• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan

Dalam dokumen BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 31-37)

5.3.1 Pengaruh Profitabilitas terhadap Manajemen Laba

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan pendekatan estimasi model random effect yang diperoleh menunjukkan koefisien regresi Profitabilitas (ROA) bertanda positif sebesar 0,255955. Kemudian dari hasil uji parsial diperoleh nilai t-statistik sebesar 7,304698 yang mana lebih besar dari t-tabel sebesar 1,9787 serta nilai signifikansi diperoleh sebesar 0,0000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variabel profitabilitas yang diproksikan dengan return on assets ratio berpengaruh terhadap manajemen laba dan tanda positif pada hasil t-statistik menunjukan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan return on assets ratio memiliki arah pengaruh positif. Jadi pada perusahaan sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang diteliti menunjukkan bahwa perusahaan dengan Profitabilitas (ROA) tinggi cenderung memiliki nilai Manajemen Laba (DA) yang tinggi. Dimana perusahan dengan Profitabilitas (ROA) yang semakin tinggi akan diikuti dengan meningkatnya Manajemen Laba (DA) begitupula sebaliknya.

Sebagai contoh, pada PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) tahun 2015-2016 mengalami peningkatan return on assets ratio sebesar 0,14032 pada tahun 2015 menjadi 0,16242 pada tahun 2016 akibat dari meningkatnya jumlah aset yang dimiliki perusahaan pada tahun 2015 sebesar Rp 166.173.000.000.000 menjadi Rp 179.661.000.000.000 pada tahun 2016. Sehingga tingkat discretionary accruals yang menjadi proksi manajemen laba pada PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) pun meningkat dari 0,16678 pada tahun 2015 menjadi 0,23641 pada tahun 2016. Hal serupa juga terjadi pada PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) tahun 2016-2017 mengalami peningkatan return on assets ratio sebesar 0,05510 pada tahun 2016 menjadi 0,09138 pada tahun 2017 akibat dari peningkatan jumlah aset perusahaan pada tahun 2016 Rp 23.620.268.000.000 menjadi Rp 25.595.785.000.000 pada tahun 2017. Diikuti dengan tingkat discretionary accruals yang menjadi proksi manajemen laba pada PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) meningkat dari 0,21380 pada tahun 2016 menjadi 0,21668 pada tahun 2017. Peningkatan

jumlah aset pada kedua perusahaan tersebut akibat dari peningkatan jumlah aset tetap yang cukup tinggi sebagai kontribusi dalam mendapatkan pendapatan dan laba yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi profitabilitas berarti semakin efektif dan efisien perusahaan menggunakan keseluruhan aset dalam menghasilkan laba. Oleh karena itu, semakin tinggi profitabilitas maka manajemen cenderung akan melakukan tindakan manajemen laba agar pihak manajemen mendapatkan bonus atau kompensasi dari para pemegang saham perusahaan (investor).

Bonus Plan dalam Teori Akuntansi Positif menjelaskan bahwa bonus plan (rencana bonus) merupakan salah satu motivasi manajemen dalam melakukan manajemen laba. Semakin besar profitabilitas maka perusahaan semakin tinggi pula tingkat praktik manajemen laba dengan cara meningkatkan laba (income maximization) agar mendapatkan bonus atau kompensasi. Teori yang telah diuraikan diatas dapat dibuktikan pada hasil penelitian ini dan sesuai dengan hasil penelitian bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif terhadap manajemen laba.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnama (2017), Putri (2017) dan Kartiyah (2018) yang menunjukkan hasil penelitiannya bahwa profitabilitas secara parsial berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, dkk (2015) dan Agustia dan Suryani (2018) yang menunjukkan hasil penelitiannya bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

5.3.2 Pengaruh Leverage terhadap Manajemen Laba

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel dengan pendekatan estimasi model random effect yang diperoleh menunjukkan koefisien regresi Leverage (DER), bertanda positif sebesar 0,014410. Kemudian dari hasil uji parsial diperoleh nilai t-statistik sebesar 3,152204 yang mana lebih besar dari t-tabel sebesar 1,9787 serta nilai signifikansi diperoleh sebesar 0,0020 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variabel leverage yang diproksikan dengan debt to equity ratio berpengaruh terhadap manajemen laba dan tanda positif pada hasil

t-statistik menunjukan bahwa leverage yang diproksikan dengan debt to equity ratio memiliki arah pengaruh positif. Jadi pada perusahaan sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang diteliti menunjukkan bahwa perusahaan dengan Leverage (DER) yang tinggi cenderung memiliki nilai Manajemen Laba (DA) yang tinggi. Dimana perusahan dengan Leverage (DER) yang semakin tinggi akan diikuti dengan meningkatnya Manajemen Laba (DA) begitupula sebaliknya.

Sebagai contoh, pada perusahaan Smartfren Telecom Tbk (FREN) tahun 2015-2016 mengalami peningkatan debt to equity ratio sebesar 2,02341 pada tahun 2015 menjadi 2,88585 pada tahun 2016 akibat meningkatnya tingkat utang perusahaan yakni Rp 13.857.375.727.684 pada 2015 menjadi Rp 16.937.857.089.434 pada 2016 dibandingkan dengan total modal yang dimiliki perusahaan dimana Rp 6.848.537.593.145 pada 2015 dan Rp 5.869.282.198.834 pada 2016. Peningkatan jumlah utang pada FREN akibat dari peningkatan jumlah utang usaha-pihak ketiga dan utang lain-lain–pihak berelasi yang cukup tinggi, sehingga tingkat discretionary accruals yang menjadi proksi manajemen laba pada perusahaan Smartfren Telecom Tbk (FREN) pun meningkat dari 0,21096 pada tahun 2015 menjadi 0,23487 pada tahun 2016. Serta pada perusahaan Cardig Aero Services Tbk (CASS) tahun 2016-2017 mengalami peningkatan debt to equity ratio sebesar 1,07221 pada tahun 2016 menjadi 1,38728 pada tahun 2017 akibat meningkatnya tingkat utang perusahaan yakni Rp 852.432.858.000 pada 2016 menjadi Rp 1.108.203.297.000 pada 2017 dibandingkan dengan total modal yang dimiliki perusahaan dimana Rp 795.021.924.000 pada 2016 dan Rp 798.831.533.000 pada 2017. Peningkatan jumlah utang pada CASS akibat dari peningkatan jumlah utang lain-lain–pihak berelasi dan utang bank yang cukup tinggi, sehingga tingkat discretionary accruals yang menjadi proksi manajemen laba pada perusahaan Cardig Aero Services Tbk (CASS) meningkat dari 0,04290 pada tahun 2016 menjadi 0,18370 pada tahun 2017. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi leverage berarti semakin tinggi pula modal perusahaan yang dijadikan sebagai jaminan utang oleh perusahaan. Oleh karena itu, semakin tinggi leverage maka manajemen cenderung akan melakukan tindakan manajemen laba

agar pihak manajemen dapat memperlancar proses kontrak utang karena pihak kreditur akan menilai baik kinerja perusahaan karena tingginya laba yang dimiliki perusahaan dan akan membuat para investor tertarik untuk menanamkan modalnya diperusahaan karena tingkat laba perusahaan yang tinggi.

Debt Covenant Hypothesis dalam Teori Akuntansi Positif menjelaskan bahwa perjanjian utang atau leverage merupakan salah satu motivasi manajemen dalam melakukan manajemen laba. Semakin besar leverage maka perusahaan semakin tinggi pula tingkat praktik manajemen laba dengan cara meningkatkan laba (income maximization). Teori diatas dapat dibuktikan pada hasil penelitian ini dan sesuai dengan hasil penelitian bahwa leverage memiliki pengaruh positif terhadap manajemen laba.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Farida (2014) dan Fatmasari (2016) yang menunjukkan bahwa leverage secara parsial berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Pernyataan tersebut juga di dukung oleh penelitian Kartiyah (2018) yang menunjukkan bahwa leverage yang diukur dengan DER mempunyai pengaruh terhadap manajemen laba. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardison et. Al (2012) dan Purnama (2017) yang menunjukkan hasil penelitiannya bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

5.3.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba

Berdasarkan hasil analisis analisis regresi data panel dengan pendekatan estimasi model random effect yang diperoleh menunjukkan koefisien regresi Ukuran Perusahaan (UP) bertanda positif sebesar 0,017599. Kemudian dari hasil uji parsial diperoleh nilai t-statistik sebesar 2,734712 yang mana lebih besar dari t-tabel sebesar 1,9787 serta nilai signifikansi diperoleh sebesar 0,0071 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa variabel ukuran perusahaan yang diproksikan dengan ln (total aset) berpengaruh terhadap manajemen laba dan tanda positif pada hasil t-statistik menunjukan bahwa ukuran perusahaan yang diproksikan dengan ln (total aset) memiliki arah pengaruh positif. Jadi pada perusahaan sektor

Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang diteliti menunjukkan bahwa perusahaan dengan ukuran perusahaan (ln (total aset)) yang tinggi cenderung memiliki nilai Manajemen Laba (DA) yang tinggi. Dimana perusahan dengan ukuran perusahaan (ln (total aset)) yang semakin tinggi akan diikuti dengan meningkatnya Manajemen Laba (DA) begitupula sebaliknya.

Namun hal ini bertolak belakang dengan teori yang menyatakan bahwa perusahaan yang besar cenderung melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan labanya agar terhindar dari biaya politis. Sebagaimana dijelaskan dalam Political Motivation dalam Teori Akuntansi Positif menjelaskan bahwa motivasi politik merupakan salah satu motivasi manajemen dalam melakukan manajemen laba. Perusahaan besar memiliki biaya politik tinggi cenderung akan melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba (income minimization) yang dilaporkan. Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah misalnya subsidi dan tingkat pajak yang rendah.

Pada praktiknya perusahaan dengan skala yang lebih besar cenderung melakukan praktik manajemen laba dengan cara menaikkan labanya sebagaimana dapat ditinjau dari nilai discretionary accruals-nya. Sebagai contoh, pada perusahaan Smartfren Telecom Tbk (FREN) tahun 2015-2016 mengalami peningkatan ln (total aset) sebesar 30,66144 pada tahun 2015 menjadi 30,75809 pada tahun 2016 akibat dari meningkatnya total aset perusahaan pada tahun 2015 sebesar Rp 20.705.913.320.829 menjadi Rp 22.807.139.288.268 pada tahun 2016. Peningkatan jumlah aset pada FREN akibat dari peningkatan jumlah kas dan setara yang cukup tinggi sebagai kontribusi dalam mendapatkan pendapatan dan laba yang tinggi, sehingga tingkat discretionary accruals yang menjadi proksi manajemen laba pada perusahaan Smartfren Telecom Tbk (FREN) meningkat dari 0,21096 pada tahun 2015 menjadi 0,23487 pada tahun 2016. Hal serupa terjadi juga pada PT XL Axiata (EXCL) tahun 2016-2017 mengalami peningkatan ln (total aset) sebesar 31,63647 pada tahun 2016 menjadi 31,66210 pada tahun 2017 akibat dari meningkatnya total aset perusahaan pada tahun 2016 sebesar Rp 54.896.286.000.000 menjadi Rp 56.321.441.000.000 pada tahun 2017.

Peningkatan jumlah aset pada EXCL akibat dari peningkatan jumlah kas dan setara kas yang cukup tinggi sebagai kontribusi dalam mendapatkan pendapatan dan laba yang tinggi, sehingga tingkat discretionary accruals yang menjadi proksi manajemen laba pada PT XL Axiata (EXCL) pun meningkat dari 0,24062 pada tahun 2016 menjadi 0,26691 pada tahun 2017.

Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi yang dijadikan sampel tidak menurunkan labanya untuk menghindari biaya politis tetapi meningkatkan labanya agar dapat menarik perhatian para investor. Sebagaimana dikemukakan oleh Agustia (2013) dimana perusahaan yang memiliki skala besar cenderung akan memerlukan dana yang lebih besar sehingga memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba agar dapat menarik perhatian investor dan kreditor untuk menanamkan dananya.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulianti (2017) dan Putri (2017) yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan secara berpengaruh terhadap manajemen laba. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manggau (2016) dan Arthawan dan I Wayan (2018) yang menunjukkan hasil penelitiannya bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

5.3.4 Pengaruh Profitabilitas, Leverage, dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba

Berdasarkan hasil model regresi yang dihitung memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,3794 yang berarti bahwa variabilitas variabel dependen yaitu manajemen laba (DA) dapat dijelaskan oleh variabel independen yaitu variable profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan dalam penelitian ini adalah sebesar 37,94%, sedangkan sisanya sebesar 62,06% dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model penelitian.

Dari perhitungan uji F diperoleh nilai F-hitung 26,08238. Nilai F-hitung yang dihasilkan pada persamaan regresi mempunyai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel atau 26,08238 > 2,675. Hasil yang diperoleh sejalan dengan nilai

signifikansi (0,0000) lebih kecil dari α = 0,05 (5%). Berarti H0 ditolak sehingga hasil pengujian adalah terdapat pengaruh secara simultan antara Profitabilitas (ROA), Leverage (DER), dan Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba pada perusahaan sektor Infrastruktur, Utilitas dan Transportasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dalam dokumen BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 31-37)

Dokumen terkait