• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tataniaga telur itik di kabupaten cirebon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis tataniaga telur itik di kabupaten cirebon"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TATANIAGA TELUR ITIK

DI KABUPATEN CIREBON

SYAFIQ ALFIKRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Telur Itik di Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

SYAFIQ ALFIKRI. Analisis Tataniaga Telur Itik di Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh AMZUL RIFIN.

Jawa Barat merupakan provinsi produsen telur itik terbesar di indonesia. Kabupaten Cirebon merupakan produsen telur itik terbesar ke tiga di Jawa Barat dan memiliki tren produksi telur itik yang terus meningkat. Namun, harga telur itik di Kabupaten Cirebon terus mengalami kenaikan. Pada bulan Januari 2014 kenaikan harga telah mencapai ± 41 persen dari harga pada bulan Juni 2013. Salah satu penyebab utama dari kenaikan harga ini adalah adanya masalah pada tataniaga. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon dilihat dari saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, dan efisiensi tataniaga. Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon memiliki empat pola saluran pemasaran. Berdasarkan hasil analisis, tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon memiliki empat saluran pemasaran. Nilai marjin tataniaga secara makro terbesar terjadi pada pola tataniaga I (Rp 610), sedangkan nilai marjin secara mikro terbesar dimiliki oleh petani pada pola tataniaga I (Rp 805/butir). Nilai farmer’s share terbesar dimiliki oleh pola tataniaga III (100 persen), kemudian pola tataniaga II-A (92.1 persen). Nilai B/C ratio terbesar dimiliki oleh pedagang pengumpul pada pola tataniga II-B (0.28).

Keywords: cirebon, telur, itik, marketing

ABSTRACT

SYAFIQ ALFIKRI. Analisys of Duck Egg Marketing in Cirebon Regency. Supervised by AMZUL RIFIN.

West Java province is the largest producer of duck egg in Indonesia. Cirebon is one of the most important regency that produce duck egg in West Java. Cirebon is the ranked third in duck egg production in West Java and it has an increasing production trend. But, the price of duck egg in cirebon was also increasing. In January 2014, the price was 41 percent higher than the price of June 2013. One of the most influencing thing of this increase is the marketing system problem. This study aims to analize the marketing of duck egg in Cirebon Regency. Analysis of marketing is by analizing the marketing channels, marketing functions, and marketing efficiency. Based on the result of the study, duck egg marketing in cirebon has four channels. The highest value of macro marketing margin is in channel I (Rp 610), and the highest value of micro marketing margin is for the farmer from channel I (Rp 805/item). The highest farmer’s share value is in channel III (100 percent), then channel II-A (92.1 percent). The highest B/C ratio value is for the middleman from channel II-B (0.28).

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

ANALISIS TATANIAGA TELUR ITIK

DI KABUPATEN CIREBON

SYAFIQ ALFIKRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah tentang tataniaga, dengan judul “Analisis Tataniaga Telur Itik di Kabupaten Cirebon”. Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2013 dan diselesaikan pada pertengahan tahun 2014.

Terima Kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Amzul Rifin SP, MA selaku dosen pembimbing juga kepada Ibu Ir. Juniar Atmakusuma, MS dan Ibu Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Elan Jaelani selaku sekretaris kantor BKP5K (Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) Kabupaten Cirebon dan Bapak Sugandi Rasman S selaku koordinator penyuluh peternakan kabupaten Cirebon yang telah memberikan data dan informasi terkait peternakan itik di kabupaten Cirebon. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu serta seluruh keluarga dan teman-teman atas do’a dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Karakteristik Telur Itik ... 6

Penelitian Tentang Tataniaga Telur ... 7

KERANGKA PEMIKIRAN... 11

Kerangka Pemikiran Teoritis ... 11

Definisi Tataniaga... 11

Saluran Tataniaga ... 12

Fungsi-Fungsi Tataniaga ... 13

Efisiensi Tataniaga ... 16

Efisiensi Operasional ... 16

Marjin Pemasaran ... 16

Farmer’s Share ... 18

Rasio Keuntungan dan Biaya ... 19

Efisiensi Harga ... 19

Kerangka Pemikiran Operasional ... 20

METODE PENELITIAN ... 22

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Jenis dan Sumber Data ... 22

Metode Penarikan Responden ... 22

Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 23

Definisi Operasional ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

Karakteristik Peternak Responden ... 25

(11)

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian ... 27

Skala Usaha dan Populasi Peternak ... 28

Keanggotaan dalam Kelompok Tani ... 29

Karakteristik Pedagang ... 29

Usia dan Pengalaman Pedagang... 30

Volume Penjualan Pedagang... 31

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian Pedagang ... 31

Saluran Tataniaga ... 32

Saluran Pemasaran Pola I ... 35

Saluran Pemasaran Pola II-A ... 37

Saluran Pemasaran Pola II-B ... 38

Saluran Pemasaran Pola III ... 38

Fungsi-Fungsi Tataniaga ... 39

Fungsi Pemasaran yang Dilakukan oleh Peternak ... 40

Fungsi Pemasaran yang Dilakukan oleh Pengumpul ... 41

Fungsi Pemasaran yang Dilakukan oleh Pedagang Grosir ... 42

Fungsi Pemasaran yang Dilakukan oleh Pengecer... 44

Efisiensi Tataniaga ... 45

Efisiensi Operasional ... 45

Marjin Pemasaran... 45

Farmer’s Share ... 48

B/C Ratio ... 48

Efisiensi Harga ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN ... 51

Kesimpulan ... 51

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 52

(12)

DAFTAR TABEL

1. Produksi telur itik di tiga provinsi produsen terbesar tahun 2009-2013 3 2. Produksi telur itik di lima kabupaten produsen terbesar Jawa Barat tahun

2008-2012 (butir) 3

3. Populasi itik petelur (ekor) di tiga kecamatan produsen telur terbesar Cirebon

2013 4

4. Karakteristik telur itika 7

5. Umur peternak responden 26

6. Pengalaman peternak responden 27

7. Tingkat pendidikan peternak responden 27

8. Mata pencaharian peternak responden 28

9. Populasi peternak responden 28

10. Skala usaha peternak responden 28

11. Keanggotaan peternak responden dalam kelompok tani 29

12. Usia pedagang responden 30

13. Pengalaman pedagang responden 30

14. Volume Penjualan Pedagang 31

15. Tingkat pendidikan pedagang responden 31

16. Mata pencaharian pedagang dan pengumpul responden 32 17. Jumlah peternak dan pedagang pada masing-masing pola saluran tataniaga 34 18. Jumlah telur yang melalui masing-masing saluran tataniaga (per hari) 34 19. Fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga 40 20. Farmer’s share pada masing-masing pola tataniaga 48 21. B/C ratio pada masing-masing lembaga tataniaga 49

DAFTAR GAMBAR

1. Produksi telur itik di Indonesia tahun 2009-2013 (ton) ... 2

2. Harga telur itik di kabupaten Cirebon bulan Juni – Oktober 2013 ... 4

3. Saluran tataniaga telur ayam kampung di Kabupaten Bogor ... 7

4. Contoh saluran pemasaran telur di Amerika Serikat ... 13

5. Konsep marjin pemasaran ... 17

6. Bagan kerangka pemikiran operasional ... 21

7. Alur tataniaga telur itik di kabupaten Cirebon ... 33

8. Susunan Tray ... 41

9. Susunan Tray dalam Proses Disitribusi ... 42

10. Negosiasi pedagang grosir dengan pihak perbankan ... 44

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel produksi telur itik per provinsi tahun 2009-2013 (ton) . 54 2. Tabel pengeluaran telur itik per provinsi tahun 2009 – 2013 55 3. Fungsi-fungsi tataniaga pada masing-masing pola tataniaga 56

4. Marjin tataniaga pada saluran pola I 57

5. Marjin tataniaga pada saluran pola II-A 59

6. Marjin tataniaga pada saluran pola II-B 61

7. Marjin tataniaga pada saluran pola III 62

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara penghasil telur unggas non ayam terbesar ke-3 di dunia setelah Cina dan Thailand (FAO, 2013). Hal ini menunjukkan besarnya populasi dan produksi telur unggas non ayam di Indonesia. Berdasarkan data pada Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (Statistik PKH) tahun 2013 yang dipublikasi oleh Ditjen Peternakan, tercatat bahwa laju pertumbuhan sub sektor peternakan terhadap sektor pertanian mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, laju pertumbuhan sub sektor peternakan tercatat sebesar 4.78 persen dan tahun 2012 meningkat menjadi 4.82 persen. Publikasi tersebut juga menunjukkan meningkatnya jumlah produksi telur secara nasional. Pada tahun 2011, produksi telur berjumlah ± 1.4 juta ton, pada tahun 2012 meningkat menjadi ± 1.6 juta ton dan pada tahun 2013 kembali meningkat menjadi ± 1.7 juta ton.

Usaha peternakan itik (Anas domesticus) semakin meningkat jumlahnya dan semakin diminati oleh masyarakat Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah karena itik memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap penyakit dan memiliki kemampuan mencerna pakan dengan kualitas yang rendah. Pakan merupakan komponen utama biaya produksi produk unggas, sehingga budidaya itik relatif lebih murah dan mudah. Telur itik telah menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan protein yang murah bagi masyarakat, karena telur itik memiliki kadar protein dengan struktur asam amino yang lengkap sehingga dapat menjadi sumber gizi yang sangat baik bagi tubuh (Winarno dalam Gumay 2009).

Selain itu, peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia telah meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah (Rimandya et al 2013). Masyarakat kelas menengah memiliki kesadaran dan perhatian yang lebih tinggi dalam pemenuhan gizi. Hal ini karena peningkatan pendapatan yang terjadi membuat masyarakat berusaha meningkatkan taraf hidupnya dengan mengkonsumsi makanan yang memiliki nilai gizi yang lebih tinggi. Telur itik memiliki unsur gizi yang cukup variatif. Telur itik tidak hanya memiliki kandungan Protein tapi juga memiliki kandungan gizi lainnya seperti Kalsium, Karbohidrat, Vitamin A, dan Beta Karoten (Gumay 2009).

(16)

Gambar 1. Produksi telur itik di Indonesia tahun 2009-2013 (ton)

Sumber: Statistik PKH 2013

a

Data sementara

Potensi peningkatan permintaan pasar telur itik sangat baik, karena besarnya jumlah penduduk Indonesia dan peningkatan jumlah masyarakat kelas menengah. Oleh karena itu, adanya potensi peningkatan permintaan ini perlu diantisipasi dengan pemenuhan pasokan yang memadai dan sistem pengelolaan pasokan yang baik. Hal ini karena telur itik merupakan komoditas high perishable sehingga harus diusahakan utuk segera dijual dan tidak dapat disimpan lama (Zaini 2011). Salah satu hal yang penting dalam menjaga pasokan telur itik ini adalah adanya sistem tataniaga yang baik. Adanya sistem tataniaga yang baik akan mendorong ketersediaan suatu produk yang tepat waktu, tepat tempat, dan memiliki bentuk yang sesuai dengan keinginan konsumen (Asmarantaka 2012). Tataniaga yang baik akan memberikan nilai tambah pada suatu produk sehingga produk tersebut menjadi pilihan yang lebih menarik bagi konsumen.

Menurut Kohls dan Uhl (2002), preferensi konsumen terhadap produk makanan, merupakan hasil dari 5 hal, yaitu: (1) Nilai fungsional atau fisiologis dari produk makanan tersebut (berkaitan dengan nilai gizi, kesehatan yang dimiliki oleh produk tersebut); (2) Nilai sosio-psikologis (yang berkatian dengan status sosial, agama, dan gaya hidup); (3) Nilai ekonomis (berkaitan dengan harga produk tersebut); (4) Ketersediaan produk tersebut; dan (5) pengetahuan konsumen tentang informasi suatu produk.

Dari 5 poin yang membentuk preferensi konsumen di atas, poin ke-3 hingga ke-5 dibentuk oleh sistem tataniaga yang baik. Hal ini karena dalam sistem tataniaga yang baik terdapat fungsi-fungsi tataniaga yang berjalan dengan baik pula. Fungsi-fungsi inilah yang membentuk suatu produk yang ekonomis, tersedia dengan jumlah yang cukup bagi konsumen, dan membantu konsumen dalam mendapatkan informasi tentang produk tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menyusun skripsi tentang tataniaga telur itik.

(17)

Rumusan Masalah

Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki kuantitas produksi telur itik terbesar di Indonesia (Lampiran 1). Selain itu, pada tahun 2013 provinsi Jawa Barat juga tercatat sebagai provinsi dengan kuantitas pengeluaran (distribusi ke luar daerah) telur itik terbesar di Indonesia (Lampiran 2). Hal ini berarti Jawa Barat merupakan distributor atau pemasok telur itik bagi provinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi Jawa Barat adalah provinsi yang memainkan peranan penting dalam tataniaga telur itik di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kuantitas produksi pada tiga provinsi yang memiliki kuantitas produksi telur itik terbanyak di Indonesia tahun 2009-2013.

Tabel 1. Produksi telur itik di tiga provinsi produsen terbesar tahun 2009-2013 (ton)

Sumber: Statistik PKH 2013

a

Data sementara

Potensi pasar di Jawa Barat juga cukup besar. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk Jawa Barat yang sangat besar, bahkan terbesar di Indonesia (BPS 2013). Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk di Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai 43 053 732 jiwa. Jumlah ini hampir setara dengan 1/5 jumlah total penduduk Indonesia.

Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah penghasil telur itik terbesar di Jawa Barat dan salah satu daerah pemasok utama telur itik. Berdasarkan data dari situs Dinas Peternakan Jawa Barat, Kabupaten Cirebon merupakan daerah penghasil telur itik terbesar ke 3 di Provinsi Jawa Barat. Hal itu dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Produksi telur itik di lima kabupaten produsen terbesar Jawa Barat tahun 2008-2012 (butir)

Sumber: www.disnak.jabarprov.go.id [diakses tanggal 24 Mei 2014]

Provinsi Tahun

2009 2010 2011 2012 2013a

Jawa Barat 53 560 64 540 63 523 54 886 56 006 Jawa Tengah 40 474 34 846 33 664 33 937 34 626 Kalimantan Selatan 24 938 27 734 24 642 29 604 30 374

Kabupaten Tahun

2008 2009 2010 2011 2012

Karawang 307 573 291 257 204 455 259 008 616 269 067 395 233 949 129 Indramayu 138 166 663 192 701 887 346 805 639 247 463 692 118 215 385 Cirebon 31 413 078 37 974 686 38 480 950 42 327 063 64 020 245

(18)

Tabel 2 menunjukkan bahwa kabupaten Karawang dan Indramayu yang merupakan produsen pertama dan kedua telur itik di Jawa Barat memiliki produksi yang bersifat fluktuatif. Bahkan, kabupaten Karawang memiliki tren produksi yang menurun. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa produksi telur itik di kabupaten Cirebon terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan informasi dari kantor BKP5K Kabupaten Cirebon, terdapat tiga lokasi yang menjadi pusat atau sentra peternakan itik di Kabupaten Cirebon, yaitu Kecamatan Panguragan, Kecamatan Gebang, dan Kecamatan Losari. Tiga lokasi ini disebut juga “Segi tiga emas” peternakan itik, karena lokasi tersebut telah menjadi percontohan dan mendapat banyak penghargaan dari tingkat provinsi hingga tingkat nasional. Bahkan, itik jenis “Rambon” yang berasal dari daerah Kroya Kecamatan Panguragan telah dipatenkan oleh pemerintah provinsi sebagai salah satu komoditas ternak asli Jawa Barat (Haryadi 2012). Data mengenai produksi telur itik di tiga kecamatan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Populasi itik petelur (ekor) di tiga kecamatan produsen telur terbesar Cirebon 2013

Kecamatan Populasi itik petelur (ekor)

Gebang 37 331

Losari 18 990

Panguragan 6 996

Sumber: cirebonkab.bps.go.id

Harga telur itik bersifat fluktuatif bahkan cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan harga telur itik di kabupaten Cirebon ditunjukkan oleh gambar 2.

Gambar 2. Harga telur itik di kabupaten Cirebon bulan Juni – Oktober 2013

Sumber: www.disnak.jabarprov.go.id [diakses tanggal 29 Juni 2014]

Berdasarkan gambar 2, diketahui bahwa harga telur itik di Kabupaten Cirebon terus mengalami kenaikan sejak bulan Juni hingga bulan Oktober 2013. Pada bulan Juni, harga rata-rata telur itik per bulan adalah Rp1 700/butir dan telah

(19)

mengalami peningkatan sebanyak 11 persen hingga bulan Oktober menjadi Rp1900/butir. Pada waktu penelitian ini dilakukan (Januari 2014), harga telur itik di tingkat konsumen telah mencapai Rp2 400/butir atau meningkat ± 41 persen dari harga pada bulan Juni. Fluktuasi dan kenaikan harga pada berbagai komoditas termasuk telur itik dapat disebabkan oleh adanya masalah pada tataniaga. Hal ini karena adanya lembaga tataniaga yang masuk ke dalam salah satu saluran tatataniaga dan mengambil keuntungan tanpa melakukan fungsi tataniaga yang signifikan. Saluran tataniaga yang lebih panjang dapat menyebabkan biaya pemasaran yang lebih tinggi sehingga harga jual produk yang sampai pada konsumen akhir juga lebih besar (Ismail 2010).Peningkatan harga jual ini dapat memberatkan konsumen akhir dan dapat mengganggu industri lain yang berbahan baku telur itik. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk mengetahui masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Saluran Tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon?

2. Fungsi-fungsi tataniaga apa saja yang terjadi pada proses tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon?

3. Bagaimanakah efisiensi pada berbagai Saluran Tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah pada bagian sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menguraikan tentang saluran tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon.

2. Menguraikan tentang fungsi-fungsi tataniaga yang terjadi pada proses tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon.

3. Mengetahui efisiensi pada berbagai saluran tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon.

Manfaat penelitian

(20)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap tataniaga telur itik di Kabupaten Cirebon, dalam arti, responden atau produsen terlur itik (farmers) berdomisili di wilayah Kabupaten Cirebon. Adapun aliran tataniaga produk setelah produsen primer hingga konsumen akhir, dapat berada di luar Kabupaten Cirebon sesuai dengan saluran tataniaga yang dimiliki oleh masing-masing produsen. Penelitian ini hanya membahas tataniaga telur itik dan tidak membahas tataniaga produk olahan seperti telur asin. Penelitian ini hanya membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan tujuan penelitian yaitu tentang saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, dan efisiensi tataniaga. Seluruh hasil perhitungan pada penelitian ini didasarkan pada harga dan kondisi saat pengambilan data dilakukan, yaitu pada tanggal 17 hingga 28 Januari 2014.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Telur Itik

Itik (Anas Domesticus) adalah salah satu jenis unggas yang memiliki peranan yang strategis dalam membangun ekonomi rumah tangga terutama di pedesaan (Srigandono dalam Rasuli et al 2007). Indonesia memiliki beberapa jenis itik lokal yang diberi nama sesuai daerah utama pengembangannya, seperti itik Tegal, Alabio, Mojosari, Bali dan lain-lain. Itik memiliki produktivitas telur yang lebih tinggi dan lebih menguntungkan daripada ayam kampung. Terutama jika itik dipelihara secara intensif dan terkurung sepenuhnya (Prasetyo et al, 2010). Dalam usaha peternakan itik, hasil yang diberikan dapat berupa telur dan daging. Usaha peternakan itik telah semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, walaupun jumlah populasi dari masing-masing peternak masih tergolong kecil (Martawijaya dalam Rasuli et al 2007). Kemampuan produksi telur itik sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kualitas ransum. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa nutrisi yang paling dibutuhkan oleh itik pada periode produksi yaitu protein (dengan kadar dalam ransum yaitu 17 persen - 19 persen) dan energi metabolis sebesar 2 900 kkal/kg (Sinurat dalam Rasuli et al 2007).

(21)

unit, maka kualitas telur semakin baik. Secara umum, karakteristik telur itik lokal ditunjukkan dalam tabel 4 berikut:

Tabel 4. Karakteristik telur itika

Parameter Nilai

Bobot telur (g) 64.04 ± 4.88 Bobot putih telur (g) 33.96 ± 3.94 Tinggi putih telur (mm) 9.69 ± 1.78 Volume putih telur (ml) 40 ± 3.87 Haugh Unit (mm) 101.75 ± 10.70

Nilai pH 9.04 ± 0.29

Daya Buih (%) 345 ± 221.30

Tirisan (%) 8.36 ± 1.43

a

Sumber: Budiman (2007)

Selain itu, telur itik juga mengandung unsur gizi seperti protein, serat kasar, karbohidrat, kalsium, dan beta karoten. Poedjiadi dalam Gumay (2009) menunjukkan bahwa tiap butir telur itik segar mengandung 13.1 gr protein, 0.8 gr karbohidrat, 56 gr kalsium dan 1 230 SI vitamin A. Penelitian Gumay (2009) juga menunjukkan bahwa tiap 100 gr telur itik segar, terdapat 951.48 mg beta karoten.

Penelitian Tentang Tataniaga Telur

Saluran Tataniaga

Penelitian Safitri (2009) tentang tataniaga telur ayam kampung di kabupaten Bogor menunjukkan bahwa saluran tataniaga telur ayam kampung di kabupatan Bogor memiliki 3 pola, seperti ditunjukkan pada gambar 4 berikut ini:

Gambar 3. Saluran tataniaga telur ayam kampung di Kabupaten Bogor

(22)

Pola I dijalankan oleh dua orang peternak (40 persen responden). Berdasarakan penelitian tersebut, peneliti menilai bahwa pola I merupakan pola alur tataniaga yang paling panjang. Pola ini dijalankan oleh peternak skala kecil. Hal ini dikarenakan kurangnya fasilitas, jauhnya lokasi pemasaran, kurangnya informasi pasar, dan adanya tambahan biaya yang dialokasikan jika peternak menjual hasilnya langsung ke pasar. Pola II dijalankan oleh 2 orang peternak (40 persen responden). Pola ini dijalankan oleh peternak skala menengah dan besar. Pola III dijalankan oleh 1 orang (20 persen responden) yang merupakan peternak skala besar. Pola ini adalah pola yang paling pendek dalam tataniaga. Menurut peneliti, pola ini diterapkan karena petani tersebut telah mampu menjaga pasokan yang harus didistribusikan langsung kepada pengecer.

Rasuli et al (2007) dalam hasil penelitiannya mengenai efisiensi tataniaga telur itik di daerah kabupaten Gowa menjelaskan bahwa saluran tataniaga telur itik yang dihasilkan adalah sebagai berikut:

1. Saluran pertama: Peternak itik → Konsumen

2. Saluran ke dua: Peternak itik Pedagang pengumpul → Pedagang

pengecer → Konsumen

3. Saluran ke tiga: Peternak itik → Pedagang pengumpul → Konsumen

Menurut peneliti, saluran pemasaran pertama merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh peternak (50 persen peternak). Hal ini karena harga yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan pola lainnya yang lebih panjang. Pola ke dua dan ketiga merupakan pola yang terbentuk karena adanya hubungan kekeluargaan dengan pedagang, sehingga ada keterikatan antara pedagang dengan peternak. Hal ini membuat peternak selalu menjual hasil panen telur itiknya kepada pedagang. Peternak yang menerapkan pola ke dua dan ke tiga ini pada umumnya adalah peternak skala kecil.

Mukson et al (2005) dalam hasil penelitiannya mengenai efisiensi tataniaga telur ayam ras menjabarkan bahwa Saluran Tataniaga telur ayam ras di Kabupaten Kendal Jawa Tengah terdiri dari beberapa pola yaitu:

1. Pola saluran distribusi panjang: Produsen → Pedagang Besar → Pedagang Pasar → Pedagang Eceran → Konsumen

2. Pola saluran distribusi sedang: Produsen → Pedagang Pasar → Pedagang Eceran → Konsumen.

3. Pola Saluran Distribusi Pendek: Produsen → Pedagang Eceran Konsumen.

4. Pola Saluran Distribusi Langsung: Produsen → Konsumen.

(23)

untuk dapat memenuhi permintaan konsumen yang lebih luas dan mendukung penguasaan pasar.

Roessali et al (2005), mengidentifikasi bahwa keterlibatan koperasi dalam sebuah tataniaga telur itik menghasilkan dua saluran pemasaran yaitu:

1. Peternak → Koperasi →Konsumen.

2. Peternak → Koperasi → Pedagang Pengumpul → Konsumen.

Peneliti menjabarkan bahwa Koperasi Sidodadi Kecamatan Banyu Biru Kabupaten Semarang melakukan pembelian telur itik dari peternak (baik anggota maupun non anggota) dalam bentuk tunai. Koperasi tidak melakukan ikatan sosial ekonomi dalam bentuk uang muka bagi pedagang.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya pada pembahasan saluran pemasaran adalah pada pemisahan saluran tataniaga berdasarkan jenis konsumen akhir. Artinya, saluran yang serupa dapat dianggap berbeda karena konsumen akhir pada masing-masing saluran tersebut menggunakan terlur itik untuk aktivitas yang berbeda (misalnya, penjual telur asin dengan penetas DOD). Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi saluran tataniaga yang ada dengan lebih baik, sehingga dapat dibedakan jenis aktivitas konsumen akhir yang melibatkan lembaga tataniaga yang lebih banyak (memiliki saluran yang lebih panjang).

Fungsi Pemasaran

Penelitian Safitri (2009), menyimpulkan bahwa masing-masing lembaga pada saluran tataniaga telur ayam kampung di Kabupaten Bogor melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Pada tingkat peternak, fungsi pertukaran yang dilakukan adalah berupa aktivitas penjualan. Fungsi fisik yang dilakukan berupa aktivitas pengangkutan dan pengemasan, dan fungsi fasilitas yang dilakukan adalah sortasi, pembiayaan, penanggugan risiko, dan informasi pasar. Pada tingkat tengkulak, fungsi pertukaran yang dilakukan adalah kegiatan pembelian dan penjualan, fungsi fisik yang dilakukan adalah pengangkutan, dan fungsi fasilitas yang dilakukan berupa pembiayaan, informasi pasar, dan penanggungan risiko. Pada tingkat pedagang grosir, fungsi pertukaran yang dilakukan berupa aktivitas pembelian dan penjualan, fungsi fisik perupa aktivitas pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan dan fungsi fasilitas berupa standarisasi, grading, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. Fungsi fertukaran pada pedagang pengecer dilakukan dengan aktivitas pembelian dan penjualan. Fungsi fisik dilakukan dengan aktivitas pengangkutan, pengemasan dan penyimpanan, dan fungsi fasilitas dilakukan dengan penerapan standarisasi, kegiatan pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar.

(24)

informasi pasar dan penanggungan risiko. Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas grading telur ayam ras pada tataniaga di lokasi penelitian sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani. Sedangkan pedagang hanya menjalankan aktivitas transportasi.

Roessali et al (2005), dalam hasil penelitiannya menjabarkan bahwa koperasi Sidodadi melakukan fungsi fisik. Fungsi fisik yang dimaksud berupa grading dan pengolahan telur menjadi telur asin. grading dilakukan dengan cara mengelompokkan telur itik berdasarkan ukuran. Telur itik yang dibeli koperasi dari petani dilakukan tanpa membedakan ukuran seharga Rp550. Kemudian, koperasi melakukan grading dan menjual telur berdasarkan tiga ukuran yaitu besar, sedang, dan kecil. Telur ukuran sedang dijual dengan harga Rp650, telur ukuran sedang dijual dengan harga Rp600 dan telur ukuran kecil dijual dengan harga Rp500. Sedangkan telur asin dijual dengan harga Rp700 – Rp750 per butir.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya pada pembahasan fungsi pemasaran adalah pada pemisahan aktivitas grading dan standarisasi. Penelitian ini memasukkan aktivitas grading ke dalam fungsi fisik dan standarisasi ke dalam fungsi fasilitas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Asmarantaka (2012) dan Kohls dan Uhl (2002).

Efisiensi Pemasaran

Safitri (2009) pada penelitiannya tentang tataniaga telur ayam kampung di Kab. Bogor melakukan analisis efisiensi pemasaran dengan menggunakan indikator marjin pemasarn, farmer’s share dan benefit and cost ratio (B/C rasio). Peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan indikator tersebut, maka saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran pola ke II, yaitu:

Peternak → Pedagang pengumpul desa → Pedagang grosir → Pengecer → Konsumen.

Saluran ini memiliki nilai Marjin Pemasarn, Farmer’s Share dan Benefit and Cost Ratio (B/C rasio) yang paling besar dibandingkan saluran dengan pola lainnya. Peneliti menjabarkan bahwa hal ini terjadi karena adanya arus infomasi, jaringan dan posisi tawar (bergaining position) yang kuat pada masing-masing lembaga di saluran tataniaga tersebut. Namun, penulis melihat bahwa sesungguhnya saluran ini bisa lebih diperpendek jika peternak selaku produsen primer langsung menjual produknya kepada pedagang grosir.

Dalam penelitian Kusuma et al (2013), juga terdapat analisis mengenai efisiensi pemasaran. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan indikator marjin pemasaran (dalam bentuk persen per kg), share peternak (farmer’s share), Share Keuntungan pada setiap lembaga (dalam bentuk persen dan merupakan rasio keuntungan di tingkat lembaga dengan keuntungan total saluran pemasaran) dan B/C rasio. Peneliti menyimpulkan bahwa saluran tataniaga yang paling efisien berdasarkan indikator tersebut adalah saluran tataniaga dengan pola:

Peternak (produsen) → Pengepul → Konsumen.

Saluran ini adalah saluran tataniaga yang paling pendek dibandingkan dengan saluran lainnya. Pada saluran ini, nilai marjin pemasaran yaitu Rp2430/kg, farmer’s share yaitu 84.81 persen, share keuntungan yaitu 69.50 persen dan B/C rasio yaitu 2.27.

(25)

pemasaran dengan indikator marjin pemasaran. Peneliti menyimpulkan bahwa saluran tataniaga yang paling efisien adalah saluran tataniaga dengan pola:

Peternak → Pedagang Besar → Pedagang Pasar → Pengecer → Konsumen.

Pola ini merupakan pola yang paling panjang dibandingkan dengan pola tataniaga lainnya dalam penelitian tersebut. Pada pola ini, marjin total tataniaga yang terjadi adalah sebesar Rp1 300/kg.

Perbedaan penelitan ini dengan penelitian sebelumnya pada pembahasan efisiensi pemasaran adalah pada pembagian konsep efisiensi menjadi dua, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional diukur dengan menggunakan konsep margjin pemasaran, farmer’s share, dan B/C ratio sedangkan efisiensi pemasaran diukur dengan menggunakan beberapa indikator sebagaimana diterangkan oleh Asmarantaka (2012). Penjelasan mengenai berbagai konsep ini akan dibahas lebih detail pada bagian kerangka pemikiran berikut ini.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kohls dan Uhl (2002) menyatakan “marketing means different things to different people”. Hal ini berarti bahwa pemasaran suatu produk bersifat unik. Sehingga tidak sama antara pemasaran suatu produk dengan produk lainnya. Namun, terdapat teori umum yang dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek dan serangkaian kegiatan yang terjadi dalam tataniaga atau pemasaran suatu produk. Teori yang dimaksud adalah teori yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu tentang saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, dan efisiensi tataniaga. Definisi Tataniaga

Menurut Kohls dan Uhl (2002), pemasaran atau tataniaga adalah keragaan dari seluruh aktivitas bisnis yang terdapat pada aliran suatu produk dan jasa sejak produk tersebut diproduksi hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Hal ini berarti bahwa proses pemasaran tidak dimulai ketika suatu produk telah selesai diproduksi. Karena pada dasarnya, proses pemasaran telah dimulai sejak petani (farmers) mengambil keputusan terkait produk agribisnis yang akan diproduksi. Karena, setiap pengambilan keputusan produksi harus didasari pada adanya pasar yang memadai untuk menampung hasil-hasil pertanian. Informasi pasar ini merupakan bagian dari fungsi tataniga. Karena selain memberikan informasi kepada konsumen, suatu sistem tataniaga yang baik harus dapat menyediakan informasi yang akurat bagi para produsen.

(26)

fasilitas), merupakan kegiatan produktif yang pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga tataniaga (Hammond dan Dahl dalam Asmarantaka 2012). Fungsi-fungsi yang dijalankan di sini dapat dikatakan sebagai aktivitas bisnis karena masing-masing fungsi memberikan nilai tambah bagi produk tersebut. Baik itu berupa sortasi atau kegiatan pendistribusian produk sehingga lebih dekat dan terjangkau bagi konsumen.

Dari aspek ilmu manajemen, pemasaran dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro, pemasaran berarti segala kegiatan yang dilakukan di internal perusahaan atau produsen dalam memasarkan produknya. Kegiatan ini mencakup perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk atau jasa untuk memuaskan konsumen. Secara makro, pemasaran atau tataniaga melibatkan lebih dari satu perusahaan dimana perusahaan ini saling terhubung dalam rangka mengalirkan produk dari petani (farmers) sebagai produsen primer hingga produk sampai ke tangan konsumen akhir atau organisasi.

Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga (marketing channel) adalah sebuah sistem yang bertugas (baik secara langsung atau tidak langsung) untuk membuat barang atau jasa dapat diperoleh dan dikonsumsi oleh konsumen akhir (Goldkuhl 2005). Sedangkan menurut Stern dan El-Ansary dalam Segetlija (2011), Saluran Tataniaga adalah suatu sitem dari organisasi-organisasi yang saling berhubungan dalam sebuah proses untuk membuat barang atau jasa dapat diperoleh untuk keperluan konsumsi. Selain itu, Saluran Tataniaga juga dapat diartikan sebagai rangkaian organisasi yang saling membutuhkan dan sama-sama terlibat dalam sebuah proses yang bertujuan untuk membuat barang atau jasa dapat diperoleh dan digunakan atau dikonsumsi (O’Connor dan Frew dalam Goldkuhl 2005).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga merupakan suatu sistem. Sebagai sebuah sistem, saluran tataniaga (marketing channel) memiliki beberapa sub-sistem yang dibentuk oleh lembaga-lembaga yang melakukan aktivitas bisnis. Lembaga-lembaga yang menyusun sub-sistem ini saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Lembaga ini bisa berupa tengkulak atau pengumpul, broker, perusahaan distribusi, pedagang atau perusahaan grosir dan pedagang atau perusahaan retail. Tujuan dari adanya saluran tataniaga adalah untuk membuat suatu produk atau jasa dapat diperoleh dan dikonsumsi oleh konsumen.

(27)

Gambar 4. Contoh saluran pemasaran telur di Amerika Serikat

Sumber: Kohls dan Uhl (2002)

Fungsi-Fungsi Tataniaga

Menurut Kohls dan Uhl (2002), analisis tentang tataniaga atau pemasaran dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Salah satunya adalah pendekatan fungsi (The Functional Approach). Fungsi pemasaran didefinisikan sebagai aktivitas tertentu yang dilaksanakan dalam rangka melengkapi atau menyelesaikan proses tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga ini tidak bersifat tetap, karena tataniaga sendiri bersifat unik. Sehingga fungsi tataniaga yang dijalankan pada pemasaran suatu produk tidak sama dengan fungsi tataniaga produk lainnya. Secara garis besar, terdapat 3 fungsi tataniaga yaitu (1) Fungsi Pertukaran; (2) Fungsi Fisik dan (3) Fungsi Fasilitas. Masing-masing fungsi tersebut terdiri dari berbagai fungsi atau aktivitas yang membentuknya (Kohls dan Uhl 2002).

Fungsi Pertukaran (Exchange Function) terdiri dari fungsi pembelian (buying) dan fungsi penjualan (selling). Fungsi pembelian mencakup kegiatan pencarian berbagai komoditas pertanian sebagai sumber pasokan dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pembelian suatu barang. Fungsi penjualan bermakna sangat luas. Fungsi ini tidak hanya berkaitan dengan penjualan produk dengan harga yang berlaku di pasar. Fungsi ini mencakup promosi, tata letak barang di toko, dan segala hal yang bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan permintaan konsumen. Fungsi ini juga mencakup berbagai keputusan seperti pemilihan kemasan produk, pemilihan saluran pemasaran dan pemilihan waktu dan tempat dalam penyediaan barang. Sehingga dapat dikatakan bahwa segala kegiatan yang bertujuan untuk menjangkau para konsumen potensial, termasuk ke dalam fungsi penjualan (Kohls dan Uhl 2002).

(28)

Dengan adanya pengelolaan penyimpanan yang baik, produk segar dapat tersedia hampir setiap saat. Fungsi ini telah semakin berkembang dengan adanya media simpan yang membuat produk lebih tahan lama seperti cold storage. Fungsi transportasi berutujuan untuk menyediakan produk pada tempat yang sesuai dan terjangkau oleh konsumen. Fungsi ini mencakup kegiatan mendistribusikan barang dari area pertanian ke gudang, atau dari gudang satu ke gudang lain, kegiatan bongkar muat, pengapalan, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan pemilihan sarana transportasi dan rute yang dapat meminimalkan biaya. Fungsi pengolahan berperan dalam menyediakan produk dengan bentuk yang sesuai permintaan pasar. Secara umum, fungsi ini mencakup segala aktivitas yang mengubah bentuk produk dari bentuk dasarnya. Fungsi ini mencakup kegiatan pengemasan, grading, penjemuran, pemotongan, dan sebagainya. (Kohls dan Uhl 2002)

Fungsi Fasilitas (facilitating function) merupakan fungsi yang dapat membuat fungsi pertukaran dan fungsi fisik berjalan dengan lancar. Fungsi ini tidak berhubungan secara langsung dengan kedua fungsi di atas, namun tanpa adanya fungsi fasilitas yang baik, maka tidak akan ada suatu sistem tataniaga yang modern. Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi pembiayaan (financing), fungsi standarisasi (standardization), fungsi penanganan / penanggulangan risiko (risk bearing), dan fungsi informasi pasar / intelejen Pasar (market intelligence). Fungsi pembiayaan berkaitan dengan penggunaan dana untuk menopang berbagai aspek dari tataniaga. Adanya kegiatan penyimpanan dan perbedaan waktu antara penjualan produk dari petani hingga konsumen akhir membutuhkan pembiayaan. Pada zaman modern saat ini, fungsi pembiayaan biasa dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti perbankan atau lembaga-lembaga pemberi pinjaman (lending agencies). Namun untuk usaha pertanian skala kecil (terutama di pedesaan), fungsi pembiayaan biasanya dilakukan oleh individu seperti tengkulak atau rentenir. Standarisasi merupakan suatu bentuk kesepakatan partisipan (konsumen, produsen, pabrik) terhadap atribut produk (tingkat kematangan, warna, volume per unit, keseragaman dan lain lain), dimana partisipan tersebut sepakat untuk mengelompokkan atribut produk ke dalam kelas-kelas tertentu (ISO atau SNI) (Asmarantaka 2012). Secara umum, fungsi standarisasi berperan dalam mengukur atau menilai produk dan menyediakan produk yang seragam. pengukuran ini mencakup aspek kualitas dan kuantitas. Fungsi ini mempermudah fungsi pertukaran karena adanya standarisasi membuat produk dapat diperkenalkan dan diperdagangkan menggunakan sampel yang memiliki deskripsi yang jelas. Fungsi ini juga membantu kegiatan penjualan skala besar yang sangat penting bagi perekonomian modern. Tindak lanjut dari adanya fungsi standarisasi adalah adanya kegiatan grading atau sortasi (yang tergolong dalam aktivitas pada fungsi fisik). Kegiatan ini dilakukan agar produk memiliki spesifikasi yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

(29)

kenaikan harga produk dan adanya produk pesaing yang lebih diminati konsumen. Penanggulangan risiko fisik dapat dilakukan dengan mengasuransikan produk. sedangkan penanggulangan risiko pasar dapat dilakukan melalui mekanisme pasar berjangka (future trading). Sehingga lembaga-lemabaga yang menyediakan layanan asuransi dan pasar berjangka menjadi sangat penting dalam proses tataniaga produk pertanian.

Fungsi informasi pasar berperan dalam mengumpulkan, menginterpretasikan, dan menyebarkan berbagai informasi yang diperlukan untuk kelancaran proses tataniaga. Menurut Kohls dan Uhl (2002), pemasaran atau tataniaga yang efisien tidak dapat dihasilkan tanpa adanya informasi pasar. Mekanisme penentuan harga yang efektif sangat tergantung pada adanya informasi pasar yang baik bagi produsen dan konsumen. Dapat disimpulkan bahwa informasi pasar merupakan fondasi bagi adanya aliran produk yang efisien dari produsen kepada konsumen. Informasi pasar mencakup seluruh informasi yang dibutuhkan konsumen maupun produsen dalam rangkaian tataniaga. Sehingga, setiap pelaku dalam struktur tataniaga sebenarnya melakukan fungsi ini dalam skala yang berbeda.

Terdapat tiga karakteristik penting yang berkaitan dengan fungsi pemasaran (Kohls dan Uhl 2002), yaitu:

1. Fungsi pemasaran tidak hanya berpengaruh pada harga produk, namun juga mempengaruhi nilai suatu produk di mata konsumen. Proses pengolahan, transportasi, penyimpanan dapat meningkatkan utilitas waktu, tempat dan bentuk suatu produk bagi konsumen. Dalam pelaksanaan suatu fungsi pemasaran, sangat penting untuk memperhatikan aspek keuntungan dan biaya (cost and benefit) yang ditimbulkan oleh fungsi tataniaga tersebut. Nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu fungsi tataniaga harus lebih besar dari biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan fungsi tersebut.

2. Dalam situasi tertentu pelaku dari fungsi pemasaran (broker, tengkulak, distributor) dapat ditiadakan atau dikurangi jumlahnya. Namun fungsi pemasaran itu sendiri tidak dapat ditiadakan atau dikurangi. Jika seorang petani tidak dapat menjual produknya kepada tengkulak, ia harus berusaha menggantikan peran tengkulak tersebut dalam mendistribusikan atau memberikan perlakuan tertentu pada produk agar produk tetap dapat diterima konsumen. Dengan kata lain, peniadaan pelaku dari fungsi pemasaran akan mentransfer fungsi pemasaran yang dilakukannya kepada pihak lain. Adanya pengurangan lembaga atau organisasi dalam saluran tataniaga memungkinkan adanya efisiensi biaya. Namun fungsi yang dilakukan oleh lembaga tersebut tidak dapat ditiadakan.

(30)

Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tataniaga merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam rangka mengukur performa suatu pasar. Peningkatan efisiensi tataniaga merupakan tujuan bagi seluruh unsur dalam tataniaga itu sendiri. Dalam hal ini, peningkatan performa suatu pasar berbanding lurus dengan peningkatan efisiensi tata niaga dan sebaliknya (Kohls dan Uhl 2002).

Secara umum, efisiensi diukur dengan menggunakan rasio input dan output. Oleh karena itu, tataniaga dapat dilihat sebagai sebuah sistem input-output. Input tataniaga berupa sumberdaya seperti tenaga kerja, mesin, kemasan dan sebagainya. Input ini diperlukan untuk melaksanakan fungsi pemasaran. Output pemasaran dapat berupa utilitas waktu, tempat, bentuk, dan kepemilikan yang menghasilkan kepuasan konsumen. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa sumberdaya merupakan input dan utilitas merupakan output dari sebuah tataniaga atau pemasaran agribisnis. Tataniaga yang efisien adalah tataniaga yang mampu memaksimalkan rasio input dan output ini.

Efisiensi tataniaga dapat dimaksimalkan dengan menggunakan dua pendekatan (Kohls dan Uhl 2002). Pendekatan pertama yaitu dengan mengurangi biaya tanpa mempengaruhi utilitas yang dihasilkan dari proses tataniaga yang dilakukan. Pendekatan kedua yaitu dengan cara meningkatkan utilitas tanpa mempengaruhi struktur biaya dalam sebuah sistem tataniaga. Pendekatan pertama biasa disebut dengan efisiensi operasional, dan pendekatan kedua disebut dengan efisiensi harga.

Efisiensi Operasional

Menurut Asmarantaka (2012), efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi produktivitas dari input-input pemasaran. Efisiensi operasional berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas pemasaran yang dapat meningkatakan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran. Efisiensi operasional dapat diukur dengan menggunakan konsep Marjin Pemasaran dan Farmer’s Share. Penjelasan mengenai masing-masing konsep tersebut adalah sebagai berikut. Marjin Pemasaran

(31)

diperoleh oleh berbagai lembaga dalam saluran tataniaga yang merupakan hasil dari selisih antara harga jual dengan harga beli suatu barang.

Dari perspektif makro, Marjin Pemasaran dapat dilihat dari tingkat lembaga yang berbeda. Dalam hal ini, minimal ada dua tingkat pasar yaitu pasar di tingkat petani dan pasar di tingkat konsumen akhir. Pembentukan marjin bemasaran dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini:

Gambar 5. Konsep marjin pemasaran

Sumber: Tomek dan Robinson 1990

Keterangan gambar:

Primary demand = Permintaan di tingkat konsumen akhir Derived demand = Permintaan di tingkat petani

Primary supply = Penawaran di tingkat petani

Derived supply = Penawaran di tingkat di tingkat konsumen akhir Primary price = Harga di tingkat konsumen akhir

Derived price = Harga di tingkat petani

Quantity per unit time = Jumlah produk di tingkat petani dan konsumen akhir

(32)

Farmer’s Share

Menurut Kohls dan Uhl (2002), farmer’s Share adalah porsi dari uang konsumen yang dinikmati petani (dalam bentuk persentase). Menuru Asmarantaka (2012), farmer’s share adalah perbedaan harga di tingkat retail dengan marjin pemasaran (untuk produk pangan dan serat). Nilai farmer’s share dapat berbeda-beda sesuai dengan biaya relatif pemasaran yang dikeluarkan sehubungan dengan adanya pemberian nilai tambah (the value added utilities) waktu, tempat dan bentuk. Jika suatu produk pertanian yang dihasilkan oleh produsen primer atau petani mengalami pertambahan nilai yang besar yang dilakukan oleh petani, maka nilai farmer’s share akan lebih besar. Sebaliknya, jika pertambahan nilai atau perlakuan fungsi-fungsi tataniaga lebih banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran setelah petani, maka nilai farmer’s share akan semakin kecil (Kohls dan Uhl 2002). Hal ini karena nilai yang dihasilkan dari fungsi-fungsi tataniaga merupakan penentu utama dari harga produk di tingkat konsumen akhir. Oleh karena itu, lembaga yang memiliki kontribusi paling besar dalam menciptakan nilai tambah suatu produk idealnya akan mendapatkan nilai marjin tataniaga yang lebih besar.

Menurut Kohls dan Uhl (2002), kontribusi dalam menciptakan nilai tambah suatu produk ditentukan oleh beberapa karakteristik produk sebagai berikut:

1. Derajat pengolahan

2. Kecepatan rusak / busuk suatu produk pertanian (perishability) 3. Sifat musiman produk (seasonality)

4. Biaya transportasi

5. Ukuran fisik produk (bulkiness) dalam kaitannya dengan nilai produk

Menurut Kohls dan Uhl (2002), produk yang telah diolah sedemikian rupa akan menghasilkan nilai farmer’s share yang lebih kecil. Sebaliknya, jika derajat pengolahan produk kecil (mendapat sedikit perlakuan/atribut), maka nilai

farmer’s share akan cenderung lebih besar. Hal ini karena pada umumnya, petani menyediakan produk yang belum diolah. Sehingga, persentase pendapatan petani akan semakin besar jika produk tersebut hanya mendapat sedikit pengolahan atau penambahan atribut oleh lembaga pemasaran setelah petani. Hal ini berarti nilai tambah yang diberikan oleh lembaga pemasaran setelah petani persentasenya kecil.

Biaya transportasi dipengaruhi juga oleh faktor perishability, seasonality, bulkiness dan konsentrasi geografis dari produksi produk pertanian. Seluruh faktor tersebut dapat mempengaruhi nilai farmer’s share karena jika suatu produk memerlukan biaya transportasi yang semakin besar (karena distribusi yang jauh), maka hal inia akan mengakibatkan adanya biaya tambahan dalam rangka penyimpanan, perlindungan produk (asuransi), proses pembekuan, dan lain sebagainya. Biaya-biaya tersebut dapat memperkecil porsi dari farmer’s share. Secara umum, nilai farmer’s share akan lebih besar untuk produk-produk pertanian yang biasa dipasarkan dalam bentuk segar. Sebaliknya, produk-produk pertanian yang dipasarkan setelah berbagai proses pengolahan akan menghasilkan nilai farmer’s share yang lebih kecil (Kohls dan Uhl 2002).

(33)

suatu produk tidak efisien. Hal ini karena adanya berbagai aktivitas pemberian nilai tambah yang dilakukan pada berbagai lembaga tataniaga. Aktivitas ini memerlukan biaya yang dapat mempengaruhi harga produk di tingkat konsumen akhir. Pada produk tertentu, pengolahan ini telah mengambil porsi yang sangat besar dari nilai yang dibayarkan konsumen. Adanya kegiatan pemberian nilai tambah merupakan bagian dari Fungsi Pemasaran yang perannya tidak dapat dihilangkan.

Rasio Keuntungan dan Biaya

Rasio keuntungan dan biaya (benefit and cost ratio atau B/C Ratio) adalah perbandingan antara keuntungan (benefit) yang diperoleh oleh suatu lembaga tataniaga dengan nilai biaya-biaya (cost) yang dikeluarkan. Rasio ini dapat menggambarkan besaran keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga secara lebih akurat. Hal ini karena besarnya keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga tataniaga tergantung dari besarnya biaya yang dikeluarkan. Keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga dalam tataniaga tidak dapat dibandingkan dengan lembaga lainnya dalam alur yang sama tanpa adanya perbandingan dengan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tersebut. Walaupun keuntungan yang diperoleh oleh suatu lembaga tataniaga sangat besar, namun ketika dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan, maka akan terlihat bahwa lembaga tersebut mengambil keuntungan dengan nisbah yang lebih kurang sama dengan lembaga lain. Menurut Asmarantaka (2012), Rasio ini sering digunakan dalam perhitungan efisiensi tataniaga.

Biaya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga tataniaga menggambarkan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Semakin besar fungsi tataniaga yang dilakukan, maka biaya yang dikeluarkan akan semakin meningkat. Sehingga nilai B/C ratio yang diperoleh telah menggambarkan keuntungan yang diambil oleh pelaku dalam suatu lembaga tataniaga dari fungsi tataniaga yang diterapkan. Suatu alur tataniaga yang efisien mempunyai nilai rasio keuntungan dan biaya yang tidak jauh berbeda. Sehingga, semakin besar perbedaan nilai B/C ratio pada lembaga-lembaga pemasaran dalam satu alur tataniaga, maka semakin tidak efisien alur tataniaga tersebut. Hal ini karena, perbedaan nilai B/C ratio ini telah menggambarkan bahwa salah satu lembaga telah mengambil keuntungan lebih banyak dari lembaga pemasaran lain. Ketimpangan ini dapat menyebabkan naiknya harga produk di tingkat konsumen akhir sehingga produsen maupun konsumen akan memilih alur lain yang lebih efisien.

Efisiensi Harga

Menurut Asmarantaka (2012) efisiensi harga menunjukkan kemampuan sistem pemasaran dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses pemasaran sehingga tercapail efisiensi yang sesuai dengan keinginan konsumen. Asmarantaka (2012) juga menerangkan bahwa indikator dari efisiensi harga dapat dilihat dari faktor-faktor berikut:

1. Harga yang terbentuk merupakan pilihan dari konsumen dan produsen. Konsumen dan produsen menyenangi harga tersebut.

(34)

3. Price tags yang terjadi atau selisih dari price tags dari dua sistem pemasaran yang berbeda merupakan refleksi dari biaya-biaya yang terjadi akibat adanya alternatif pilihan bagi konsumen dan meningkatkan nilai guna dari dua sistem pemasaran tersebut.

4. Produsen dan konsumen dapat memilih sistem pemasaran dari beberapa alternatif yang ada.

5. Produsen atau perusahaan akan responsif masuk atau keluar dari sistem karena untung atau rugi akibat price tags (seperti yang dimaksud pada poin 3). Artinya, terjadi keselarasan antara penjual dan pembeli mulai dari tingkat petani, lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen akhir.

Menurut Asmarantaka (2012), secara umum pemasaran agribisnis yang efisien dapat dilihat dari indikator-indikator berikut:

1. Terciptanya nilai tambah yang tinggi terhadap produk agribisnis.

2. Keuntungan tersebar secara adil di setiap lembaga dalam Saluran Tataniaga agribisnis. Artinya, keuntungan yang diperoleh oleh lembaga-lembaga tataniaga sesuai dengan nilai korbanan (biaya-biaya) yang dikeluarkan.

Kerangka Pemikiran Operasional

Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara produsen telur unggas non ayam terbesar ke-3 di dunia. Di Indonesia, Jawa Barat merupakan provinsi produsen telur itik terbesar. Kabupaten Cirebon merupakan kabupaten yang memiliki peranan yang sangat penting dalam produksi telur itik di Jawa Barat. Hal ini karena kabupaten Cirebon merupakan produsen telur itik terbesa ke tiga di Jawa Barat dan memiliki tren produksi telur itik yang terus meningkat. Namun, harga telur itik di Kabupaten Cirebon terus mengalami kenaikan sejak bulan Juni hingga bulan Oktober 2013. Pada bulan Juni, harga rata-rata telur itik per bulan adalah Rp1 700/butir dan telah mengalami peningkatan sebanyak 11 persen hingga bulan Oktober menjadi Rp1 900/butir. Pada waktu penelitian ini dilakukan (Januari 2014), harga telur itik di tingkat konsumen telah mencapai Rp2 400/butir atau meningkat ± 41 persen dari harga pada bulan Juni. Salah satu penyebab utama fluktuasi dan kenaikan harga pada berbagai komoditas termasuk telur itik adalah adanya masalah pada tataniaga (Ismail 2010). Peningkatan harga ini dapat memberatkan konsumen akhir dan mengganggu industri lain yang berbahan baku telur itik. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan anlisis tataniaga di kabupaten Cirebon, khususnya mengenai saluran, fungsi-fungsi dan efisiensi tataniaga.

(35)

Hasil dari analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang alternatif saluran tataniaga yang paling efisien. Saluran tataniaga yang paling efisien digambarkan oleh adanya nilai tambah yang diberikan terhadap produk agribisnis, sebaran keuntungan merata di setiap lembaga dalam saluran tataniaga dan kesesuaian nilai marjin tataniaga dan farmer’s share terhadap nilai tambah yang diberikan terhadap produk. Kerangka pemikiran operasional ditunjukka pada gambar 6.

Gambar 6. Bagan kerangka pemikiran operasional Keterangan:

: Menyatakan adanya masalah : Dipengaruhi oleh

: Metode analisis

: Menyatakan proses yang menghasilkan sebuah tujuan : Menyatakan hubungan saling mempengaruhi

: Alat Analisis

Masalah:

Terjadi peningkatan harga telur itik di tingkat konsumen akhir, sehingga dapat mengganggu industri lain yang berbahan baku telur itik

Analisis Saluran Tataniaga

Analisis Fungsi-Fungsi Tataniaga

- Marjin Tataniaga

- Farmer’s Share

- Rasio Keuntungan dan Biaya

Saluran Tataniaga yang paling efisien

Tataniaga

Analisis Efisiensi Tataniaga 1. Jawa Barat merupakan provinsi produsen telur itik terbesar di Indonesia 2. Kabupaten Cirebon merupakan produsen telur itik ke 3 terbesar di Jawa

Barat pada tahun 2012

(36)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kabupaten Cirebon provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah yang sangat potensial untuk pengembangan produksi telur itik di Jawa Barat. Kegiatan pengumpulan data dilakukan selama lebih kurang 2 bulan, yaitu dari bulan Desember 2013 hingga Januari 2014.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data hasil wawancara dengan berbagai responden yang berkaitan dengan tataniaga telur itik di kabupaten Cirebon. Responden tersebut seperti peternak itik, pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Jenis pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner merupakan pertanyaan terbuka dan pertanyaan berstruktur. Pertanyaan terbuka yang dimaksud adalah pertanyan yang dibuat sedemikan rupa sehingga jawaban dan cara pengungkapannya dapat bermacam-macam. Sedangkan pertanyaan berstruktur adalah pertanyaan yang dibuat sedimikan rupa sehingga responden dibatasi dalam memberikan jawaban kepada beberapa alternatif saja atau kepada satu jawaban saja (Nazir 2011).

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber lain dalam rangka melengkapi kebutuhan data. Data sekunder yang dimaksud adalah data yang berkitan dengan penelitian ini, namun tidak dibuat dan disusun dalam rangka melengkapi atau menyelesaikan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari kantor BKP5K, BPS, dan dari berbagai publikasi seperti jurnal dan artikel di internet. Data sekunder juga diperoleh dari skripsi sebelumnya yang memiliki kaitan dengan topik penelitian ini.

Metode Penarikan Responden

(37)

terbagi dalam tiga skala yaitu skala kecil (memiliki populasi itik < 500 ekor), skala menengah (memiliki populasi itik 501 – 1 000 ekor), dan skala besar (memiliki populasi itik > 1 000 ekor). Penetapan besaran skala ini berdasarkan informasi dari kantor BKP5K kabupaten Cirebon. Selanjutnya, penelitian mengenai saluran tataniaga dilakukan dengan metode penelusuran alur produk, yaitu mengikuti alur informasi dari satu responden menuju responden berikutnya. Metode ini dipilih karena penelitian mengenai aliran tataniaga harus dilakukan secara menyeluruh terhadap tiap lembaga dalam alur tataniaga tersebut, sehingga wawancara harus dilakukan dari awal hingga akhir Saluran Tataniaga.

Petani yang dipilih adalah petani yang berdomisili di wilayah kabupaten Cirebon. Jumlah lembaga tataniaga yang menjadi responden tidak ditetukan karena hal ini mengacu pada kondisi saluran tataniaga itu sendiri. Jumlah lembaga tataniaga pada satu saluran dapat berbeda dengan jumlah lembaga tataniaga pada saluran lainnya. Namun, jika terdapat beberapa lembaga pada tingkat yang sama dengan karakteristik yang sama, maka akan dipilih salah satu berdasarkan rekomendasi dari lembaga tataniaga sebelumnya.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh akan diolah dengan menggunakan alat bantu kalkulator dan program Microsoft Excel dan Micosoft Word yang berfungsi untuk mengolah dan menampilkan data dalam bentuk tabel, bagan dan grafik. Secara umum, proses analisis data dimulai dari pengumpulan data, pengelompokan data, analisis data berdasarkan aspek-aspek yang telah ditentukan, dan penarikan kesimpulan. Proses analisis data terbagi dua, yaitu analisis data secara kualitatif dan anlisis data secara kuantitatif.

Analisis Data Kualitatif

Analisis data secara kualitatif dilakukan pada analisis Saluran Pemasaran dan fungsi-fungsi pemasaran. Analisis ini berupa penjabaran dari analisa yang dilakukan terhadap Saluran Pemasaran dan Fungsi-fungsi Pemasaran. Analisis saluran pemasaran dimulai dengan pengumpulan data tentang lembaga-lembaga yang terlibat pada saluran pemasaran, ukuran lembaga-lembaga tersebut, alamat, bentuk usaha, skala usaha, respon terhadap harga, dan sebagainya. Dalam Selanjutnya, data tersebut diperiksa dan dikelompokkan kembali. Hasil dari pengelompokan tersebut dianalisa dan dijabarkan secara kualitatif dan dalam bentuk bagan alur pemasaran yang aktual. Bagan ini merupakan kombinasi dari seluruh Saluran Pemasaran yang ada.

(38)

Analisis Data Kuantitatif

Analisis data kuantitatif dimaksudkan untuk mengukur efisiensi pemasaran. Analisis ini dapat menggambarkan efisiensi dari sebuah saluran pemasaran dibandingkan dengan saluran pemasaran lainnya. Analisis ini juga dapat mengukur efektifitas kegiatan fungsi pemasaran yang dijalankan oleh lembaga-lembaga pemasaran. Dalam penelitian ini, analisis data kuantitatif dilakukan dengan menghitung Marjin Pemasaran, Farmer’s Share dan B/C ratio. Marjin Pemasaran dapat dihitung dengan rumusan berikut (Asmarantaka 2012):

Mt = Pr – Pf = biaya-biaya + lembaga = Mi dimana:

Mt : Marjin total

Pr : Harga di tingkat retail (konsumen akhir) Pf : Harga di tingkat petani produsen (farmer)

 lembaga : Profit lembaga pemasaran akibat adanya sistem pemasaran Mi : Marjin di tingkat lembaga ke-i, di mana i = 1, 2, 3,... n

Mi = Pji - Pbi

Pji : Harga penjualan untuk lembaga pemasaran ke-i.

Pbi : Harga pembelian untuk lembaga pemasaran ke-i.

Rumusan Mt = Pr – Pf merupakan rumusah untuk mengukur efiensi tataniaga secara makro. Pada rumusan ini, perbadaan harga di tingkat tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat konsumen akhir (Pr) tidak membuat perbedaan kuantitas. Sehingga kuantitas di tingkat petani dengan konsumen akhir harus setara (equivalent), walaupun produk tersebut mengalami pengolahan. Rumusan secara mikro ditunjukkan oleh persamaan Mi = Pji - Pbi dimana nilai Mi

menunjukkan marjin yang diperoleh masing-masing lembaga dalam Saluran Tataniaga. (Asmarantaka 2012).

Farmer’s share memiliki nilai berbentuk persentase (%). Farmer’s share dapat diukur dengan rumusan berikut:

F’s = (Pf / Pr) x 100% dimana:

F’s : farmer’s share

Pr : Harga di tingkat retail (konsumen akhir) Pf : Harga di tingkat petani produsen (farmer)

Nilai B/C ratio dihitung dengan menggunakan rumusan sebagai berikut:

lembaga / C dimana:

 lembaga : Profit lembaga pemasaran akibat adanya sistem pemasaran

(39)

Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Peternak itik adalah pihak-pihak (baik individu maupun kelompok) yang melaksanakan proses peternakan itik. Salah satu hasil dari peternakan ini adalah telur itik yang bertujuan untuk dipasarkan.

2. Pedagang adalah lembaga-lembaga tataniaga yang berfungsi mengalirkan produk dari petani kepada konsumen akhir. Pedagang dibagi dalam tiga kategori, yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang grosir, dan pedagang pengecer.

3. Pedagang pengumpul atau tengkulak adalah pihak-pihak yang membeli secara langsung dari peternak itik dan melakukan penjualan kepada pedagang grosir.

4. Pedagang grosir adalah pedagang yang membeli dari tengkulak dan menjual kepada pedangang pengecer.

5. Pedagang pengecer (retailer) adalah pedangang yang melakukan transaksi langsung dengan konsumen akhir.

6. Konsumen akhir adalah pihak-pihak yang yang membeli dari salah satu lembaga dalam alur tataniaga untuk mengkonsumsi produk secara langsung atau menjual produk dengan jenis atau bentuk yang berbeda dari produk asalnya.

7. Telur fertil adalah telur yang telah dibuahi dan akan dijual pada produsen DOD (Day Old Duck).

8. Telur steril adalah telur yang belum dibuahi dan dijual kepada produsen telur asin atau konsumen rumah tangga.

9. Biaya pemasaran (Rp/butir) adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka mengalirkan produk dari peternak ke konsumen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Peternak Responden

(40)

berlangganan dan sering memberikan pinjaman uang kepada para petani. Bagi para pedagang pengumpul atau konsumen akhir, keterikatan petani sebagai pemasok telur itik sangat diperlukan agar kontinuitas proses tataniaga atau produksi yang mereka lakukan dapat terjaga.

Pada umumnya, peternak memiliki kandang itik di sekitar rumahnya (di pekarangan belakang rumah). Hal ini dikarenakan skala usaha yang cukup besar dan untuk mempermudah proses pemeliharaan. Namun, ada satu orang responden yang menerapkan sistem “angon”, yaitu responden skala kecil dengan populasi 200 ekor dan produktivitas ± 70 butir/hari. Pada sistem ini, peternak tidak memiliki kandang. Itik dipelihara dengan cara digembalakan di sekitar sawah. Pada malam hari, itik dipagari dengan terpal di sekitar sawah dan diberi pakan. Telur itik dipanen pada pagi hari kemudian itik kembali digembalakan.

Pada bulan Desember – Februari kabupaten Cirebon selalu mengalami musim hujan dan cuaca buruk. Hal ini menyebabkan turunnya produktivitas itik dalam menghasilkan telur. Curah hujan yang tinggi menyebabkan suhu udara menurun dan kelembaban meningkat sehingga kandang itik menjadi basah dan kurang kondusif bagi itik untuk bertelur. Hal ini menyebabkan produktivitas telur menjadi berkurang sebesar ± 40 persen. Pada musim biasa, itik menghasilkan telur sebanyak ± 70 persen dari jumlah populasi, namun pada musim hujan (Desember – Februari) turun menjadi 30 persen dan maksimal 60 persendari jumlah populasi. Selain penurunan produktivitas, pada musim hujan juga terjadi kenaikan harga pakan. Hal ini karena pakan itik seperti dedak dan menir jarang tersedia karena bukan musim panen. Selain itu, ikan yang menjadi salah satu pakan utama bagi itik juga mengalami kenaikan harga karena para nelayan kesulitan melaut akibat kondisi gelombang yang besar dan cuaca buruk.

Umur dan Pengalaman Peternak Responden

Umur dan pengalaman dalam beternak itik para peternak responden relatif bervariasi. Data mengenai umur peternak responden dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Umur peternak responden

Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (orang) Persentase ( % )

(41)

Peternak responden biasanya telah memiliki pengalaman yang cukup lama dalam melakukan usaha peternakan itik petelur. Pengalaman para peternak dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Pengalaman peternak responden

Pengalaman Usaha Ternak (Tahun) Jumlah (orang) Persentase ( % )

≤ 15 2 40

≥ 15 3 60

Jumlah 5 100

Hasil wawancara menunjukkan bahwa semakin tua usia peternak maka semakin lama pula pengalaman dalam melakukan usaha peternakan itik. Hal ini karena peternakan itik merupakan usaha keluarga yang dilakukan turun temurun. Sebagian besar peternak telah memulai usaha peternakan itik sejak remaja atau bahkan sejak anak-anak. Oleh karena itu, sebagian besar peternak telah memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam menjalankan usaha peternakan itik petelur ini. Hal ini menggambarkan bahwa usaha ini cukup menguntungkan karena para peternak terus menjalankan usahanya selama bertahun-tahun.

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa para peternak di kabupaten Cirebon pada umumnya hidup di lingkungan masyarakat yang memiliki mata pencaharian dalam sektor peternakan (terutama peternakan itik) dan pertanian. Usaha ini dilakukan oleh sebagian besar warga di daerah kecamatan Panguragan, Losari dan Gebang. Oleh karena itu, para warga cenderung meneruskan usaha di bidang pertanian atau peternakan yang telah dilakukan secara turun temurun dan tidak begitu mengharapkan pendidikan formal yang tinggi. Gambaran mengenai tingkat pendidikan peternak responden disajikan dalam tabel 7.

Tabel 7. Tingkat pendidikan peternak responden

Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase ( % )

Tidak Sekolah 1 20

Tidak Tamat SD 1 20

Tamat SD 2 40

Tamat SMP 1 20

Jumlah 5 100

Berdasarkan tabel 7, diketahui bahwa tingkat pendidikan peternak responden relatif rendah. Namun, hal ini tidak menghalangi para peternak untuk terus menjalankan usaha bahkan mengembangkan usahanya. Hal ini karena dalam usaha peternkan itik petelur ini, para peternak mengandalkan pengalaman dan ketekunan dalam menjalankan usaha.

Gambar

Gambar 1. Produksi telur itik di Indonesia tahun 2009-2013 (ton)
Tabel 1. Produksi telur itik di tiga provinsi produsen terbesar tahun 2009-2013 (ton)
gambar 2.
Tabel 4. Karakteristik telur itika
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan larva udang vanamei dengan artemia produk lokal, khususnya artemia produk lokal yang diperkaya dengan sel diatom menunjukkan nilai kandungan nutrisi yang

Siswa, khususnya siswa yang berada pada kategori baik dan kurang baik bahkan siswa yang berada pada kategori cukup, hendaknya berusaha untuk memperbaiki serta

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purba dkk (2011) dimana sebagian besar tahanan di LAPAS Kelas IIB Lubuk Pakam, Kabupaten Deli

Proses coal liquefaction dilakukan melalui metode pirolisis dan assisted microwave dengan kondisi proses berupa ukuran partikel batubara 20 mesh, katalis karbon aktif, rasio

Penerapan metode pembelajaran berbasis masalah pada mata kuliah sistem informasi obat dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi terkait pelayanan

Puji syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

terhadap penghindaran pajak yang berarti semakin besar capital intensity maka semakin besar pula perusahaan melakukan tax avoidance, karena perusahaan yang memiliki

Akibat hukum yang timbul dalam pembiayaan musyarakah adalah nasabah yang menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 2 Perjanjian ini, bank berhak untuk