• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012 yang dihasilkan dari interpretasi citra

Landsat TM 7 tahun 1994 dan 2012 secara visual. Masing-masing titik tahun citra

Landsat TM 7 tersebut diambil pada bulan Maret. Hasil interpretasi citra Landsat

TM 7 tahun 2012 telah divalidasi menggunakan titik-titik sampel ground thruth

yang kondisinya dilihat berdasarkan citra Ikonos 2010 dan cek lapangan. Validasi yang dilakukan menghasilkan nilai akurasi sebesar 93.33% dan nilai indeks kappa

sebesar 0.9018 yang menunjukkan bahwa peta hasil interpretasi citra tersebut layak untuk digunakan dalam penelitian ini.

Proses interpretasi citra Landsat TM 7 dilakukan dengan bantuan piranti arcGIS 10 dan menghasilkan peta penggunaan lahan pada skala yang mempertimbangkan resolusi spasial dari citra Landsat TM 7 dan kenampakan tutupan lahan secara visual pada citra.

Luas Penggunaan Lahan Tahun 1994 dan 2012.

Intepretasi secara visual citra Landsat TM 7 pada wilayah penelitian menghasilkan peta dengan 7 (tujuh) kelas penggunaan lahan. Secara alfabetik 7 kelas penggunaan lahan tersebut urutannya adalah: kebun campuran, laut, hutan mangrove, permukiman, sawah, tambak dan tubuh air (sungai dan rawa) dengan informasi luas masing-masing penggunaan lahan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas perubahan penggunaan lahan

Penggunaan Lahan (Kode) 1994 2012

ha % ha % Kebun Campuran (kc) 855.9 0.7 706.3 0.5 Laut (lt) 56,672.6 43.2 56,671.8 43.2 Hutan Mangrove (rv) 401.4 0.3 209.7 0.2 Permukiman (pkm) 5,976.0 4.6 6,518.2 5.0 Sawah (sw) 49,224.9 37.6 48,211.5 36.8 Tambak (tb) 17,653.0 13.5 18,465.0 14.1

Tubuh Air (ta) 275.2 0.2 276.6 0.2

Jumlah 131,059.15 100.0 131,059.15 100.0

Tabel 10 menginformasikan beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas yang cukup signifikan yaitu kebun campuran, hutan mangrove dan sawah. Penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah permukiman dan tambak.

Luas kebun campuran menurun hampir 150 ha atau luasnya menyusut hingga 17.5%. Penyusutan kebun campuran ini terjadi diduga akibat peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman. Hal ini karena jenis tanah yang digunakan

untuk kebun campuran ini juga merupakan tanah yang potensial untuk permukiman. Secara visual dari hasil interpretasi citra Landsat, lahan yang digunakan untuk kebun campuran biasanya terletak di sekitar permukiman sehingga apabila permukiman tersebut berkembang maka lahan kebun campuran tersebut secara otomatis akan terpakai.

Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang berada di perbatasan antara daratan dan lautan yang salah satu fungsinya adalah menjadi pelindung dari efek negatif interaksi keduanya di wilayah tropis. Kondisi luas hutan mangrove yang menurun akan sangat merugikan karena tentu saja akan menurunkan fungsinya tersebut. Luas hutan mangrove di wilayah penelitian tahun 2012 menyusut 47.8% atau hampir setengah dari luas pada tahun 1994. Angka ini tentu sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove ke depan khususnya di pesisir Kabupaten Karawang.

Penggunaan lahan yang paling luas penyusutannya adalah sawah. Luas sawah yang teralihkan mencapai lebih dari 1,013 ha. Semakin luasnya alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lahan lain, semakin mengancam identitas Kabupaten Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat dan tentu akan berimbas langsung pada ketahanan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah di wilayah pesisir Karawang ini selain akibat dari bertambahnya penduduk juga diduga akibat dari semakin seringnya terjadi puso akibat cuaca dan hama ditambah dengan biaya produksi sawah yang semakin tinggi menjadikan nilai ekonomi sawah semakin kalah dengan penggunaan lahan lain terutama perikanan tambak.

Permukiman merupakan salah satu penggunaan lahan yang meningkat luasannya di wilayah penelitian. Luasannya meningkat seluas 542 ha atau ±9% dari tahun 1994 ke 2012. Meningkatnya penduduk di wilayah pesisir mau tidak mau berpengaruh pada meningkatnya luasan penggunaan lahan untuk permukiman karena masih dianggap luasnya lahan sehingga penyebaran permukiman masih bersifat horizontal.

Perikanan tambak merupakan salah satu primadona ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Tambak udang sempat menjadi sangat maju tingkat produksinya di Kabupaten Karawang. Namun demikian, karena penyakit dan eksploitasi lahan pesisir yang terlalu berlebihan produksi udang semakin menurun dan menyebabkan kebangkrutan petambak pada akhir tahun1990-an. Kebangkitan petambak mulai terjadi terutama setelah dilakukan diversifikasi produk dari udang menjadi bandeng, mas dan produk perikanan lainnya sehingga nilai ekonomi penggunaan lahan tambak kembali meningkat. Hal tersebut menjelaskan peningkatan penggunaan lahan untuk tambak pada rentang waktu antara tahun 1994 dan 2012. Penggunaan lahan tambak luasannya meningkat lebih dari 800 ha atau sebesar 4.5%.

Laut dan tubuh air (sungai dan rawa) tidak mengalami perubahan yang signifikan pada rentang tahun 1994 dan 2012. laut hanya mengalami penyusutan luas sebesar 0.8 hektar, hampir 0 persen dari luasannya, demikian juga tubuh air. Grafik yang memperlihatkan secara visual kenaikan dan penyusutan persentase luas penggunaan lahan disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Grafik persentase penggunaan lahan 1994 dan 2012 Perubahan Penggunaan Lahan 1994 dan 2012

Penyusutan dan penambahan luas penggunaan lahan yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 mengindikasikan terjadinya perubahan penggunaan atau alih fungsi lahan. Alih fungsi penggunaan lahan terluas yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 menimpa jenis penggunaan lahan sawah yaitu sebesar 1,194.38 ha sedangkan persentase perubahan lahan yang paling tinggi terjadi pada jenis penggunaan lahan Hutan mangrove yaitu sebesar 87.36 %. Informasi selengkapnya mengenai perubahan penggunaan lahan dan persentasenya antara tahun 1994 dan 2012 tersaji dalam Tabel 11 dan Tabel 12.

Tabel 11. Matrik perubahan penggunaan lahan tahun 1994 dan 2012

Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah ha ha ha ha ha ha ha ha kc 0.00 2.58 0.00 129.09 89.06 0.35 0.00 221.07 lt 0.00 0.00 55.02 1.58 0.00 394.29 1.29 452.18 rv 62.18 82.24 0.00 81.33 1.12 123.84 0.00 350.71 pmk 0.00 12.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.09 sw 0.00 0.00 0.00 329.41 0.00 862.79 2.18 1194.38 tb 9.25 352.38 103.99 12.83 90.83 0.00 0.00 569.28 ta 0.00 2.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.11 Jumlah 71.43 451.39 159.01 554.23 181.01 1381.27 3.47 2801.82

Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa)

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 % 1994 % 2012

Tabel 12. Matrik persentase perubahan penggunaan lahan Penggunaan lahan 1994 Penggunaan lahan 2012 kc lt rv pmk sw tb ta Jumlah % % % % % % % % kc - 0.30 - 15.08 10.41 0.04 - 25.83 lt - - 0.10 - - 0.70 0.002 0.80 rv 15.49 20.49 - 20.26 0.28 30.85 - 87.36 pmk - 0.20 - - - - - 0.20 sw - - - 0.67 - 1.75 0.004 2.43 tb 0.05 2.00 0.59 0.07 0.51 - - 3.22 ta - 0.77 - - - - - 0.77

Ket : kc=kebun campuran, lt=laut, rv=mangrove, pmk-permukiman, sw=sawah, tb=tambak, ta=tubuh air (sungai, rawa)

Kebun campuran mengalami alih fungsi lahan kedalam 4 jenis penggunaan lahan lainnya yaitu (1) laut, berhubungan dengan terjadinya abrasi; (2) permukiman yang merupakan pengambil alih fungsi kebun campuran yang terluas yaitu 129.09 ha; (3) sawah, seluas 89.06 ha; dan (4) tambak, sebagai pengambil alih fungsi lahan kebun campuran tersempit yaitu seluas 0.35 ha.

Akresi (penambahan daratan) terjadi antara tahun 1994 dan 2012, dimana daratan baru tersebut dimanfaatkan sebagai lahan (1) hutan mangrove, seluas 55.02 ha, hal ini erat hubungannya dengan kegiatan penanaman hutan mangrove yang dilakukan berbagai instansi dan organisasi lingkungan hidup di Kabupaten Karawang dalam rangka upaya pembentukan kembali green belt, (2) permukiman, seluas 1.58 ha, (3) tambak, pemanfaatan yang paling luas dilakukan pada lahan akresi yaitu mencapai lebih dari 394.29 ha, dan (4) tubuh air, akresi yang terjadi di area muara sungai akan segera membentuk bentuk lahan muara yang baru.

Pembukaan lahan hutan mangrove yang dilakukan antara tahun 1994 dan 2012 untuk dimanfaatkan menjadi penggunaan lahan lain mencapai hampir 90%. Penggunaan lahan itu antara lain (1) kebun campuran, hal ini terjadi di hutan bakau (hutan mangrove) yang tidak lagi tergenang air sehingga masyarakat memanfaatkannya menjadi kebun campuran seluas 62.18 ha, (2) laut, abrasi telah menghilangkan 82.24 ha lahan hutan mangrove menjadi laut, (3) permukiman, terdapat 81.33 ha lahan hutan mangrove yang dibuka untuk permukiman, (4) sawah, seluas 1.12 ha, dan (5) tambak, merupakan penyebab utama banyak dibukanya hutan mangrove di pesisir Kabupaten Karawang selama ini, sehingga dalam kurun 1994 dan 2012 pembukaan hutan mangrove untuk tambak masih merupakan yang terluas yaitu seluas 123.84 ha.

Permukiman merupakan penggunaan lahan yang hampir tidak mengalami perubahan fungsi lahan dari tahun 1994. Perubahan yang terjadipun tidaklah disengaja, melainkan karena abrasi yang menjadikan lahan permukiman seluas 12.09 ha berubah menjadi laut. Alih fungsi lahan sawah di wilayah penelitian yaitu menjadi (1) permukiman, semakin bertambahnya penduduk menjadikan lahan sawah diubah menjadi permukiman seluas 329.41 ha, (2) tambak, meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha tambak menjadikan alih fungsi

lahan sawah menjadi tambak terjadi seluas 862.79 ha, dan (3) tubuh air, terdapat area lahan pesawahan yang karena berada di daerah rawa apabila musim hujan maka berubah menjadi tubuh air seluas 2.18 ha.

Pada tahun 1994, terdapat 569.28 ha luas tambak yang beralih fungsi menjadi penggunaan lahan lain, terutama lahan tambak udang yang bangkrut akibat penyakit yang ditinggalkan oleh pengelolanya. Tambak terbengkalai tersebut sebagian dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pengelolanya menjadi tambak kembali ataupun mengalami alih fungsi menjadi jenis penggunaan lahan yang lain, yaitu (1) kebun campuran, seluas 9.25 ha, (2) permukiman, seluas 12.83 ha, dan (3) sawah, seluas 90.83 ha. Selain itu terdapat juga tambak yang dihijaukan kembali dengan ditanami hutan mangrove seluas 103.99 ha. Namun alih fungsi yang terluas yang terjadi pada tambak adalah diakibatkan oleh abrasi yaitu seluas 352.38 ha tambak berubah menjadi laut dengan penyebab utamanya adalah tidak adanya green belt yang melindungi tambak-tambak tersebut dari gerusan arus dan ombak laut.

Gambar 18. Peta perubahan penggunaan lahan 1994 dan 2012

Gambar 18 memperlihatkan bagian barat wilayah penelitian yaitu di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya terjadi perubahan penggunaan lahan yang paling dominan yaitu penggunaan lahan sawah menjadi tambak. Usaha tambak dikecamatan-kecamatan tersebut memang paling banyak dan paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain, bahkan beberapa tempat di kecamatan-kecamatan tersebut diberi nama tambak, seperti desa Tambaksari dan Tambaksumur yang menunjukkan dominannya area tambak di wilayah tersebut.

Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah timur daerah penelitian yaitu Kecamatan Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan justru banyak terjadi dari berbagai penggunaan lahan menjadi permukiman. Wilayah ini memang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang relatif

lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain sehingga kehidupannya lebih dinamis dan memicu pertambahan penduduk yang lebih tinggi.

Abrasi dan Akresi

Pembahasan mengenai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir tentu tidak lepas dari proses fisik yang terjadi di lautan. Kekuatan ombak dan arus laut sangat berpengaruh pada garis pantai, terutama apabila daratan yang berbatasan dengan laut tersebut merupakan pantai dengan berbahan dasar lembut seperti lumpur atau lumpur berpasir yang mudah berpindah. Pantai dengan dasar tersebut biasanya ditumbuhi vegetasi mangrove (Woodroffe 1992) yang membantu menjaga kestabilan sedimen (Thampanya et al. 2006). Jika sedimen/tanah daratan pantai tidak stabil maka dengan mudah akan terbawa arus dan ombak sehingga berpindah ke tempat lain. Kejadian tersebut mengakibatkan kondisi yang disebut abrasi (erosi pesisir) dan akresi (sedimentasi pesisir/penambahan daratan).

Kondisi abrasi dan akresi secara nyata terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Karawang. Pemberitaan mengenai kerugian akibat abrasi dan akresi sudah sering terdengar. Permukiman, infrastruktur, lahan usaha tambak dan lainnya tergerus menjadi lautan sehingga kerugian yang dialami masyarakat sudah sangat memprihatinkan. Secara visual sebenarnya akan lebih mudah mengetahui kondisi abrasi dan akresi ini melalui penginderaan jauh, seperti yang terjadi antara tahun 1994 dan 2012 yang disajikan pada Gambar 19.

Tabel 13. Luas abrasi dan akresi tahun 1994 dan 2012 per kecamatan

Kecamatan Kondisi

Abrasi (ha) Akresi (ha)

Pakisjaya 69.28 8.90 Batujaya 0.00 24.50 tirtajaya 60.72 70.97 Cibuaya 162.10 23.50 Pedes 12.48 12.80 Cilebar 85.24 93.17 Tempuran 15.35 64.84 Cilamaya kulon 18.71 1.32 Cilamaya wetan 27.52 152.20

Abrasi dan akresi yang terjadi sedikit merubah panjang garis pantai wilayah pesisir Karawang, dari panjang 78.16 km pada tahun 1994 menjadi 78.35 km di tahun 2012 yang berarti memendek sepanjang 186 meter. Tabel 13 menginformasikan, pada kurun waktu tahun 1994 dan 2012 abrasi terparah terjadi di Kecamatan Cibuaya yakni seluas 162 hektar. Sedangkan akresi atau penambahan daratan paling luas terjadi di Kecamatan Cilamaya wetan. Kecamatan Cilebar merupakan kecamatan dengan wilayah pesisir paling labil dimana akresi dan abrasi di kecamatan tersebut terjadi cukup luas.

1. Pakis 2. Cibuaya 3. Cilebar 1994 1994 1994 2012 2012 2012 1994 4. Cilamaya Wetan 2012 2012 1994 Legenda 1 2 3 4

Gambar 19. Garis pantai tahun 1994 dan 2012 darat laut darat darat darat darat darat laut laut laut laut laut

Gambar 20. Kondisi abrasi dan akresi di sekitar bangunan break water

Perpindahan sedimen yang mengakibatkan terjadinya akresi dan abrasi juga dapat disebabkan oleh kegiatan anthropogenik (manusia sebagai penyebab) seperti penebangan hutan, penghijauan, dan konstruksi perairan seperti dam, jetty dan pemecah gelombang (Hogart 2001). Hal inilah yang terindikasi menjadi penyebab terjadinya akresi dan abrasi di Kecamatan Cilebar, yang diketahui melalui hasil interpretasi citra Landsat TM 7 dengan dibantu citra Ikonos seperti yang tarlihat pada Gambar 20. Gambar tersebut mengindikasikan terjadinya abrasi dan akresi akibat adanya bangunan pemecah gelombang (break water) yang menjorok ke laut. Hasil pengecekan lapangan membuktikan keberadaan pemecah gelombang tersebut berada di antara wilayah yang terkena abrasi dan akresi. Daerah disebelah barat pemecah gelombang mengalami abrasi sedangkan daerah sebelah timur mengalami akresi. Hasil pengolahan peta menunjukkan daerah yang mengalami abrasi daratannya terkikis ±200 meter ke arah darat antara tahun 1994 dan 2012, sebaliknya di daerah yang mengalami akresi terjadi penambahan daratan sepanjang ±200 meter ke arah laut. Pembangunan pemecah gelombang dan bangunan-bangunan laut lainnya di wilayah pesisir yang tidak memperhitungkan aspek oseanografi terbukti telah berpengaruh langsung pada kondisi fisik dari lahan pesisir. Jika kestabilan lahan yang diinginkan untuk konsep perencanaan penggunaan lahan tentu bangunan laut yang menyebabkan abrasi maupun akresi ini cukup merugikan.

Secara keseluruhan luas abrasi dan akresi yang terjadi di wilayah penelitian hampir seimbang yaitu masing-masing 451.4 ha dan 452.2 ha. Lahan terluas yang mengalami abrasi adalah lahan tambak yaitu seluas 352.4 ha. lahan baru akibat terjadinya akresi sebagian besar juga dimanfaatkan menjadi tambak.

Tabel 14. Luas abrasi dan akresi per penggunaan lahan Abrasi (ha) kebun campuran 2.6 laut 451.4 Hutan mangrove 82.2 Permukiman 12.1 Tambak 352.4 tubuh air 2.1 Akresi (ha) Laut 452.2 Hutan mangrove 55.0 permukiman 1.6 tambak 394.3 tubuh air 1.3

Lahan permukiman yang tergusur oleh terjadinya abrasi seluas 12.1 ha. Banyaknya permukiman yang didirikan tepat dipinggir pantai membuat resiko kerugian akibat abrasi semakin tinggi. Sementara itu terjadinya akresi memicu konflik perebutan lahan baru. Aturan pemerintah mengenai sempadan pantai masih belum terimplementasi di lapangan sehingga lahan yang berbatasan langsung dengan laut masih banyak yang dimiliki oleh masyarakat dan dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Dampak dari pemanfaatan zona pantai sebagai wilayah permukiman dan budidaya menjadikan kerugian dari terjadinya abrasi dan akresi masih sulit teratasi. Informasi selengkapnya mengenai luas abrasi dan akresi yang terjadi per-penggunaan lahan di wilayah penelitian dalam rentang waktu tahun 1994 dan 2012 disajikan pada Tabel 14.

Inkonsistensi Penggunaan Lahan Pesisir Tahun 2012 dengan RTRW

Peta penggunaan lahan wilayah pesisir Kabupaten Karawang tahun 2012 dibandingkan dengan peta RTRW pesisir Kabupaten Karawang untuk mengetahui inkonsistensi yang terjadi pada peruntukan penggunaan lahan oleh RTRW dan kondisi penggunaan lahan sesungguhnya (aktual). Setelah dibandingkan, ternyata terlihat adanya inkonsistensi pada beberapa peruntukkan lahan dengan luasan yang diinformasikan oleh Tabel 15.

Tabel 15 memperlihatkan, selain digunakan untuk sawah (80%), area pertanian lahan basah pada aktualnya juga digunakan sebagai hutan mangrove (0.05%), permukiman (11%), kebun campuran (1.1%) tubuh air (0.02%) dan tambak (7.92%). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsistensi masih tinggi namun penggunaan lahan untuk permukiman di kawasan pertanian sudah mulai meluas. Area yang diperuntukkan sebagai Kawasan Lindung Hutan Mangrove yang berada di wilayah Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya dan Cibuaya, hanya 0.8 % yang masih sesuai dengan aktual, selebihnya digunakan untuk penggunaan lahan yang lain terutama tambak. Hal ini sangat memprihatinkan khususnya jika dilihat dari sisi lingkungan, karena Hutan mangrove merupakan ekosistem penunjang kehidupan yang sangat penting di wilayah pesisir beriklim tropis.

Tabel 15. Inkonsistensi RTRW dengan penggunaan lahan aktual LU 2012

Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Karawang Perairan Laut Pertanian lahan

basah Kawasan Lindung Hutan mangrove Perumahan pedesaan sungai dan

danau tambak Jumlah

ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha lt 56,672 100.00 - - - - - - - - - - 56,672 sw - - 42,404 79.91 104 1.19 2,071 86.68 - - 3,633 36.43 48,211 rv - - 26 0.05 70 0.80 - - - - 114 1.14 210 pkm - - 5,840 11.00 60 0.69 250 10.47 - - 368 3.69 6,518 kc - - 585 1.10 74 0.85 - - - - 47 0.47 706 ta - - 12 0.02 - - - - 265 100.00 - - 277 tb - - 4202 7.92 8,384 96.46 68 2.85 - - 5,811 58.27 18,465 Jumlah 56,672 100.00 53,068 100.00 8,692 100.00 2,389 100.00 265 100.00 9,973 100.00 131,059

Inkonsistensi lahan yang diperuntukkan bagi perumahan pedesaan cukup tinggi. 86.68 % kawasan tesebut masih dipergunakan untuk sawah dan 2.85% untuk tambak. Hal ini menandakan wilayah pesisir kabupaten Karawang masih memberikan ruang bagi pertambahan penduduk. Lebih dari 50% kawasan tambak konsisten dengan aktual penggunaannya. Namun demikian penggunaan kawasan ini untuk sawah cukup tinggi yaitu sebesar 36.43% dari kawasannya. Sisanya pada aktual digunakan untuk permukiman, kebun campuran dan hutan mangrove.

Secara keseluruhan inkonsistensi penggunaan lahan aktual tahun 2012 terhadap RTRW pesisir kabupaten Karawang terjadi sebesar 19.5%, hal ini berarti lebih dari 80% keseluruhan luas area wilayah pesisir Kabupaten Karawang, penggunaan lahannya masih sesuai dengan peruntukkannya dalam RTRW pesisir. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah masih konsisten terhadap RTRW.

Analisis Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik. Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik

Kesesuaian lahan merupakan salah satu faktor yang dapat berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan (Eastman 2003). Berdasarkan data atribut yang dianalisis dari peta land system yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), lahan wilayah pesisir dapat dikelompokan menjadi beberapa satuan lahan, dengan masing masing satuan lahan memiliki kondisi fisik lahan yang sama dan sesuai terhadap satu atau beberapa penggunaan lahan. Secara geografis satuan lahan tersebut diperlihatkan pada Gambar 21.

Data-data atribut peta yang terdiri dari landform, taksonomi tanah, litologi, lereng dan iklim, membagi peta menjadi 3 (tiga) satuan lahan dengan kesesuaian fisik penggunaan lahan yang berbeda yaitu (1) Hutan mangrove; (2) Permukiman, Kebun Campuran dan Hutan mangrove; dan (3) Sawah, Kebun Campuran, Permukiman dan Hutan mangrove. Tambak tidak termasuk sebagai penggunaan lahan yang sesuai pada satuan lahan 1, karena walaupun kondisi fisik satuan lahan

tersebut sepertinya mendukung, namun ada satu pembatas yang membuat penggunaan lahan untuk tambak tidak sesuai dilakukan pada satuan lahan tersebut. Faktor pembatas itu adalah jenis tanah Sulfaquent yang merupakan tanah dengan bahan sulfidik pada kedalaman kurang dari 50 cm (Hardjowigeno 2003). Penggalian kolam tambak pada kondisi tanah tersebut dikhawatirkan akan membuat terpaparnya bahan sulfidik yaitu pirit (FeS2) ke udara sehingga memicu terjadinya proses oksidasi dan membentuk asam sulfat dan jarosit yang merupakan zat beracun bagi tumbuhan.

Gambar 21. Peta Kesesuaian Fisik Lahan (sumber : Peta land system) Peta kesesuaian fisik lahan di wilayah penelitian kemudian diekstraksi menjadi 12 komposisi penggunaan/penutupan lahan berdasarkan kesesuaian fisik lahan. Ke-12 komposisi ini selanjutnya digunakan sebagai 12 alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai, dimana tiap satuan lahannya hanya memiliki satu penggunaan lahan dan ditambah dengan satuan lahan untuk tubuh air (sungai dan rawa) dan laut.

Alternatif Komposisi Penggunaan Lahan Sesuai Secara Fisik

Pada penelitian ini terdapat lima satuan lahan dalam tiap alternatif Penggunaan Lahan Sesuai yang dihasilkan dari ekstraksi peta kesesuaian fisik lahan berdasarkan peta land system dimana tiga diantaranya terdiri dari kombinasi penggunaan lahan yang sesuai berdasarkan peta kesesuaian fisik lahan, sedangkan dua lainnya adalah satuan lahan yang ditambahkan berdasarkan penutupan lahan aktual yaitu tubuh air yang merupakan perairan darat (sungai dan rawa) dan laut. Komposisi penggunaan lahan berdasarkan kesesuaian fisik dalam tiap alternatif disajikan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai

kesesuaian penggunaan lahan Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai

1 2 3 4 5 6

Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan

Hutan mangrove

Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman

dan Hutan mangrove

Sawah Sawah Sawah kebun Campuran kebun Campuran kebun Campuran Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air

Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut

Kappa dengan land use aktual 2012 0.8557* 0.8511 0.8499 0.627 0.6227 0.6216 Lanjutan Tabel 16.

kesesuaian penggunaan lahan Alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai

7 8 9 10 11 12

Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Permukiman, kebun campuran dan

Hutan mangrove

Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove Permukiman Kebun Campuran Hutan mangrove sawah, kebun campuran, permukiman

dan Hutan mangrove

Permukiman Permukiman Permukiman Hutan mangrove Hutan mangrove Hutan mangrove Tubuh Air (sungai, rawa) Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air Tubuh Air

Laut Laut Laut Laut Laut Laut Laut

Kappa dengan land use aktual 2012 0.6495 0.6452 0.6441 0.6253 0.621 0.6199

* Alternatif yang memiliki nilai kappa untuk kompabilitas dengan kondisi aktual tahun 2012 tertinggi.

Berdasarkan kompatibilitas dengan kondisi penggunaan/penutupan lahan aktual tahun 2012, alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memiliki nilai

kappa yang tertinggi yaitu 0.8557. Nilai kappa tersebut menentukan alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 sebagai alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai yang akan digunakan sebagai input kesesuaian (suitability) dalam proses validasi model prediksi penggunaan lahan. Sebaran geografis jenis penggunaan/penutupan lahan pada alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 tersaji dalam Gambar 22.

Gambar 22. Peta alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1

Secara visual terlihat bahwa alternatif komposisi penggunaan lahan sesuai 1 memang merupakan alternatif yang komposisi jenis penggunaan/penutupan lahannya paling kompatibel dengan kondisi aktual tahun 2012. Seperti pada kondisi aktual, sawah mendominasi bagian selatan wilayah penelitian dengan area permukiman berada di tengah bagian timur. Sehingga wajar jika nilai kappa yang dihasilkan paling tinggi.

Model Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Konversi Vektor ke Raster

Interpretasi penggunaan lahan dan hasil Analisis penggunaan lahan sesuai secara fisik pada pembahasan sebelumnya, semuanya menghasilkan peta berbasis data vektor. Kedua hasil analisis tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai data spasial input pemodelan. Sementara itu, pemodelan dengan pendekatan CA-Markov dijalankan dengan input yang mengharuskan data berbasis raster, oleh karenanya konversi bentuk data vektor ke bentuk data raster mutlak diperlukan.

Dokumen terkait