• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 BAHAN DAN METODE

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penanaman bawang merah dilakukan pada musim kemarau dengan rata-rata suhu harian 29.89 °C, kelembapan 67.75%, curah hujan 45.50 mm dan intensitas radiasi cahaya matahari 352.75 Cal per cm2 per bulan (Lampiran 4). Kelembaban yang rendah merupakan kondisi yang optimum untuk pembungaan bawang merah. Periode pembungaan varietas Bima untuk semua perlakuan sama yaitu 22 hari setelah tanam (HST), Bauji 2 hari lebih cepat (20 HST) sedangkan Sumenep tidak berbunga.

Serangga yang mengunjungi bunga bawang merah selama periode pembungaan adalah lebah, kumbang cekak, tawon, kupu-kupu, dan lalat. Lebah

11

yang sering dijumpai pada bunga dan aktif berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga yang lain adalah lebah Apis spp., Trigona sp. dan Xylocopa sp, sedangkan kumbang cekak aktif mengelilingi permukaan bunga mekar pada satu tanaman.

Hama yang dominan menyerang tanaman bawang merah pada percobaan ini adalah belalang kecil dan besar. Belalang mengigit daun dan memotong tangkai umbel yang menyebabkan umbel rebah dan layu. Hama belalang banyak dijumpai pada tanaman bawang merah varietas Bima. Hama lainnya adalah ulat penggerek daun (Liriomyza chinensis) yang menyerang daun dan tangkai umbel dan banyak dijumpai pada varietas Bauji (Gambar 1A). Penyakit utama yang menyerang tanaman bawang merah adalah penyakit moler atau layu (Fusarium oxysporum) dan bercak ungu (Alternaria porri), antraknosa (Colletotricum spp.). Penyakit moler menyerang tanaman muda atau sebelum tanaman berbunga dan banyak dijumpai pada varietas Bima (Gambar 1B). Penyakit bercak ungu banyak menyerang tanaman varietas Bauji.

Gambar 1 Gejala serangan hama ulat penggerek daun (A) dan penyakit moler atau layu (B) pada tanaman bawang merah

Penyakit lainnya adalah tangkai bunga berwarna kuning kecoklatan dan serangan dimulai dari pangkal tangkai bunga, selanjutnya menyebar sampai ke bunga dan menyebabkan bunga menjadi kering dan layu. Varietas Sumenep merupakan varietas yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit fusarium, bercak ungu dan antraknosa karena selama percobaan tidak dijumpai hama ataupun penyakit yang menyerang tanaman bawang merah varietas Sumenep.

Pengendalian hama di lapang dilakukan dengan cara mekanis, yaitu dengan membuang ulat dan daun yang terserang, dan disemprot dengan insektisida berbahan aktif profenofos. Penyakit tanaman dikendalikan dengan mencabut dan membuang tanaman yang layu, dan penyemprotan fungisida yang berbahan aktif difenokonazol dan klorotalonil.

12

1 Pengaruh BAP dan Ukuran Umbi terhadap Peningkatan Pembungaan dan TSS Varietas Bima di Dataran Rendah

Pertumbuhan vegetatif tanaman

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara konsentrasi BAP dengan ukuran umbi baik terhadap pertumbuhan vegetatif, pembungaan, produksi TSS, mutu TSS maupun produksi umbi. Aplikasi BAP dan ukuran umbi secara tunggal berpengaruh terhadap jumlah daun, tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman (Tabel 1). Jumlah daun meningkat pada pemberian BAP 50 ppm, dan terus meningkat nyata pada 100 ppm dan kemudian menurun lagi pada konsentrasi lebih tinggi. Pertambahan jumlah daun ini diduga karena pemberian BAP 50 ppm dapat menekan dominansi apikal yang mendorong pertumbuhan tunas baru sehingga daun yang muncul berasal dari tunas utama dan tunas anakan. Karjadi dan Buchory (2008) melaporkan pemberian BAP dapat merangsang pembelahan sel yang mendorong pemanjangan tunas aksiler berkembang menjadi daun dan pertambahan jumlah daun bawang merah.

Putrasamedja (2007) menyatakan bahwa umbi besar bawang merah memiliki jumlah anakan yang lebih banyak. Hal yang sama pada tanaman bombay juga dikemukakan oleh Ashrafuzzaman et al. (2009) dan Ashagrie et al. (2014) bahwa umbi besar memiliki jumlah tunas yang lebih banyak. Semakin besar umbi semakin banyak tunas di dalam umbi yang akan berpengaruh pada pembentukan jumlah anakan dan jumlah daun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umbi sedang memiliki tunas anakan lebih banyak dibandingkan umbi kecil (Gambar 2). Masing-masing anakan umbi akan berkembang dan membentuk daun, sehingga daun pada umbi sedang lebih banyak daripada umbi kecil.

Gambar 2 Umbi bawang merah ukuran sedang mempunyai tunas anakan (i) dan ukuran kecil (ii)

13

Tabel 1 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur 42 hari setelah tanam (HST)

Perlakuan Jumlah daun (helai) Tinggi tanaman (cm) Konsentrasi BAP (ppm) 0 21.2 b 31.43 50 22.6 ab 31.12 100 25.0 a 32.26 150 21.8 b 31.40 200 23.4 ab 31.98 Rata-rata - 31.63 Ukuran umbi Kecil (3-4 g) 20.5 b 31.20 Sedang (5-10 g) 25.1 a 32.08 Rata-rata - 31.64 BAP x U tn tn KK (%) 8.2 5.5

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata Pemberian BAP dan ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Hal tersebut diduga karena BAP tidak berperan dalam perpanjangan sel melainkan pada pembelahan sel yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas dan daun. Tinggi tanaman antara umbi ukuran kecil dan sedang tidak berbeda nyata. Hasil penelitian Ashagrie et al. (2014) pada tanaman bawang bombay menunjukkan bahwa umbi ukuran kecil dan sedang tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman.

Pembungaan tanaman

Konsentrasi BAP berpengaruh terhadap persentase tanaman berbunga, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Sementara ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap tolok ukur pembungaan yang diamati (Tabel 2).

Aplikasi BAP 50 ppm mampu meningkatkan persentase tanaman berbunga dari 20.6% menjadi 38.3%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rosliani et al. (2013) yang menggunakan BAP 50 ppm dan varietas Bima, di dataran rendah Subang dan waktu aplikasi 1, 3 dan 5 MST, mampu meningkatkan pembungaan dari 11.7% menjadi 28.9%. Sementara Kurniasari (2015) menanam varietas Bima di Subang dengan aplikasi BAP 50 ppm pada 2, 4 dan 6 MST menyebabkan pembungaan meningkat dari 27.8% menjadi 38.9%. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi BAP konsisten meningkatkan pembungaan pada bawang merah yang sebelumnya telah divernalisasi. Dalam hal ini vernalisasi menyebabkan terjadinya inisiasi bunga, sementara aplikasi BAP memperkuat induksi sehingga dihasilkan persentase tanaman berbunga yang lebih banyak.

Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Rata-rata jumlah

14

bunga per umbel sebanyak 80.8 lebih rendah daripada hasil yang diperoleh Rosliani et al. (2013) sebanyak 89.04, tetapi lebih tinggi daripada hasil Kurniasari (2015) sebanyak 49.53. Namun rata-rata pembentukan kapsul dalam penelitian ini sebesar 53.2% lebih tinggi daripada penelitian Rosliani et al. (2013) sebesar 37.6% dan Kurniasari (2015) sebesar 45.7%. Hal ini diduga karena ketersediaan dan keragaman serangga penyerbuk yang tinggi karena banyak tanaman lain yang sedang tumbuh dan berbunga disekitar tanaman bawang merah yang mampu menarik polinator. Palupi et al. (2015) menunjukkan bahwa introduksi serangga penyerbuk mampu meningkatkan produksi TSS, dan diantara serangga penyerbuk Apis cerana adalah yang paling efektif meningkatkan pembentukan kapsul.

Tabel 2 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan persentase pembentukan kapsul Perlakuan Tanaman berbunga (%) Jumlah umbel per tanaman Jumlah bunga per umbel Pembentukan kapsul (%) Konsentrasi BAP (ppm) 0 20.6 b 1.3 88.1 46.0 50 38.3 a 1.2 81.5 52.4 100 41.0 a 1.4 74.9 58.6 150 31.6 ab 1.6 83.9 54.2 200 39.6 a 1.3 75.4 54.7 Rata-rata - 1.3 80.8 53.2 Ukuran umbi Kecil (3-4 g) 35.3 1.2 79.4 52.3 Sedang (5-10 g) 33.1 1.4 82.1 53.7 Rata-rata 34.2 1.3 80.7 53.0 BAP x U tn tn tn tn KK (%) 17.5 4.4 12.1 14.5

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata Ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap variabel pembungaan baik persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel, dan persentase pembentukan kapsul per umbel. Hal ini menunjukkan bahwa umbi kecil (3-4 g) mempunyai potensi untuk berbunga sama dengan umbi sedang, (5-10 g) sehingga dapat digunakan dalam produksi TSS.

Persentase tanaman berbunga dipengaruhi oleh BAP (R2 = 0.68) dengan pola respon bersifat kuadratik dimana konsentrasi BAP yang optimum adalah 133 ppm untuk menghasilkan persentase tanaman berbunga sebesar 40.3% (Y = -0.001x2 + 0.266x + 22.6) (Gambar 3). Pada konsentrasi yang lebih tinggi persentase tanaman berbunga menurun. Konsentrasi BAP yang optimum ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Rosliani et al. (2013) dan Kurniasari (2015). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi BAP optimum spesifik lokasi dan tidak dapat diaplikasikan secara umum disemua daerah.

15

Gambar 3 Kurva respon persentase tanaman berbunga terhadap peningkatan konsentrasi BAP.

Konsentrasi optimum ini hanya berlaku pada persentase tanaman berbunga. Berdasarkan analisis ragam peningkatan persentase tanaman berbunga dari perlakuan BAP 50 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi BAP 100, 150 dan 200 ppm (Tabel 2) yang memberi indikasi bahwa efektivitas induksi pembungaan tidak meningkat secara nyata dengan peningkatan konsentrasi BAP. Konsentrasi optimum BAP pada persentase tanaman berbunga dalam penelitian ini lebih tinggi dari pada hasil Rosliani et al. (2013) dan Kurniasari (2015) sebesar 50 ppm. Dalam hal ini data pengamatan pada umbi sedang dan umbi kecil digabung untuk mendapatkan konsentrasi optimum, sehingga diperoleh konsentrasi yang lebih tinggi.

Produksi TSS

Aplikasi BAP dan ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot (Tabel 3). Rata-rata jumlah TSS per umbel sebanyak 145.6 butir, bobot TSS per umbel 0.398 g per umbel dan bobot TSS per tanaman 0.484 g per tanaman. Hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Rosliani et al. (2013) yang melaporkan bahwa rata-rata jumlah TSS per umbel 75.5 butir, bobot TSS per umbel 0.323 g per umbel dan bobot TSS per tanaman 0.432 g per tanaman. Kurniasari (2015) memperoleh rata-rata jumlah TSS per umbel sebanyak 88.5, bobot TSS per umbel 0.302 g per umbel dan bobot TSS per tanaman 0.365 g per tanaman.

Tingginya rata-rata jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman diduga karena pembentukan kapsul dipengaruhi oleh aktivitas serangga penyerbuk. Sementara rata-rata bobot TSS per plot yang tinggi yaitu sebanyak 3.370 g per plot karena jumlah TSS per umbel yang tinggi juga. Sumarni dan Soetiarso (1998) menyatakan bahwa keberhasilan produksi biji

y = -0.001x2+ 0.266x + 22.6 R² = 0.68 0 10 20 30 40 50 0 50 100 150 200 P ers en ta se ta n a m a n b erb u n g a ( % ) Konsentrasi BAP (ppm) 133

16

bawang merah tergantung pada faktor persentase tanaman berbunga yang tinggi, kemampuan dari serangga sebagai polinator dan lingkungan yang mendukung untuk perkembangan biji. Data ini menunjukkan bahwa secara umum produksi TSS dalam penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kelembapan udara yang lebih rendah dan perbedaan suhu minimum dan maksimum yang tinggi selama pembungaan dan pemasakan biji apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

Tabel 3 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot

Perlakuan Jumlah TSS per umbel (butir) Bobot TSS per umbel (g) Bobot TSS per tanaman (g) Bobot TSS per plot (g) Konsentrasi BAP (ppm) 0 137.7 0.431 0.488 2.517 50 146.5 0.353 0.443 3.685 100 154.2 0.420 0.456 3.543 150 153.2 0.380 0.520 3.268 200 136.3 0.410 0.516 3.838 Rata-rata 145.6 0.398 0.484 3.370 Ukuran umbi Kecil (3-4 g) 143.4 0.415 0.489 3.638 Sedang (5-10 g) 147.7 0.382 0.480 3.100 Rata-rata 145.5 0.398 0.484 3.369 BAP x U tn tn tn tn KK (%) 13.2 3.0 4.4 15.6

Keterangan : tn : tidak nyata

Ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap produksi TSS. Hasil ini menunjukkan bahwa umbi kecil juga mampu menghasilkan TSS setara dengan umbi sedang. Hasil penelitian ini memberi indikasi bahwa untuk memproduksi TSS tidak harus menggunakan umbi sedang atau besar apabila kondisi lingkungan cukup mendukung pembungaan, penyerbukan dan pemasakan biji. Hasil pengamatan ini bertentangan dengan hasil penelitian Sumarni dan Soetiarso (1998) yang menyatakan bahwa ukuran umbi sedang atau besar (>5 g) menghasilkan TSS yang lebih tinggi dari pada umbi kecil.

Mutu TSS

Perbedaan konsentrasi BAP yang diaplikasikan berpengaruh terhadap bobot 1000 butir benih dan indeks vigor, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Ukuran umbi berpengaruh terhadap bobot 1000 butir benih tetapi tidak berpengaruh terhadap mutu TSS (Tabel 4). Peningkatan bobot 1000 butir pada konsentrasi BAP 100, 150 dan 200 ppm diduga karena daun juga mempengaruhi pengisian pasokan fotosintat pada sink. Oleh karena itu pengaruh tidak langsung dari BAP terhadap jumlah daun (Tabel 1) dan intensitas cahaya tinggi (Lampiran 4) mampu meningkatkan fotosintat

17

yang mendukung mobilisasi nutrisi untuk pengisian biji sehingga meningkatkan bobot 1000 butir yang lebih tinggi.

Indeks vigor benih meningkat setelah aplikasi BAP 100 ppm yang menunjukkan bahwa pemberian BAP mampu meningkatkan vigor benih. Indeks vigor benih ditunjukkan dengan struktur benih yang normal pada hitungan pertama yaitu hari ke-6 (Gambar 4). Indeks vigor berhubungan erat dengan peningkatan bobot 1000 butir benih (r = 0.97). Bobot 1000 butir benih yang tinggi mampu mendorong benih untuk berkecambah lebih cepat dan serempak karena cadangan makanan yang cukup dalam benih. Bobot 1000 butir tertinggi juga dijumpai pada umbi sedang, karena umbi sedang memiliki jumlah daun lebih banyak sebagai sumber fotosintat dibanding dengan umbi kecil (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan penelitian Ashrafuzzaman et al. (2009) dan Mollah et al. (2015) yang melaporkan bahwa semakin besar umbi bawang bombay maka bobot 1000 butir semakin tinggi.

Gambar 4 Perkecambahan TSS (A), kecambah normal (B), dan kecambah abnormal (C)

Tabel 4 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap bobot 1000 butir benih, indeks vigor (IV), daya berkecambah (DB) dan potensi tumbuh maksimum (PTM) Perlakuan Bobot 1000 butir benih (g) IV (%) DB (%) PTM (%) Konsentrasi BAP (ppm) 0 3.556 b 65.5 bc 71.0 81.5 50 3.519 b 58.8 c 78.0 83.0 100 3.663 a 72.0 ab 78.5 84.0 150 3.675 a 72.0 ab 76.5 81.5 200 3.688 a 75.0 a 81.0 88.0 Rata-rata - - 77.0 83.6 Ukuran umbi Kecil (3-4 g) 3.587 b 66.5 76.8 83.2 Sedang (5-10 g) 3.652 a 70.8 77.2 84.0 Rata-rata - 68.6 77.0 83.6 BAP x U tn tn tn tn KK (%) 3.8 11.9 12.5 8.1

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata

18

Aplikasi BAP dan ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Meskipun daya berkecambah benih tidak berbeda nyata namun daya berkecambah benih dengan perlakuan BAP memenuhi standar minimum benih bermutu yang ditetapkan Direktorat Bina Perbenihan (2007) sebesar 75%, sementara benih yang diperoleh tanpa perlakukan BAP tidak memenuhi standar minimum.

Produksi umbi

Aplikasi BAP hanya berpengaruh terhadap jumlah umbi per plot, sementara ukuran umbi hanya berpengaruh terhadap jumlah umbi per tanaman dan bobot umbi per tanaman (Tabel 5). Jumlah umbi per plot meningkat dengan pemberian BAP hingga 100 ppm dan menurun pada konsentrasi yang lebih tinggi. Penambahan jumlah umbi per tanaman ini berhubungan erat dengan penambahan jumlah daun (r = 0.88) yang mempengaruhi jumlah umbi per plot. Daun yang muncul dari tunas-tunas baru tersebut berkembang membentuk umbi lapis, karena umbi lapis merupakan hasil diferensiasi dari daun.

Tabel 5 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot

Perlakuan Jumlah umbi

per tanaman

Bobot umbi per tanaman (g) Jumlah umbi per plot Bobot umbi per plot (g) Konsentrasi BAP (ppm) 0 5.6 32.355 80.0 ab 433.370 50 5.5 39.460 81.0 ab 490.170 100 6.3 37.085 98.3 a 506.330 150 5.6 37.610 77.3 ab 380.350 200 5.8 38.610 74.0 b 432.560 Rata-rata 5.7 37.024 - 448.556 Ukuran umbi Kecil (3-4 g) 5.1 b 34.480 b 80.8 460.410 Sedang (5-10 g) 6.4 a 39.570 a 83.4 436.700 Rata-rata - - 82.1 448.555 BAP x U tn tn tn tn KK (%) 15.4 16.7 20.8 23.7

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata Aplikasi BAP hingga konsentrasi 200 ppm tidak berpengaruh terhadap jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman dan bobot umbi per plot. Persentase tanaman berbunga pada tanaman yang tidak diberi BAP lebih rendah daripada yang diberi BAP (Tabel 2), tetapi produksi umbi tidak berbeda nyata diantara keduanya. Data ini menunjukkan bahwa pembungaan tidak menurunkan produksi umbi.

Jumlah umbi per tanaman paling tinggi diperoleh pada umbi sedang, karena umbi sedang memiliki jumlah anakan yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan

19

bahwa untuk perbanyakan benih umbi sebaiknya menggunakan umbi sedang. Hal ini dipertegas oleh Sumarni dan Soetiarso (1998) yang menyatakan bahwa semakin besar ukuran benih umbi semakin banyak jumlah anakan umbi per tanaman. Peningkatan jumlah umbi per tanaman ini mempengaruhi peningkatan bobot umbi per tanaman. Jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot tidak dipengaruhi oleh ukuran umbi. Hal ini menunjukkan bahwa umbi kecil mampu membentuk umbi besar juga dengan bobot umbi relatif sama dengan yang dihasilkan umbi sedang.

2 Pengaruh BAP terhadap Pembungaan dan Produksi TSS Varietas Bauji dan Sumenep di Dataran Rendah

Pertumbuhan vegetatif tanaman

Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan varietas terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Jumlah daun dan tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP bahkan hingga konsentrasi 250 ppm (Tabel 6).

Tabel 6 Pengaruh BAP dan varietas terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur 42 hari setelah tanaman (HST)

Perlakuan Jumlah daun (helai) Tinggi tanaman (cm) Konsentrasi BAP (ppm) 0 19.9 24.14 50 21.9 24.07 100 20.3 24.37 150 20.5 24.71 200 20.4 24.16 250 21.6 24.41 Rata-rata 20.7 24.31 Varietas Bauji 23.2 a 26.50 a Sumenep 18.4 b 22.12 b Rata-rata - - BAP x V tn tn KK (%) 9.3 4.9

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata Varietas Bauji memiliki jumlah daun lebih banyak dan tanamannya lebih tinggi dibanding Sumenep. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah daun dan tinggi tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik masing-masing varietas. Berdasarkan deskripsi tanaman, varietas Bauji memiliki jumlah daun dan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan Sumenep (Putrasamedja & Suwandi 1996).

20

Pembungaan dan produksi TSS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi BAP hingga 250 ppm belum mampu menginduksi pembungaan varietas Sumenep sehingga data pembungaan, produksi TSS dan mutu fisiologis TSS yang ditampilkan hanya data varietas Bauji (Gambar 5). Putrasamedja dan Suwandi (1996) melaporkan bahwa Sumenep memiliki karakteristik tidak mampu berbunga dengan baik secara alami maupun secara buatan. Putrasamedja dan Permadi (2004) melaporkan bahwa GA3 sampai konsentrasi 40 ppm yang diaplikasikan dengan merendam umbi bawang merah selama 80 menit belum mampu menginisiasi pembungaan pada varietas Sumenep.

Gambar 5 Tanaman bawang merah varietas Bauji pada saat berbunga (A), dan Sumenep tidak berbunga (B)

Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman dan jumlah bunga per umbel tetapi berpengaruh terhadap jumlah kapsul per umbel (Tabel 7). Rata-rata persentase jumlah kapsul per umbel 62.2-70% pada semua perlakuan. Persentase tanaman berbunga tidak berbeda nyata antara kontrol dengan diberi BAP karena Bauji memiliki kemampuan mudah berbunga. Jumlah kapsul per umbel yang tinggi diduga karena kondisi lingkungan yang mendukung seperti kelembapan rendah, intensitas cahaya matahari yang tinggi dan perbedaan suhu udara minimum dan maksimum yang tinggi, yang dapat mempengaruhi waktu kunjungan serangga penyerbuk dan juga mendukung proses pemasakan biji dan produksi TSS (Tabel 8).

Rata-rata produksi TSS Bauji (Tabel 8) lebih tinggi dibandingkan dengan Bima (Tabel 3). Analisis uji-t menunjukkan bahwa jumlah TSS per umbel (P > 0.0001), bobot TSS per umbel (P > 0.01), bobot TSS per tanaman (P > 0.0001) dan bobot TSS per plot (P > 0.0001) varietas Bauji lebih tinggi dibandingkan varietas Bima.

21

Tabel 7 Pengaruh BAP terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel pada varietas Bauji Perlakuan Tanaman berbunga (%) Jumlah umbel per tanaman Jumlah bunga per umbel

Jumlah kapsul per umbel Konsentrasi BAP (ppm) 0 22.9 1.2 63.3 44.4 ab 50 34.4 1.3 74.6 50.3 ab 100 27.5 1.4 63.4 36.0 b 150 41.4 1.5 102.9 69.9 a 200 34.4 1.5 87.9 56.3 ab 250 37.9 1.6 90.8 56.5ab Rata-rata 33.0 1.4 80.5 - KK (%) 21.8 7.6 16.8 16.1

Keterangan : Varietas Sumenep tidak berbunga sehingga data yang ditunjukkan hanya Bauji, Tabel 8 Pengaruh BAP terhadap jumlah TSS per umbel, Bobot TSS per umbel,

Bobot TSS per tanaman dan Bobot TSS per plot pada varietas Bauji Perlakuan Jumlah TSS per umbel Bobot TSS per umbel (g) Bobot TSS per tanaman (g) Bobot TSS per plot (g) Konsentrasi BAP (ppm) 0 154.4 0.460 0.556 4.057 50 175.1 0.503 0.653 6.933 100 145.3 0.390 0.500 4.083 150 231.7 0.513 0.790 9.320 200 168.2 0.410 0.596 6.503 250 204.3 0.460 0.706 7.693 Rata-rata 179.8 0.456 0.634 6.431 KK (%) 15.5 4.6 8.2 28.9

Keterangan : Varietas Sumenep tidak berbunga sehingga data yang ditunjukkan hanya Bauji Tingginya produksi TSS Bauji terkait dengan karakter Bauji yang mudah berbunga, sedangkan Bima memiliki karakter agak sulit berbunga. Produksi TSS rata-rata per tanaman mencapai 0.634 g, maka dengan populasi 250 000 tanaman per hektar perkiraan produksi dapat mencapai 158.5 kg ha-1.

Korelasi antar Peubah Pembungaan dan Produksi TSS

Hasil uji korelasi (Tabel 9) menunjukkan bahwa terdapat keeratan hubungan yang positif antara peubah pembungaan dengan produksi TSS. Jumlah bunga per umbel berhubungan erat dengan jumlah kapsul per umbel (r = 0.95). Hal ini mengindikasikan bahwa setiap penambahan jumlah bunga per umbel maka peluang terbentuknya jumlah kapsul per umbel akan meningkat dengan proporsi 0.95.

22

Tabel 9 Koefisien korelasi antara jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot pada perlakuan BAP

Peubah JBU JKU JTU BTU BTT BTP

JBU - JKU 0.95** - JTU 0.91* 0.92** - BTU 0.45tn 0.62tn 0.69tn - BTT 0.88* 0.92** 0.98** 0.79tn - BTP 0.94** 0.93** 0.95** 0.66tn 0.96** - Keterangan: JBU : jumlah bunga per umbel, JKU : jumlah kapsul per umbel, JTU : jumlah TSS

per umbel, BTU : bobot TSS per umbel, BTT : bobot TSS per tanaman, BTP : bobot TSS per plot, ** : berbeda nyata pada taraf α = 1%, * : berbeda nyata pada taraf α = 5%, tn : tidak nyata.

Sementara jumlah kapsul per umbel berkorelasi erat dengan jumlah TSS per umbel (r = 0.92), dan bobot TSS per tanaman (r = 0.92). Peningkatan satu satuan kapsul per umbel diikuti oleh peningkatan jumlah TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman. Bobot TSS per tanaman berkorelasi erat dengan bobot TSS per plot (r = 0.96) yang berarti setiap penambahan satu satuan bobot TSS per tanaman akan meningkatkan bobot TSS per plot dengan proporsi 0.96.

Mutu TSS

Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap bobot 1000 butir benih tetapi berpengaruh terhadap indeks vigor, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 10). Pemberian BAP 150 dan 200 ppm menurunkan indeks vigor dan daya berkecambah dibanding dengan kontrol. Potensi tumbuh maksimum menurun pada konsentrasi 100, 150 dan 200 ppm. Meskipun terjadi penurunan mutu benih tetapi persentasenya masih diatas standar minimum benih bermutu bawang merah yaitu 75% (Direktorat Bina Perbenihan 2007), kecuali benih dari perlakuan aplikasi BAP 200 ppm.

Tabel 10 Pengaruh BAP terhadap bobot 1000 butir benih, indeks vigor (IV), daya berkecambah (DB) dan Potensi tumbuh maksimum (PTM) pada

Dokumen terkait