• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 BAHAN DAN METODE

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh nitrogen terbatasi terhadap pertumbuhan mikroalga

Nannochloropsis sp.

Pengaruh nitrogen terbatasi terhadap pertumbuhan diamati selama kultivasi Nannochloropsis sp. pada skala laboratorium. Nannchloropsis sp. ditumbuhkan pada media pertumbuhan dengan empat variasi konsentrasi nitrogen, kemudian diamati pertumbuhannya.

Lama pertumbuhan setiap mikroalga berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran viabilitas sel dan membuat kurva pertumbuhan, sehingga diketahui waktu yang diperlukan untuk setiap fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi (lag), eksponensial (log), stasioner dan kematian. Pengetahuan ini penting untuk menentukan waktu pemanenan dan akan digunakan untuk menentukan waktu pemanenan pada saat kultivasi di skala lapangan. Berdasarkan kurva pertumbuhan, pada perlakuan kontrol (100 % konsentrasi nitrogen)

Nannochloropsis sp. mengalami fase lag yang singkat yaitu satu hari. Pada hari kedua Nannochloropsis sp. telah memasuki fase eksponensial hingga hari ke-11. Fase stasioner dimulai dari hari ke -12. Namun, dengan adanya pengurangan konsentrasi nitrogen sebanyak 25 %, 50 % dan 75 % Nannochloropsis sp. lebih cepat mengalami fase stasioner yaitu mulai hari ke-9 (Gambar 3). Hal ini merupakan keuntungan karena mempercepat waktu pemanenan dan menunjukkan bahwa konsentrasi nitrogen mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Nitrogen merupakan komponen penting yang perperan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel (Li et al. 2008). Dengan kandungan nitrogen yang dibatasi dalam media pertumbuhan mikroalga menyebabkan kemampuan sel untuk mensintesis komponen-komponen yang mengandung nitrogen, seperti protein, asam nukleat dan klorofil terganggu. Hal ini menyebabkan sel tidak tumbuh dengan baik yang ditunjukkan dengan jumlah sel yang sedikit, pertumbuhan (fase eksponensial) yang singkat dan lebih cepat memasuki fase stasioner.

15

Kurva pertumbuhan memperlihatkan lamanya setiap fase yang dialami oleh mikroalga. Fase pertumbuhan ada empat yaitu fase adaptasi atau fase lag, fase pertumbuhan atau eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Setiap mikroalga memiliki waktu yang berbeda dalam setiap fasenya. Fase lag disebut sebagai fase adaptasi terhadap kondisi lingkungan (media tumbuh). Pada fase ini sel tetep hidup tetapi tidak berkembang biak. Lamanya fase tergantung pada inokulan yang dimasukkan. Mikroalga yang diinokulasikan pada fase logaritmik akan mengalami fase lag yang singkat. Sebaliknya jika mikroalga yang diinokulasikan berasal dari fase stasioner, maka akan mengalami fase lag yang lebih lama karena membutuhkan waktu untuk menyusun enzim-enzim yang tidak aktif lagi. Fase logaritmik/eksponensial ditandai dengan naiknya laju pertumbuhan hingga kepadatan populasi meningkat beberapa kali lipat. Pada fase ini, sel sedang aktif berkembang biak. Fase stasioner ditandai dengan seimbangnya laju pertumbuhan dengan laju kematian. Jumlah sel cenderung tetap diakibatkan sel telah mencapai titik jenuh. Pertumbuhan sel baru dihambat oleh keberadaan sel yang telah mati dan faktor pembatas lainnya. Fase kematian ditandai dengan berkurangnya kepadatan sel karena laju kematian lebih tinggi dari laju pertumbuhan (Pelczar and Chan 1986).

Gambar 3 Kurva pertumbuhan Nannochloropsis sp. pada berbagai konsentrasi nitrogen

Nannochloropsis sp. sebagaimana mikroorganisme hidup lainnya memerlukan nutrisi untuk hidup. Di laut, nutrisi yang diperlukan telah tersedia dalam jumlah melimpah yang merupakan hasil dekomposisi bahan-bahan kimia. Namun, dalam pengkulturan mikroalga diperlukan penambahan nutrisi. Media tumbuh mikroalga terdiri dari unsur-unsur makro dan mikro. Unsur-unsur makro (makro nutrient) seperti N, P, K, S dan Mg. Unsur-unsur mikro (mikro nutrient) seperti Si, Zn, Cu, Mn, Co, Na dan Fe. Kebutuhan unsur-unsur tersebut tidak sama untuk setiap jenis mikroalga. Namun, unsur N dan P merupakan dua unsur yang harus ada dalam media pertumbuhan alga. Nitrogen merupakan komponen utama pembentuk asam amino yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga. Sedangkan pospor merupakan penyusun materi genetik (DNA, RNA).

16

Nannochloropsis sp. ditumbuhkan dalam empat variasi konsentrasi nitrogen. Sumber nitrogen yang digunakan berupa nitrat (NO3-) yang berasal dari sodium nitrat (NaNO3) yang merupakan salah satu komposisi media F/2. Keempat variasi konsentrasi nitrat tersebut adalah 25 % (18,75 mg/L), 50 % (37,5 mg/L), 75 % (56,25 mg/L) dan 100 % (75 mg/L) sebagai kontrol. Kultur

Nannochloropsis sp. dalam berbagai konsentrasi nitrat menunjukkan pertumbuhan yang berbeda-beda yang dapat dilihat dari kerapatan sel (OD) dan warna kultur. Pada gambar 4 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi nitrogen, maka warna kultur semakin pekat dan kerapatan sel semakin besar. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh nitrogen terhadap pertumbuhan sel mikroalga. Kultur dengan pertumbuhan sel yang lebih rendah akan memberikan warna kultur yang lebih terang, sebaliknya kultur dengan pertumbuhan sel yang lebih tinggi akan memberikan warna kultur yang lebih pekat. Warna kultur ini dipengaruhi oleh adanya klorofil dalam sel.

Natrium (Na) dalam NaNO3 yang terkandung dalam media berperan dalam pembentukan klorofil, sehingga akan berpengaruh terhadap fotosintesis

Nannochloropsis sp.. Fotosintesis yang berjalan baik akan ditandai dengan meningkatnya pigmentasi atau kepekatan sel mikroalga dan secara visual kultur akan terlihat lebih hijau (pekat).

Gambar 4 Kultur Nannochloropsis sp. pada berbagai konsentrasi nitrogen

Mikroalga dapat mengasimilasi beberapa sumber nitrogen seperti ammonium, nitrat dan urea. Nitrogen dalam media bisa berupa nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+). Amonium dan nitrat masuk ke dalam sel melalui membran plasma. Ammonium transporter (Amt) akan membawa ammonium ke dalam sel, sedangkan nitrat transporter (Nit) membawa nitrat. Nitrat direduksi menjadi nitrit oleh enzim nitrat reduktase. Kemudian, nitrat tranporter akan membawa nitrit ke dalam kloroplas dan merubahnya menjadi ammonium. Sedangkan ammonium akan dibawa ke kloroplas dengan bantuan Amt. Melalui beberapa proses, ammonium digunakan untuk membentuk glutamat dan akhirnya menjadi biomassa. Jika nitrogen yang terkandung dalam media pertumbuhan sedikit atau lebih kecil dari komposisi normal media yang diperlukan, maka akan

17

mempengaruhi proses pembentukan biomassa, sehingga biomassa yang dihasilkan lebih sedikit.

Pada tabel 2 diketahui bahwa laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis

sp. dari yang tertinggi ke terendah secara berurutan adalah sampel dengan konsentrasi nitrogen 50 %, 75 %, 100 % dan 25 %. Tabel 2 menjelaskan bahwa berdasarkan analisis ANOVA dan uji Duncan bobot biomassa kering pada fase eksponensial dari sampel dengan konsentrasi nitrogen 25 %, 50 % dan 75 % tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa bobot biomassa kering yang dihasilkan relatif sama. Sementara pada konsentrasi nitrogen 100 % memiliki bobot biomassa kering yang berbeda nyata dengan ketiga konsentrasi nitrogen lainnya. Kultur dengan konsentrasi nitrogen 100 % artinya tidak ada pengurangan unsur nitrogen pada kultur tersebut. Kultur dengan nutrisi yang lengkap mengalami pertumbuhan yang baik. Mikroalga yang ditumbuhkan pada media pertumbuhan yang optimal (tidak ada pengurangan nutrisi) akan menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan dengan kultur pada konsentrasi nitrogen rendah. Pada fase akhir eksponensial baik kontrol maupun sampel memiliki bobot biomassa kering yang relatif sama atau tidak berbeda nyata. Pada fase ini pertumbuhan masih terjadi, namun sudah mulai melambat. Demikian juga pada fase stasioner, bobot kering tidak berbeda nyata terhadap kontrol dan semua sampel. Pada fase stasioner ini, nutrisi mulai habis dan jumlah sel hidup dan mati hampir sama, sehingga produksi biomassa menurun dan tidak berbeda nyata.

Kultur Nannochloropsis sp. dengan konsentrasi nitrogen 50 % memiliki laju pertumbuhan spesifik tertinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. Namun, bobot biomassa keringnya tidak berbeda nyata (Tabel 3). Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan metabolisme dalam sel saat dibatasi nitrogennya.

Tabel 2 Laju pertumbuhan spesifik Nannochloropsis sp. pada berbagai konsentrasi nitrogen

Konsentrasi nitrogen Laju pertumbuhan spesifik µ (per hari)

25 % 0,308

50 % 0,632

75 % 0,488

18

Tabel 3 Perbedaan bobot biomassa kering kultivasi skala lapangan pada fase eksponensial, akhir eksponensial dan stasioner pada berbagai konsentrasi nitrogen

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata.

Hasil diperoleh berdasarkan uji ANOVA dengan taraf nyata 0,05 dan uji Duncan (Lampiran 5,6,7)

Pengaruh nitrogen terbatasi terhadap kandungan lemak, protein dan karbohidrat pada Nannochloropsis sp.

Sel mikroalga mengandung bahan-bahan penting seperti protein, karbohidrat dan lemak. Persentase ketiga bahan tersebut berbeda-beda tergantung pada jenis mikroalga. Besarnya kandungan protein, karbohidrat dan lemak dalam sel mikroalga berkaitan dengan pertumbuhan. Protein, karbohidrat dan lemak mulai diproduksi oleh sel sejak awal pertumbuhan mikroalga. Namun, besar kandungannya akan berubah seiring dengan perubahan pertumbuhan sel mikroalga.

Pada penelitian ini, analisis lemak dilakukan menggunakan metode Bligh and Dyer (1959) dengan modifikasi yaitu menggunakan sonikator untuk memecah membransel mikroalga. Beberapa jenis mikroalga memiliki membran sel yang kuat, sehingga untuk mengeluarkan lemak dari dalam sel perlu menggunakan alat pemecah membran sel. Penggunaan metanol berfungsi untuk membantu proses pemecahan sel. Kloroform berfungsi untuk menarik komponen lemak, sehingga terpisah dari komponen non lemak dan biomassa saat proses ekstraksi lemak. Komponen non lemak akan diikat oleh akuades yang juga digunakan dalam proses ekstraksi lemak ini. Hasil analisis lemak terhadap semua sampel baik pada sampel dengan konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % maupun 100 % menunjukkan pola yang sama yaitu kadar lemak semakin tinggi pada fase stasioner. Ini terjadi pada skala laboratorium maupun lapangan. Pada skala laboratorium kadar lemak tertinggi diperoleh saat fase stasioner yaitu sebesar 40, 48, 45 dan 37 % secara berurutan untuk sampel dengan konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % dan 100 % (Gambar 5). Begitu juga kadar lemak pada skala lapangan, sampel dengan berbagai konsentrasi nitrogen memiliki kandungan lemak yang sama yaitu 40 % pada fase eksponensial. Pada fase akhir eksponensial, kandungan lemak tetap kecuali sampel dengan konsentrasi nitrogen

Konsentrasi nitrogen Nilai

Eksponensial Akhir eksponensial Stasioner

25 % 0.243a 0.050c 0.2157d

50 % 0.160a 0.109c 0.2483d

75 % 0.147a 0.059c 0.3200d

19

100% kandungan lemaknya naik menjadi 41 %. Semua sampel dari keempat variasi konsentrasi nitrogen mengalami kenaikan kandungan lemak pada secara siknifikan fase stasioner yaitu sebesar 50 %, 50 %, 45 % dan 50 % secara berurutan dari konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % dan 100 % (Gambar 6). Dari data kandungan lemak baik pada skala laboratorium maupun lapangan terbukti bahwa lemak diproduksi paling banyak pada saat mikroalga berada di fase stasioner. Kondisi nutrisi yang semakin berkurang pada fase stasioner dan perlakuan pembatasan nitrogen menjadi alasan diproduksinya lemak lebih banyak pada fase ini.

Gambar 5 Kandungan lemak Nannochloropsis sp. skala laboratorium dalam konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % dan 100 %. Hari ke-1 : fase eksponensial, hari ke-9 : fase akhir eksponensial, hari ke-12 : fase stasioner.

Gambar 6 Kandungan lemak Nannochloropsis sp. skala lapangan dalam konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % dan 100 %. Hari ke-6 : fase eksponensial, hari ke-10 : fase akhir eksponensial, hari ke-13 : fase stasioner.

Mikroalga dapat tumbuh dengan baik jika berada di lingkungan optimal pertumbuhannya. Nutrisi merupakan faktor penting dalam produksi biomassa mikroalga. Nitrogen dapat berupa ammonium, nitrat, nitrit dan urea. Konsentrasi nitrogen mempengaruhi produksi lemak. Penelitian terdahulu menyebutkan

20

bahwa mikroalga mampu memproduksi lemak dalam jumlah yang lebih besar ketika ditumbuhkan dalam media dengan konsentrasi nitrogen yang dikurangi.

Ketika nutrisi tersedia dalam jumlah cukup, maka mikroalga akan tumbuh dengan cepat dan memproduksi biomassa dalam jumlah banyak. Hal sebaliknya terjadi ketika nutrisi berkurang (Sheehan et al. 1998). Fase stasioner merupakan fase dimana nutrisi dalam media pertumbuhan mikroalga mulai berkurang. Dalam kondisi kandungan nitrogen rendah, fotosintesis tetap berjalan meskipun lajunya menurun sampai nitrogen sel berada di bawah ambang batas. Aliran karbon tetap oleh fotosintesis, tetapi dialihkan dari jalur sintesis protein ke sintesis lemak atau kabohidrat (Adetola 2011). Ini ditunjukkan pada gambar tentang kadar lemak (gambar 5 dan 6), protein (gambar 7) dan karbohidrat (gambar 8) dimana pada fase stasioner saat nutrisi mulai habis, kandungan protein menurun sedangkan kandungan lemak dan karbohidrat meningkat. Kondisi kurangnya nitrat (NO3) menyebabkan biosintesis protein menurun (Guillard 1975). Beberapa peneliti melaporkan bahwa keadaan dimana konsentrasi nutrisi rendah akan menyebabkan kandungan lemak meningkat (Sheehan et al. 1998, Xin et al. 2010). Proses perubahan jalur sintesis dari protein ke sintesis karbohidrat atau lemak pada mikroalga belum diketahui secara pasti. Namun, sering disamakan dengan proses pada tumbuhan tingkat tinggi.

Gambar 7 Kandungan protein Nannochloropsis sp. dalam konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % dan 100 %

21

Gambar 8 Kandungan karbohidrat Nannochloropsis sp. dalam konsentrasi nitrogen 25 %, 50 %, 75 % dan 100 %

Secara umum, pada saat mikroalga berada dalam kultur dengan kandungan nitrogen terbatas, kandungan protein dan klorofil menurun sedangkan karbohidrat dan lemak meningkat. Kadar lemak netral dalam alga bergeser ke penyimpanan lemak ketika mikroalga berada dalam lingkungan stress. Lemak netral tidak hanya dalam bentuk hidrokarbon jenuh rantai lurus, tetapi juga tak jenuh tunggal atau ganda (Mata et al. 2013).

Karbohidrat merupakan salah satu komponen yang banyak ditemukan pada alga. Karbohidrat didefinisikan sebagai polyhydroxy aldehyde dan keton serta turunan dari gula ini. Gugus hidroksil dari karbohidrat dapat dimodifikasi oleh pergantian dengan gugus-gugus lain untuk menghasilkan ester dan eter atau diganti untuk menghasilkan gula deoksi dan amino. Karbohidrat juga terkait dengan jumlah protein dan lemak.

Pada tabel 3 yield lemak skala laboratorium menunjukkan bahwa semua sampel pada ketiga fase pengambilan sampel memiliki yield lemak lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol kecuali sampel 75 % konsentrasi nitrogen pada fase eksponensial. Yield lemak pada fase akhir eksponensial dan stasioner lebih tinggi dibandingkan pada fase eksponensial. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan nutrisi mempengaruhi produksi lemak dan biomassa.

Pada skala lapangan, yield lemak cenderung menurun dari fase eksponensial, akhir eksponensial dan paling rendah adalah pada fase stasioner.

Yield lemak skala lapangan lebih kecil dibandingkan skala laboratorium. Hal ini disebabkan selama kultivasi di lapangan banyak faktor yang tidak bisa dikendalikan seperti intensitas cahaya dan suhu.

22

Tabel 4 Yield lemak pada skala laboratorium dan lapangan dari fase eksponensial, akhir eksponensial dan stasioner

Sampel

Yield lemak (g)

Skala laboratorium Skala lapangan

eksponensial akhir

eksponensial stasioner eksponensial

akhir eksponensial stasioner 25% 0.5 1.1 1 0.3 0.3 0.2 50% 0.5 0.9 0.7 0.4 0.3 0.2 75% 0.3 0.8 0.9 0.4 0.4 0.2 100% 0.4 0.5 0.5 0.5 0.3 0.2

Lemak berfungsi sebagai sumber energi metabolik dan asam lemak esensial yang berperan dalam struktur seluler, pemeliharaan dan integritas biomembran. Senyawa lemak adalah salah satu senyawa metabolit primer yang berperan dalam pertumbuhan. Pada metabolisme sel mikroalga, biosintesis asam lemak terjadi di dalam kloroplas. Biosintesis asam lemak tidak hanya bergantung pada ketersediaan nitrogen, tetapi juga bergantung pada jalur metabolisme sel secara keseluruhan.

Pengaruh nitrogen terbatasi terhadap profil asam lemak

Asam lemak diperoleh melalui proses transesterifikasi TAG dengan metanol dan menghasilkan ester asam lemak mono-alkil yang merupakan alternatif bahan bakar energi. Pemakaian metanol digunakan dalam proses metilasi. Metanol bisa diganti dengan alkohol. Pemilihan metanol dibandingkan alkohol pada proses ini karena harganya lebih murah dan lebih baik dalam pemisahan hasil akhir yaitu biodiesel dan gliserol. Reaksi transesterifikasi dipercepat dengan penggunaan katalis basa berupa boron florida (BF3). Katalis BF3 digunakan karena bersifat stabil.

Mikroalga yang ideal untuk produksi biodiesel tidak hanya dilihat dari lemak yang tinggi tetapi juga komposisi asam lemaknya. Profil asam lemak mikroalga penting dilakukan untuk mengetahui persentase setiap asam lemak yang terkandung dalam mikroalga yang mempengaruhi sifat biodiesel. Lemak mikroalga terdiri dari asam lemak - asam lemak jenuh dan tidak jenuh dengan atom karbon 12-22 (Mata et al. 2010). Profil asam lemak berbeda-beda untuk setiap jenis mikroalga. Namun, ada beberapa asam lemak yang umum terdapat pada mikroakga yaitu asam palmitat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat (Knothe 2009). Liu et al. (2011) menemukan bahwa asam lemak terbanyak pada kultur Chlorella zofingiensis berupa asam palmitat, asam oleat dan asam linoleat. Sedangkan Roncarati et al. (2004) menuliskan bahwa pada kultur

Nannochloropsis sp., asam palmitat menjadi dua kali lipat pada fase stasioner dibandingkan fase eksponensial. Asam lemak metil ester yang umum terdapat

23

pada biodiesel adalah asam palmitat, asam oleat, asam stearat, asam linoeat dan asam linolenat (Knothe 2008).

Asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C18:0) merupakan asam lemak jenuh/Saturated Fatty Acid (SFA), asam oleat (C18:1) merupakan asam lemak tak jenuh tunggal/Mono Unsaturated Fatty Acid (MUFA), asam linoleat (C18:2) dan asam linolenat (C18:3) merupakan asam lemak tak jenuh ganda/Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Kelima asam lemak tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap sifat biodiesel. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa persentase yang baik untuk biodiesel dari masing-masing asam lemak tersebut. Standar Biodiesel Indonesia SNI 04-7182-2006 hanya menyebutkan kandungan ester alkil sebesar minimal 96,5 %-b (Setyaningsih 2012).

Sifat biodiesel ditentukan oleh profil asam lemaknya. Sifat biodiesel yang paling penting adalah kualitas pembakaran (cetane number), cold-flow dan stabilitas oksidatif. Asam lemak jenuh dan profil asam lemak mempengaruhi sifat dari produk bahan bakar. Sebagai contoh, asam lemak jenuh menghasilkan biodiesel dengan stabilitas oksidatif yang sangat baik dan cetane number yang tinggi, tetapi low-temperature rendah. Biodiesel yang diproduksi dari asam lemak jenuh ini mudah membentuk gel pada suhu ruang. Kandungan PUFA tinggi memberikan sifat cold-flow yang baik. Namun, asam lemak ini sangat rentan terhadap oksidasi. Oleh karena itu, biodiesel yang dihasilkan dari bahan baku yang memiliki kandungan PUFA tinggi cenderung memiliki masalah ketidakstabilan jika disimpan dalam waktu lama.

Pada gambar 9 terlihat bahwa asam palmitat (asam lemak jenuh) dominan pada beberapa fase dan variasi konsentrasi nitrogen. Asam palmitat dominan pada fase stasioner dari sampel dengan konsentrasi nitrogen 25 %, 50 % dan 100 %. Hal ini sesuai dengan penelitian Hu & Gao (2003) yang menuliskan bahwa asam lemak predominan yang terdapat pada Nannochloropsis sp. adalah asam palmitat (C16:0).

Pemanfaatan asam palmitat tidak hanya untuk biodiesel tetapi untuk komersial produk lainnya seperti sebagai bahan kosmetik dan bahan olahan makanan. Pada gambar 9 terlihat bahwa persentase asam palmitat tertinggi terdapat pada fase eksponensial dari sampel dengan konsentrasi nitrogen 75 %. Kultivasi Nannochloropsis sp. pada fase dan konsentrasi tersebut bisa menjadi rujukan jika ingin memproduksi asam palmitat dengan presentase yang tinggi.

Asam stearat, asam oleat, asam linoleat dan linoleat memiliki persentase yang bervariasi tergantung fase pertumbuhan dan konsentrasi nitrogen yang digunakan dalam kultivasi Nannochloropsis sp.

24

Gambar 9 Profil asam lemak Nannochloropsis sp.

Dokumen terkait