• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Bap Untuk Meningkatkan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium Ascalonicum) Pada Varietas Bima, Bauji Dan Sumenep Di Dataran Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Bap Untuk Meningkatkan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium Ascalonicum) Pada Varietas Bima, Bauji Dan Sumenep Di Dataran Rendah"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI BAP UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI

BENIH BOTANI BAWANG MERAH (

Allium ascalonicum

)

PADA VARIETAS BIMA, BAUJI DAN SUMENEP DI

DATARAN RENDAH

FATIANI MANIK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Aplikasi BAP untuk Meningkatkan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium ascalonicum) pada Varietas Bima, Bauji dan Sumenep di Dataran Rendah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

FATIANI MANIK. Aplikasi BAP untuk Meningkatkan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium ascalonicum) pada Varietas Bima, Bauji dan Sumenep di Dataran Rendah. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan M. RAHMAD SUHARTANTO.

True Shallot Seed (TSS) biasanya diproduksi dengan menggunakan benih umbi ukuran sedang dan besar. Benih umbi berukuran kecil diduga sulit untuk berbunga sehingga sulit untuk memproduksi TSS. Umbi ukuran sedang dan besar diperlukan baik untuk produksi TSS, produksi umbi konsumsi maupun untuk konsumsi secara langsung sehingga ketiga pemanfaatan tersebut bersaing pada saat ketersediaan umbi di pasar rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi optimum BAP untuk menginduksi pembungaan, dan produksi TSS dari umbi kecil.

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo (240 m dpl) dan Laboratorium Penyimpanan dan Pengujian Mutu Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, dari bulan Maret hingga November 2015. Penelitian terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama untuk mempelajari pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap peningkatan pembungaan dan TSS varietas Bima di dataran rendah. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 3 ulangan dan dua faktor yaitu konsentrasi BAP (0, 50, 100, 150 dan 200 ppm) sebagai faktor pertama dan ukuran umbi (kecil 3-4 g dan sedang 5-10 g) sebagai faktor kedua. Percobaan kedua untuk mempelajari pengaruh BAP terhadap pembungaan dan produksi TSS varietas Bauji dan Sumenep di dataran rendah. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP (0, 50, 100, 150, 200 dan 250 ppm) dan faktor kedua adalah varietas (Bauji dan Sumenep) dengan 3 ulangan.

Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap persentase tanaman berbunga, sementara pemberian BAP 50 ppm sudah meningkatkan persentase tanaman berbunga. Produksi TSS tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP maupun ukuran umbi. Bobot 1000 butir TSS dari umbi sedang lebih tinggi daripada umbi kecil, sementara konsentrasi BAP 100 ppm juga dapat meningkatkan bobot 1000 butir. Ukuran umbi tidak mempengaruhi daya berkecambah TSS. TSS yang dihasilkan baik dari umbi kecil maupun sedang dan dari perlakuan BAP memenuhi persyaratan minimum benih bermutu. Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa perlakuan BAP tidak meningkatkan produksi maupun mutu TSS varietas Bauji. TSS varietas Bauji yang dihasilkan memenuhi persyaratan minimal benih bermutu kecuali yang diberi perlakuan BAP 200 ppm. Pemberian BAP sampai 250 ppm belum dapat menginduksi pembungaan pada varietas Sumenep.

(6)

SUMMARY

FATIANI MANIK. BAP application to increase of true shallot seed (Allium ascalonicum) of Bima, Bauji and Sumenep varieties in laowland. Supervised by ENDAH RETNO PALUPI and M. RAHMAD SUHARTANTO.

.

True Shallot Seed (TSS) is usually produced from medium and large onion bulb. Small size bulb is considered unable to flower, therefore unable to produce TSS. Medium and large size bulb were needed for TSS production, bulb production and also consumption therefore competition for those uses arises when supply is low or scarse. This research was aimed to determine the optimum concentration of BAP to induce flowering and production of TSS in small size bulb.

Field experiment was carried out at Leuwikopo research station (240 m asl), seed quality analysis was at Seed Storage and Seed Quality Testing Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture IPB, from March until November 2015. This research consisted of two experiments. The first experiment was to study effect of BAP concentration and size of bulbs on flowering and TSS production of Bima varieties (regarded as relatively easy to flower) at lowland. The experiment was arranged in randomized completely block design (RCBD) with three replications and two factors, i. e. BAP concentration (0, 50, 100. 150, 200 ppm) and size of mother bulbs (small sized : 3-4 g and medium sized 5-10 g). The second experiment was induction of flowering using BAP on Sumenep varieties (regarded as non flowering varieties) to produce TSS. The experiment was arranged in randomized completely block design (RCBD) with two factors, i. e. BAP concentration (0, 50, 100, 150, 200, 250 ppm) and varieties Sumenep and Bauji (regarded as easy flowering varieties as control) with three replications.

The results from first experiment showed that size of bulbs did not affect the percentage of flowering plants, while application of BAP 50 ppm increased the percentage of flowering plants. TSS production was not affected by concentration of BAP and bulb size. Weight of 1000 seeds of medium bulbs was higher than those from small bulbs, while application of BAP 100 ppm increased weight of 1000 seeds. Bulb size did not affect germination rate. TSS produced from small and medium size bulbs and BAP treatments met the minimum requirement of quality seeds. The second experiment showed BAP application did not improve production and quality TSS of Bauji varieties. TSS of Bauji varieties met the minimum requirement of quality seeds except those treated with BAP 200 ppm. BAP application up to 250 ppm BAP was unable to induce flowering on varieties Sumenep.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih

APLIKASI BAP UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI

BENIH BOTANI BAWANG MERAH (

Allium ascalonicum

)

PADA VARIETAS BIMA, BAUJI DAN SUMENEP DI

DATARAN RENDAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Aplikasi BAP untuk Meningkatkan Produksi Benih Botani Bawang Merah (Allium ascalonicum) pada Varietas Bima, Bauji dan Sumenep di Dataran Rendah. Penulisan tesis ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc dan Dr Ir M Rahmad Suhartanto, MSi selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak perencanaan, pelaksanaan sampai penyelesaian penyusunan tesis ini.

2. Dr Ir Faiza C. Suwarno MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Ani Kurniawati, MS sebagai perwakilan program studi pada ujian tesis atas saran dan masukannya.

3. Suami tercinta (Jesron Saragih) dan anak-anak tersayang (Vincent Seniardo Saragih dan Mohanendra Noel Christian Saragih) atas segala pengorbanan dan kesabarannya.

4. Ayahanda (B Manik) dan ibunda (S Simbolon (+)) serta abang (Sariaman Manik, Johansen Manik), kakak (Elisda Manik) dan adik (Soalaroha Manik) serta seluruh keluarga besar atas restu dan doanya.

5. Seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, khususnya para dosen Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih IPB yang telah mencurahkan ilmunya kepada kami.

6. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan tugas belajar. 7. Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) Kementrian

Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan dana untuk pelaksanaan penelitian. 8. Keluarga besar ITB 2013 atas bantuan dan motivasinya.

9. Keluarga besar Kebun Percobaan Berastagi atas motivasi dan doanya. 10. Senior dan teman-teman di Balitbu Tropika atas motivasi dan doanya. 11. Senior dan teman-teman di Balitsa Lembang atas motivasi dan doanya. 12. Seluruh teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan namanya

satu-persatu. Terima kasih atas dukungan dan doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan ilmu pertanian masa depan.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Botani dan Kekerabatan Bawang Merah 2

Mekanisme Pembungaan Bawang Merah 3

Pengaruh Ukuran Umbi Terhadap Pembungaan Bawang Merah 4

Pembungaan 5

Induksi pembungaan dengan BAP 6

3 BAHAN DAN METODE 6

Tempat dan Waktu Penelitian 6

Bahan 6

Prosedur 7

Pelaksanaan Penelitian 8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Keadaan Umum 10

Pengaruh BAP dan Ukuran Umbi Terhadap Peningkatan Pembungaan dan TSS Varietas Bima di Dataran Rendah 12 Pengaruh BAP Terhadap Pembungaan dan Produksi TSS Varietas Bauji

dan Sumenep di Dataran Rendah 19

5 KESIMPULAN DAN SARAN 24

Kesimpulan 24 Saran 24

6 DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 29

(16)

DAFTAR TABEL

1 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur 42 hari setelah tanam (HST) 13 2 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap persentase tanaman berbunga,

jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan persentase

pembentukan kapsul 14

3 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot 16 4 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap bobot 1000 butir benih,

indeks vigor, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum 17 5 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah umbi per tanaman,

bobot umbi per tanaman, jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot 18 6 Pengaruh BAP dan varietas terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman

pada umur 42 HST 19

7 Pengaruh BAP terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel

pada varietas Bauji 21

8 Pengaruh BAP terhadap jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot pada varietas Bauji 21 9 Koefisien korelasi antara jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per

umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot pada perlakuan BAP 22 10 Pengaruh BAP terhadap bobot 1000 butir benih, indeks vigor, daya

berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada varietas Bauji 22 11 Pengaruh BAP dan varietas terhadap jumlah umbi per tanaman, bobot

umbi per tanaman, jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot 23

DAFTAR GAMBAR

1 Gejala serangan hama ulat penggerek daun (A) dan penyakit moler atau

layu (B) pada tanaman bawang merah 11

2 Umbi bawang merah ukuran sedang mempunyai tunas anakan (i) dan

ukuran kecil (ii) 12

3 Kurva respon persentase tanaman berbunga terhadap peningkatan

konsentrasi BAP 15

4 Perkecambahan TSS (A), kecambah normal (B), dan kecambah

abnormal (C) 17

5 Tanaman bawang merah varietas Bauji pada saat berbunga (A), dan

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes 29

2 Deskripsi bawang merah varietas Bauji 30

3 Deskripsi bawang merah varietas Sumenep 31 4 Rata-rata data iklim di dataran rendah Leuwikopo (240 m dpl) pada

(18)
(19)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi bawang merah nasional tahun 2012, 2013, dan 2014 terus meningkat berturut-turut sebesar 954 363, 1 012 879, dan 1 074 611 ton. Peningkatan produksi disebabkan oleh meningkatnya luas panen pada tahun 2012 seluas 99 519 Ha menjadi 120 707 hektar pada tahun 2014 (BPS 2015). Peningkatan luas panen harus diikuti dengan ketersediaan benih bermutu yang semakin banyak.

Bawang merah biasanya diproduksi dengan menggunakan benih umbi yang disisihkan dari bawang merah konsumsi yang mutunya tidak terjamin dan tidak kontiniu. Kelangkaan benih umbi disebabkan produksi bawang merah yang bersifat musiman dan tidak dapat disimpan lama. Hilman et al. (2014) menyatakan bahwa kelangkaan benih bawang merah terjadi karena petani menjual benih umbi yang sudah disisihkan untuk musim tanam berikutnya ketika harga bawang merah di pasar cenderung naik. Oleh karena itu Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian no: 131/Kpts/SR.130/D/11/2015 menggalakkan penggunaan benih bawang merah dalam bentuk biji (TSS).

Penggunaan true shallot seed (TSS) sebagai benih memiliki kelebihan diantaranya adalah bebas penyakit terbawa benih dan virus, sehingga menghasilkan tanaman yang lebih sehat dengan produktivitas lebih tinggi (Putrasamedja 1995; Sumarni et al. 2005). Selain itu penggunaan TSS dapat meningkatkan hasil sampai 2 kali lipat dan pendapatan bersih antara 22-70 juta rupiah dibanding penggunaan benih umbi tradisional (Basuki 2009). Kelebihan lainnya adalah dapat disimpan lebih lama serta tidak memerlukan tempat yang luas.

Budidaya produksi TSS sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1990-an melalui beberapa penelitian. Sumarni dan Soetiarso (1998) memperoleh TSS tertinggi varietas Bima sebanyak 0.34 g per tanaman dari perlakuan kombinasi ukuran benih umbi >5 g dan waktu tanam musim kemarau di dataran medium Majalengka; Rosliani et al. (2012) menghasilkan TSS varietas Bima di dataran tinggi sebanyak 1.02 g per tanamanmelalui pemberian BAP 100 ppm, dan 1.05 g per tanaman melalui aplikasi boron 3 kg ha-1; Fahrianty (2013) melaporkan kombinasi perlakuan vernalisasi dan GA3 200 ppm mampu menghasilkan TSS varietas Bima di dataran tinggi 0.22 g per tanaman dan di dataran rendah sebanyak 0.21 g per tanaman. Rosliani et al. (2013) menghasilkan TSS varietas Bima di dataran rendah sebanyak 0.52 g per tanaman melalui pemberian 50 ppm BAP.

(20)

2

Hasil penelitian lainnya, Palupi et al. (2015) menyatakan bahwa introduksi Apis cerana yang dikerodong dapat meningkatkan TSS di dataran rendah dari 0.31 g per tanaman menjadi 0.50 g per tanaman, sedangkan di dataran tinggi meningkat dari 0.88 g per tanaman menjadi 1.38 g per tanaman. Sementara itu Kurniasari (2015) melaporkan bahwa konsentrasi BAP 50 ppm yang diberikan pada 2, 4, dan 6 minggu setelah tanam (MST) dan introduksi Apis cerana disekitar pertanaman dapat meningkatkan TSS varietas Bima di dataran rendah dari 0.06 g per tanaman menjadi 0.26 g per tanaman.

Penelitian pengembangan budidaya produksi TSS bawang merah selama ini masih menggunakan satu ukuran umbi yaitu > 5 g. Hasil penelitian Ashrafuzzaman et al. (2009), Khokhar (2009) dan Mollah et al. (2015) pada bawang bombay menggunakan umbi besar menghasilkan TSS yang lebih tinggi dari pada ukuran kecil, walaupun mutu benih yang dihasilkan tidak berbeda. Azmi et al. (2011) menyatakan bahwa ketersediaan umbi ukuran besar masih terbatas, dan dapat meningkatkan biaya produksi sebesar 33-40 % dibandingkan umbi kecil. Sementara pengembangan budidaya yang mengkombinasikan ukuran umbi dengan BAP di dataran rendah belum banyak informasinya sehingga perlu untuk diteliti.

Setiap varietas mempunyai kemampuan berbunga yang berbeda. Tidak semua varietas bawang merah di Indonesia mudah berbunga secara alami. Bawang merah yang mampu berbunga secara alami adalah varietas Kuning, relatif mudah berbunga adalah Bauji, agak sukar berbunga adalah Bima dan sulit berbunga adalah Sumenep (Putrasamedja & Suwandi 1996). Teknik budidaya produksi TSS pada umumnya menggunakan varietas Bima karena varietas ini disukai konsumen. Keberhasilan produksi TSS ditunjang oleh karakter varietas Bima yang mampu berbunga walaupun agak sulit. Oleh karena itu teknik tersebut perlu untuk diterapkan pada varietas lain dengan kategori kemudahan berbunga berbeda. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian peningkatan produksi TSS dengan menggunakan ukuran umbi yang berbeda pada varietas yang memiliki kemampuan berbunga berbeda.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan konsentrasi optimum BAP untuk meningkatkan pembungaan, produksi dan mutu TSS dari ukuran umbi berbeda varietas Bima.

2. Memanfaatkan teknologi peningkatan produksi TSS pada varietas Bauji dan Sumenep di dataran rendah.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Perbanyakan Bawang Merah

(21)

3

Bawang merah termasuk dalam kelompok agregatum (Allium cepa var. Agregatum). Allium cepa var. Agregatum dicirikan oleh adanya beberapa tunas vegetatif yang berkembang menjadi tunas daun yang lebih kecil daripada kelompok bawang Bombay (Allium cepa var. Cepa). Oleh karena itu Allium cepa varietas Agregatum membentuk kluster umbi sementara Allium cepa varietas Cepa membentuk umbi tunggal.

Tanaman bawang merah biasanya ditanam dua kali setahun. Memiliki perakaran dangkal yang panjangnya 30 cm dari permukaan tanah. Batang sangat pendek berada di dalam tanah yang berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus. Daun diproduksi dari meristem apikal, dan muncul melalui batang semu yang dibentuk oleh basis daun dan diselubungi oleh daun-daun yang lebih tua, warnanya hijau dan berongga (Yamaghuci 1983). Pada cakram diantara lapisan kelopak daun terdapat mata tunas yang mampu tumbuh menjadi tanaman baru yang disebut tunas lateral atau anakan (Rukmana 1994). Inisiasi tunas lateral mulai terjadi pada apex (pucuk meristematik) dan berdiferensiasi membentuk anakan umbi setelah daun ketiga (Krontal et al. 1998). Tunas-tunas lateral tersebut akan membentuk cakram baru, hingga dapat membentuk umbi lapis. Berdasarkan sifat di atas, maka bawang merah bersifat merumpun, dan tiap umbi dapat menjadi beberapa umbi (2-20 anakan) (Rukmana 1994).

Pembungaan muncul apabila diberi perlakuan vernalisasi. Tiap rangkaian tandan bunga (umbel) memiliki 50-200 kuntum bunga. Penyerbukan biasanya dilakukan oleh serangga. Benih dapat disimpan beberapa tahun pada suhu dingin dan kelembapan rendah. Di daerah tropis dengan suhu tinggi dan kelembapan tinggi, TSS hanya dapat disimpan kurang dari satu tahun (Yamaghuci 1983). TSS yang disimpan selama 4 tahun dalam aluminium foil pada ruang dingin dengan suhu 5 °C daya berkecambah benih mencapai 88.5% (Amjad & Anjum 2002).

Tanaman bawang merah dapat diperbanyak secara vegetatif dan generatif. Perbanyakan vegetatif menggunakan umbi dengan menanam umbi bawang secara utuh atau dengan memotong sepertiga bagian atas umbi (Rukmana 1994). Perbanyakan vegetatif memiliki keuntungan karena caranya lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan pembiakan generatif. Perbanyakan secara generatif dilakukan melalui pembentukan bunga dan akhirnya akan menghasilkan biji. Keunggulan perbanyakan dengan TSS adalah kualitas benih jelas dan produksi lebih tinggi dibanding dengan umbi. Produksi TSS dipengaruhi oleh pembungaan tanaman. Pembungaan yang jelek menurunkan produksi dan kualitas TSS (Krontal et al. 2000). Keunggulan lainnya yaitu kebutuhan benih untuk perbanyakan umbi dengan menggunakan TSS sekitar 7.5 kg ha-1 dibanding umbi sekitar 1.5 t ha-1, sehingga mengurangi biaya produksi untuk benih (Basuki 2009).

Mekanisme Pembungaan Bawang Merah

(22)

4

monopodial dan simpodial menjadi awal pembentukan meristem generatif (Kamenetsky & Rabinowitch 2012). Selanjutnya meristem lateral membentuk tunas adventif aktif, dan pembentukan daun bawang merah terus di meristem ketiak bersamaan dengan perkembangan bunga pada apex (Krontal et al. 2000).

Kamenetsky dan Rabinowitch (2012) menyatakan bahwa selama tahap vegetatif, meristem apikal dan primordia daun terbentuk dimulai dari pinggiran menuju titik tengah. Pada transisi meristem apikal dari vegetatif ke generatif, meristem membesar membentuk sebuah bentuk lengkungan, seludang pembungaan yang terbentuk di ujung dan inisiasi daun berhenti. Seludang perbungaan muncul seperti lingkaran, dengan cepat memanjang dan menyelubungi meristem reproduksi. Selanjutnya Kamenetsky dan Rabinowitch (2012) menyatakan bahwa inisiasi bunga terjadi di salah satu titik pusat setelah panjang batang mencapai 5-7 mm. Masing-masing titik pusat berdiferensiasi. Setiap titik pusat membesar ditutupi oleh selaput tipis dan berisi 6 atau 7 kluster bunga yang sedang berkembang. Inisiasi dan diferensiasi primordia baru terus berlanjut bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan bunga. Pembungaan bawang merah terdiri dari kluster yang berisi 5-10 kuncup bunga sehingga muncul dalam satu rangkaian umbel bunga. Menurut Krontal et al. (1998) diferensiasi bunga bawang merah dimulai dari bagian meristem apikal yang dibagi menjadi empat titik pusat yaitu inisiasi primordial daun pada meristem apikal, inisiasi tunas lateral, inisiasi bunga dan diferensiasi.

Veit (2009) menyatakan bahwa aktivitas meristem pucuk apikal adalah salah satu parameter penentu hasil biji. Meristem pucuk apikal membentuk daun baru, yang menghasilkan bunga kemudian membentuk biji setelah pembuahan yang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pengatur transkripsi, reseptor enzim kinase dan hormon tanaman.

Pengaruh Ukuran Umbi terhadap Pembungaan Bawang Merah

Penggunaan umbi benih berkaitan erat dengan total bobot benih yang diperlukan dan sekaligus mempengaruhi biaya produksi benih menjadi lebih tinggi (Azmi et al. 2011). Berdasarkan ukurannya umbi benih bawang merah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu umbi benih besar (Ø = >1.8 cm atau >10 g), umbi benih sedang (Ø = 1.5-1.8 cm atau 5-10 g), dan umbi benih kecil (Ø = <1.5 cm atau <5 g) (Sumarni & Hidayat 2005).

Ukuran umbi berperan penting dalam produksi benih. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ukuran umbi mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil TSS. Sumarni dan Soetiarso (1998) pada bawang merah umbi besar menghasilkan TSS 56.1-79.6% lebih tinggi dibandingkan umbi kecil. Khokhar et al. (2009) pada bawang bombay umbi besar memproduksi TSS 5-12% lebih tinggi dibandingkan dengan umbi kecil; Morozowska dan Holubowicz (2009) menyatakan bahwa umbi besar mampu menghasilkan TSS 38.4-50.7% dari pada umbi kecil. Hasil penelitian Ashagrie et al. (2014) menunjukkan bahwa produksi TSS dari umbi besar 41.6% lebih tinggi dari pada umbi kecil.

(23)

5

Asaduzzaman et al. (2012) berpendapat bahwa meningkatnya hasil TSS per tanaman seiring dengan semakin besarnya ukuran umbi, hal ini diduga disebabkan bahwa umbi ukuran besar memiliki pasokan bahan makanan dan air yang lebih banyak.

Pada tanaman tulip umbi besar menghasilkan bunga tulip besar, umbi kecil menghasilkan bunga yang kecil. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan source-sink. Selama periode antara penanaman dan berbunga, persentase pengembalian bahan kering pada umbi generatif bergantung dari ukuran umbi. Distribusi bahan kering pada saat berbunga juga bergantung pada ukuran benih umbi. Skala jumlah bahan kering yang diangkut dari umbi ke pembungaan tulip, pada umbi kecil sekitar 85% sedangkan umbi besar persentasenya hanya 40%, sehingga jumlah bahan kering yang tersisa berbeda. Sementara persentase yang diangkut ke anakan umbi tidak pernah melebihi 12% pada saat berbunga. Umbi tulip berukuran besar sebelum perlakuan dingin atau segera ditanam mengakibatkan sistem sebanding dengan umbi berukuran kecil. Bahan kering yang hilang sedikit lebih banyak pada periode tanam sampai berbunga, persentase bahan kering lebih tinggi diangkut ke bunga tulip dan bunga tulip sendiri mengandung persentase berat kering yang lebih rendah (Fransen & Voskens 1997).

Pembungaan

Variasi genetik dan morfologi bawang merah yang ada sebanyak 16 kultivar yang dibagi ke dalam 2 grup. Grup 1 diantaranya kultivar Bima, Crok, Tiron, Biru dan Pilip yang memiliki persentase kesamaan berkisar antara 0.72-0.86. Grup 2 adalah kultivar Bauji, Manjung, Trisula, Katumi, Kuning, Mentes, Pikatan, Sanraen, Pancasona, Sembrani dan Sumenep dengan persentase kesamaan 0.71-0.87 (Laila et al. 2013).

Putrasamedja dan Suwandi (1996) menyatakan bahwa varietas Bauji memiliki karakter relatif mudah berbunga, Bima agak sulit berbunga, sedangkan Sumenep memiliki karakteristik tidak mampu berbunga baik secara alami maupun secara buatan. Putrasamedja dan Permadi (2004) melaporkan bahwa GA3 sampai konsentrasi 40 ppm yang diaplikasikan dengan merendam umbi bawang merah selama 80 menit belum mampu menginisiasi pembungaan Sumenep.

Inisiasi pembungaan sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Interaksi genetik dengan lingkungan mempengaruhi serangkaian proses molekuler dan biokimia, yang mengarah ke transisi dari fase vegetatif menjadi reproduksi (Bernier et al. 1993). Selain faktor genetik, fase pertumbuhan tanaman juga mempengaruhi inisiasi pembungaan. Inisiasi bunga dapat terjadi jika tanaman sudah membentuk 4-14 helai daun tergantung genotype. Jumlah daun yang konstan adalah indikator terbaik dari umur fisiologis tanaman (Khokhar 2014).

(24)

6

meningkat dua kali lipat pada suhu 10 °C – 16 °C dengan panjang hari 15 jam. Sementara suhu yang panas 20 °C – 29 °C setelah tanam dapat menekan inisiasi dan berkembangnya bunga (Khokhar 2014).

Induksi Pembungaan dengan BAP

Zat pengatur tumbuh (ZPT) seperti giberelin, auksin, sitokinin dan asam absisik telah berhasil digunakan untuk menginisiasi pembungaan. Hormon tanaman khususnya sitokinin memiliki peran dalam perkembangan organ bunga. Sitokinin turunan adenin adalah hormon tanaman yang pertama kali diidentifikasi sebagai faktor yang merangsang pembelahan sel dan aktif dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk inisiasi tunas, pertumbuhan dominasi apikal, menghambat senesen dan perkembangan photomorphogenik. Sitokinin mampu untuk menginisiasi tunas dari kalus dalam kultur jaringan dan meristem ektopik yang di produksi dalam tanaman (D’Agostino & Kieber 1999).

Sitokinin secara tidak langsung pada kondisi cahaya dan suhu yang optimum dapat meningkatkan produksi bunga dengan meningkatkan percabangan dan tunas lateral, sehingga memungkinkan pembentukan bunga pada tanaman mawar dan anyelir (Halevy 1983). BAP mampu meningkatkan pembungaan tanaman angrek dari 20% menjadi 85% pada konsentrasi 200 mg L-1 (Nambiar et al. 2012).

Hasil penelitian Ishimori dan Niimi (2007) pada tanaman Lilium menunjukkan bahwa aplikasi BAP konsentrasi 4.4 μM dapat meningkatkan pembungaan sebesar 16.6%. Hasil yang sama dan aplikasi BAP pada konsentrasi yang sama juga diperoleh Sajjad et al. (2014) pada gladiol. Pan dan Xu (2011) menyatakan bahwa aplikasi BA 160 mg L-1 pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) dapat meningkatkan jumlah bunga betina, dari 15 kuntum per malai menjadi 156 kuntum per malai.

3 BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo (240 m dpl) dan laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret sampai dengan November 2015.

Bahan

(25)

7

berasal dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) dengan ciri-ciri umbi keras dan tidak menunjukkan gejala terserang penyakit. Bahan lain yang digunakan adalah Benzilaminopurin (BAP).

Umbi bibit yang digunakan sudah berumur 30 hari setelah panen, diseleksi dengan memilih umbi yang sehat dan memisahkannya berdasarkan ukuran yang dibutuhkan, kemudian disimpan dalam cool storage untuk perlakuan vernalisasi pada suhu 10 °C selama 30 hari.

Prosedur

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu (1) Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap peningkatan pembungaan dan TSS varietas Bima di dataran rendah dan (2) Pengaruh BAP terhadap pembungaan dan produksi TSS varietas Bauji dan Sumenep di dataran rendah. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi BAP untuk menginduksi pembungaan dan produksi TSS dari ukuran umbi berbeda varietas Bima di dataran rendah. Percobaan kedua dilakukan untuk mempelajari pengaruh BAP terhadap pembungaan dan produksi TSS dari umbi yang seragam varietas Bauji dan Sumenep di dataran rendah.

1. Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap peningkatan pembungaan dan TSS varietas Bima di dataran rendah

Percobaan dilaksanakan dalam rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP yang terdiri atas lima taraf: 0, 50, 100, 150, dan 200 ppm. Faktor kedua adalah ukuran umbi yang terdiri atas dua taraf: kecil (3-4 g) dan sedang (5-10 g). Setiap perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 30 tanaman, dan 10 tanaman diambil sebagai sampel.

Model linear yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

= + + + + +

Keterangan:

i : BAP

j : ukuran umbi

k : kelompok (1, 2, 3)

Yij : nilai pengamatan pada konsentrasi BAP ke-i, ukuran umbi ke-j dan kelompok ke-k;

µ : nilai tengah pengamatan;

αi : pengaruh utama dari konsentrasi BAP ke-i;

βj : pengaruh utama dari ukuran umbi ke-j;

(αβ)ij : komponen interaksi konsentrasi BAP ke-i dan ukuran umbi ke-j; pk : pengaruh aditif kelompok ke-k;

(26)

8

2. Pengaruh BAP terhadap pembungaan dan produksi TSS varietas Bauji dan Sumenep di dataran rendah

Percobaan dilaksanakan dalam rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP yang terdiri atas enam taraf: 0, 50, 100, 150, 200, 250 ppm. Faktor kedua adalah varietas yang terdiri atas Bauji, varietas yang mudah berbunga dan Sumenep varietas yang sulit berbunga. Ukuran umbi yang digunakan adalah seragam. Setiap perlakuan diulang tiga kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 30 tanaman, dan diambil 10 tanaman sebagai sampel.

Model linear yang digunakan dalam percobaan ini adalah:

= + + + + +

Keterangan:

i : BAP

j : varietas

k : kelompok (1, 2, 3)

Yij : nilai pengamatan dari pengaruh konsentrasi BAP ke-i, pengaruh varietas ke-j dan kelompok ke-k;

µ : nilai tengah pengamatan;

αi : pengaruh utama dari konsentrasi BAP ke-i;

βj : pengaruh utama dari varietas ke-j;

(αβ)ij : komponen interaksi dari konsentrasi BAP ke-i dan varietas ke-j; pk : pengaruh aditif kelompok ke-k;

εijk : pengaruh acak yang menyebar normal

Pelaksanaan Penelitian

Penanaman dilakukan dengan menggunakan media tanam berupa campuran antara tanah, pupuk kandang kambing dan arang sekam (3:2:1), ditambah dengan dolomit 1 ton ha-1. Media dimasukkan dalam polibag berukuran 40 cm x 45 cm. Setiap polibag ditanami tiga umbi dengan jarak tanam 20 cm antar umbi. Tingkat kedalaman tanam sebatas tiga per empat bagian umbi (±1.5 cm dari dasar umbi). Polibag ditempatkan pada bedengan dan diberi naungan plastik bening UV dengan ketebalan 1 mm. Naungan plastik dibuat pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam (MST). Pemupukan dilakukan seminggu sekali menggunakan NPK (16:16:16) dengan dosis 1 g per polibag (setara 600 kg ha-1) yang dilarutkan ke dalam 100 mL air. Larutan pupuk diaplikasikan setiap minggu mulai umur 1 MST hingga 10 MST.

(27)

9

Pemanenan umbel dilakukan apabila sudah benar-benar matang dengan ciri-ciri 20-30% kapsul mengering, dilanjutkan dengan pengeringan kemudian perontokan. Pengujian mutu fisiologis benih dilakukan dengan menggunakan metode di atas kertas dalam cawan petri, kemudian benih dikecambahkan dalam germinator standar Seedburo Equipment pada suhu 25 °C. Setiap perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 25 butir benih.

Peubah yang diamati adalah: A. Pertumbuhan dan produksi

1. Tinggi tanaman, diukur pada umur 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 MST: diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun terpanjang

2. Jumlah daun, dihitung pada umur 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 MST

3. Persentase tanaman berbunga: dihitung berdasarkan jumlah tanaman berbunga pada satuan percobaan

4. Jumlah umbel per tanaman: rata-rata jumlah umbel pada satu tanaman 5. Jumlah bunga per umbel: rata-rata jumlah bunga dalam satu umbel 6. Jumlah kapsul per umbel: rata-rata jumlah kapsul pada satu umbel 7. Jumlah umbi per tanaman dan per plot

8. Bobot umbi per tanaman dan per plot (g)

9. Jumlah TSS per umbel: rata-rata jumlah TSS pada satu umbel 10.Bobot TSS per umbel, per tanaman dan per plot (g)

B. Uji mutu benih TSS 11.Bobot 1000 butir:

Bobot 1000 butir benih dihitung dengan menghitung rata-rata bobot 100 butir benih murni sebanyak 8 kali (8 ulangan), kemudian rata-rata dari penimbangan 8 ulangan dikalikan 10 dengan syarat koefisien variasi tidak melebihi atau sama dengan 4,0 (ISTA 2014).

Koefisien variasi dihitung dengan rumus:

= ∑ − ∑

Keterangan :

X : berat masing-masing ulangan (dalam gram) N : jumlah ulangan

∑ : jumlah dari

Standar deviasi s = √

= ̅

Keterangan :

X = berat rata-rata 100 butir 12.Daya berkecambah (DB)

(28)

10

dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal (KN) pada pengamatan I (hari ke-6) dan pengamatan II (hari ke-12).

Daya berkecambah dihitung dengan rumus:

DB % = Ʃ KN hitungan I + Ʃ KN hitungan IIƩ benih yang ditanam × %

Keterangan :

KN : kecambah normal 13.Indeks vigor (IV)

Indeks vigor ditetapkan berdasarkan persentase kecambah normal (KN) pada saat hitungan I (hari ke-6).

Indeks vigor dihitung dengan rumus:

IV % = Ʃ kecambah normal pada hitungan pertamaƩ benih yang ditanam × %

14.Potensi tumbuh maksimum (PTM)

Potensi tumbuh maksimum merupakan persentase kecambah normal dan abnormal yang muncul hingga hari ke-12 pengamatan.

Potensi tumbuh maksimum dihitung dengan rumus :

PTM % = Ʃ benih yang berkecambah Ʃ benih yang ditanam × %

Analisis Data

Analisis data menggunakan sidik ragam (Uji F), apabila perlakuan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (DMRT) pada α = 5%. Analisis konsentrasi BAP pada beberapa peubah menggunakan respon regresi polynomial.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penanaman bawang merah dilakukan pada musim kemarau dengan rata-rata suhu harian 29.89 °C, kelembapan 67.75%, curah hujan 45.50 mm dan intensitas radiasi cahaya matahari 352.75 Cal per cm2 per bulan (Lampiran 4). Kelembaban yang rendah merupakan kondisi yang optimum untuk pembungaan bawang merah. Periode pembungaan varietas Bima untuk semua perlakuan sama yaitu 22 hari setelah tanam (HST), Bauji 2 hari lebih cepat (20 HST) sedangkan Sumenep tidak berbunga.

(29)

11

yang sering dijumpai pada bunga dan aktif berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga yang lain adalah lebah Apis spp., Trigona sp. dan Xylocopa sp, sedangkan kumbang cekak aktif mengelilingi permukaan bunga mekar pada satu tanaman.

Hama yang dominan menyerang tanaman bawang merah pada percobaan ini adalah belalang kecil dan besar. Belalang mengigit daun dan memotong tangkai umbel yang menyebabkan umbel rebah dan layu. Hama belalang banyak dijumpai pada tanaman bawang merah varietas Bima. Hama lainnya adalah ulat penggerek daun (Liriomyza chinensis) yang menyerang daun dan tangkai umbel dan banyak dijumpai pada varietas Bauji (Gambar 1A). Penyakit utama yang menyerang tanaman bawang merah adalah penyakit moler atau layu (Fusarium oxysporum) dan bercak ungu (Alternaria porri), antraknosa (Colletotricum spp.). Penyakit moler menyerang tanaman muda atau sebelum tanaman berbunga dan banyak dijumpai pada varietas Bima (Gambar 1B). Penyakit bercak ungu banyak menyerang tanaman varietas Bauji.

Gambar 1 Gejala serangan hama ulat penggerek daun (A) dan penyakit moler atau layu (B) pada tanaman bawang merah

Penyakit lainnya adalah tangkai bunga berwarna kuning kecoklatan dan serangan dimulai dari pangkal tangkai bunga, selanjutnya menyebar sampai ke bunga dan menyebabkan bunga menjadi kering dan layu. Varietas Sumenep merupakan varietas yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit fusarium, bercak ungu dan antraknosa karena selama percobaan tidak dijumpai hama ataupun penyakit yang menyerang tanaman bawang merah varietas Sumenep.

(30)

12

1 Pengaruh BAP dan Ukuran Umbi terhadap Peningkatan Pembungaan dan TSS Varietas Bima di Dataran Rendah

Pertumbuhan vegetatif tanaman

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara konsentrasi BAP dengan ukuran umbi baik terhadap pertumbuhan vegetatif, pembungaan, produksi TSS, mutu TSS maupun produksi umbi. Aplikasi BAP dan ukuran umbi secara tunggal berpengaruh terhadap jumlah daun, tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman (Tabel 1). Jumlah daun meningkat pada pemberian BAP 50 ppm, dan terus meningkat nyata pada 100 ppm dan kemudian menurun lagi pada konsentrasi lebih tinggi. Pertambahan jumlah daun ini diduga karena pemberian BAP 50 ppm dapat menekan dominansi apikal yang mendorong pertumbuhan tunas baru sehingga daun yang muncul berasal dari tunas utama dan tunas anakan. Karjadi dan Buchory (2008) melaporkan pemberian BAP dapat merangsang pembelahan sel yang mendorong pemanjangan tunas aksiler berkembang menjadi daun dan pertambahan jumlah daun bawang merah.

Putrasamedja (2007) menyatakan bahwa umbi besar bawang merah memiliki jumlah anakan yang lebih banyak. Hal yang sama pada tanaman bombay juga dikemukakan oleh Ashrafuzzaman et al. (2009) dan Ashagrie et al. (2014) bahwa umbi besar memiliki jumlah tunas yang lebih banyak. Semakin besar umbi semakin banyak tunas di dalam umbi yang akan berpengaruh pada pembentukan jumlah anakan dan jumlah daun. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umbi sedang memiliki tunas anakan lebih banyak dibandingkan umbi kecil (Gambar 2). Masing-masing anakan umbi akan berkembang dan membentuk daun, sehingga daun pada umbi sedang lebih banyak daripada umbi kecil.

(31)

13

Tabel 1 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur 42 hari setelah tanam (HST)

Perlakuan Jumlah daun (helai) Tinggi tanaman (cm) Konsentrasi BAP (ppm)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata

Pemberian BAP dan ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman. Hal tersebut diduga karena BAP tidak berperan dalam perpanjangan sel melainkan pada pembelahan sel yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas dan daun. Tinggi tanaman antara umbi ukuran kecil dan sedang tidak berbeda nyata. Hasil penelitian Ashagrie et al. (2014) pada tanaman bawang bombay menunjukkan bahwa umbi ukuran kecil dan sedang tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman.

Pembungaan tanaman

Konsentrasi BAP berpengaruh terhadap persentase tanaman berbunga, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan persentase pembentukan kapsul. Sementara ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap tolok ukur pembungaan yang diamati (Tabel 2).

Aplikasi BAP 50 ppm mampu meningkatkan persentase tanaman berbunga dari 20.6% menjadi 38.3%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rosliani et al. (2013) yang menggunakan BAP 50 ppm dan varietas Bima, di dataran rendah Subang dan waktu aplikasi 1, 3 dan 5 MST, mampu meningkatkan pembungaan dari 11.7% menjadi 28.9%. Sementara Kurniasari (2015) menanam varietas Bima di Subang dengan aplikasi BAP 50 ppm pada 2, 4 dan 6 MST menyebabkan pembungaan meningkat dari 27.8% menjadi 38.9%. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi BAP konsisten meningkatkan pembungaan pada bawang merah yang sebelumnya telah divernalisasi. Dalam hal ini vernalisasi menyebabkan terjadinya inisiasi bunga, sementara aplikasi BAP memperkuat induksi sehingga dihasilkan persentase tanaman berbunga yang lebih banyak.

(32)

14

bunga per umbel sebanyak 80.8 lebih rendah daripada hasil yang diperoleh Rosliani et al. (2013) sebanyak 89.04, tetapi lebih tinggi daripada hasil Kurniasari (2015) sebanyak 49.53. Namun rata-rata pembentukan kapsul dalam penelitian ini sebesar 53.2% lebih tinggi daripada penelitian Rosliani et al. (2013) sebesar 37.6% dan Kurniasari (2015) sebesar 45.7%. Hal ini diduga karena ketersediaan dan keragaman serangga penyerbuk yang tinggi karena banyak tanaman lain yang sedang tumbuh dan berbunga disekitar tanaman bawang merah yang mampu menarik polinator. Palupi et al. (2015) menunjukkan bahwa introduksi serangga penyerbuk mampu meningkatkan produksi TSS, dan diantara serangga penyerbuk Apis cerana adalah yang paling efektif meningkatkan pembentukan kapsul.

Tabel 2 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan persentase pembentukan kapsul

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata

Ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap variabel pembungaan baik persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel, dan persentase pembentukan kapsul per umbel. Hal ini menunjukkan bahwa umbi kecil (3-4 g) mempunyai potensi untuk berbunga sama dengan umbi sedang, (5-10 g) sehingga dapat digunakan dalam produksi TSS.

(33)

15

Gambar 3 Kurva respon persentase tanaman berbunga terhadap peningkatan konsentrasi BAP.

Konsentrasi optimum ini hanya berlaku pada persentase tanaman berbunga. Berdasarkan analisis ragam peningkatan persentase tanaman berbunga dari perlakuan BAP 50 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi BAP 100, 150 dan 200 ppm (Tabel 2) yang memberi indikasi bahwa efektivitas induksi pembungaan tidak meningkat secara nyata dengan peningkatan konsentrasi BAP. Konsentrasi optimum BAP pada persentase tanaman berbunga dalam penelitian ini lebih tinggi dari pada hasil Rosliani et al. (2013) dan Kurniasari (2015) sebesar 50 ppm. Dalam hal ini data pengamatan pada umbi sedang dan umbi kecil digabung untuk mendapatkan konsentrasi optimum, sehingga diperoleh konsentrasi yang lebih tinggi.

Produksi TSS

Aplikasi BAP dan ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot (Tabel 3). Rata-rata jumlah TSS per umbel sebanyak 145.6 butir, bobot TSS per umbel 0.398 g per umbel dan bobot TSS per tanaman 0.484 g per tanaman. Hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Rosliani et al. (2013) yang melaporkan bahwa rata-rata jumlah TSS per umbel 75.5 butir, bobot TSS per umbel 0.323 g per umbel dan bobot TSS per tanaman 0.432 g per tanaman. Kurniasari (2015) memperoleh rata-rata jumlah TSS per umbel sebanyak 88.5, bobot TSS per umbel 0.302 g per umbel dan bobot TSS per tanaman 0.365 g per tanaman.

Tingginya rata-rata jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman diduga karena pembentukan kapsul dipengaruhi oleh aktivitas serangga penyerbuk. Sementara rata-rata bobot TSS per plot yang tinggi yaitu sebanyak 3.370 g per plot karena jumlah TSS per umbel yang tinggi juga. Sumarni dan Soetiarso (1998) menyatakan bahwa keberhasilan produksi biji

(34)

16

bawang merah tergantung pada faktor persentase tanaman berbunga yang tinggi, kemampuan dari serangga sebagai polinator dan lingkungan yang mendukung untuk perkembangan biji. Data ini menunjukkan bahwa secara umum produksi TSS dalam penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kelembapan udara yang lebih rendah dan perbedaan suhu minimum dan maksimum yang tinggi selama pembungaan dan pemasakan biji apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

Tabel 3 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot

Perlakuan Jumlah TSS

per umbel

Keterangan : tn : tidak nyata

Ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap produksi TSS. Hasil ini menunjukkan bahwa umbi kecil juga mampu menghasilkan TSS setara dengan umbi sedang. Hasil penelitian ini memberi indikasi bahwa untuk memproduksi TSS tidak harus menggunakan umbi sedang atau besar apabila kondisi lingkungan cukup mendukung pembungaan, penyerbukan dan pemasakan biji. Hasil pengamatan ini bertentangan dengan hasil penelitian Sumarni dan Soetiarso (1998) yang menyatakan bahwa ukuran umbi sedang atau besar (>5 g) menghasilkan TSS yang lebih tinggi dari pada umbi kecil.

Mutu TSS

(35)

17

yang mendukung mobilisasi nutrisi untuk pengisian biji sehingga meningkatkan bobot 1000 butir yang lebih tinggi.

Indeks vigor benih meningkat setelah aplikasi BAP 100 ppm yang menunjukkan bahwa pemberian BAP mampu meningkatkan vigor benih. Indeks vigor benih ditunjukkan dengan struktur benih yang normal pada hitungan pertama yaitu hari ke-6 (Gambar 4). Indeks vigor berhubungan erat dengan peningkatan bobot 1000 butir benih (r = 0.97). Bobot 1000 butir benih yang tinggi mampu mendorong benih untuk berkecambah lebih cepat dan serempak karena cadangan makanan yang cukup dalam benih. Bobot 1000 butir tertinggi juga dijumpai pada umbi sedang, karena umbi sedang memiliki jumlah daun lebih banyak sebagai sumber fotosintat dibanding dengan umbi kecil (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan penelitian Ashrafuzzaman et al. (2009) dan Mollah et al. (2015) yang melaporkan bahwa semakin besar umbi bawang bombay maka bobot 1000 butir semakin tinggi.

Gambar 4 Perkecambahan TSS (A), kecambah normal (B), dan kecambah abnormal (C)

Tabel 4 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap bobot 1000 butir benih, indeks vigor (IV), daya berkecambah (DB) dan potensi tumbuh maksimum (PTM)

Perlakuan Bobot 1000

butir benih (g)

(36)

18

Aplikasi BAP dan ukuran umbi tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum. Meskipun daya berkecambah benih tidak berbeda nyata namun daya berkecambah benih dengan perlakuan BAP memenuhi standar minimum benih bermutu yang ditetapkan Direktorat Bina Perbenihan (2007) sebesar 75%, sementara benih yang diperoleh tanpa perlakukan BAP tidak memenuhi standar minimum.

Produksi umbi

Aplikasi BAP hanya berpengaruh terhadap jumlah umbi per plot, sementara ukuran umbi hanya berpengaruh terhadap jumlah umbi per tanaman dan bobot umbi per tanaman (Tabel 5). Jumlah umbi per plot meningkat dengan pemberian BAP hingga 100 ppm dan menurun pada konsentrasi yang lebih tinggi. Penambahan jumlah umbi per tanaman ini berhubungan erat dengan penambahan jumlah daun (r = 0.88) yang mempengaruhi jumlah umbi per plot. Daun yang muncul dari tunas-tunas baru tersebut berkembang membentuk umbi lapis, karena umbi lapis merupakan hasil diferensiasi dari daun.

Tabel 5 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot

Perlakuan Jumlah umbi

per tanaman

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α = 5%, tn : tidak berbeda nyata

Aplikasi BAP hingga konsentrasi 200 ppm tidak berpengaruh terhadap jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman dan bobot umbi per plot. Persentase tanaman berbunga pada tanaman yang tidak diberi BAP lebih rendah daripada yang diberi BAP (Tabel 2), tetapi produksi umbi tidak berbeda nyata diantara keduanya. Data ini menunjukkan bahwa pembungaan tidak menurunkan produksi umbi.

(37)

19

bahwa untuk perbanyakan benih umbi sebaiknya menggunakan umbi sedang. Hal ini dipertegas oleh Sumarni dan Soetiarso (1998) yang menyatakan bahwa semakin besar ukuran benih umbi semakin banyak jumlah anakan umbi per tanaman. Peningkatan jumlah umbi per tanaman ini mempengaruhi peningkatan bobot umbi per tanaman. Jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot tidak dipengaruhi oleh ukuran umbi. Hal ini menunjukkan bahwa umbi kecil mampu membentuk umbi besar juga dengan bobot umbi relatif sama dengan yang dihasilkan umbi sedang.

2 Pengaruh BAP terhadap Pembungaan dan Produksi TSS Varietas Bauji dan Sumenep di Dataran Rendah

Pertumbuhan vegetatif tanaman

Hasil penelitian menunjukkan tidak terjadi interaksi antara BAP dengan varietas terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Jumlah daun dan tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh konsentrasi BAP bahkan hingga konsentrasi 250 ppm (Tabel 6).

Tabel 6 Pengaruh BAP dan varietas terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman pada umur 42 hari setelah tanaman (HST)

Perlakuan Jumlah daun (helai) Tinggi tanaman (cm) Konsentrasi BAP (ppm)

Rata-rata 20.7 24.31 Varietas

(38)

20

Pembungaan dan produksi TSS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi BAP hingga 250 ppm belum mampu menginduksi pembungaan varietas Sumenep sehingga data pembungaan, produksi TSS dan mutu fisiologis TSS yang ditampilkan hanya data varietas Bauji (Gambar 5). Putrasamedja dan Suwandi (1996) melaporkan bahwa Sumenep memiliki karakteristik tidak mampu berbunga dengan baik secara alami maupun secara buatan. Putrasamedja dan Permadi (2004) melaporkan bahwa GA3 sampai konsentrasi 40 ppm yang diaplikasikan dengan merendam umbi bawang merah selama 80 menit belum mampu menginisiasi pembungaan pada varietas Sumenep.

Gambar 5 Tanaman bawang merah varietas Bauji pada saat berbunga (A), dan Sumenep tidak berbunga (B)

Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman dan jumlah bunga per umbel tetapi berpengaruh terhadap jumlah kapsul per umbel (Tabel 7). Rata-rata persentase jumlah kapsul per umbel 62.2-70% pada semua perlakuan. Persentase tanaman berbunga tidak berbeda nyata antara kontrol dengan diberi BAP karena Bauji memiliki kemampuan mudah berbunga. Jumlah kapsul per umbel yang tinggi diduga karena kondisi lingkungan yang mendukung seperti kelembapan rendah, intensitas cahaya matahari yang tinggi dan perbedaan suhu udara minimum dan maksimum yang tinggi, yang dapat mempengaruhi waktu kunjungan serangga penyerbuk dan juga mendukung proses pemasakan biji dan produksi TSS (Tabel 8).

Rata-rata produksi TSS Bauji (Tabel 8) lebih tinggi dibandingkan dengan Bima (Tabel 3). Analisis uji-t menunjukkan bahwa jumlah TSS per umbel (P > 0.0001), bobot TSS per umbel (P > 0.01), bobot TSS per tanaman (P > 0.0001) dan bobot TSS per plot (P > 0.0001) varietas Bauji lebih tinggi dibandingkan varietas Bima.

(39)

21

Tabel 7 Pengaruh BAP terhadap persentase tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel dan jumlah kapsul per umbel pada varietas Bauji

Jumlah kapsul per umbel

Keterangan : Varietas Sumenep tidak berbunga sehingga data yang ditunjukkan hanya Bauji,

Tabel 8 Pengaruh BAP terhadap jumlah TSS per umbel, Bobot TSS per umbel, Bobot TSS per tanaman dan Bobot TSS per plot pada varietas Bauji Perlakuan Jumlah TSS

per umbel

Rata-rata 179.8 0.456 0.634 6.431

KK (%) 15.5 4.6 8.2 28.9

Keterangan : Varietas Sumenep tidak berbunga sehingga data yang ditunjukkan hanya Bauji

Tingginya produksi TSS Bauji terkait dengan karakter Bauji yang mudah berbunga, sedangkan Bima memiliki karakter agak sulit berbunga. Produksi TSS rata-rata per tanaman mencapai 0.634 g, maka dengan populasi 250 000 tanaman per hektar perkiraan produksi dapat mencapai 158.5 kg ha-1.

Korelasi antar Peubah Pembungaan dan Produksi TSS

(40)

22

Tabel 9 Koefisien korelasi antara jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot pada perlakuan BAP

Peubah JBU JKU JTU BTU BTT BTP Keterangan: JBU : jumlah bunga per umbel, JKU : jumlah kapsul per umbel, JTU : jumlah TSS

per umbel, BTU : bobot TSS per umbel, BTT : bobot TSS per tanaman, BTP : bobot TSS per plot, ** : berbeda nyata pada taraf α = 1%, * : berbeda nyata pada taraf α = 5%, tn : tidak nyata.

Sementara jumlah kapsul per umbel berkorelasi erat dengan jumlah TSS per umbel (r = 0.92), dan bobot TSS per tanaman (r = 0.92). Peningkatan satu satuan kapsul per umbel diikuti oleh peningkatan jumlah TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman. Bobot TSS per tanaman berkorelasi erat dengan bobot TSS per plot (r = 0.96) yang berarti setiap penambahan satu satuan bobot TSS per tanaman akan meningkatkan bobot TSS per plot dengan proporsi 0.96.

Mutu TSS

Aplikasi BAP tidak berpengaruh terhadap bobot 1000 butir benih tetapi berpengaruh terhadap indeks vigor, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum (Tabel 10). Pemberian BAP 150 dan 200 ppm menurunkan indeks vigor dan daya berkecambah dibanding dengan kontrol. Potensi tumbuh maksimum menurun pada konsentrasi 100, 150 dan 200 ppm. Meskipun terjadi penurunan mutu benih tetapi persentasenya masih diatas standar minimum benih bermutu bawang merah yaitu 75% (Direktorat Bina Perbenihan 2007), kecuali benih dari perlakuan aplikasi BAP 200 ppm.

Tabel 10 Pengaruh BAP terhadap bobot 1000 butir benih, indeks vigor (IV), daya berkecambah (DB) dan Potensi tumbuh maksimum (PTM) pada varietas Bauji

Perlakuan Bobot 1000 butir benih (g)

(41)

23

Penurunan yang terjadi pada mutu fisiologis benih bukan merupakan pengaruh langsung dari pemberian BAP sehingga pemberian BAP tidak mempengaruhi mutu fisiologis benih. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rosliani et al. (2013) yang menyatakan bahwa pemberian BAP hingga 200 ppm tidak mempengaruhi mutu fisiologis benih.

Rata-rata mutu TSS Bauji (Tabel 10) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan Bima (Tabel 4). Analisis uji-t menunjukkan bahwa bobot 1000 butir benih (P > 0.319), IV (P > 0.916), DB (P > 0.232) varietas Bauji tidak berbeda nyata dengan Bima, sementara PTM (P > 0.0001) varietas Bauji lebih tinggi dibandingkan dengan Bima. Hal ini menunjukkan bahwa mutu TSS tidak dipengaruhi oleh varietas.

Produksi Umbi

Aplikasi BAP hanya berpengaruh terhadap bobot umbi per tanaman tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah umbi per tanaman, jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot. Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan jumlah umbi per plot varietas Bauji dan Sumenep tidak berbeda nyata tetapi bobot umbi per plot Bauji lebih tinggi dibanding dengan Sumenep (Tabel 11).

Tanaman merespon pemberian BAP untuk bobot umbi per tanaman pada konsentrasi tertinggi yaitu 250 ppm. Rata-rata jumlah umbi per tanaman sebanyak 5.1, menunjukkan bahwa angka ini masih dibawah potensi maksimum umbi varietas Bauji dan Sumenep. Berdasarkan deskripsi tanaman potensi jumlah umbi varietas Bauji dapat mancapai 9-16 umbi sedangkan Sumenep 7-14 umbi (Lampiran 2 dan 3). Hal ini diduga karena jumlah umbi dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jumlah umbi pertanaman yang rendah dan tidak berbeda nyata berpengaruh terhadap rendahnya jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot.

Tabel 11 Pengaruh BAP dan varietas terhadap jumlah umbi per tanaman, bobot umbi pertanaman, jumlah umbi per plot dan bobot umbi per plot

Perlakuan Jumlah umbi per tanaman

(42)

24

Tidak ada perbedaan jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman dan jumlah umbi per plot antara varietas Bauji dan Sumenep. Sementara bobot umbi per plot pada varietas Bauji lebih tinggi daripada Sumenep. Hasil ini sesuai dengan karakter Bauji yang mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan Sumenep. Oleh karena itu bobot umbi per plot diduga dipengaruhi genetik dan kemampuan varietas Bauji menghasilkan umbi yang besar.

Rata-rata produksi umbi per tanaman varietas Bauji (Tabel 11) tidak berbeda nyata dengan Bima (Tabel 5) dimana hasil analisis uji-t menunjukkan jumlah umbi per tanaman (P > 0.225) dan bobot umbi per tanaman (P > 0.071) varietas Bauji tidak berbeda nyata dengan varietas Bima. Sementara jumlah umbi per plot (P > 0.003) dan bobot umbi per plot (P > 0.001) varietas Bauji lebih tinggi dibandingkan Bima. Hal ini menunjukkan bahwa potensi produksi umbi dipengaruhi oleh varietas.

5

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Umbi kecil (3-4 g) varietas Bima dapat digunakan untuk produksi TSS dengan aplikasi BAP 50 ppm.

2. Produksi TSS varietas Bauji tidak meningkat dengan aplikasi BAP.

3. Aplikasi BAP sampai 250 ppm dan vernalisasi umbi tidak dapat menginduksi pembungaan pada varietas Sumenep.

Saran

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menginduksi inisiasi pembungaan bawang merah varietas Sumenep yang sulit berbunga.

6

DAFTAR PUSTAKA

Amjad M, Anjum MA. 2002. Evaluation of physiological quality of onion seed stored for different periods. Int. J Agri. Biol. 4(3):365-369.

Asaduzzaman, Hasan M, Moniruzzaman, Howlader MHK. 2012. Effect of bulb size and plant spacing on seed production of onion (Allium cepa L.). Bangladesh J Agril. 37(3):405-414.

Ashagrie T, Belew D, Alamerew S, Getachew Y. 2014. Effects of planting time and mother bulb size on onion (Allium cepa L.) seed yield and quality at Kobo Woreda, Northern Ethiopia. Int J of Agri Res. 9(5):231-241.

(43)

25

Azmi C, Hidayat, Wiguna G. 2011. Pengaruh varietas dan ukuran umbi terhadap produktivitas bawang merah. J Hort. 21(3):206-213.

Basuki. 2009. Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional. J Hort. 19(2):214-227.

Bernier G, Havelange A, Houssa C, Petitjean A, Lejeune P. 1993. Physiological signals that induce flowering. The Plant Cell. 5:1147-1155.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi cabai besar, cabai rawit dan bawang merah tahun 2014. [internet]. Tersedia pada:http//www.bps.go.id. [6 Februari 2016].

D’Agostino IB, Kieber JJ. 1999. Molecular mechanisms of cytokinin action: (Review). Plant biology. 2(5):359-364.

Direktorat Bina Perbenihan. 2007. Pedoman Sertifikasi dan Pengawasan Peredaran Mutu Benih. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Fahrianty D. 2013. Peran vernalisasi dan zat pengatur tumbuh dalam peningkatan pembungaan dan produksi biji bawang merah di dataran rendah dan tinggi. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Franssen JM, Voskens PGJ. 1997. Competition between sprout and daughter bulbs for carbohydrates in tulip as affected by mother bulb size and cytokinins. Acta Horticulturae 430: VII International Sympoium on Flowerbulb. Tersedia pada:http//www.actahort.org/books/430/430_7.htm. [10 Maret 2016].

Halevy AH. 1983. Regulation of flowering in flower crops by growth substances. Acta Horticulturae 147: Symposium on Production Planning in Glasshouse Floriculture. Tersedia pada: http//www.actahort.org/books/147/147_27.htm. [16 Juni 2016]

Hannelt P. 1990. Taxonomy, evolution, and history. Brewster JL (Ed). Onions and Other Vegetable Alliums. North American (UK): CABI Publ. pp.1-62. Hilman Y, Rosliani R, Palupi ER. 2014. Pengaruh ketinggian tempat terhadap

pembungaan, produksi, dan mutu benih botani bawang merah. J Hort. 24(2): 154-161.

Ishimori T, Niimi Y. Han D-S. 2007. Benzyladenine and low temperature promote phase transition from juvenile to vegetative adult in bulblets os lilium x formolongi ‘white aga’ cultured in vitro. Plant Cell Tiss Organ Cult 88: 313-318.

[ISTA] International Seed Testing Association. 2014. International Rules for Seed Testing. Switzerland (CH): ISTA.

Kamenetsky R, Rabinowitch HD. 2012. Florogenesis. Dalam: Rabinowitch HD dan Currah L. (Ed): Allium Crop Science: Recent Advantage. UK:CABI Publ. pp.31-57.

Karjadi AK, Buchory A. 2008. Pengaruh komposisi media dasar, penambahan BAP, dan pikloram terhadap induksi tunas bawang merah. J Hort. 18(1):1-9. [Kementan] Kementerian Pertanian RI. 2015. Keputusan Menteri Pertanian RI No.

131/Kpts/SR.130/D/11/2015 tentang Pedoman Teknis Sertifikasi Benih Bawang Merah. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.

(44)

26

Khokhar KM. 2014. Flowering and seed development in onion: (Review). Open Access Library Journal: 1-13.

Krontal Y, Kamenetsky R, Rabinowitch HD. 1998. Lateral development and florogenensis of a tropical shallot: A comparison with bulb onion. Int J Plant Sci. 159(1):57-64.

Krontal Y, Kamenetsky R, Rabinowitch HD. 2000. Flowering physiology and some vegetative traits of short-day shallot: A comparison with bulb onion. J Hort Sci and Biotechnol. 75(1):35-41.

Kurniasari L. 2015. Peningkatan produksi benih botani bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) di dataran rendah melalui aplikasi BAP, introduksi Apis cerana , dan pemupukan P dan K [tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Laila A, Sulistyaningsih E, Wibowo A. 2013. Morphogenetic variation of shallot (Allium cepa L. Agregatum group). Ilmu Pertanian. 16(2):1-11.

Le Nard M, De Hertogh AA. 1993. Bulb growth and development and flowering. Dalam: Kamenetsky R dan Rabinowitch HD (Ed): Florogenesis: UK:CABI Publ.

Mollah MRA, Ali MA, Ahmad M, Hassan MK, Alam MJ. 2015. Effect of bulb size on the yield and quality of true seeds of onion. Europ J Biotechnol and Biosci. 3(7):23-27.

Morozowska M, Holubowicz R. 2009. Effect of bulb size on selected morphological characteristics of seed stalks, seed yield and quality of onion (Allium cepa L.) seeds. Folia Horticultura. 21(1):27-38.

Nambiar N, Siang TCh, Mahmood M. 2012. Effect of 6-Benzylaminopurine on flowering of a Dendrobium orchid. AJCS. 6(2):225-231.

Palupi ER, Rosliani R, Hilman Y. 2015. Peningkatan produksi dan mutu benih botani bawang merah (True Shallot Seed) dengan introduksi serangga penyerbuk. J Hort. 25(1):26-36.

Pan BZ, Xu ZF. 2011. Benzyladenine treatment significantly increases the seed yield of the biofuel plant Jatropha curcas. J Plant Growth Regul. 174.

Putrasamedja S. 1995. Pengaruh jarak tanam pada bawang merah (Allium cepa L. var. ascalonicum) dari biji terhadap produksi. J Hort. 5(1):76-80. Putrasamedja S, Suwandi. 1996. Bawang Merah di Indonesia. Bandung (ID):

BALITSA Pr.

Putrasamedja S, Permadi AH. 2004. Pengaruh zat pengatur tumbuh GA3 dan cara perendaman umbi bawang merah pada kultivar Sumenep terhadap pembungaan. Jurnal Pembangunan Pedesaan. 4(2):138-143.

Putrasamedja S. 2007. Pengaruh berbagai macam bobot umbi bibit bawang merah (Allium ascalonicum L.) yang berasal dari generasi ke satu terhadap produksi. Jurnal Penelitian dan Informasi Pertanian “Agrin”. 11(1):19-24 Rosliani R, Palupi ER, Hilman Y. 2012. Penggunaan benzilaminopurin dan boron

untuk meningkatkan produksi dan mutu benih true shallot seed bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) di dataran tinggi. J Hort. 22(3):242-250.

(45)

27

Rukmana R. 1994. Bawang merah, budidaya dan pengolahan pascapanen. Yogyakarta (ID): Kanisius Pr.

Sajjad Y, Jaskani MJ, Ashraf MY, Qasim M, Rashid A. 2014. Response of morphological and physiological growth attributes to foliar application of plant growth regulators in gladiolus “White Prosperity”. Pak. J Agri. Sci. 51(1):123-129.

Sopha GA, Widodo WD, Poerwanto R, Palupi ER. 2014. Photoperiod and gibberellins effect on true shallot seed formation. AAB Bioflux. 6(1):70-76. Sumarni N, Hidayat A. 2005. Panduan Teknis Budidaya Bawang Merah.

Bandung (ID): BALITSA Pr.

Sumarni N, Soetiarso. 1998. Pengaruh waktu tanam dan ukuran umbi bibit terhadap pertumbuhan, produksi dan biaya produksi biji bawang merah. J Hort. 8(2):1085-1094.

Sumarni N, Sumiati E, Suwandi. 2005. Pengaruh kerapatan tanaman dan aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap produksi umbi bibit bawang merah asal biji kultivar Bima. J Hort. 15(3):208-214

Sumiati E, Sumarni N. 2006. Pengaruh kultivar dan ukuran umbi bibit bawang bombay introduksi terhadap pertumbuhan, pembungaan dan peoduksi benih. J Hort. 16(1):12-20.

Veit B. 2009. Hormone mediated regulation of the shoot apical meristem. Springer Science. 69:397-408.

(46)
(47)

28

(48)
(49)

29

Lampiran 1 Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes

Asal : Lokal Brebes

Umur : Mulai berbunga 50 hari, panen (60% batang melemas) 60 hari

Tinggi tanaman : 34.5cm (25-44 cm) Kemampuan berbunga (alami) : Agak sukar berbunga Banyaknya anakan : 7-12 umbi/rumpun Bentuk daun : Silindris, berlubang Banyak daun : 14-50 helai

Warna daun : Hijau

Bentuk bunga : Seperti paying

Warna bunga : Putih

Banyak buah/tangkai : 60-100 (83) Banyak bunga/tangkai : 120-160 (143) Banyak tangkai bunga/rumpun : 2-4

Bentuk biji : Bulat, gepeng, berkerut

Warna biji : Hitam

Bentuk umbi : Lonjong bercincin kecil pada leher cakram

Warna umbi : Merah muda

Produksi umbi : 9.9 ton/Ha umbi kering Susut bobot umbi : 21.5% (basah-kering)

Ketahanan terhadap penyakit : Cukup tahan terhadap busuk umbi (Botrytis allii)

Kepekaan terhadap penyakit : Peka terhadap busuk ujung daun (Phythoptora porri)

Keterangan : Baik untuk dataran rendah

(50)

30

Lampiran 2 Deskripsi bawang merah varietas Bauji

Asal : Lokal Nganjuk

Umur : Mulai berbunga (45 hari), panen (60% batang melemas) 60 hari

Tinggi tanaman : 35-43 cm

Kemampuan berbunga : Mudah berbunga Banyaknya anakan : 9-16 umbi/rumpun Bentuk daun : Silindris, berlubang Banyak daun : 40-45 helai/rumpun

Warna daun : Hijau

Bentuk bunga : Seperti paying

Warna bunga : Putih

Banyak buah/tangkai : 75-100 Banyak bunga/tangkai : 115-150 Banyak tangkai bunga/rumpun : 2-5

Bentuk biji : Bulat, gepeng, berkerut

Warna biji : Hitam

Bentuk umbi : Bulat lonjong Ukuran umbi : Sedang (6-10) Warna umbi : Merah keunguan

Produksi umbi : 13-14 ton/Ha umbi kering Susut bobot umbi : 25% (basah-kering)

Aroma : Sedang

Kesukaan/cita rasa : Cukup digemari Kerenyahan bawang goring : Sedang

Ketahanan terhadap penyakit : Agak tahan terhadap fusarium

Ketahanan terhadap hama : Agak tahan terhadap ulat grayak (Spodoptera axigua)

Keterangan : Baik untuk dataran rendah, sesuai untuk musim hujan

(51)

31

Lampiran 3 Deskripsi bawang merah varietas Sumenep

Asal : Lokal Sumenep

Umur : 3 bulan

Tinggi tanaman : 33.5-43 cm

Komponen berbunga : Belum dapat berbunga (alami) Banyaknya anakan : 7-14 umbi/rumpun

Bentuk daun : Silindris seperti pipa Banyak daun : 15-48 helai/rumpun Bentuk umbi : Lonjong memanjang

Warna umbi : Agak putih kebiru-biruan/hijau Produksi umbi : 12.3 ton/Ha umbi kering Susut bobot umbi : 23.5% (basah-kering)

Ketahanan terhadap penyakit : Cukup tahan terhadap busuk umbi Botritis alli

Kepekaan terhadap penyakit : Peka terhadap penyakit ujung daun (Phytopthora porri)

Keterangan : Baik untuk dataran rendah maupun dataran medium

(52)

32

Lampiran 4 Rata-rata data iklim di dataran rendah Leuwikopo (240 m dpl) pada bulan Juni sampai dengan September 2015

Pengamatan Juni Juli Agustus September

Suhu (°C) Rerata 28.35 29.72 29.15 32.34 Maksimum 40.90 40.13 39.01 38.67 Minimum 18.62 20.25 19.75 19.38 Kelembapan (%) Rerata 66 66 71 68

Curah hujan (mm) Rerata 90 2 11 79 Intensitas radiasi

cahaya matahari (Cal per cm2)

(53)

33

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Gejala serangan hama ulat penggerek daun (A) dan penyakit moler atau
Tabel 2 Pengaruh BAP dan ukuran umbi terhadap persentase tanaman berbunga,
Gambar 3 Kurva respon persentase tanaman berbunga terhadap peningkatan
Gambar 5 Tanaman bawang merah varietas Bauji pada saat berbunga (A), dan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka memberikan pedoman bagi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah dan melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Aplikasi ini dibuat dengan menggunakan teknologi berbasis web (HTML, CSS dan Javascript) untuk membuat aplikasi mobile asli ( native ) dan dengan menggunakan Phonegap agar

Teknik yang banyak digunakan pada kalimat a ini adalah cara memetik gitar secara arpeggio, teknik tersebut banyak muncul hampir di setiap bagian komposisi ini. Berikut ini

ide tentang cara menemukan jawaban melaui eksperimen yang akhirnya siswa mampu mengembangkan ide, serta mampu menghubungkan hasil eksperimen dan aplikasinya. Dengan

Dari hasil penelitian terlihat bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik ,lebih banyak bersikap positif dalam menghadapi masa menopause, sikap positif wanita

Hasil penelitian diketahui dari 339 mahasiswa Universitas Negeri Surabaya sebanyak 53.8% mahasiswa yang setuju dan 46.2% mahasiswa yang tidak setuju dengan adanya UKM

Dari segi keagamaan, masyarakat Desa Kebloran 100% beragama Islam. Akan tetapi banyak masyarakat Desa Kebloran yang belum tahu benar tentang arti Islam itu sendiri. Hal ini

Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa siswa tidak fokus dalam proses pembelajaran sehingga hasil evaluasi menunjukkan bahwa siswa kurang