• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan dan Fenomena Krisis di Indonesia Periode 2000-2011

Krisis sistemik stabilitas sistem keuangan yang dialami Indonesia berdampak sangat buruk terhadap perekonomian Indonesia. Gejolak perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar melemahkan kinerja sektor moneter dan dengan waktu yang singkat menyebabkan hancurnya sektor perbankan, sektor keuangan, sektor riil serta perdagangan Indonesia. Krisis tersebut dengan cepat berubah menjadi krisis ekonomi yang juga memicu munculnya krisis sosial politik sejak akhir tahun 1998 dan dengan seketika berubah menjadi krisis multidimensional

21 yang berlangsung sampai dengan tahun 2003. Indonesia memerlukan usaha dan biaya yang sangat besar untuk bangkit dari krisis 1998 sehingga pemerintah berusaha mengembangkan metode untuk mengamati stabilitas ekonomi Indonesia agar dapat menghindari ancaman krisis sistemik. Otoritas moneter Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia juga mengembangkan Indeks Stabilitas Kistem Keuangan (ISSK) untuk mengamati stabilitas sistem keuangan Indonesia. Indeks tersebut akan menunjukan grafik yang meningkat atau naik jika terjadi guncangan atau ketidakstabilan dalam sistem keuangan Indonesia, sebaliknya Aggregate Financial Stability Index (AFSI) yang dibangun dalam penelitian ini menunjukan penurunan nilai indeks agregat jika terjadi guncangan pada sistem keuangan. Jika stabilitas sistem keuangan rendah maka indeks agregat juga rendah.

Sumber : Hasil Pengolahan

Gambar 3 Pergerakan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan Agregat dan Sub-Indeks Penyusun

Aggregate Financial Stability Index (AFSI) yang dibangun dapat dengan cukup baik menjelaskan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Khususnya dampak krisis sistemik 1998 yang masih cukup dirasakan pada awal periode pengamatan yaitu tahun 2000 sampai tahun 2003, krisis kecil tahun 2005 dan krisis global tahun 2008.

Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia Tahun 2000-2003

Sistem keuangan Indonesia terus mengalami perbaikan pasca krsis yang diderita oleh beberapa negara di Asia khususnya Indonesia. Penataan kembali sistem keuangan baik dari sisi kebijakan dan kelembagaan terlihat cukup efektif khususnya di sektor perbankan hingga saat ini. Nilai AFSI berada pada kisaran 0.38 sampai 0.48 pada awal pengamatan dari kuartal satu tahun 2000 sampai kuartal empat tahun 2002 dengan nilai terendah 0.39 pada kuartal empat tahun

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 2000Q 1 2000Q 3 2001Q 1 2001Q 3 2002Q 1 2002Q 3 2003Q 1 2003Q 3 2004Q 1 2004Q 3 2005Q 1 2005Q 3 2006Q 1 2006Q 3 2007Q 1 2007Q 3 2008Q 1 2008Q 3 2009Q 1 2009Q 3 2010Q 1 2010Q 3 2011Q 1 2011Q 3 N ila i I n d ek s Periode

22

2001. Krisis multidimensional masih cukup dirasakan pada awal periode pengamatan yaitu pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003.

Perkembangan keuangan (FDI) Indonesia telihat menurun pada awal tahun 2000 sampai akhir 2001 yang disebabkan oleh penurunan secara umum nilai indikator penyusunnya. Persentase kapitalisasi pasar terhadap GDP sampai ke titik 56.58% pada kuartal tiga tahun 2003 yang sebelumnya pada kuartal satu 2000 sebesar 112,88%. Persentase kredit swasta dengan mata uang domestik terhadap GDP berada pada titik terendah sebesar 35.44% pada kuartal tiga tahun 2000. Interest rate spread juga terus turun ke titik 2.70% yang merupakan posisi terendah selama periode pangamatan. Hal tesebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan fungsi intermediasi dan mengembalikan minat masyarakat terhadap sektor perbankan pasca krisis 1998. Namun, Konsentrasi sektor perbankan cukup tinggi pada awal tahun 2000 sebesar 67.16% karena pemerintah menutup banyak bank pada periode sebelumnya akibat krsis 1998. Juni 2000 Bank Danamon merger dengan delapan bank swasta nasional. Oktober 2000 Pemerintah menutup dua bangk swasta nasional yaitu Bank Prasidha Utama and Bank Ratu. September 2002 Pemerintah melakukan merged lima bank nasional, yaitu: Bank Bali, Bank Universal, Bank Patriot, Bank Prima Express, and Bank Artha Media13. Interest rate spread yang menurun dan banyaknya bank yang dimerger juga merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi sektor perbangkan.

Tingkat kerentanan stabilitas keuangan sempat mengalami peningkatan dengan nilai indeks sebesar 0.33 pada kuartal satu menjadi 0.26 pada kuartal dua tahun 2000. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya persentase current account terhadap GDP akibat apresiasi rupiah, penurunan persentase kredit swasta terhadap total kredit, penurunan persentase deposit terhadap jumlah uang beredar dan menurunnya kapasitas sektor perbankan dalam mengantisipasi penarikan simpanan dalam jumlah besar14. Kemudian tingkat kerentanan berkurang seiring dengan berkurangnya persentase defisit anggaran belanja pemerintah terhadap GDP dan meningkatnya persentase current account terhadap GDP. Pada kuartal dua tahun 2001 rupiah mengalami apresiasi sehingga persentase current account terhadap GDP mengalami penurunan menjadi 3.66% yang pada kuartal sebelumnya 5.55% sementara persentase anggaran belanja pemerintah masih tetap defisit sehingga nilai FVI kembali turun. Tingkat kerentanan kembali membaik karena persentase current account terhadap GDP kembali meningkat menjadi 5.37% karena rupiah kembali terdepresiasi. Namun, Rupiah kembali terapresiasi sehingga persentase current account terhadap GDP kembali turun menjadi 2.84% pada kuartal empat tahun 2001.

Sektor perbankan terus mengalami perbaikan terlihat dari sub-indeks FSI yang terus meningkat. ROA menyentuh titik terendah selama periode pengamatan yaitu 1.40% pada kuartal pertama tahun 2001. Kemudian, tingkat kesehatan sektor perbankan terus meningkat seiring peningkatan manajemen, pengawasan dari pemerintah dan upaya peningkatan efisiensi serta meningkatkan kembali minat masyarakat akan jasa sektor perbankan.

13

Lestano et al. 2003. Indicator of Financial Crises Do Work !, An Early- Warning System for Six Asian Countries hlm 15

14

Ditunjukan dengan menurunnya persentase [(Reserves / Deposit) / (Note&coin / M2)] dapat dilihat pada lampiran 2

23 Iklim ekonomi global memburuk akibat krisis yang dialami beberapa negara seperti turki dan argentina serta peristiwa serangan 11 september 2001 di Amerika yang menghancurkan salah satu gedung pusat perdagangan dunia. Hal tersebut memberikan tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia di akhir tahun 2001. Nilai WECI turun ke titik 0.18 pada kuartal empat 2001 yang merupakan titik terendah sebelum krisis global 2008.

Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia dan Krisis Kecil Tahun 2005

Indeks juga dapat menangkap krisis kecil yang terjadi pada tahun 2005 akibat naiknya harga minyak dunia pada tahun 2004. Hal tersebut ditunjukan oleh nilai AFSI yang kembali berada pada titik terendah pada kuartal ketiga tahun 2005 sebesar 0.52. Namun, nila tersebut tidak lebih rendah dibandingkan kuartal kedua tahun 2003 dan periode-periode sebelumnya. Terjadi penurunan persediaan kapital di pasar modal sejak kuartal pertama 2005 dengan persentase kapitalsasi pasar terhadap GDP sebesar 116.36% hingga kuartal dua tahun 2006 menjadi 110.86% terlihat dengan penurunan sub-indeks FDI. Investasi dilakukan dengan melakukan pinjaman atau kredit kepada bank yang ditunjukan dengan peningkatan persentase kredit swasta dengan rupiah terhadap GDP sampai kuartal tiga 2005 dan didukung dengan interest rate spread yang terus menurun. Peningkatan persentase kredit swasta dengan mata uang domestik terhadap GDP pada tiga kuartal pertama tahun 2005 kemudian turun kembali sehingga pada kuartal tiga 2006 berada pada posisi 69,06% yang merupakan nilai terendah sepanjang tahun 2005 samapi tahun 2006.

Beban fiskal yang ditanggung pemerintah semakin berat untuk melakukan subsidi terhadap harga bahan bakar minyak di dalam negeri. Pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak. Kebijakan ini mendorong terjadinya inflasi dan kelesuan pasar dalam negeri. NPL meningkat, ROA turun menjadi 1.98% pada kuartal tiga 2005 yang sebelumnya pada kuartal empat tahun 2004 mencapai titik tertinggi yaitu 3.43% sebagai akibat dari inflasi dan kelasuan pasar yang ditunjukan dengan menurunnya sub-indeks FSI. Namun, dampak buruknya dapat diredam dengan pengelolaan sektor perbankan yang semakin baik. Kenaikan harga minyak dunia memberi tekanan yang cukup besar pada ekonomi global terlihat dengan pernurunan sub-indeks WECI.

Meskipun FDI cukup rendah akibat turunnya persentase kredit swasta dengan rupiah terhadap GDP dan rendahnya interest rate spread, Indeks FVI meningkat karena peningkatan inflasi menstimulus produsen untuk berproduksi khususnya komoditi ekspor karena rupiah terdepresiasi dan persentase current account terhadap GDP juga ikut meningkat pada akhir 2005. Peningkatan juga terjadi padi nilai FSI ROA kembali meningkat menjadi 2.54% dan WECI meningkat akibat GDP dan iklim bisnis dunia meningkat pada akhir tahun 2005. Sehingga stabilitas sistem keuangan Indonesia tidak jatuh terlalu dalam dan kembali meningkat pada akhir tahun 2005.

Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia dan Krisis Global Tahun 2008

Krisis global tahun 2008 yang diakibatkan oleh subprime mortgage yang di mulai sejak tahun 2007 cukup memberikan tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan Indonesia. Hal ini ditunjukan oleh indeks yang mulai mengalami penurunan sejak kuartal empat tahun 2007 dengan nilai indeks sebesar 0.63

24

hingga indeks kembali mencapai nilai terendah berturut-turut sejak kuartal keempat tahun 2008, kuartal satu 2009, kuartal dua 2009 dan kuartal tiga 2009 sebesar 0.4399, 0.4253, 0.4310 dan 0.4242. Beberapa perusahaan besar dunia mengalami kegagalan likuiditas dan memberikan tekanan yang sangat besar pada stabilitas ekonomi global ditunjukan dengan sub-indeks WECI yang jatuh sangat jauh pada titik terendah selama periode pengamatan. Dampak tersebut cukup dirasakan oleh pasar modal Indonesia dengan terjadinya capital outflow, persentase kapitalisasi pasar terhadap GDP pada kuartal empat 2007 sebesar 192.03% turun menjadi 83.41% pada kuartal empat 2008. Namun, dengan tingkat kepercayaan investor asing yang cukup baik terhadap perekonomian Indonesia dampak tersebut dapat minimalisir yang ditunjukan dengan penurunan sub-indeks FDI yang tidak lebih rendah dibandingkan tahun pertengahan tahun 2006 dan akhir 2001. Kerentanan sistem keuangan Indonesia meningkat karena persentase current account terhadap GDP terus menurun bahkan defisit pada kuartal dua sampai empat 2008 meskipun rupiah terdepresiasi pada kuartal dua dan tiga 2008. Persentase current account terhadap GDP kembali turun walau rupiah terdepresiasi pada kuartal dua dan tiga 2009. Hal ini menunjukan bahwa permintaan dan daya beli di pasar dunia akan komiditi ekspor Indonesia menurun karena inflasi dan ekonomi internasional tumbuh negatif sebagai dampak dari krisis global 2008. Persentase anggaran belanja pemerintah masih mengalami penurunan sejak kuartal empat 2007 meskipun tetap surplus dan mulai defisit sejak kuartal satu 2009.

Sektor perbankan yang semakin baik dan sehat terlihat mampu meredam dampak buruk yang terjadi akibat krisis global tersebut meskipun mendapat tekanan yang cukup besar. Laju pertumbuhan kredit cukup tinggi dan persentase NPL gross yang berada pada posisi dibawah 5% pada desember 2007 serta 3.2% dan 3.3% berturut-turut pada desember Tahun 2008 dan 2009. Dana Pihak Ketiga (DPK) pada akhir 2007 dalam satu semester meningkat sebesar 11.60%. Meskipun sempat mengalami pertumbuhan negatif pada awal tahun 2008, memasuki triwulan dua tahun 2008 DPK mulai tumbuh positif pertumbuhannya mencapai 2.82% dan sejak september 2008 DPK tumbuh positif sekitar 12.87%. Pada paruh pertama tahun 2009 meningkat sebesar 4.1% dan selama semester dua tahun 2009 meningkat sebesar 8.2%. Kredit tumbuh mencapai 13.8% pada akhir semester satu 200815. Hal tersebut menunjukan bahwa kepercayaan masyarakat pada sektor perbankan masih cukup terjaga. Dengan demikian tekanan terbesar stabilitas sektor keuangan Indonesia datang dari luar akibat krisis ekonomi global.

Pengaruh Indikator Makroekonomi Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia

Analisis pengaruh indikator makroekonomi ini juga bertujuan untuk menguji validitas indeks stabilitas sistem keuangaan agregat yaitu seberapa baik indeks tersebut dapat menjelaskan kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia. Indikator makroekonomi yang digunakan dalam analisis ini diantaranya pertumbuhan volume GDP, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Nominal

15

25 Exchange Rate (NER), Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) dengan tenor 3 bulan. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M2).

Tabel 3 Uji akar unit

Hipotesis Nol ADF PP

has a unit root has a unit root

Variabel Level Difference Level Difference

AFSI -1.9270 -6.9581*** -1.9764 -6.9547*** GDPVC -3.2950** -8.7588*** -3.2931 -10.8722*** IHSG 0.6390 -4.8028*** 0.3889 -4.6855*** NER -3.1929** -6.7829*** -3.5984*** -6.8783*** JIBOR3 -3.7633** -3.5223** -1.3823 -3.5154** M2G -1.5462 -7.1018*** -10.7245*** -37.8569***

Keterangan : (*)(**) dan (***) menunjukan tolak hipotesis nol (signifikan) pada taraf 10%, 5% dan 1% (t-statistk)

Hasil uji akar unit menunjukan bahwa variabel AFSI, IHSG dan M2G pada uji ADF serta AFSI, GDPVC, IHSG dan JIBOR3 pada uji PP tidak dapat menolak hipotesis nol atau tidak stasioner pada level. Hal tersebut akan menyebabkan regresi palsu. Maka selanjutnya dilakukan proses diferensi data untuk memperoleh data yang stasioner. Hasil uji akar unit pada first difference menujukan bahwa dapat menolak hipotesis nol untuk seluruh variabel. Artinya semua variabel stasioner baik mengunakan uji ADF maupun PP.

Tabel 4 Uji kontegrasi Engle-Granger

Hipotesis Nol ADF PP

has a Unit Root has a Unit Root Variabel Level Difference Level Difference RESID01 -2.6377*** -4.7151*** -2.5870** -8.0529***

Keterangan : (*)(**) dan (***) menunjukan tolak hipotesis nol (signifikan) pada taraf 10%, 5% dan 1% (t-statistk)

Data yang tidak stasioner seringkali menunjukan ketidak seimbangan dalam jangka pendek tetepi memiliki kecenderungan ada hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Hasil uji kointegrasi Engle-Granger dengan menguji residual melalui uji ADF dan PP menunjukan bahwa residual stasioner baik di lavel dan first difference. Maka variabel-variabel yang diamati saling berkointegrasi atau memiliki hubungsn jangka panjang. Hal yang sama juga di tunjukan dari hasil uji Johansen yang menunjukan bahwa terdapat kointegrasi antar variabel, artinya bahwa ada keseimbangan atau hubungan jangka panjang antar variabel. Hasil tersebut memperkuat hasil uji Engel-Granger sebelumnya.

26

Tabel 5 Uji kointegrasi Johansen

Trace 0.05 Max-Eigen 0.05

Statistic Critical Value Statistic Critical Value

134.9820* 103.8473 42.3460* 40.9568 92.6360* 76.9728 38.3330* 34.8059 54.3030* 54.0790 34.3166* 28.5881 19.9864 35.1928 8.9634 22.2996 11.0230 20.2618 7.3870 15.8921 3.6360 9.1645 3.6360 9.1645

Keterangan : *) menunjukan ada kointegrasi pada taraf 5%

Hasil uji kointegrasi menunjukan bahwa selanjutnya dapat digunakan model koreksi kesalahan untuk mengoreksi kecenderungan adanya ketidakseimbangan hubungan jangka pendek antar variabel. Model yang di gunakan juga memenuhi asumsi klasik yang dibuktikan dengan uji linieritas, normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi.

Tabel 6 Uji asumsi klasik Uji Ramsey RESET

F-statistic 1.17247 Prob. F(2,38) 0.32055*

Log likelihood ratio 2.81436 Prob. Chi-Square(2) 0.24483* Uji Normalitas Jarque-Bera

Jarque-Bera 2.41065 Probability 0.29960*

Matriks Korelasi dan Uji Klien

koefisien korelasi terbesar 0.4625** R-squared 0.54790 Uji Heteroskedastisitas Breusch-Pagan-Godfrey

F-statistic 0.37544 Prob. F(6,40) 0.89027*

Obs*R-squared 2.50572 Prob. Chi-Square(6) 0.86783* Scaled explained SS 2.26952 Prob. Chi-Square(6) 0.89332*

Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM

F-statistic 0.01088 Prob. F(2,38) 0.98918*

Obs*R-squared 0.02689 Prob. Chi-Square(2) 0.98664*

Keterangan : *) lebih besar dari taraf nyata 10% **) lebih kecil dari R-squared

27 Hasil Uji Ramsey RESET menunjukan probabilitas F dengan drajat bebas (2,38) sebesar 0.3206 (32.06%) lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga menolak hipotesis bahwa model memiliki masalah linearitas, jadi hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dalam model adalah hubungan yang linier dalam parameter. Probabilitas yang dihasilkan dari uji Jarque-Bera sebesar 0.2996 (29.96%) lebih besar dari taraf nyata 10% sehingga menerima hipotesis nol bahwa residual didistribusikan secara normal, hal tersebut berarti bahwa model memiliki residual yang terdistribusi secara normal. Martiks Korelasi menunjukan koefisien korelasi terbesar dalam model sebesar 0.4625 lebih kecil dari R-squared sebesar 0.5479, berdasarkan uji klien hal tersebut berarti bahwa model terbebas dari masalah multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas Breusch-Pagan-Godfrey menujukan probabilitas Chi-Square dengan drajat bebas 6 sebesar 0.8933 (89.33%) lebih besar dari taraf nyata 10% maka model tidak memiliki masalah heteroskedastisistas. Uji autokorelasi mengunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM test menunjukan probabilitas Chi-Square dengan drajat bebas 2 sebesar 0.9866 (98.66 %) lebih besar dari taraf nyata 10%, yang berarti bahwa model terbebas dari masalah autokorelasi.

Tabel 7 Hasil estimasi Error Correction Model

Variabel Dependen: AFSI Vriabel Dependen: D(AFSI)

Jangka Panjang Jangka Pendek

Variabel Koefisien Std Error Variabel Koefisien Std Error

C 2.3110** 0.9235 C 0.0013 0.0039 GDPVC 0.0260*** 0.0091 D(GDPVC) 0.0085** 0.0039 LOG(IHSG) 0.0310* 0.0166 D(LOG(IHSG)) 0.0627* 0.0346 JIBOR3 0.0016 0.0035 D(JIBOR3) 0.0041 0.0033 M2G -0.0030 0.0025 D(M2G) -0.0027*** 0.0007 LOG(NER) -0.2355** 0.1045 D(LOG(NER)) -0.2111*** 0.0718 RESID01(-1) -0.1929** 0.0781

Included observations: 48 Included observations: 47 after adjustments

R-squared 0.5082372 R-squared 0.5479385

Adj R-squared 0.4496940 Adj R-squared 0.4801293

F-statistic 8.6814056 F-statistic 8.0805891

D-W statistics 0.3949274 D-W statistics 1.9957228

Keterangan : (*)(**) dan (***) menunjukan tolak hipotesis nol (signifikan) pada taraf 10%, 5% dan 1% (t-statistk)

Nilai adjusted R-squared untuk estimasi jangka panjang sebesar 0.4497 artinya variasi dari pertumbuhan Volume GDP, IHSG, JIBOR tenor 3 bulan, pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) dan Nominal Exchange Rate mampu menjelaskan variasi nilai stabilitas sistem keuangan (AFSI) sebesar 44.97% dan

28

sebesar 55.03% dijelaskan oleh faktor lain selain variabel tersebut. Nilai adjusted R-squared untuk estimasi jangka pendek sebesar 0.4801 artinya variasi dari Pertumbuhan Volume GDP, IHSG, JIBOR tenor 3 bulan, pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) dan Nominal Exchange Rate mampu menjelaskan variasi nilai stabilitas sistem keuangan (AFSI) sebesar 48.01% dan sebesar 51.99% dijelaskan oleh faktor lain selain variabel tersebut. Nilai adjusted R-squared baik jangka panjang maupun jangka pendek relatif kecil. Hal tersebut dikarenakan banyaknya faktor atau indikator ekonomi lain di luar model yang juga mempengaruhi stabilitas sistem keuangan termasuk indikator-indikator ekonomi penyusun AFSI dan juga ada beberapa data yang diinterpolasi, data dalam bentuk tahunan menjadi data kuartalan. Namun, data Pertumbuhan Volume GDP, IHSG, JIBOR tenor 3 bulan, pertumbuhan jumlah uang beredar (M2) dan Nominal Exchange Rate yang digunakan dalam regresi merupakan murni data kuartalan. Data yang diinterpolasi tersebut merupakan data indikator penyusun AFSI yaitu sekitar 20% dan sebanyak 80% sisanya merupakan murni data kuartalan. Sehingga data interpolasi tersebut bukan penyebab utama dari nilai adjusted R-squared yang relatif kecil. Namun, cukup mempengaruhi hasil estimasi.

F-statistik yang dihasilkan baik jangka panjang maupun jangka pendek masing-masing sebesar 8.6814 dan 8.0806 lebih besar dari F-kritis dengan derajat bebas (5,42) dan (6,40) pada taraf nyata 5% yaitu sebesar 2.44 dan 2.34 adalah signifikan. Artinya, paling tidak ada satu variabel (faktor) yang berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan16.

Variabel koreksi kesalahan (EC) yang diwakili oleh RESID01(-1) signifikan secara statistik pada taraf 5% dan 10% yang berarti bahwa spesifikasi model koreksi kesalahan yang digunakan valid. Nilai koefisien koreksi kesalahan atau kesalahan ketidakseimbangan model sebesar 0.1929 dapat diartikan sebagai perbedaan atau selisih antara nilai aktual AFSI dengan nilai keseimbangan yang akan mengalami penyesuaian dalam waktu satu periode (kuartal) atau tiga bulanan.

Estimasi hasil regresi menunjukan bahwa hampir seluruh indikator makroekonomi yang digunakan dalam regresi signifikan pada taraf nyata 10% kecuali pertumbuhan uang beredar (M2) pada jangka panjang dan JIBOR baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hubungan masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yang digunakan dalam model sesuai dengan hipotesis.

Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif terhadap stabilitas sistem keuangan. Peningkatan volume GDP menunjukan meningkatnya output yang dihasilkan yang meggambarkan kinerja perekonomian yang semakin baik. Hal tersebut sangat mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan yang baik. Hasil estimasi juga menunjukan hal yang sama yang kemudian dapat diinterpretasikan bahwa jika pertumbuhan volume GDP naik 1% maka AFSI atau stabilitas sistem keuangan akan naik sebesar 0.0260 index number dalam jangka panjang, cateris paribus. Jika pertumbuhan volume GDP naik 1% maka perubahan AFSI atau stabilitas sistem keuangan akan naik sebesar 0.0085 index number dalam jangka pendek, cateris paribus. Hasil ini didukung dengan

16

Hipotesis nol bahwa model regresi tidak dapat menjelaskan keragaman Y, artinya secara bersama-sama variabel bebas dalam model tidak dapat menjelaskan atau tidak berpengaruh terhadap variabel tak bebas (Juanda, 2009).

29 penelitian yang dilakukan oleh Albulescu dan Goyeau (2010) yang menunjukan hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas sistem keuangan.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukan kinerja pasar modal suatu negara. Semakin baik kinerja pasar modal maka stabilitas sistem keuangan dapat ditingkatkan. Berdasarkan hasil estimasi menunjukan bahwa dalam jangka panjang peningkat 1% pada IHSG akan meningkatkan stabilitas sistem keuangan sebesar 0.0310 index number, cateris paribus. Jika perubahan IHSG meningkat 1% maka dalam jangka pendek perubahan AFSI atau stabilitas sistem keuangan akan naik sebesar 0.0627 index number, cateris paribus. Koefisien IHSG yang lebih besar pada jangka pendek dibandingkan jangka panjang menunjukan bahwa stabilitas sistem keuangan sangat cepat dalam merespon gejolak pasar modal dan akan mengalami penyesuaian dalam jangka panjang seiring membaiknya kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia.

JIBOR tidak signifikan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan Indonesia dalam jangka panjang maupun jangka pendek. JIBOR dalam perekonomian Indonesia masih belum menjadi acuan bank-bank di Indonesia dalam melakukan transaksi pasar uang antar bank khususnya pada periode pengamatan yaitu tahun 2000 sampai dengan 2011. Namun, mulai tahun 2011 otoritas moneter Indonesia mulai memberikan perhatian lebih untuk menjadikan JIBOR sebagai suku bunga acuan pasar uang antar bank di Indonesia. JIBOR menjadi tidak signifikan diduga juga disebabkan oleh Incomplete market-to-retail pass-through atau suku bungan perbankan kurang merespon perubahan suku bunga pasar uang sehinga perubahan suku bunga perbankan khususnya suku bunga kredit lebih kecil dari perubahan suku bunga pasar uang. Menurut Utari (2014) perbankan Indonesia kurang responsif dalam penetapan suku bunga kredit terhadap perubahan suku bunga pasar uang dibandingkan penetapan suku bunga deposit, terkait dengan kondisi bank umum di Indonesia yang berada dalam situasi monopilistik pada masa konsolidasi menjadi monopoli dan oligopoli kolusif setelah Arsitektur Perbankan Indonesia (API) muncul tahun 2004.

Tingginya jumlah uang beredar dapat menyebabkan terjadinya inflasi yang menandakan jatuhnya nilai mata uang suatu negara dalam hal ini rupiah terhadap barang secara umum. Inflasi yang sangat tinggi dapat mempengaruhi nilai atau kinerja indikator lain dalam sistem ekonomi seperti nilai tukar dan lain-lain. Hal tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem keuangan. Pertumbuhan uang beredar (M2) yang tidak signifikan pada jangka panjang yang ditunjukan oleh hasil estimasi salah satunya disebabkan oleh kebijakan inflation targeting (uu no.3 thn 2004) meskipun pertumbuhan uang beredar cukup fluktuatif namun jumlah uang beredar menunjukan trend yang terus bertambah. Pertumbuhan jumlah uang beredar dalam jangka panjang tidak menyebabkan laju infalsi terus meningkat setiap periodenya. Hal ini disebabkan karena Bank Indonesia melakukan penyesuaian melalui kebijakan suku bunga sebagai instrumen pengendali inflasi. Hasil estimasi jangka pendek dapat diinterpretasikan bahwa apabila terjadi peningkatan perubahan pertumbuhan uang beredar (M2) sebesar 1% maka akan menyebabkan perubahan AFSI atau stabilitas sistem keuangan turun masing-masing sebesar 0.0027 index number, cateris paribus. Pertumbuhan M2 memiliki pengaruh negatif terhadap stabilitas sistem keuangan pada jangka pendek karena dapat menyebabkan inflasi yang dapat menganggu stabilitas sistem keuangan. Bordo et al. (2001) mengatakan seiring dengan waktu, pertumbuhan yang tak

Dokumen terkait