakukan pada beberapa jenis ternak. Hal ini

dikarenakan susunan basa pada setiap individu berbeda sehingga daerah pengenalan

dan pemotongan enzim restriksinya pun berbeda pula, sehingga pita hasil

pemotongannya dapat berbeda ukuran.

Identifikasi keragaman gen GHRH pada sapi telah dilakukan dengan metode

PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi HaeIII oleh Moody et al. (1995) yang melaporkan adanya dua jenis alel yaitu alel A dan alel B dengan tiga jenis genotipe

yaitu AA, AB dan BB. Ternak sapi dikatakan mempunyai genotipe AA apabila pola

pemotongan enzim restriksi menghasilkan tiga fragmen DNA dengan panjang 317

(42)

menghasilkan lima fragmen DNA dengan panjang 317 pb, 196 pb, 121 pb, 83 pb dan

55 pb. Genotipe BB apabila fragmen DNA terpotong di 196bp, 121bp, 83bp, 55bp,

menghasilkan empat pola pemotongan fragmen DNA.

Kmiéc et al. (2007) melaporkan adanya keragaman gen GHRH/HaeIII pada ternak sapi Limousin dengan metode PCR-RFLP. Produk PCR sepanjang 296 pb

dapat terpotong dan menghasilkan dua jenis alel yaitu alel A dan alel B serta

menghasilkan tiga genotipe yang memiliki pola pemotongan fragmen 194, 55 dan 48

bp (BB); 242, 194, 55 dan 48 bp (AB) dan 242, 55 dan 48bp (AA). Sedangkan

Franco et al. (2005) melaporkan terdapat keragaman gen GHRH pada babi Landrace yaitu alel A dengan keragaman fragmen pada 250 pb dan alel B dengan keragaman

fragmen pada 230 pb.

Keragaman Gen GHRH Kerbau Lokal

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen GHRH pada kerbau lokal

bersifat polimorfik (beragam) pada semua populasi dari empat daerah di Indonesia.

Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau

kurang dari 0,99 (99%). Keragaman genetik terjadi apabila terdapat dua alel atau

lebih dalam suatu populasi (biasanya lebih dari 1%) (Nei, 1987).

Persentase keberhasilan pendeteksian keragaman Gen GHRH dengan metode

PCR-RFLP dalam penelitian ini sebesar 76,56%, yaitu dari 320 sampel dapat

diidentifikasi keragaman gen GHRH sebanyak 245 sampel. Nilai frekuensi genotipe

dan frekuensi alel gen GHRH kerbau lokal disajikan pada Tabel 3.

Genotipe yang ditemukan pada penelitian ini yaitu AA (0%), AB (36%) dan

BB (64%). Nilai frekuensi genotipe AB dan BB pada populasi kerbau Semarang

(Jawa Tengah) yaitu 30% dan 70% dengan frekuensi alel A (15%) dan alel B (85%),

frekuensi genotipe AB dan BB kerbau Mataram yaitu 37% dan 63% dengan

frekuensi alel A (19%) dan alel B (81%), populasi kerbau Medan mempunyai

frekuensi genotipe AB dan BB sebesar 3% dan 97% dengan frekuensi alel A (2%)

dan alel B (98%), sedangkan untuk kerbau pada populasi daerah Banten memiliki

nilai frekuensi genotipe AB dan BB sebesar 80% dan 20% dengan frekuensi alel A

(4%) dan alel B (6%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau

(43)

Tabel 3. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen GHRH-HaeIII

Nilai frekuensi genotipe tertinggi kerbau lokal dalam penelitian ini adalah

genotipe BB yaitu sebesar 64%, sedangkan genotipe AA tidak ditemukan dari 320

sampel yang berasal dari empat daerah di Indonesia. Kerbau lokal yang berasal dari

empat daerah di Indonesia dalam penelitian ini memiliki frekuensi alel B yang lebih

tinggi dibandingkan alel A pada semua populasi. Hasil penelitian ini serupa dengan

beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya yang menyebutkan bahwa genotipe

AA jarang ditemukan pada gen GHRH (Moody et al.,1995). Penelitian yang dilakukan oleh Dybus et al. (2003) membuktikan bahwa sapi Limousin yang dilahirkan dengan genotipe homozigot GHRHA/GHRHA lebih rendah (p 0,01)

daripada yang dilahirkan dengan genotipe GHRHA/GHRHB dan GHRHB/GHRHB.

Menurut Moody et al. (1995) GHRHA merupakan alel yang berpengaruh terhadap persentase lemak dan dalam penelitiannya membuktikan bahwa adanya

hubungan antara keragaman GHRH/HaeIIIdan sifat produksi susu pada ternak sapi Fresian Holstein (FH). Individu yang memiliki genotipe GHRHA/GHRHA secara

signifikan mempunyai persentase dan produksi lemak susu yang lebih tinggi. Hasil

yang sama dilaporkan Dybus dan Grzesiak (2006) yang menyebutkan bahwa

(44)

yang memiliki satu atau dua alel GHRHA dapat menghasilkan lebih banyak lemak

dalam susunya. Kmiec et al (2007) melaporkan dalam penelitiannya pada ternak sapi perah diperoleh frekuensi genotipe GHRHA/GHRHA sebesar 9,6%, genotipe

GHRHA/GHRHB 37% dan genotipe GHRHB/GHRHB sebesar 53,4%. Frekuensi alel

GHRHA sebesar 28,1% dan Frekuensi alel GHRHB sebesar 79,1%. Penelitian

tersebut menunjukkkan adanya keragaman sekuen gen GHRH/HaeIII dan menghasilkan nilai yang lebih tinggi untuk analisis sifat produksi susu yang meliputi

produksi susu (kg), produksi lemak susu (kg), protein susu (kg), juga total lemak dan

protein (kg) serta kandungan lemak dan protein (%) pada sapi dengan genotipe

GHRHA/GHRHA.

Pierzchala et al. (2003) melaporkan keragaman gen GHRH dengan enzim restriksi AluI dan hubungannya dengan laju pertumbuhan dan kualitas karkas pada ternak babi. Keragaman gen GHRH/aluI menghasilkan Frekuensi genotipe AA (8,8%), AB (61,8%) dan BB (27,97%). Ketebalan lemak pundak berhubungan

dengan genotipe AA. Ternak babi dengan genotipe AB menunjukkan berat lemak

babi yang lebih rendah tetapi lebih tinggi kandungan dagingnya dibandingkan

genotipe AA.

Menurut Cheong et al. (2006) Gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk produksi daging. Hasil yang diperoleh dalam penelitiannya

menunjukkan terdapat hubungan yang nyata antara keragaman gen GHRH dengan

sifat karkas yang meliputi bobot karkas dan perototan bagian longisimus pada ternak

pedaging asli Korea (Hanwoo). Hasil tersebut menunjukkan bahwa keragaman

GHRH dapat menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap produksi karkas

pada ternak pedaging.

Nilai Heterozigositas

Heterozigositas disebut juga sebagai keragaman genetik. Nilai heterozigositas

merupakan cara yang paling akurat untuk mengukur keragaman genetik suatu

populasi (Nei, 1987). Nilai heterozigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel, jumlah

alel dan frekuensi alel. Nilai heterozigositas kerbau lokal pada penelitian ini berkisar

(45)

Tabel 4. Nilai heterozigositas ( ) dan Rataan Heterozigositas ( ) Gen GHRH Kerbau Lokal

Daerah ± SE

Semarang 0,252 ± 0,045 0,270 ± 0,024

Mataram 0,305 ± 0,003

Medan 0,037 ± 0,026

Banten 0,485 ± 0,022

Total 0,461 ± 0,022

Populasi kerbau lokal di daerah Medan mempunyai nilai heterozigositas

paling rendah yaitu 0,037. Rendahnya nilai heterozigositas ini kemungkinan besar

diakibatkan oleh rendahnya frekuensi salah satu alel dalam populasi kerbau Medan.

Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada populasi kerbau lokal di daerah Banten

yaitu sebesar 0,485. Hal tersebut menunjukkan bahwa kerbau lokal pada populasi

Banten memiliki keragaman gen GHRH paling tinggi dari keempat populasi dalam

penelitian ini. Nilai heterozigositas total dari empat populasi kerbau lokal di

Indonesia yaitu sebesar 0,461, sedangkan nilai heterozigositas rata – rata dari

keempat populasi yang diamati adalah sebesar 0,270. Nilai heterozigositas kerbau

lokal dalam penelitian ini dapat dikatakan rendah jika dibandingkan nilai keragaman

genetik yang telah ditemukan pada beberapa jenis ternak lain. Sumantri et al. (2006) melaporkan dalam penelitiannya pada DNA mikrosatelit sapi perah FH bahwa nilai

heterozigositas per lokus ( ) paling rendah 0,6151 untuk lokus BM415 dan tertinggi

0,7301 untuk lokus BM888 dengan rataan heterozigositas ( ) untuk kedelapan lokus

sebesar 0,6768. Nilai rataan heterozigositas dalam penelitian Hidayat (2004) pada

DNA mikrosatelit lokus CSSM018 dan IDVGA-30 domba garut yaitu 0,6899.

Sedangkan Fauzi (2006) menyebutkan bahwa rataan nilai heterozigositas DNA

mikrosatelit pada ternak domba lokal lokus CSSM018, ILSTS054 dan IDVGA-30

(46)

Indeks Fiksasi

Indeks fiksasi dapat digunakan untuk mengetahui pola perkawinan dan

seleksi yang dilakukan dalam populasi. Indeks fiksasi bisa bernilai positif maupun

negatif, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya inbreeding, seleksi dan kawin tidak acak. Nilai indeks fiksasi gen GHRH kerbau lokal dari empat populasi di Indonesia

ditunjukkan pada Tabel 5.

Indeks fiksasi gen GHRH pada keempat populasi kerbau lokal dalam

penelitian ini tidak sama dengan nol. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada keempat

populasi kerbau lokal di Indonesia tidak terjadi fiksasi gen GHRH.

Tabel 5. Nilai Indeks Fiksasi Gen GHRH Kerbau Lokal

Daerah Alel FIski

Semarang A -0,175

B -3,450

Mataram A -0,229

B -0,228

Medan A -0,019

B -0,019

Banten A -0,666

B -0,666

Total A -0,218

B -0,197

Jarak Genetik dan Pohon Genetik Gen GHRH

Jarak genetik adalah ukuran perbedaan material genetik diantara individu

yang berbeda spesies atau pun individu dengan spesies sama. Hubungan kekerabatan

dari beberapa kerbau lokal berdasarkan gen GHRH dapat diketahui dengan

menghitung jarak genetik menggunakan rumus Nei (1987). Semakin kecil nilai jarak

genetik antar populasi semakin dekat hubungan kekerabatan antar populasi tersebut,

sebaliknya semakin besar nilai jarak genetik antar populasi maka semakin jauh

(47)

berdasarkan gen GHRH antara empat populasi kerbau lokal di Indonesia disajikan

pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Jarak Genetik Gen GHRHKerbau Lokal

Daerah Daerah

Semarang Mataram Medan Banten Semarang 0,000

Mataram 0,001 0,000

Medan 0,012 0,023 0,000

Banten 0,089 0,064 0,171 0,000

Jarak genetik dapat digunakan untuk membuat dendogram (pohon filogeni)

yang dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan kekerabatan antara populasi.

Menurut Nei (1987) hubungan kekerabatan antar populasi dapat diketahui dengan

menggunakan metode yang paling sederhana rata – rata jarak genetik UPGMA

(Unweighted Pair-Group Methode with Arithmetic mean). Hubungan kekerabatan

antara empat populasi kerbau lokal ditunjukkan pada Gambar 5.

(48)

Nilai jarak genetik terkecil adalah kerbau lokal Mataram dengan kerbau lokal

Semarang, yaitu 0,001 yang menunjukkan bahwa antara kedua populasi tersebut

memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Hal ini diduga terjadi karena adanya

penyebaran dan pola migrasi. Sedangkan nilai jarak genetik terbesar yaitu antara

kerbau lokal Medan dengan kerbau lokal Banten sebesar 0,202, yang menunjukkan

bahwa hubungan kekerabatan antara kedua populasi kerbau lokal tersebut jauh.

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang dilakukan untuk

mengetahui keragaman gen GHRH pada kerbau lokal di Indonesia sehingga

informasi yang diperoleh masih sangat sedikit untuk dijadikan sebagai bahan

perbandingan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan untuk

penelitian selanjutnya agar dapat menganalisis hubungan antar tipe maupun genotipe

gen GHRH dengan sifat – sifat kuantitatif kerbau lokal Indonesia, sehingga dapat

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Gen GHRH pada populasi kerbau lokal di Indonesia bersifat polimorfik

(beragam). Identifikasi keragaman gen GHRH pada kerbau lokal Indonesia dengan

teknik PCR-RFLP menghasilkan dua alel, yaitu alel A (18%) dan alel B (82%)

Genotipe yang diperoleh yaitu AA (0%), AB (36%) dan BB (64%) dengan nilai

heterozigositas sebesar 46%. Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel

A pada semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi Alel

A pada setiap populasi yaitu Semarang (15%), Mataram (19%), Medan (2%) dan

Banten (45%). Alel B memiliki frekuensi lebih besar dibandingkan alel A pada

semua populasi ternak kerbau dari empat daerah di Indonesia. Frekuensi alel B pada

setiap populasi yaitu Semarang (85%), Mataram (81%), Medan (98%) dan Banten

(48%). Nilai frekuensi alel B terbesar terdapat pada populasi kerbau Medan (98%)

dengan nilai heterozigositas 4%. Nilai heterozigositas tertinggi terdapat pada

populasi kerbau di Banten yaitu 48%. Nilai indeks fiksasi gen GHRH menunjukkan

bahwa dari keempat populasi kerbau lokal tidak terdapat gen yang terfiksasi dengan

nilai indeks fiksasi tidak sama dengan nol. Nilai jarak genetik gen GHRH terkecil

yaitu antara populasi kerbau lokal Semarang dan kerbau lokal Mataram (0,001) dan

terbesar antara populasi kerbau lokal Medan dan Banten (0,202).

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melakukan analisis hubungan

antara keragaman gen GHRH dengan sifat-sifat kuantitatif kerbau lokal Indonesia.

Data yang diperoleh selanjutnya dapat dijadikan sebagi acuan dalam melakukan

Gambar

Tabel 1. Beberapa Informasi Sifat Biologis Ternak Kerbau dengan Pola Pemeliharaan Ekstensif
Tabel 2. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis Ternak
Gambar 1.  Hasil Amplifikasi Gen GHRH Menggunakan Metode PCR pada Gel Poliakrilamida 6%
Gambar 2. Posisi penempelan primer dan situs pemotongan Enzim Restriksi HaeIII didasarkan pada sekuens gen GHRH pada sapi di GenBank (no akses GenBank AF242855) (Zhou et al., 2000)
+6

Referensi

Dokumen terkait

yang menyebabkan pergeseran norma kesusilaan ini terjadi. Pada dasarnya, pembangunan Waduk Lapangan Sindangpano memiliki. tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

Jika proyek akan diselesaikan dalam 20 minggu, Berapa banyak pekerja yang harus

melakukan wawancara pada hari itu juga yang dimulai dari. pukul 18.30 hingga pukul 19.15 WIB yang dilakukan

Maka untuk mengatasi hal tersebut diperlukan pengembangan media dari yang semula hanya menggunakan buku paket dan papan tulis menjadi media pembelajaran audio

Studi lainnya mengenai dampak intervensi edukasi menemukan terdapat perbedaan skor sikap yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi pemberian edukasi, dimana nilai

Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya kepuasan kerja karyawan adalah aspek pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan. Pada kenyataannya yang terjadi di

14 pekerjaan dengan mutu terbaik para karyawan telah melakukan pekerjaan yang mencapai standart kerja sehingga memuaskan perusahaan, begitu juga ketika menyelesaikan

Lamaran ditujukan kepada Dekan FIP Universitas Trunojoyo Madura Ruang P6tre Koneng Lantai 1 Gedung