• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak Responden

Peternak responden yang dipilih berjumlah 6 orang. Jumlah ini ditentukan berdasarkan metode penarikan responden pada penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya yaitu oleh Jurini (2005) dan Safitri (2009) serta adanya kesamaan aktivitas pemasaran yang terjadi di kalangan petani pada suatu daerah. Dari 6 orang responden tersebut, terdapat 1 orang responden yang langsung mengolah telur itik menjadi produk olahan (telur asin), sehingga tidak melakukan tataniaga telur itik. Peternak responden memiliki karakteristik yang berbeda-beda, mulai dari usia, pengalaman, tingkat pendidikan, mata pencaharian, jumlah itik yang dimiliki, skala usaha dan keterlibatan dalam kelompok tani. Pada umumunya, peternak itik di kabupaten Cirebon memiliki keterikatan dengan pedagang pengumpul atau konsumen yang membeli produk telur itik mereka. Hal ini biasanya terjadi karena pedagang pengumpul atau konsumen telah lama

berlangganan dan sering memberikan pinjaman uang kepada para petani. Bagi para pedagang pengumpul atau konsumen akhir, keterikatan petani sebagai pemasok telur itik sangat diperlukan agar kontinuitas proses tataniaga atau produksi yang mereka lakukan dapat terjaga.

Pada umumnya, peternak memiliki kandang itik di sekitar rumahnya (di pekarangan belakang rumah). Hal ini dikarenakan skala usaha yang cukup besar dan untuk mempermudah proses pemeliharaan. Namun, ada satu orang responden yang menerapkan sistem “angon”, yaitu responden skala kecil dengan populasi 200 ekor dan produktivitas ± 70 butir/hari. Pada sistem ini, peternak tidak memiliki kandang. Itik dipelihara dengan cara digembalakan di sekitar sawah. Pada malam hari, itik dipagari dengan terpal di sekitar sawah dan diberi pakan. Telur itik dipanen pada pagi hari kemudian itik kembali digembalakan.

Pada bulan Desember – Februari kabupaten Cirebon selalu mengalami musim hujan dan cuaca buruk. Hal ini menyebabkan turunnya produktivitas itik dalam menghasilkan telur. Curah hujan yang tinggi menyebabkan suhu udara menurun dan kelembaban meningkat sehingga kandang itik menjadi basah dan kurang kondusif bagi itik untuk bertelur. Hal ini menyebabkan produktivitas telur menjadi berkurang sebesar ± 40 persen. Pada musim biasa, itik menghasilkan telur sebanyak ± 70 persen dari jumlah populasi, namun pada musim hujan (Desember – Februari) turun menjadi 30 persen dan maksimal 60 persendari jumlah populasi. Selain penurunan produktivitas, pada musim hujan juga terjadi kenaikan harga pakan. Hal ini karena pakan itik seperti dedak dan menir jarang tersedia karena bukan musim panen. Selain itu, ikan yang menjadi salah satu pakan utama bagi itik juga mengalami kenaikan harga karena para nelayan kesulitan melaut akibat kondisi gelombang yang besar dan cuaca buruk.

Umur dan Pengalaman Peternak Responden

Umur dan pengalaman dalam beternak itik para peternak responden relatif bervariasi. Data mengenai umur peternak responden dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Umur peternak responden

Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (orang) Persentase ( % )

21 – 30 1 20 31 – 40 1 20 41 – 50 1 20 51 – 60 1 20 61 – 70 1 20 Jumlah 5 100

Berdasarkan data pada tabel 4, dapat diketahui bahwa usia peternak bervariasi antara 20 hingga 70 tahun. Tabel 4 juga menunjukkan bahwa usaha peternakan itik petelur ini dilakukan pada setiap kelompok usia. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usaha beternak itik merupakan usaha yang sangat diminati oleh masyarakat dalam berbagai usia. Hal ini dikarenakan beternak itik pada umumnya merupakan usaha keluarga dan dilakukan turun temurun. Selain itu, usaha ini juga relatif mudah dan tidak memerlukan tenaga yang besar dalam menjalankannya, sehingga dapat dilakukan juga oleh peternak usia lanjut.

Peternak responden biasanya telah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam melakukan usaha peternakan itik petelur. Pengalaman para peternak dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Pengalaman peternak responden

Pengalaman Usaha Ternak (Tahun) Jumlah (orang) Persentase ( % )

≤ 15 2 40

≥ 15 3 60

Jumlah 5 100

Hasil wawancara menunjukkan bahwa semakin tua usia peternak maka semakin lama pula pengalaman dalam melakukan usaha peternakan itik. Hal ini karena peternakan itik merupakan usaha keluarga yang dilakukan turun temurun. Sebagian besar peternak telah memulai usaha peternakan itik sejak remaja atau bahkan sejak anak-anak. Oleh karena itu, sebagian besar peternak telah memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam menjalankan usaha peternakan itik petelur ini. Hal ini menggambarkan bahwa usaha ini cukup menguntungkan karena para peternak terus menjalankan usahanya selama bertahun-tahun.

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa para peternak di kabupaten Cirebon pada umumnya hidup di lingkungan masyarakat yang memiliki mata pencaharian dalam sektor peternakan (terutama peternakan itik) dan pertanian. Usaha ini dilakukan oleh sebagian besar warga di daerah kecamatan Panguragan, Losari dan Gebang. Oleh karena itu, para warga cenderung meneruskan usaha di bidang pertanian atau peternakan yang telah dilakukan secara turun temurun dan tidak begitu mengharapkan pendidikan formal yang tinggi. Gambaran mengenai tingkat pendidikan peternak responden disajikan dalam tabel 7.

Tabel 7. Tingkat pendidikan peternak responden

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase ( % )

Tidak Sekolah 1 20

Tidak Tamat SD 1 20

Tamat SD 2 40

Tamat SMP 1 20

Jumlah 5 100

Berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa tingkat pendidikan peternak responden relatif rendah. Namun, hal ini tidak menghalangi para peternak untuk terus menjalankan usaha bahkan mengembangkan usahanya. Hal ini karena dalam usaha peternkan itik petelur ini, para peternak mengandalkan pengalaman dan ketekunan dalam menjalankan usaha.

Sebagian besar peternak menjadikan usaha peternakan itik petelur sebagai mata pencaharian utamanya. Hal ini dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8.Mata pencaharian peternak responden

Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase ( % ) Beternak sebagai mata

pencaharian pokok 4 80

Beternak sebagai mata

pencaharian sampingan 1 20

Jumlah 5 100

Satu orang peternak menjalankan usaha peternakan itiknya sebagai sampingan karena telah memiliki usaha pokok sebagai petani dan membuka warung kelontong. Usaha peternakan itik dilakukan dengan sistem angon dan dalam skala kecil.

Skala Usaha dan Populasi Peternak

Peternak responden memiliki populasi yang berbeda-beda. Populasi pemeliharaan biasanya tidak mengalami peningkatan karena keterbatasan modal dalam mengembangkan usaha. Populasi peternak itik dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9. Populasi peternak responden Peternak Populasi (ekor)

Peternak 1 3 000 Peternak 2 460 Peternak 3 200 Peternak 4 620 Peternak 5 1 500 Jumlah 5 780

Penelitian ini melibatkan 5 orang responden dalam tiga skala usaha. Skala usaha tersebut adalah skala besar, sedang, dan kecil. Berdasarkan informasi dari kantor BKP5K, usaha peternakan itik skala besar adalah peternakan yang memiliki populasi >1 000 ekor itik. Usaha peternakan sedang adalah peternakan yang memiliki populasi ≥500 s.d 1 000 ekor itik, dan usaha peternakan skala kecil adalah peternakan yang memiliki <500 ekor itik. Data mengenai skala usaha peternak ditunjukkan dalam tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Skala usaha peternak responden

Skala Usaha Jumlah (orang) Persentase ( % ) Kecil (<500 ekor itik) 2 40 Sedang (≥500 s.d 1 000 ekor itik) 1 20 Besar (> 1 000 ekor itik) 2 40 Jumlah 5 100

Penulis mengumpulkan data mengenai peternak dari berbagai kecamatan di Kabupaten Cirebon yang menjadi sentra peternakan itik. Pada waktu penelitian ini dilakukan, kondisi peternakan itik di Kabupaten Cirebon sedang mengalami penurunan produksi dan populasi karena musim hujan dan angin barat. Sehingga, banyak peternak skala besar yang mengalami penurunan populasi menjadi menengah bahkan kecil.

Keanggotaan dalam Kelompok Tani

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa sebagian peternak bergabung dengan kelompok tani. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah mendapatkan pasokan input-input produksi dan pertukaran informasi. Namun, tidak semua peternak menjadi anggota kelompok tani. Data mengenai keanggotaan peternak dalam kelompok tani ditunjukkan dalam tabel 11 berikut ini.

Tabel 11. Keanggotaan peternak responden dalam kelompok tani

Keanggotaan dalam Kelompok Tani Jumlah (orang) Persentase ( % )

Mengikuti Kelompok Tani 2 40

Tidak Mengikuti Kelompok Tani 3 60

Jumlah 5 100

Keanggotaan peternak dalam kelompok tani ternyata tidak mempengaruhi pola tataniaga. Hal ini karena kelompok tani tidak mewajibkan anggota untuk menyetorkan hasil panennya kepada kelompok tani. Sehingga, kelompok tani hanya dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan pasokan DOD, pakan dan sarana bertukar informasi.

Karakteristik Pedagang

Pedagang adalah lembaga tataniaga yang terlibat dalam alur tataniaga setelah petani dan sebelum konsumen akhir. Pedagang dibagi menjadi 3 kategori yaitu pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Kegiatan pedagang pengumpul ialah mencari pasokan telur itik mentah dan memasoknya kepada grosir atau konsumen akhir. Pedagang pengumpul dapat pula bertindak sebagai konsumen akhir karena telah melakukan pengolahan terhadap telur yang diperoleh dari petani, seperti mengolah telur menjadi telur asin. Dalam memenuhi pasokan, pedagang pengumpul dapat menjemput ke lokasi peternakan dengan interval waktu tertentu atau menerima dari petani yang mengantarkan pasokan. Pedagang pengumpul dalam penelitian ini adalah pengumpul tingkat desa. Pedagang pengumpul desa biasanya telah menguasai beberapa desa dan memiliki peternak langganan di desa tersebut. Pedagang pengumpul pada umumnya melakukan semacam kontrak dengan petani agar petani tidak menjual hasil panen kepada pedagang yang lain. Kontrak tersebut dapat berupa pemberian uang di muka sebagai tambahan modal operasional atau pemberikan pakan bagi petani yang kemudian akan dibayar dengan telur seharga pakan yang telah diberikan.

Pedagang grosir biasanya melakukan kegiatan transaksi dengan pedagang pengecer dengan sistem “alap nyaur”. Dalam sistem ini, pedagang pengecer langganan akan menerima terlebih dahulu pasokan telur dari pedagang grosir. Setelah telur terjual, baru kemudian harga pasokan tersebut dibayar, dan pengecer dapat langsung menerima pasokan selanjutnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keuntungan bagi ke dua belah pihak. Pedagang grosir akan memperoleh kepastian konsumen dan mengikat pengecer sebagai langganan. Di pihak pengecer, hal ini akan memberikan kepastian pasokan tanpa harus memikirkan modal untuk mendapatkan pasokan tersebut.

Pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari usia, pengalaman, volume penjualan, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian utama. Pedagang pengumpul desa yang diwawancarai berjumlah 3 orang (seluruhnya laki-laki). Pedagang Grosir yang diwawancarai berjumlah 1 orang (laki-laki). Pedagang pengecer yang diwawancarai berjumlah 1 orang (perempuan). Seluruh kategori pedagang ini disatukan karena memiliki aktivitas yang serupa yaitu menyalurkan telur itik dari petani kepada konsumen akhir sesuai dengan permintaan pasar. Usia dan Pengalaman Pedagang

Usia peternak responden relatif beragam, yaitu antara 29 hingga 58 tahun. Data mengenai usia pedagang ditunjukkan dalam tabel 12.

Tabel 12. Usia pedagang responden

Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (orang) Persentase ( % )

21 – 30 1 20

31 – 40 1 20

41 – 50 2 40

51 – 60 1 20

Jumlah 5 100

Usaha sebagai pedagang biasanya dirintis sendiri oleh masing-masing responden dan bukan usaha warisan keluarga. Oleh karena itu, pedagang responden pada umumnya memiliki usia di atas 40 tahun. Karena, untuk menjadi pedagang diperlukan pengalaman dan jaringan yang baik untuk dapat memperoleh pasokan dan konsumen pelanggan. Pengalaman pedagang dapat dilihat dari tabel 13.

Tabel 13. Pengalaman pedagang responden Pengalaman Berdagang /

Menjadi Pengumpul (Tahun) Jumlah (orang) Persentase ( % )

≤ 15 2 40

≥ 15 3 60

Jumlah 5 100

Berdasarkan tabel 13, dapat diketahui bahwa dua orang pedagang memiliki pengalaman di bawah 15 tahun. Pedagang tersebut memiliki pengalaman masing-masing 8 dan 12 tahun. Sehingga, dapat dikatakan bahwa usaha ini cukup

menguntungkan sehingga terus dilaksanakan bahkan dikembangkan oleh para responden.

Volume Penjualan Pedagang

Volume penjualan pedagang dihitung berdasarkan jumlah telur (butir/hari) yang didistribusikan atau dijual kepada pedagang pada tingkat selanjutnya. Data mengenai volume penjualan pedagang dapat dilihat pada tebel 14.

Tabel 14. Volume Penjualan Pedagang per hari

Karakteristik Pedagang Volume Penjualan (butir)

pedagang pengumpul pola I 10 000

pedagang grosir pola I 1 428

pedagang pengecer pola I 500

pedagang pengumpul pola II-1 160

pedagang pengumpul pola II-2 4 000

Pedagang pengumpul pola I merupakan sumber dari pasokan yang dialirkan oleh pedagang grosir pola I dan pedagang grosir pola I merupakan sumber dari pasokan yang dialirkan oleh pedagang pengecer pola I. Sedangkan pada pola II, pedagang mendapatkan pasokan dari dua orang petani yang berbeda dan langsung menjualnya pada konsumen akhir.

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian Pedagang

Sebagian besar pedagang responden memperoleh pendidikan dasar (SD). Namun ada juga yang memperoleh pendidikan menengah dan menengah atas. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka usaha dalam tataniaga telur itik juga lebih besar dan maju. Data mengenai tingkat pendidikan pengumpul dan pedagang ditunjukkan pada tabel 15 di bawah ini.

Tabel 15. Tingkat pendidikan pedagang responden

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase ( % )

Tamat SD 3 60

Tamat SMP 1 20

Tamat SMA 1 20

Jumlah 5 100

Sebagian besar pedagang responden menjadikan usaha dalam tataniaga telur itik sebagai mata penaharian utama. Data mengenai mata pencaharian utama responden ditunjukkan dalam tabel 16 berikut ini.

Tabel 16. Mata pencaharian pedagang dan pengumpul responden Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase ( % ) Berdagang/menjadi

pengumpul sebagai mata pencaharian pokok

3 60

Berdagang/menjadi pengumpul sebagai mata

pencaharian sampingan

2 40

Jumlah 5 100

Berdasarkan data pada tabel 16, terdapat dua orang peternak responden yang tidak fokus pada usaha tataniaga telur itik. Hal ini karena kedua orang ini memiliki peternakan itik sendiri dan menjadi petani padi serta usaha lainnya seperti produksi telur asin dan jasa penetasan telur itik menjadi DOD.

Saluran Tataniaga

Saluran Tataniaga merupakan suatu sistem. Sebagai sebuah sistem, saluran tataniaga (marketing channel) memiliki beberapa sub-sistem yang dibentuk oleh lembaga-lembaga yang melakukan aktivitas bisnis. Lembaga-lembaga yang menyusun sub-sistem ini saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa lembaga tataniaga yang menyusun saluran tataniaga telur itik di kabupaten Cirebon adalah sebagai berikut:

1. Peternak. Peternak adalah produsen primer yang menghasilkan telur itik sebagai pasokan awal bagi lembaga tataniaga setelahnya.

2. Pedagang Pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa adalah pedagang yang mengumpulkan hasil panen peternak secara langsung. Pedagang pengumpul desa dapat menjemput hasil panen telur itik dari peternak atau menunggu hasil panen tersebut diantarkan sendiri oleh peternak.

3. Pedagang Grosir. Pedagang grosir adalah pedagang yang tidak mendapatkan pasokan langsung dari petani melainkan dari pedagang pengumpul desa. Pedagang grosir menjual telur dalam jumlah besar kepada pedagang pengecer.

4. Pedagang Pengecer. Pedagang pengecer adalah pedagang yang memperoleh pasokan telur itik dari pedagang grosir. Pasokan tersebut biasanya diperoleh dalam interval waktu tertentu (biasanya 3 hari sekali). Pasokan telur diantar oleh pedagang grosir ke kios pedagang pengecer.

Tujuan dari adanya saluran tataniaga adalah untuk membuat suatu produk atau jasa dapat diperoleh dan dikonsumsi oleh konsumen akhir. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon memiliki konsumen akhir dengan karakteristik yang beda-beda. Perbedaan ini mengacu pada aktivitas konsumen akhir tersebut, dimana konsumen akhir terbagi menjadi 3 kategori yaitu konsumen rumah tangga, penjual telur asin, dan penetas telur (penjual DOD). Penelitian ini memisahkan alur tataniaga berdasarkan karakteristik konsumen akhir tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah

mengidentifikasi jenis saluran yang dipilih berdasarkan karakteristik konsumen akhir. Sehingga, perbedaan pola saluran tataniaga tidak hanya dibedakan karena adanya perbedaan lembaga tataniaga yang terlibat tetapi juga oleh adanya perbedaan karakteristik konsumen akhir. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat empat saluran tataniaga yang menjadi alternatif dalam menyalurkan telur itik dari produsen (peternak) ke konsumen akhir. Saluran tataniaga tersebut dapat dilihat pada gambar 7 di berikut ini.

Gambar 7. Alur tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon

Berdasarkan gambar dia atas, dapat diketahui bahwa saluran tataniaga telur itik di kabupaten cirebon terbagi menjadi tiga jenis pola yaitu:

Pola I : Peternak → Pedagang pengumpul → Pedagang grosir → Pengecer → Konsumen akhir (konsumen rumah tangga)

Pola II-A : Peternak → Pedagang pengumpul → Konsumen akhir (produsen telur asin)

Pola II-B : Peternak → Pedagang pengumpul → Konsumen akhir (produsen DOD)

Pola III : Peternak → Konsumen akhir (produsen telur asin)

Alur tataniaga pola I merupakan alur yang melibatkan lembaga tataniaga yang paling banyak dan merupakan pola yang paling panjang. Konsumen akhir pada alur pola I ini adalah konsumen rumah tangga. Alur tataniaga pola II terbagi menjadi dua (pola II-A dan II-B) karena peternak pada pola II menjual kepada pedagang pengumpul yang memepunyai aktivitas yang berbeda. Pedagang pengumpul pola II tidak hanya mengumpulkan telur steril (yang diproduksi oleh petani responden), tapi juga memebeli telur fertil (yang diproduksi oleh petani lainnya). Sehingga pedagang pengumpul pada pola II menjual telur kepada konsumen akhir yang berbeda, yaitu produsen telur asin dan produsen DOD. Pedagang pengumpul pada pola II-A membeli dan menjual telur steril, sedangkan pedagang pengumpul pola II-B membeli dan menjual telur fertil dan steril. Telur fertil dijual kepada produsen DOD dan telur steril dijual kepada produsen telur asin. Kegiatan penyaluran dua jenis telur ini memberikan nilai jual yang berbeda.

Peternak Konsumen akhir Pedagang Pengumpul desa Pedagang Grosir Pedagang Pengecer

Alur tataniaga pola III hanya melibatkan petani, karena petani langsung menjual produknya kepada konsumen akhir yaitu produsen telur asin.

Berdasarkan hasil wawancara, masing-masing pola alur tataniaga tersebut dijalankan dengan konsisten oleh masing-masing lembaga tataniaga yang yang terdapat dalam masing-masing alur. Hal ini karena telah para peternak telah memiliki hubungan yang dekat dengan pedagang pengumpul dan begitu juga pedagang pengumpul dengan pedagang grosir. Sehingga, sulit bagi adanya lembaga tataniaga baru yang masuk ke dalam pola tataniaga yang ada. Jumlah peternak dan pedagang yang mengikuti masing-masing pola digambarkan dalam tabel 17 berikut ini.

Tabel 17. Jumlah peternak dan pedagang pada masing-masing pola saluran tataniaga Jenis Pola Jumlah Peternak (orang) Jumlah Pedagang Pengumpul (orang) Jumlah Pedagang Grosir (orang) Jumlah Pedagang Pengecer (orang) Pola I 1 1 1 1 Pola II-A 2 1 0 0 Pola II-B 0 1 0 0 Pola III 2 0 0 0 Jumlah 5 3 1 1

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa tidak ditemui adanya responden yang memasok langsung ke pedagang grosir. Hal ini karena pedagang grosir membutuhkan pasokan dalam jumlah besar dan teratur, sehingga akan lebih mudah jika bekerjasama dengan pedagang pengumpul desa. Karena, pedagang grosir lebih mengutamakan aktivitas pemasokan barang kepada para konsumen dari pada aktivitas pencarian pemasok. Telur itik tersebut dipasarkan ke beberapa pasar yaitu pasar Pagi Cirebon, Pasar Gebang, Pasar Arjawinangun, dan lain-lain. Jumlah telur yang melalui masing-masing saluran tataniaga digambarkan dalam tabel 18 berikut ini.

Tabel 18. Jumlah telur yang melalui masing-masing saluran tataniaga (per hari) Jenis Pola Jumlah Telur (butir) Persentase (%)

Pola I 10 000 65.96

Pola II-A 1 363 8.99

Pola II-B 2 797 18.45

Pola III 1 000 6.6

Jumlah 15 160 100

Jumlah telur (butir) pada tabel 18 dihitung berdasarkan jumlah telur (butir) terbesar yang dipasarkan oleh salah satu lembaga tataniaga dalam masing-masing pola. Jika dalam satu pola terdapat lebih dari satu pelaku lembaga tataniaga tertentu, maka jumlah telur merupakan penjumlahan dari pelaku-pelaku pada tingkat lembaga yang sama. Berdasarkan tabel 18, diketahui bahwa pola I

merupakan pola yang mengalirkan telur dalam jumlah (butir) yang terbesar. Hal ini karena pola I merupakan pola yang paling panjang dan mencakup daerah yang lebih luas. Selain itu, pedagang pengumpul dalam pola ini merupakan pengumpul skala besar yang menerima pasokan ± 10 000 butir per hari.

Pola saluran tataniaga yang diidentifikasi pada penelitian ini mirip dengan pola yang diidentifikasi pada penelitian yang dilakukan oleh Rasuli et al (2007). Rasuli et al (2007) melakukan penelitian mengenai pemasaran telur itik di daerah kabupaten Gowa. Penelitian tersebut mengidentifikasi adanya tiga jenis saluran tataniaga telur itik yaitu:

1. Saluran pertama: Peternak itik → Konsumen

2. Saluran ke dua: Peternak itik Pedagang pengumpul → Pedagang pengecer → Konsumen

3. Saluran ke tiga: Peternak itik → Pedagang pengumpul → Konsumen

Menurut peneliti, saluran pemasaran pertama merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh peternak (50 persen peternak). Hal ini karena harga yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan pola lainnya yang lebih panjang. Pola ke dua dan ketiga merupakan pola yang terbentuk karena adanya hubungan kekeluargaan dengan pedagang, sehingga ada keterikatan antara pedagang dengan peternak. Hal ini membuat peternak selalu menjual hasil panen telur itiknya kepada pedagang. Peternak yang menerapkan pola ke dua dan ke tiga ini pada umumnya adalah peternak skala kecil.

Namun, terdapat perbedaan hasil antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini. Pada penelitian ini, pola tataniaga dibedakan juga berdasarkan konsumen akhir sehingga terdapat empat pola tataniaga. Pola terpanjang melibatkan pedagang grosir sebelum pedagang pengecer, sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rasuli et al (2007) pedagang pengumpul langsung menjual telur kepada pedagang pengecer tanpa melalui pedagang grosir. Hal ini karena, pada penelitian sebelumnya, pemasaran yang terjadi tidak begitu menyebar dan jumlah telur yang dialirkan juga lebih sedikit.

Roessali et al (2005), melakukan penelitian mengenai profil agribisni koperasi di daerah kabupaten Banyubiru, Semarang. Roessali et al (2005) mengidentifikasi bahwa keterlibatan koperasi dalam sebuah tataniaga telur itik menghasilkan dua saluran pemasaran yaitu:

1. Peternak → Koperasi → Konsumen.

2. Peternak → Koperasi → Pedagang Pengumpul → Konsumen.

Peneliti menjabarkan bahwa Koperasi Sidodadi Kecamatan Banyu Biru Kabupaten Semarang melakukan pembelian telur itik dari peternak (baik anggota maupun non anggota) dalam bentuk tunai. Koperasi tidak melakukan ikatan sosial ekonomi dalam bentuk uang muka bagi pedagang.

Saluran Pemasaran Pola I

Pola Tataniaga I merupakan pola terpanjang di antara pola lainnya. Pola ini dijalankan oleh 1 orang peternak. Peternak ini memiliki skala besar, yaitu memelihara 3 000 ekor itik petelur. Tataniaga telur itik ini melibatkan empat lembaga tataniaga sebelum produk sampai ke tangan konsumen akhir. Jumlah telur yang melalui saluran ini adalah sebanyak 10 000 butir/hari. Alur ini dimulai dari pemanenan telur oleh petani, kemudian telur tersebut diantarkan kepada pedagang pengumpul desa. Lokasi rumah pedagang pengumpul desa pada alur ini

relatif dekat dengan rumah petani, sehingga petani biasa mengantar langsung hasil

Dokumen terkait