• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Susu

Pemeriksaan produksi susu dari sapi FH dilakukan untuk setiap kondisi pemeliharaan yang berbeda. Pemeriksaan terpisah antara lokasi BPPT-SP Cikole dengan KPSBU Lembang bertujuan untuk meniadakan pengaruh perbedaan manajemen pemeliharaan. Data produksi susu merupakan data dari hasil pemerahan susu selama satu hari pada kisaran bulan laktasi pertama sampai bulan laktasi keenam pada periode laktasi kesatu sampai kelima.

Jumlah catatan harian atau test day untuk seluruh laktasi adalah 272 data. Karakteristik data catatan harian produksi susu setiap kondisi pemeliharaan yang dikelompokkan berdasarkan bulan laktasi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai rataan produksi susu harian yang dikelompokkan berdasarkan bulan laktasi pada kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Produksi susu (liter) Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan TD1 14.150aA±4.210 15.435aA±3.832 15.045A±3.929 (10) (23) (33) TD2 10.233bB±2.333 15.357aA±4.254 13.352AB±4.383 (9) (14) (23) TD3 9.038bB±1.351 13.611aAB±5.694 12.204AB±5.215 (8) (18) (26) TD4 9.620bB±2.494 12.240aB±3.958 11.257B±3.678 (15) (25) (40) TD5 9.757bB±2.597 12.150aB±3.595 11.165B±3.395 (14) (20) (34) TD6 - 11.937B±3.864 11.937AB±3.864 (16) (16) Rataan 10.479b±3.193 13.405a±4.378 12.452±4.249 (56) (116) (172)

Keterangan : (…) jumlah sampel

TD1- TD6 (Nilai rataan produksi susu harian pada bulan ke-1 sampai bulan ke-6). Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 % atau 95%.

Superskip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 % atau 95%.

Tabel 5 menginformasikan bahwa nilai rataan produksi susu harian pada kondisi pemeliharaan semi intensif lebih tinggi (P<0.01) jika dibandingkan dengan produksi susu pada kondisi pemeliharaan intensif, baik untuk nilai rataan setiap

70 bulan maupun nilai rataan keseluruhan. Nilai rataan produksi susu harian pada peternakan dengan kondisi pemeliharaan semi intensif lebih tinggi karena peternak memberikan pakan dengan intensitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada peternakan dengan pemeliharaan intensif. Pada peternakan rakyat pemberian pakan hijauan dilakukankan tiga kali sehari atau lebih dengan pemberian secara ad libitum. Menurut Jenkins dan McGuired (2006) serta Tyler dan Ensminger (2006) frekuensi pemberian pakan yang lebih dari dua kali akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pakan, kadar lemak susu dan produksi susu. Pada peternakan rakyat, peternak memberikan pakan hijauan dalam jumlah cukup sampai berlebih dan diberikan tiga kali sehari, sedangkan pada peternakan dengan pemeliharaan secara intensif pemberian pakan hijauan hanya dilakukan dua kali sehari dengan proporsi 31.15% dari total bahan kering pakan. Proporsi bahan kering hijauan sesuai kebutuhan untuk sapi perah laktasi minimal adalah 40% dari total bahan kering pakan (Jenkins dan McGuired 2006; Phillips 2001; SDCN 2001). Kecukupan pakan sapi perah secara kuantitas dan kualitas menentukan optimalitas produksi susu (Mukhtar 2006; Tyler dan Ensminger 2006; Phillips 2001).

Produksi susu tertinggi dicapai pada bulan laktasi pertama baik pada kondisi pemeliharaan intensif, pemeliharaan semi intensif maupun gabungan kedua kondisi pemeliharaan. Secara umum terlihat bahwa puncak laktasi terjadi pada bulan pertama, lalu pada bulan berikutnya akan mengalami penurunan sampai pada akhir masa pengukuran. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola produksi susu mencapai puncak pada bulan pertama, hal ini sejalan dengan pernyataan De Ross et al. (2004) bahwa setelah beranak produksi susu mulai naik dan mencapai puncak produksi pada minggu ke 3 sampai ke 6, setelah itu mengalami penurunan secara perlahan sampai pada masa akhir laktasi. Hamidah (1987) dan Indrijani (2001) yang yang melakukan penelitian pada sapi perah di wilayah Kabupaten Bandung melaporkan hasil yang berbeda yaitu produksi susu sapi perah mencapai puncak produksi pada 45 sampai 60 hari setelah sapi beranak. Menurut Phillips (2001) penurunan produksi susu seiring dengan lama laktasi terjadi karena adanya penurunan fungsi kelenjar ambing.

Pengelompokan produksi susu harian berdasarkan periode laktasi (Tabel 6) menunjukkan bahwa nilai rataan produksi susu pada setiap kondisi pemeliharaan

71 berbeda nyata (P<0.01). Nilai rataan produksi susu setiap periode laktasi menunjukkan adanya peningkatan dari laktasi kesatu sampai laktasi ketiga baik pada kondisi pemeliharaan intensif maupun kondisi pemeliharaan semi intensif. Keadaan tersebut sesuai dengan pendapat Caccamo et al. (2008), De Ross et al. (2004) dan Phillips (2001) yang melaporkan bahwa kapasitas produksi susu sapi perah akan meningkat terus menerus dan mencapai puncak produksi pada periode laktasi ketiga atau keempat kemudian turun berlahan-lahan. Peningkatan produksi susu pada empat periode laktasi pertama disebabkan adanya pertumbuhan kelenjar susu seiring proses kedewasaan dan pertumbuhan tubuh, sehingga akan menyebabkan peningkatan jumlah hormon prolaktin yang disekresikan.

Tabel 6. Nilai rataan produksi susu harian yang dikelompokkan berdasarkan periode laktasi pada kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Produksi susu (liter) Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan Laktasi ke-1 9.465bB±2.114 13.954aA±3.409 10.331C±2.977 (46) (11) (57) Laktasi ke-2 - 11.708A±2.746 11.708BC±2.746 (24) (24) Laktasi ke-3 15.786aA±3.684 14.954aA±4.258 15.100A±4.131 (7) (33) (40)

Laktasi ke-4 13.633aA±1.415 12.886aA±5.013 12.945ABC±4.821

(3) (35) (38)

Laktasi ke-5 - 13.538A±5.149 13. 538AB±5.149

(13) (13)

Rataan 10.478b±3.193 13.405a±4.378 12.452±4.249

(56) (116) (172)

Keterangan : (…) jumlah sampel

Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

Superskip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

Tabel 6 mengindikasikan bahwa secara umum persistensi produksi susu pada kondisi pemeliharaan semi intensif lebih baik jika dibandingkan pada pemeliharaan intensif meskipun secara statistik tidak berbeda. Perbedaan persistensi produksi susu pada kondisi pemeliharaan semi intensif dan pemeliharaan intensif dapat disebabkan diantaranya oleh adanya perbedaan produksi susu selama laktasi dan sistem pemberian pakan. Secara umum sapi perah dengan total produksi susu yang rendah akan mencapai puncak produksi lebih awal dan penurunan produksi yang lebih cepat jika dibandingkan sapi yang memiliki total produksi yang tinggi (De Roos et al. 2004; Tekerliet al. 2000; Tyler dan Ensminger 2006). Lebih lanjut diketahui bahwa

72 persistensi produksi susu berpengaruh terhadap total produksi susu (Lin dan Togashi 2005). Sapi perah dengan persistensi yang tinggi maka akan menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi perah yang memiliki persistensi yang rendah (Togashi dan Lin 2003; Togashi dan Lin 2004).

Secara keseluruhan produksi susu pada setiap periode menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.01), menunjukkan bahwa periode laktasi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap produksi susu harian pada setiap periode laktasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hamidah (1987) dan Indrijani (2001) yang menyatakan bahwa periode laktasi memberikan pengaruh yang besar pada produksi susu. Diduga terjadinya fluktuasi produksi susu disebabkan perbedaan tata laksana pemeliharaan dan perubahan mutu genetik ternak sebagai akibat dari adanya proses seleksi pada sapi perah betina dan juga karena pengaruh perbedaan periode laktasi yang dapat menyumbangkan keragaman dalam produksi susu setiap tahunnya.

Kualitas Susu

Pemeriksaan parameter kualitas susu dari sapi FH dilakukan untuk setiap lokasi. Pemeriksaan terpisah antara lokasi BPPT-SP Cikole dengan KPSBU Lembang bertujuan untuk meniadakan pengaruh perbedaan manajemen pemeliharaan (Tabel 7). Data kualitas susu diperoleh dari pengujian kualitas hasil pemerahan selama satu hari pada kisaran bulan laktasi pertama sampai bulan laktasi keenam pada periode laktasi kesatu sampai kelima.

Tabel 7. Nilai rataan kualitas susu harian sapi FH pada kondisi pemeliharaan yang berbeda. Kualitas Susu Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan Protein (%) 3.115A±0.116 2.831B±0.346 2.921±0.321 (56) (116) (172) Lemak (%) 3.215b±0.459 3.466a±0.756 3.384±0.683 (56) (116) (172) BK (%) 11.495a±0.488 11.691a±1.151 11. 627±0.988 (56) (116) (172) BKTL (%) 8.279a±0.244 8.218a±0.484 8.238±0.422 (56) (116) (172) Berat jenis 1.027B±0.001 1.028A±0.002 1.028±0.001 (56) (116)

Keterangan: (…) jumlah sampel

Superskip huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

73

Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 95 %.

Kualitas susu pada kondisi pemeliharaan yang berbeda (Tabel 7) menunjukkan bahwa nilai rataan kadar protein, lemak dan BKTL pada kedua kondisi pemeliharaan berada pada skala normal berdasarkan syarat mutu susu segar menurut Dewan Standarisasi Nasional (1998) yaitu kadar protein 2.7%, lemak 3% dan BKTL 8%, sedangkan rataan BJ susu baik pada kondisi pemeliharaan intensif maupun semi intensif di bawah standar Dewan Standarisasi Nasional (1998) yaitu 1.028. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum susu yang dihasilkan dari peternakan baik pada kondisi pemeliharaan intensif maupun pada kondisi pemeliharaan semi intensif memiliki kualitas yang baik.

Pengelompokkan parameter kualitas susu berdasarkan kondisi pemeliharaan memberikan hasil yang berbeda nyata pada protein dan berat jenis, berbeda pada lemak, sedangkan pada dan BKTL memberikan hasil yang sama. Pada kondisi pemeliharaan intensif, kadar protein lebih tinggi 2.8% jika dibandingkan dengan kondisi pemeliharaan semi intensif dan sebaliknya dengan kadar lemak. Kadar lemak pada pemeliharaan semi intensif lebih tinggi 2.5% jika dibandingkan dengan kondisi pemeliharaan intensif. Kondisi tersebut disebabkan karena rendahnya proporsi hijauan pada total berat kering pakan pada kondisi pemeliharaan intensif. Proporsi hijauan dalam pakan yang rendah akan menyebabkan penurunan kadar lemak dan produksi susu, sebaliknya akan menyebabkan peningkatan protein susu (Jenkins dan McGuired 2006; Phillips 2001; SDCN 2001).

Kadar Protein Susu

Data protein susu harian pada kondisi pemeliharaan yang berbeda dikelompokkan berdasarkan bulan laktasi dan periode laktasi (Tabel 8 dan Tabel 9). Hasil pengelompokan protein susu harian berdasarkan kondisi pemeliharaan menunjukkan bahwa nilai rataan protein susu pada kedua kondisi pemeliharaan berbeda nyata (P<0.01). Pada kondisi pemeliharaan intensif nilai rataan protein susu lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada kondisi pemeliharaan semi intensif. Hal ini disebabkan pada kondisi pemeliharaan secara intensif pemberian pakan yang berupa konsentrat lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemeliharaan semi intensif. Proporsi pakan yang berupa konsentrat pada kondisi pemeliharaan intensif lebih

74 tinggi 8.8% jika dibandingkan dengan yang disarankan SDCN (2001). Jenkins dan McGuired (2006) serta Phillips (2001) menyatakan bahwa pengurangaan proporsi hijauan pada komposisi pakan sapi perah akan menyebabkan peningkatan kadar protein susu. Perbedaan kadar protein susu pada kedua kondisi pemeliharaan diduga juga disebabkan perbedaan genetik ternak pada kedua kondisi pemeliharaan.

Tabel 8. Nilai rataan protein susu harian yang dikelompokkan berdasarkan bulan laktasi pada kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Protein (%) Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan TD1 3.075aA±0.128 2.727bA±0.281 2.832B±0.292 (10) (23) (33) TD2 3.135aA±0.151 2.753bA±0.177 2.903AB±0.251 (9) (14) (23) TD3 3.103aA±0.055 2.766bA±0.404 2.870B±0.370 (8) (18) (26) TD4 3.126aA±0.098 2.839bA±0.356 2.946AB±0.318 (15) (25) (40) TD5 3.129aA±0.127 3.0154aA±0.425 3.062A±0.337 (14) (20) (34) TD6 - 2.882A±0.287 2.882AB±0.287 (16) (16) Rataan 3.115a±0.116 2.831b±0.346 2.921±0.321 (56) (116) (172)

Keterangan : TD1- TD6 (Nilai rataan protein susu harian pada bulan ke-1 sampai bulan ke-6)

Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

Superskip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

Tabel 9. Nilai rataan protein susu harian yang dikelompokkan berdasarkan periode laktasi pada kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Protein (%) Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan Laktasi ke-1 3.143aA±0.086 2.701bA±0.279 3.058A±0.226 (46) (11) (57) Laktasi ke-2 - 2.813A±0.316 2.813B±0.316 (24) (24)

Laktasi ke-3 3.024aAB±0.155 2.937aA±0.424 2.952AB±0.390

(7) (33) (40) Laktasi ke-4 2.905aB±0.090 2.772aA±0.256 2.783B±0.249 (3) (35) (38) Laktasi ke-5 - 2.867A±0.409 2.867AB±0.409 (13) (13) Rataan 3.115a±0.116 2.831b±0.346 2.921±0.321 (56) (116) (172)

Keterangan : (…) jumlah sampel

Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

75

Superskip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 99 %.

Hasil pengelompokkan protein susu harian berdasarkan bulan dan periode laktasi (Tabel 8 dan 9) menunjukkan bahwa nilai rataan protein susu setiap bulan laktasi maupun setiap periode laktasi berbeda nyata (P<0.01). Nilai rataan protein susu harian berdasarkan bulan laktasi terendah terjadi pada bulan laktasi pertama. Rataan protein susu pada laktasi bulan pertama memiliki nilai paling rendah karena pada bulan pertama produksi susu mencapai puncaknya. Caccamo et al. (2008) melaporkan bahwa protein susu berdasarkan pengukuran harian mengikuti pola yang teratur pada setiap laktasi. Pada puncak laktasi, kandungan protein susu akan mencapai nilai terendah (Phillip 2001) dan akan meningkat pada minggu ke-12 (Phillip 2001; Tyler dan Ensminger 2006). Lebih lanjut Jenkins dan McGuired (2006) menyatakan bahwa pada puncak laktasi terjadi peningkatan kebutuhan energi sehingga jika tidak diimbangi dengan pemberian pakan dengan kualitas dan kuantitas yang baik akan menyebabkan penurunan kandungan protein dan lemak dalam susu.

Pengelompokkan protein susu harian berdasarkan periode laktasi (Tabel 9) menunjukkan bahwa nilai rataan protein susu setiap periode laktasi berbeda nyata (P<0.01). Nilai rataan protein susu tertinggi diperoleh pada periode laktasi kesatu. Caccamo et al. (2008) dan De Ross et al. (2004) melaporkan bahwa pada tiga periode laktasi yang pertama protein susu akan mengalami peningkatan yang signifikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rataan protein susu setiap periode laktasi tidak

menunjukkan trend peningkatan. Keadaan tersebut kemungkinan disebabkan karena dukungan manajemen dan pakan yang kurang memadai.

Kadar Lemak Susu

Data lemak susu harian pada kondisi pemeliharaan yang berbeda dikelompokkan berdasarkan bulan laktasi dan periode laktasi (Tabel 10 dan Tabel 11). Hasil pengelompokan lemak susu harian berdasarkan kondisi pemeliharaan menunjukkan bahwa nilai rataan lemak susu pada kedua kondisi pemeliharaan berbeda (P<0.05). Pada kondisi pemeliharaan intensif nilai rataan lemak susu lebih rendah jika dibandingkan dengan pada kondisi pemeliharaan semi intensif. Hal ini

76 disebabkan proporsi hijauan pakan pada kondisi pemelihaaraan semi intensif lebih tinggi jika dibandingkan pada kondisi pemelihaaraan intensif. Pada sistem pemeliharaan semi intensif, peternak memberikan pakan hijauan secara berlebihan (ad libitum) sebanyak tiga kali sehari. Phillip (2001) serta Tyler dan Ensminger (2006) menyatakan bahwa tingginya proporsi hijauan dalam pakan ternak perah menyebabkan peningkatan kadar lemak susu yang dihasilkan.

Tabel 10. Nilai rataan lemak susu harian yang dikelompokkan berdasarkan bulan laktasi pada kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Lemak (%) Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan TD1 3.416aA±0.536 3.266aA±0.792 3.312A±0.719 (10) (23) (33) TD2 3.216aA±0.419 3.141aA±0.839 3.170A±0.694 (9) (14) (23) TD3 3.241aA±0.639 3.443aA±0.735 3.381A±0.701 (8) (18) (26) TD4 3.165bA±0.491 3.655aA±0.759 3.471A±0.706 (15) (25) (40) TD5 3.109bA±0.241 3.676aA±0.759 3.443A±0.660 (14) (20) (34) TD6 - 3.508A±0.560 3.508A±0.560 (16) (16) Rataan 3.215b±0.459 3.466a±0.756 3.384±0.683 (56) (116) (172)

Keterangan : (…) jumlah sampel

TD1- TD6 (Nilai rataan produksi susu harian pada bulan ke-1 sampai bulan ke-6) Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 95 %.

Superskip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 95 %.

Hasil pengelompokkan lemak susu harian berdasarkan bulan laktasi dan periode laktasi menunjukkan bahwa nilai rataan lemak susu tidak berbeda pada setiap bulan laktasi maupun setiap periode laktasi. Secara umum nilai rataan lemak susu setiap periode laktasi maupun setiap bulan laktasi tidak menunjukkan trend tertentu atau memiliki pola yang acak. Keadaan tersebut tidak sesuai dengan pendapat Caccamo et al. (2008) dan De Ross et al. (2004) yang melaporkan bahwa pada tiga periode laktasi yang pertama lemak susu akan mengalami peningkatan yang signifikan. Fluktuasi kadar lemak susu dapat disebabkan oleh perbedaan tata laksana pemberian pakan dan perubahan mutu genetik ternak sebagai akibat dari adanya proses seleksi pada sapi perah betina setiap tahunnya.

77

Tabel 11. Nilai rataan lemak susu harian yang dikelompokkan berdasarkan periode laktasi pada kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Lemak (%) Kondisi Pemeliharaan Intensif BPPT-Cikole Semi Intensif KPSBU Lembang Gabungan Kedua Pemeliharaan Laktasi ke-1 3.205bA±0.459 3.618aA±0.662 3.285A±0.524 (46) (11) (57) Laktasi ke-2 - 3.447A±0.813 3.447A±0.813 (24) (24) Laktasi ke-3 3.193aA±0.563 3.369aA±0.724 3.339A±0.695 (7) (33) (40) Laktasi ke-4 3.410aA±0.163 3.460aA±0.785 3.456A±0.754 (3) (35) (38) Laktasi ke-5 - 3.636A±0.795 3.636A±0.795 (13) (13) Rataan 3.215b±0.459 3.466a±0.756 3.384±0.683 (56) (116) (172)

Keterangan : (…) jumlah sampel

Superskip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 95 %.

Superskip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda pada tingkat kepercayaan 95 %.

Amplifikasi Gen β-Kasein

Amplifikasi ruas gen β-kasein dilakukan pada mesin thermal cycler(ESCO) dengan suhu annealing 59oC selama 45 menit. Panjang gen β-kasein yang teramplifikasi dalam penelitian adalah 233 pb sesuai panjang ruas DNA yang diapit oleh primer pada sekuen gen β-kasein (nomor akses gen bankX14711 dan AJ29330). Posisi penempelan pasangan primer pada sekuen gen β-kasein ekson 7 disajikan pada Gambar 7. Hasil amplifikasi ruas gen β-kasein yang divisualisasikan pada gel agarose 1.5% disajikan pada Gambar 8.

8041 ataaaatcca cccctttgcC CAGACACAGT CTCTAGTCTA TCCCttccct

8091 ggacccatcc ataacagcct cccacaaaac atccctcctc ttactcaaac

8141 ccctgtggtg gtgccgcctt tccttcagcc tgaagtaatg ggagtctcca

8191 aagtgaagga ggctatggct cctaagcaca aagaaatgcc cttccctaaa

8241 tatccagttg agccctttac tgaaagcCGG AGCCTGACTC TCACTGATGT

78

8291 TGaaaatctg caccttcctc tgcctctgct ccagtcttgg atgcaccagc

Gambar 7. Posisi penempelan primer (cetak tebal) pada sekuen gen β-kasein, c bergaris bawah menunjukkan mutasi pada posisi basa ke 8267 (nomor akses X14711 dan AJ29330) (Barroso et al. 1999; Medrano dan Sharrow 1991).

Gambar 8. Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen β-kasein pada gel agarose 1,5%. M: Marker 100 bp dan 1-12: ruas gen β-kasein.

Identifikasi Keragaman Gen β-Kasein

Penentuan keragaman genotipe β-kasein dilakukan dengan metode PCR- RFLP dengan enzim pemotong MspI. Identifikasi keragaman gen β-kasein ekson 7 pada sapi perah FH dengan enzim restriksi MspI mengenali situs pemotongan C↓CGG. Menurut Medrano dan Sharrow (1991) keragaman genβ-kasein disebabkan oleh adanya mutasi yang terjadi pada posisi basa ke 8267 (Gambar 9). Terjadinya mutasi dari C menjadi G menyebabkan serin pada asam amino ke-122 berubah menjadi arginin sehingga enzim restriksi MspI tidak mengenali titik pemotongan tersebut dan dihasilkan genotipe BB dengan panjang fragmen 233 (tidak terpotong). Genotipe AA memiliki asam amino C pada posisi basa ke 8267, sehingga terpotong oleh enzim restriksi MspIdan menghasilkan fragmen dengan panjang 25 dan 208 bp, sedangkan genotipe AB merupakan gabungan dari keduanya.

Alel A : 5’---- TTACTGAAAG

CCGG

AGCCTGAC ---- 3’

79 Gambar 9. Perbedaan sekuen gen β-kasein nomor akses gen bank AJ29330 dan

X14711 yang disebabkan mutasi titik C – G (Alel A mempunyai basa C pada posisi basa ke 8267 sedangkan alel B mempunyai basa G) (Barroso et al. 1999; Medrano dan Sharrow 1991).

Munculnya tiga fragmen pada individu yang sama dimungkinkan karena adanya tipe yang berbeda dari kromosom homolog yang diturunkan oleh masing- masing tetua (jantan dan betina) pada saat fertilisasi. Ternak dengan genotipe homozigot (AA atau BB) berarti kedua tetua ternak tersebut masing-masing menyumbangkan gen (alel) yang sama. Ternak dengan genotipe heterozigot (AB) merupakan kombinasi dua alel berbeda dari kedua tetuanya. Asumsi yang mendukung dalam penentuan tipe genotipe yaitu semua pita yang memiliki laju migrasi yang sama merupakan alel yang homolog (Nei, 1987).

Hasil analisis genotiping β-kasein lokus MspI pada sapi perah FH menunjukkan bahwa β-kasein lokus MspI bersifat seragam pada kedua kondisi pemeliharaan. Varian yang ditemukan pada sapi perah FH dalam penelitian ini adalah genotipe BB (Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa gen β-kasein lokus MspI bersifat monomorfik. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian dari Medrano dan Sharrow (1991) yang melaporkan adanya tiga genotipe pada gen β-kasein lokus MspIyaitu genotipe AA, AB dan BB.

Gambar 10. Hasil elektroforesis gen β-kasein lokusMspIpada gel agarose 2%. M adalah Marker 100 bp. BB adalah varian genotipe gen β-kasein lokus MspI.

Keragaman genotipe dapat dihitung dari frekuensi genotipe dan frekuensi alel. Frekuensi genotipe dan alel diperkirakan dari semua sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Nilai frekuensi genotipe dan alel dari gen β-kasein lokus MspI

80 disajikan pada Tabel 12. Frekuensi genotipe dan alel dari gen β-kasein lokus MspI yang diamati memiliki karakteristik yang sama, yaitu berkumpul pada salah satu genotipe dan alel. Hal ini mengindikasikan adanya keseragaman pada gen β-kasein lokus MspI(Nei dan Kumar 2000; Nei 1987).

Tabel 12. Frekuensi genotipe dan frekuensialel gen β-kasein lokus MspI pada sapi FH berdasarkan kondisi pemeliharaan yang berbeda.

Lokasi Jumlah Sampel

Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel

AA AB BB A B KPSBU Lembang 194 0 0 1 0 1 Cilumber 98 0 0 1 0 1 Pasar Kemis 96 0 0 1 0 1 BPPT-SP Cikole 88 0 0 1 0 1 Gabungan Kedua Pemeliharaan 282 0 0 1 0 1

Keseragaman genotipe β-kasein lokus MspI pada populasi sapi perah di wilayah kabupaten Lembang dapat disebabkan karena keseragaman genotipe sapi pejantan yang dipakai sebagai sumber sperma pada proses IB. Laporan dari

Anggraeni (2009) yang melakukan genotiping gen κ-kasein pada pejantan aktif yang digunakan untuk IB di BBIB Singosari dan di BIB Lembang mengindikasikan bahwa genotipe pejantan memiliki kontribusi yang besar dalam mempengaruhi genotipe satu populasi.

Pemeriksaan pengaruh varian genotipe gen β-kasein lokus MspI pada produksi susu dan parameter kualitas susu dari sapi FH di wilayah kabupaten Lembang menghadapi kendala karena hanya satu genotipe yang ditemukan yaitu genotipe BB. Hal ini menyebabkan hubungan varian genotipe gen β-kasein dengan parameter kualitas dan produksi susu tidak bisa diketahui lebih lanjut.

Amplifikasi Gen Laktoferin

Amplifiksi ruas gen laktoferin dilakukan pada mesin thermal cycler(ESCO) dengan suhu annealing 60oC selama 45 menit. Panjang gen laktoferin yang teramplifikasi dalam penelitian adalah 301 pb sesuai panjang ruas DNA yang diapit oleh primer pada sekuen gen laktoferin (nomor akses gen bank AH000852S03 dan BOVLACTFER). Posisi penempelan pasangan primer pada sekuen gen laktoferin

81 pada intron 6 disajikan pada Gambar 11. Hasil amplifikasi ruas gen laktoferin yang divisualisasikan pada gel agarose dengan konsentrasi 1,5% disajikan pada Gambar 12.

3241 aaaaaaactc aatatcccac ataaggtcac ttaacataGC CTCATGACAA

3291 CTCCCACACc aaaacagtac tttattttgt aaattttgac

cattattact

3341 cccatgttat ggtcttttca gctgtcaagc aaacaaggtg aagaaaaaat

3391 ttagttagat gggggttgca cctggaaaat aaatttctta aactccatat

3441 acatgtttca aatctgctgg gtcccaagtc catctatgaa

Ttcccaggct

3491 gccagtatca tatgcagcat actaaagcta cgctatctga atagcttatt

3541 aattctgcat atatcagGTC AACCGATGTG TCAACCTGta

acagactgcg

Gambar 11. Posisi penempelan primer (cetak tebal) pada sekuen gen laktoferin, T bergaris bawah menunjukkan mutasi pada posisi basa ke 3481 (nomor akses AH000852S03 dan BOVLACTFER).

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Gambar 12. Visualisasi hasil amplifikasi ruas gen laktoferin pada gel agarose 1,5%. M: Marker 100 bp dan 1-11: ruas gen laktoferin.

Identifikasi Keragaman Gen Laktoferin

Identifikasi keragaman gen laktoferin intron 6 pada sapi perah FH dengan enzim restriksi EcoRI mengenali situs pemotongan G↓AATTC (Seyfert et al. 1994). Pada kerbau keragaman gen laktoferin disebabkan oleh adanya mutasi yang terjadi pada posisi basa ke 3481 (Seyfert et al. 1994). Terjadinya mutasi dari C menjadi T

82 (Gambar 13) menyebabkan citosin berubah menjadi timin sehingga situs pemotongan untuk enzim restriksi EcoRI berubah.

Alel A 3478-3483: 5’----CATCTATGAACTCCCAGGCT---- 3’ Alel B 3478-3483: 5’----CATCTATGAATTCCCAGGCT---- 3’

Gambar 13. Perbedaan sekuen gen laktoferin nomor akses gen bank AH000852S03 dan EU192148 yang disebabkan mutasi titik C – T (Alel A mempunyai basa C pada posisi basa ke (3481) sedangkan alel B mempunyai basa T) (Seyfert et al. 1994; Wojdak-Maksymiec 2006)

Panjang fragmen produk PCR gen laktoferin adalah 301 pb. Pemotongan gen laktoferin dengan enzim EcoRI menghasilkan genotipe AA, AB dan BB. Gen laktoferin genotipe BB dan AB ditunjukkan oleh pola dimerik (dua dan tiga pita) dan genotipe AA ditunjukkan oleh pola monomerik (pita tunggal) (Gambar 12). Alel AA memiliki panjang fragmen 301 (tidak terpotong), alel BB panjang fragmen

Dokumen terkait