• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 BAHAN DAN METODE

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Kondisi Penerimaan Optimum Kualitas Buah Mangga

Mutu optimum buah adalah mutu dimana buah mangga berada pada penerimaan terbaik oleh konsumen. Oleh karena itu penting untuk diketahui pada saat kapan buah berada pada titik tersebut, untuk mengetahuinya perlu dilakukan uji organoleptik selama penyimpanan buah sehingga dapat diketahui pada hari keberapa buah memiliki tingkat penerimaan optimum. Hasil uji organoleptik dapat dilihat pada (Gambar 8), menunjukkan bahwa penerimaan tertinggi dari panelis terhadap parameter mutu yang di uji terletak pada hari ke–12 dimana rata–rata skor penerimaan dari masing–masing parameter mencapai titik optimum yaitu sekitar 4 (Lampiran 1).

Mangga merupakan buah klimaterik berdasarkan model respirasinya, dimana buah mangga memiliki tiga fase kritis yaitu proses pematangan, matang, dan proses pelayuan. Oleh karena itu mutu buah mangga selalu berubah, dimana pada hari ke–3 tingkat penerimaan buah kecil dibawah 3.5 kemudian naik sampai hari ke–12 kemudian menurun sehingga pada hari ke–15 pengamatan skor penerimaan berada dibawah 3.5. Hal ini menunjukkan mutu buah mangga terbaik yang disukai konsumen terletak antara hari pengamatan ke–9 dan ke–15, karena data diambil tiga hari sekali maka data pengamatan hari ke–12 digunakan sebagai input data untuk optimasi perlakuan.

Gambar 8. Hasil uji organoleptik penyimpanan buah pada suhu 13 °C

Analisis data

Analisis orde I digunakan untuk memprediksi fungsi yang sebenarnya antara respon yang didapatkan dan variable bebasnya. Variable bebas yang mempengaruhi respon adalah suhu ekspose pemanasan (X1) dalam satuan (°C), lama ekspose (X2) dalam satuan (menit), lama perendaman larutan Kalsium (X3) dalam satuan (menit).

27

Berdasarkan hasil pengolahan data model orde I diperoleh persamaan respon susut bobot sebagai berikut:

y =3.531 + 0.04693 + 0.23385 + 0.07179 (23) sedangkan untuk respon lain dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini:

Tabel 9. Persamaan orde I

Uraian Respon TPT total asam Respon Respon pH kekerasan Respon Respon chroma Konstanta 16.5434 0.003492 4.18408 1.19895 36.999 -0.0519 -0.000096 -0.06119 0.32022 -5.9022

-36.89 -0.000186 0.32677 0.03854 -1.7711 -0.1440 -0.000097 -0.09256 -0.15327 0.5582

R2 37.41% 4.42% 29.57% 45.66% 36.52%

Pada Tabel 9 nilai R2 < 50%, menunjukkan bahwa hanya 50% variabilitas dari data dapat dijelaskan oleh model, sedangkan 50% dijelaskan oleh variabel lain yang belum masuk dalam model. Sehingga model orde I belum dapat digunakan untuk menduga pengaruh terhadap respon.

Berdasarkan hasil analisis orde I statistik menunjukkan bahwa nilai p-value < α = 0.05 seperti yang terlihat pada (Tabel 10). Anova orde I untuk respon susut bobot dan juga untuk semua respon yang diuji (Lampiran 2), sehingga berdasarkan uji lack-of-fit jika nilai p-value < α tolak H0 yang berarti ada ketidaksesuaian model orde I untuk respon susut bobot atau hubungan variabel bebas dengan respon bukan hubungan yang bersifat linear oleh karena itu perlu dilanjutkan dengan analisis orde II untuk mendapatkan model yang sesuai. Untuk mengetahui pengaruh interaksi dari tiap variabel bebas yang ada terhadap respon dengan nilai determinasi yang lebih tinggi dari orde I, maka dilakukan analisis model orde II.

Table 10. Anova dari model orde I untuk respon susut bobot

Uraian Coef SECoef T P

Constanta 3.53132 0.1755 20.125 0.000

Suhu ekspose HWT 0.04693 0.2070 0.227 0.0424

Lama ekspose HWT 0.23385 0.2070 1.130 0.276

Perendaman CaCl2 0.07179 0.2070 0.347 0.733 R-Sq = 8.81% R-Sq(pred) = 0.00% R-Sq(adj) = 0.00%

Hasil analisis regresi model orde II untuk respon susut bobot ditunjukkan pada (Tabel 11) dengan persamaan dengan persamaan sebagai berikut:

y = 2.66432+0.04693 +0.23385 +0.07179 +0.47219 +0.28127 +

0.45274 +0.09000 +0.40750 –0.05500 (24)

Dengan cara uji lack-of-fit pada model orde II seperti yang terlihat pada (Tabel 11) didapatkan p-value>α=0.05 sehingga terima H0 : tidak ada lack-of-fit yang berarti model orde II untuk respon telah sesuai dengan model yang diduga. Pada pengujian parameter (Tabel 11) respon diperoleh Frasio = 4.10 > F(5%,9,10) =3.02, sehingga tolak H0 yang berarti bahwa variabel–variabel bebas Xi memberi sumbangan yang cukup

28

berarti terhadap model, maka faktor suhu ekspose pemanasan (X1), lama ekspose (X2), lama perendaman larutan Kalsium (X3) mempengaruhi respon.

Tabel 11. Anova dari model orde II untuk respon susut bobot

Source DF F P Regression 9 4.10 0.024 Lack-of-Fit 5 3.15 0.144 Pure Error 4 - - Total 18 - - R-Sq = 80.39% R-Sq(pred) = 0.00% R-Sq(adj) = 60.78%

Permukaan dan kontur untuk respon susut bobot dapat dilihat pada (Gambar 9) sampai dengan (Gambar 11), dimana karakteristik respon susut bobot menunjukkan optimasi berbentuk minimisasi. Sedangkan persamaan orde II untuk respon lain sebagai berikut:

Tabel 12 . Persamaan orde II

Uraian Respon TPT Total Asam Respon Respon pH Kekerasan Respon Chroma Respon Konstanta 16.6544 0.003251 5.12160 1.01107 42.2708 -0.05192 – 0.000060 - 0.00897 0.32022 - 5.9022 - 0.36894 - 0.000150 0.05450 0.03854 - 1.7711 - 0.143950 - 0.000061 - 0.10441 0.15327 0.5582 0.036925 0.000359 - 0.18038 0.11011 - 4.4927 -0.077979 0.000034 - 0.05487 0.04116 - 1.4704 -0.113335 0.000093 - 0.04338 0.11011 - 1.3769 0.368750 0.000112 - 0.01750 0.24375 - 6.4587 0.018750 - 0.000728 0.08000 0.13375 3.4875 0.206250 0.000172 – 0.03000 0.22125 0.2394 R2 66.82% 54.12% 92.42% 79.78% 86.92%

Gambar 9. Permukaan dan kontur respon susut bobot hari ke–12 vs suhu ekspose, lama ekspose dalam HWT

29

Gambar 10. Permukaan dan kontur respon susut bobot hari ke–12 vs lama perendaman dalam CaCl2, suhu ekspose dalam HWT

Gambar 11. Permukaan dan kontur respon susut bobot hari ke–12 vs lama perendaman dalam CaCl2, lama ekspose dalam HWT

Persamaan orde II dari respon TPT, Total Asam, pH, kekerasan maupun croma memiliki bentuk grafik permukaan kontur sadle poin seperti contoh grafik kontur permukaan TPT pada (Gambar 11) dan pada (Lampiran 3) sehingga tidak memiliki titik optimum.

Gambar 12. Permukaan dan kontur total padatan terlarut hari ke–12 vs lama perendaman dalam CaCl2, lama ekspose dalam HWT

Oleh karena itu persamaan orde II pada respon tersebut tidak bisa digunakan dalam pemodelan optimasi kombinasi perlakuan yang digunakan. Hal ini disebabkan karena proses pengambilan data untuk respon tersebut dilakukan secara destruktif sehingga sampel yang digunakan merupakan sampel yang berbeda sehingga kemungkinan validasi data yang diperoleh kecil, hal ini berbeda dengan proses

30

pengambilan data untuk respon susut bobot dimana sampel buah yang diamati sama dari awal hingga akhir pengamatan.

Penentuan Titik Stasioner

Setelah didapatkan model yang sesuai dan menghasilkan kontur yang optimum dilanjutkan dengan penentuan titik stasioner pada variabel X1, X2, dan X3. Berdasarkan model orde II diperoleh matrik b dan B dengan menggunakan Persamaan 6, maka nilai dari X1, X2, dan X3 sebagai berikut.

b = B =

dengan menggunakan (Persamaan 16) sehingga titik stasioner yang didapatkan adalah sebagai berikut:

X0 = =

Nilai titik stasioner pada nilai sebenarnya berdasarkan Tabel 5 adalah X1 = 45.5 °C, X2= 32 menit , dan X3= 38 menit. Sedangkan nilai taksiran respon pada titik stasioner diperoleh Y= 2.18. Pada (Gambar 10) sampai (Gambar 12) menunjukkan hasil optimasi merupakan bentuk minimisasi dimana buah akan mengalami penurunan bobot sebesar 2.18% dengan kombinasi perlakuan suhu ekpos HWT 45.5 °C, lama ekpose 32 menit dan lama perendaman 38 menit.

Jika nilai dari X1,X2, dan X3 yang dihasilkan dari optimumisasi persamaan susut bobot orde II ini disubtistusikan ke persamaan parameter lain maka dengan diperoleh nilai kekerasan 1.02 Newton, Total padatan terlarut 16.8° Brik, pH sebesar 5, Total Asam 0.003322, chroma 42.32.

Verifikasi Hasil Optimasi

Hasil uji orgonoleptik pada buah kontrol seperti terlihat pada (Gambar 13), dimana pada hari ke–6 buah memiliki nilai penerimaan optimum dari panelis, adapun buah tersebut memiliki nilai TPT 17.2 °Brik, pH sebesar 5, kekerasan 0.99 Newton, Total Asam 0.003415 mg/100 gram, chroma 43.05. Jika dibandingkan dengan hasil optimasi maka nilai tersebut mendekati score penerimaan maksimum pada buah kontrol dianggap sebagai mutu maksimal yang bisa dicapai buah mangga Gedong Gincu selama pascapanen.

Nilai dari optimasi juga mendekati dari nilai perlakuan dengan pengkodean K15 setelah buah disimpan selama 12 hari pada suhu 13 °C , suhu ekpos 45 °C, lama ekpose 40 menit dan lama perendaman 40 menit, mutu dari buah K15 yaitu TPT 17.0°Brik, pH sebesar 5, kekerasan 1.05 Newton, Total Asam 0.003334 mg/100 gram, chroma 42.05 yang artinya nilai optimasi mendekati nilai dari buah kontrol yang telah disimpan selama 7 hari dan juga mendekati dari nilai buah K15 dengan lama penyimpanan selama 12 hari. Perbandingan nilai mutu dapat dilihat pada Tabel 13.

31

Tabel 13 . Perbandingan nilai respon buah mangga Parameter mutu Hasil optimasi (45.5,32,38)

hari ke–12 K15 (45,40,40) hari ke–12 Kontrol hari ke–6 TPT ( oBrix) 16.8 17 17.2 pH 5 5 5 Chroma 42.32 42.05 43.05 Kekerasan (Newton) 1.02 1.05 0.99

Total asam (mg/100 gram) 0.003322 0.003334 0.003415

Gambar 13. Hasil uji organoleptik penyimpanan buah kontrol pada suhu 13 °C Buah dengan karakteristik mutu tersebut seperti terlihat pada (Gambar 15). Hal ini menunjukkan dengan adanya perlakuan kombinasi tersebut kualitas mangga dapat dijaga lebih lama. Menurut (Schirra et al. 2000); Fallik (2004) dalam Zong et al. (2010), HWT dilaporkan cukup efektif dalam mengontrol penyakit pascapanen pada buah-buahan. Dalam penelitian sebelumnya, telah ditemukan bahwa perlakuan HWT pada suhu 46 °C selama 20 dan 40 menit secara signifikan mereduksi penyakit dan mengurangi diameter bercak penyakit pada buah tomat yang disebabkan oleh Botrytiscinerea, sedangkan perlakuan selama 60 menit secara signifikan hanya dapat mengurangi diameter bercak penyakit. Hal ini mengindikasikan bahwa waktu perlakuan HWT berhubungan erat dengan efisiensi pengontrolan penyakit.

Hasil yang serupa juga diperoleh oleh (Zhang et al. 2008) dalam Zong et al. (2010), yang melaporkan bahwa dengan perlakuan HWT pada suhu 46 °C selama 15 menit menunjukkan efisiensi yang lebih baik pada Penicillium expansum di buah pir daripada perlakuan selama 5, 10 atau 20 menit.

Menurut Hasbullah (2002) mortalitas lalat buah B. dorsalis mencapai 100% pada pemanasan selama 30 menit dan suhu diatas 43 °C, sedangkan pada suhu 46 °C tercapai pada pemanasan minimal selama 10 menit, perlakuan panas metode VHT pada suhu 46,5 °C tidak berpengaruh pada mutu buah mangga Gedong Gincu berdasarkan parameter mutu susut bobot, kekerasan, warna, total padatan terlarut, maupun pola respirasinya. Perlakuan VHT selama 10 – 30 menit pada suhu 46,5 °C cukup efektif dalam membunuh telur lalat buah yang terinfestasi di dalam buah mangga.

32

Gambar 14. Buah mangga tanpa perlakuan (kontrol) lama penyimpanan 6 hari pada suhu 13 °C

Jika dibandingkan pola respirasi, pola respirasi buah–buahan setelah panen dapat menggambarkan perubahan fisiologis yang terjadi selama penyimpanan. Laju respirasi dinyatakan dalam laju produksi CO2 maupun laju konsumsi O2. Buah mangga merupakan buah klimakterik yaitu buah yang aktivitas respirasinya mengalami peningkatan sehingga terdapat puncak respirasi (klimakterik) yang menandakan terjadinya pematangan dan kemudian menurun seiring terjadinya senescence.

Gambar 15. Laju konsumsi O2 buah pada suhu 13 °C

Gambar 16 menunjukkan bahwa mula–mula terjadi peningkatan laju respirasi, yang menandakan naiknya kegiatan enzim–enzim, kemudian disusul dengan penurunan sedikit demi sedikit sampai lajunya nol (Pantastico et al. 1981). Puncak respirasi terjadi pada hari ke–6 sedangkan buah yang diberi perlakuan puncak respirasinya terjadi pada hari ke–12. Puncak puncak tersebut menandakan buah telah mencapai kondisi matang optimum.

Pada awal penyimpanan terlihat pada (Gambar 15) menghasilkan konsumsi O2 tinggi. Hal tersebut bisa terjadi disebabkan oleh jaringan–jaringan muda yang aktif mengadakan metabolisme yang akan memperlihatkan kegitan respirasi yang lebih tinggi daripada jaringan yang tidak aktif. Pada perlakuan tersebut suhu pemanasan ringan yang diberikan tidak membuat buah mangga lebih cepat matang, sehingga keaktifan jaringan dari perlakuan tersebut masih tinggi. Bila buah menjadi masak,

33

kulit menjadi tebal dan kurang permeable, mengurung suatu sistem gas yang disebut atmosfer dalam, yang mengisi ruang-ruang antar sel dan oleh karena itu merupakan lingkungan sesungguhnya bagi jaringan–jaringan buah (Pantastico et al. 1981). Hal tersebut menunjukkan dengan adany perlakuan HWT dan pencelupan CaCl2 dapat memperpanjang umur simpan buah lebih lama sekitar kurang lebih 6 hari.

Secara normal tanaman tidak akan rusak pada perlakuan panas pada suhu 42 °C – 60 °C, namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti kematangan, jenis, ukuran buah dan karakteristik morfologinya serta lamanya perlakuan (Paul dan Chen 2000). Suhu dan waktu adalah dua hal penting yang harus diperhatikan untuk membunuh hama-hama tanpa menyebabkan kerusakan. Perlakuan panas dengan uap panas untuk buah-buahan dan sayuran menggunakan suhu 40 °C – 50 °C sudah dapat membunuh telur serangga yang terinfestasi pada buah atau sayuran. Toleransi panas sangat bermacam–macam untuk setiap bahan pangan, oleh karena itu perlu dicari waktu dan suhu yang tepat untuk setiap jenis bahan pangan (Jacobi dan Wong 1992). Pencelupan dengan CaCl2 menyebabkan terjadinya penyusunan karbon dari kandungan pektin dan penggabungan dengan Ca2+ mampu membentuk semacam dinding atau lapisan yang dapat mengurangi akses enzim perombak sel masuk ke dalam dinding sel yang mempengaruhi umur simpan. Penggunaan garam Kalsium seperti CaCl2 dan pemanasan ringan dapat menghambat pelunakan tekstur serta mempertahankan kualitas baik pada buah dan sayuran utuh maupun terolah minimal seperti pada buah apel, apel iris, strawberry utuh dan iris, wortel iris, melon iris, green been kaleng, wortel kaleng (Perez-Gago et al. 2003; Barry Ryan and O’Bernie 1998 dalam Partha 2009). Ion Ca dapat berikatan dengan pektin membentuk Kalsium pektat pada dinding sel menjadi stabil (Guzman et al. 2000 dalam Partha 2009), sedangkan pemanasan ringan pada suhu 50 °C – 70 °C dapat mengaktifkan enzim pektin metil esterase (PME) yang kemudian melakukan “demetilasi” senyawa pektin sehingga lebih banyak gugus karboksil yang dapat berikatan dengan ion Ca endogen maupun eksogen (Daryanti et al. 2004 dalam Partha 2009)

Jika keduanya kita bandingkan dari segi visual seperti pada (Gambar 16) buah mangga yang diberi kombinasi perlakuan akan memperlihatkan kulit buah yang terlihat lebih mulus, sedangkan kulit dari buah kontrol muncul bercak–bercak hitam. Hal ini dapat diakibatkan karena adany infestasi hama penyakit.

(a) (b)

Gambar 16. Warna buah mangga (a) kode perlakuan K15 (b) kontrol hari ke–9 pada suhu 13 °C

Perlakuan panas dapat digunakan untuk penanganan pasca panen produk pertanian sebagai alternatif pengganti bahan kimia. Disinfektan dengan perlakuan

34

panas pada suhu 45 °C selama 42 menit dapat menghilangkan spora di permukaan, mengurangi viabilitas sporapenicilium dan colletotricum dan tidak merusak lapisan lilin ataupun kualitas buah (Williams 1994).

Sedangkan untuk penyimpanan buah pasca perlakuan pada suhu penyimpanan 8 °C skor organoleptik tertinggi berkisar dibawah 3.5 jika dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 13 °C nilai ini tergolong rendah, hal ini diakibatkan selama buah gagal matang sempurna seperti terlihat pada (Gambar 17).

Gambar 17. Hasil uji organoleptik penyimpanan buah kontrol pada suhu 13 °C Gambar 17 memperlihatkan bahwa dari hasil uji organoleptik penyimpanan buah kontrol pada suhu 13 °C menunjukkan penerimaan yang paling rendah pada warna buah, dimana buah tidak berubah menjadi kuning kemerah–merahan sebagaimana mestinya terjadi pada buah mangga Gedong Gincu, hal ini sangatlah penting dikarenakan nilai jual dari produk hortikultura sangat dipengaruhi oleh penampakan fisik buah. Jika kita lihat dari nilai L a b buah selama penyimpanan seperti terlihat pada (Gambar 20) dan (Gambar 21).

(a) (b)

Gambar 18. Warna buah mangga awal penyimpanan (a), akhir penyimpanan (b) pada suhu 8 °C

Hasil analisis warna buah dimana nilai L menunjukkan tingkat kecerahan dengan nilai L=0 (hitam) dan L=100 (putih). Nilai a* terdiri dari +a* yang menunjukkan warna merah dengan nilai 0 hingga 60 dan –a*menunjukkan warna

35

hijau dengan nilai 0 hingga -60. Nilai b* terdiri dari +b* yang menunjukkan warna kuning dengan nilai 0 hingga 60 dan nilai –b* yang menunjukkan warna biru dengan nilai 0 hingga –60.

Gambar 19. Nilai a dan b buah mangga dengan kode perlakuan K15 yang disimpan pada suhu 8 °C

Pada awal penyimpanan nilai a berkisar –22 dan nilai b 35 jika dilihat dari Chart Hunter lampiran nilai tersebut berada pada warna kuning kehijau-hijauan, pada hari penyimpanan ke–12 sampai ke–24 warna buah berubah, dimana unsur hijau dan kuning berubah kecoklatan, dimana pada buah normal warna seharusnya berubah menjadi kuning kemerah–merahan, jika dilihat dari nilai L buah terlihat nilai L terus berkurang hal ini menunjukkan warna buah berubah menjadi kusam dimana nilai L yang kecil mendekati nilai hitam. Menurut (Skog 1998) buah mangga yang terindikasi chilling injury menunjukkan warna buah kelabu/gelap, permukaan buah tidak rata/bergelombang, gagal matang, aroma berkurang dan rentan terhadap bau busuk buah akibat cendawan.

Gambar 20. Nilai L buah mangga dengan kode perlakuan K15 yang disimpan pada suhu 8 °C

Terjadinya chilling injury diawali dengan melemahnya fungsi jaringan dan pada akhirnya tidak terjadi metabolisme di tingkat sel (Aguiar 2012). Bentuk chilling injury terbagi menjadi dua yakni kerusakan primer dan kerusakan sekunder. Kerusakan primer berkaitan dengan kerusakan di tingkat sel seperti penurunan kelarutan asam lemak tak jenuh pada membran lipid atau terhambatnya pembentukan senyawa di tingkat substrat yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan yang dapat

36

dilihat secara visual (kerusakan sekunder) seperti pencokelatan (browning), mengkerutnya kulit buah atau terdapatnya lubang pada permukaan buah. Oleh karena itu penyimpanan buah mangga pada suhu 8 °C tidak dilakukan optimasi karena fisiologis buah tidak berubah secara normal.

Dokumen terkait