• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 BAHAN DAN METODE

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil pengamatan diolah dengan analisis sidik ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torie 1993). Data diolah dengan program SAS 9.1.3.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii sp

 

Budidaya yang dilakukan untuk mendapatkan keseragaman umur panen, yaitu umur panen 35 hari, 45 hari serta 55 hari. Bibit yang dibudidaya diperoleh dari potongan thalus muda yang berumur 30 hari, berwarna segar dan cerah, tidak layu, memiliki cabang yang banyak atau rimbun serta tidak terdapat bercak atau terkelupas. Tiap titik tali berisi 1 bibit rumput laut dengan berat ± 3 gram. Bibit diikat tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang karena akan menyebabkan bibit lepas dari ikatan ataupun bibit menjadi terpotong oleh tali pengikat seperti yang terlihat pada (Gambar 9).

Gambar 9. Pengikatan bibit

Gambaran deskripsi rumput laut sebagai bibit yang akan dibudidayakan di Tablolong Kupang dapat dilihat pada (Gambar 10) di bawah ini.

Gambar 10 Rumput laut Eucheumacottonii sp yang dibudidayakan di Tablolong Kupang

Karakteristik Pengeringan dari Metode Penjemuran

 

Kadar Air Awal

Kadar air awal rumput laut pada penelitian ini berkisar antara 82.57% – 83.90% (Tabel 3). Hasil rata–rata kadar air awal berdasarkan umur panen menunjukkan bahwa umur panen 35 hari menghasilkan kadar air tertinggi yaitu 83.90%. Rumput laut yang dipanen masih terlalu muda (kurang dari 45 hari) mempunyai kadar air yang tinggi dan kandungan kadar karaginan yang rendah karena siklus kehidupan rumput laut tersebut masih dalam tahap pertumbuhan, dinding sel rumput laut belum membentuk atau menghasilkan karaginan.

Tabel 3. Rata- rata kadar air awal rumput laut Eucheuma cottonii sp Umur panen (hari) Kadar air awal (%)

35 83.90 ± 1.51

45 82.57 ± 1.09

55 83.00 ± 0.31

Menurut Wenno et al. (2010) umur panen 50 hari menghasilkan rendemen karaginan tertinggi. Hal ini disebabkan semakin tua umur panen pada rumput laut maka kandungan polisakarida yang dihasilkan juga semakin banyak sehingga kandungan karaginannya juga semakin tinggi (Syammsuar 2006). Rumput laut pada umur 55 hari rendemen karaginan mengalami penurunan. Penambahan umur panen akan meningkatkan berat basah yang diikuti dengan penambahan kadar karaginan sampai batas tertentu dan cenderung menurun seiring dengan penambahan berat basah dan umur panen. Selain itu bagian thalus yang muda lebih banyak kandungan air jika dibandingkan dengan bagian thalus yang lebih tua. Semakin tua umur panen maka semakin rendah kandungan kadar air (Sukri 2006).

Kadar Air dan Lama Pengeringan

Analisa kadar air selama penjemuran dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kadar air rumput laut hingga mencapai kadar air standar SNI rumput laut kering Eucheuma cottonii sp sebesar 32%. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air sesuai standar SNI dapat dilihat pada (Tabel 4).

Tabel 4. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air 32% (jam) Umur Panen (hari) Metode Penjemuran Para-para Gantung 10 cm 20 cm 15 cm 30 cm 35 20.0 20.0 16.5 15.5 45 18.0 18.0 16.0 15.0 55 18.0 19.0 17.0 16.5 Tabel 4 menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan rumput laut untuk menguapkan air hingga mencapai kadar air 32%, waktu tercepat ada pada umur panen 45 hari yang dijemur menggunakan metode gantung dengan jarak 30 cm (15 jam). Kombinasi perlakuan ini memiliki kadar air awal 82.57% dan mampu mencapai kondisi kadar air 31.98% di hari kedua pada pukul 12.00. Penjemuran

rumput laut yang menggunakan metode gantung dengan jarak 30 cm memungkinkan bidang permukaan bahan menerima paparan panas lebih luas dibandingkan bahan yang dijemur dengan jarak yang lebih rapat.

Grafik perubahan kadar air rumput laut terhadap waktu penjemuran dapat dilihat pada (Gambar 11) yang menunjukkan bahwa kadar air menurun secara simultan. Proses pengeringan hari pertama dimulai pukul 07.00 dengan penurunan kadar air yang relatif lebih cepat dalam jumlah yang besar, hal ini dikarenakan air yang menguap adalah air bebas yang terdapat pada permukaan rumput laut. Selama pengeringan terjadi perpindahan panas dan massa secara serempak. Perpindahan massa air rumput laut terjadi akibat adanya panas dan perbedaan tekanan uap air. Panas yang masuk akan menguapkan air secara perlahan–lahan pada permukaan rumput laut karena tekanan uap air di lingkungan yang lebih rendah.

Semakin tinggi suhu pengeringan maka waktu pengeringan rumput laut juga semakin rendah. Pada tahap awal pengeringan dimana kadar air dan laju pengeringan rumput laut masih tinggi, kadar air bahan memperlihatkan penurunan yang cepat kemudian melandai dan melambat saat mencapai kadar air keseimbangan. Suhu yang semakin rendah, terlihat dari grafik yang menurun dikarenakan kecepatan waktu pembebasan air semakin rendah. Lama pengeringan semakin meningkat sejalan dengan menurunnya suhu pengeringan.

Kadar air rumput laut mengalami peningkatan kembali setelah mengalami penyimpanan selama satu malam. Hal ini dikarenakan rumput laut mengandung air garam yang bersifat higroskopis yang mempunyai tekanan osmotik tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya plasmolisis dimana bahan dapat menyerap kembali uap air baik dari bahan maupun lingkungan, akibatnya kadar air kembali meningkat (Suwamba 2008).

Penurunan kadar air kembali terjadi karena adanya kenaikan suhu dan intensitas panas matahari pada pukul 08.00 – 13.00 dan pergerakan terlihat semakin melambat pada pukul 14.00, hal ini disebabkan karena rumput laut sudah mendekati kadar air keseimbangannya. Mendekati keseimbangan penurunan kadar air semakin lambat karena massa air yang terdapat di permukaan sudah habis dan penguapan air terjadi hanya dari dalam bahan. Kadar air keseimbangan terjadi ketika kandungan uap air bahan dengan lingkungan telah seimbang sehingga keadaan kandungan air yang sama pada keduanya mengakibatkan kandungan air tidak dapat berpindah(Chakraverty 2001).

(b)

(c)

Gambar 11. Grafik perubahan kadar air terhadap waktu penjemuran pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c)

Laju Pengeringan

Laju pengeringan menurun seiring dengan waktu penjemuran (Gambar 12). Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pada hari pertama laju pengeringan rumput laut meningkat pada pagi hari, berfluktuasi siang hari dan menurun pada sore hari. Penguapan menyebabkan tekanan uap di dalam bahan semakin rendah diikuti laju pengeringan yang semakin menurun, periode ini disebut laju pengeringan menurun (Mursalim 2003).

Laju pengeringan hari kedua lebih rendah bila dibandingkan hari pertama, hal ini berkaitan dengan ketersediaan air pada rumput laut yang telah jauh berkurang setelah terjadinya penguapan hari pertama. Air yang pertama kali menguap adalah air bebas di permukaan bahan. Ketika air di permukaan telah habis, uap air dari bagian dalam akan berdifusi ke permukaan karena adanya perbedaan tekanan uap di dalam dan bagian luar bahan. Pada awal penguapan difusi air menuju permukaan bahan berlangsung lebih lambat dan sebaliknya terjadinya penguapan air dari permukaan bahan berlangsung lebih cepat, hal ini ditandai dengan adanya lapisan tipis air yang menutupi permukaan bahan (Brooker et al. 1974).

Penurunan kadar air rumput laut yang dikeringkan menggunakan metode penjemuran gantung lebih cepat dibandingkan metode para–para. Pada metode gantung, penurunan kadar air rumput laut yang dikeringkan dengan jarak 30 cm lebih cepat dibandingkan jarak 15 cm, sedangkan pada metode penjemuran para-para penurunan kadar air rumput laut yang dikeringkan dengan ketebalan 10 cm lebih cepat dibandingkan ketebalan 20 cm.

Lapisan tipis mengurangi jarak dimana panas harus bergerak ke pusat bahan, absorsi panas yang mencapai bagian dalam tumpukan rumput laut akan berlangsung lebih cepat sehingga proses pelepasan air dari rumput laut bisa berlangsung lebih mudah. Menurut (Devastin dan Sakarmon 2001) dengan mengurangi ketebalan bahan yang dijemur maka perpindahan panas menjadi lebih efisien dan penetrasi panas dengan waktu yang lebih singkat dapat mempercepat terjadinya proses difusi.

Laju pengeringan hari pertama menunjukkan bahwa tiga jam diawal penjemuran, rumput laut yang dijemur dengan menggunakan metode para–para memperlihatkan laju pengeringan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan metode gantung. Tetapi pada tiga jam berikutnya hingga sore hari laju pengeringan terlihat sebaliknya, dimana rumput laut yang dijemur dengan metode gantung menunjukkan laju yang lebih cepat.

Gambar 12. Laju pengeringan berbagai metode penjemuran dan ketebalan/jarak pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c)

Rata-rata laju pengeringan berbagai metode penjemuran dan ketebalan/jarak pada umur panen yang berbeda dapat dilihat pada (Tabel 5).

Tabel 5. Rata-rata laju pengeringan (% b.k/jam) Waktu Pengamatan (Pukul) Umur Panen (hari) Metode Penjemuran Para-para Gantung 10 cm 20 cm 15 cm 30 cm Hari Pertama 07.00-09.00 35 31.16 45.67 27.38 45.12 45 10.69 12.77 20.60 23.80 55 20.91 25.78 18.24 14.62 10.00-12.00 35 59.83 31.06 66.95 61.46 45 34.07 25.40 39.54 61.49 55 60.34 45.16 39.97 51.78 13.00-15.00 35 15.91 30.28 26.00 18.65 45 45.07 32.15 51.78 34.78 55 15.21 18.02 36.09 37.66 16.00-17.00 35 3.85 5.70 1.69 1.58 45 5.62 9.45 1.64 4.08 55 7.33 2.40 10.16 12.63 Hari Kedua 07.00-09.00 35 17.04 14.71 9.62 8.73 45 23.90 33.36 9.73 7.29 55 16.39 13.03 13.08 10.48 10.00-12.00 35 24.06 25.20 20.82 7.77 45 15.01 25.73 8.75 4.04 55 29.83 33.73 12.42 13.04 13.00-15.00 35 8.98 10.08 3.46 2.14 45 5.24 9.46 2.42 2.46 55 6.14 11.82 4.28 3.65 16.00-17.00 35 3.00 2.24 0.83 0.46 45 0.92 1.70 0.87 0.40 55 2.63 2.91 1.50 1.35 2

Faktor–faktor yang mempengaruhi laju pengeringan rumput laut adalah intensitas radiasi matahari, suhu, kecepatan angin, ketebalan rumput laut yang akan mempengaruhi kecepatan pindah panas dan kadar air rumput laut. Intensitas radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif dan kecepatan angin di lokasi penelitian berfluktuasi selama periode penjemuran seperti terlihat pada (Gambar 13).

0 10 20 30 40 50 60 70 7. 00 8. 00 9. 00 10 .00 11 .00 12 .00 13 .00 14 .00 15 .00 16 .00 17 .00 In te ns it a s R a dia s i (M J m -2)

Waktu Pengukuran (Pukul) Hari I Hari II 40 50 60 70 80 90 100 7. 0 0 8. 0 0 9. 0 0 10 .00 11 .00 12 .00 13 .00 14 .00 15 .00 16 .00 17 .00 K e le m b ab an Rel a ti f ( % )

Waktu Pengukuran (Pukul) Hari I Hari II 20 22 24 26 28 30 32 34 7. 0 0 8. 0 0 9. 0 0 10 .00 11 .00 12 .00 13 .00 14 .00 15 .00 16 .00 17 .00 Su hu U d a ra ( OC)

Waktu Pengukuran (Pukul)

BK Hari I BK Hari II BB Hari I BB Hari II 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 7. 0 0 8. 0 0 9. 0 0 10 .00 11 .00 12 .00 13 .00 14 .00 15 .00 16 .00 17 .00 K e ce pat a n A n g in (m s -1 )

Waktu Pengukuran (Pukul) Hari I Hari II

Gambar 13. Variasi radiasi matahari (a), kelembaban relatif (b), suhu udara (c) dan kecepatan angin (d) selama pengeringan

Kondisi Cuaca Radiasi Matahari

Intensitas radiasi matahari yakni meningkat sejak pagi hari, berfluktuasi pada siang hari kemudian menurun pada sore hari, intensitas radiasi matahari berkisar antara 50 W m-2 – 700 W m-2 dengan rata-rata 375 W m-2.

Intensitas radiasi matahari yang meningkat sejak pagi selain digunakan untuk pemanasan udara, juga digunakan untuk pemanasan berbagai bidang permukaan termasuk rumput laut yang dijemur. Energi dari sinar matahari digunakan sebagai sumber tunggal untuk kebutuhan panas pengeringan. Proses pengeringan ditandai adanya proses penguapan kadar air dari rumput laut yang dikeringkan (Ekechukuw dan Norton 1999).

Peningkatan intensitas radiasi matahari akan diikuti dengan peningkatan laju pengeringan rumput laut baik yang dijemur menggunakan metode para–para maupun metode gantung dengan total radiasi yang diterima permukaan selama

(a) (b)

proses penjemuran berlangsung sebesar 13.89 MJ m-2 pada hari pertama dan 15.66 MJ m-2 pada hari kedua.

Jika dibandingkan antara kedua metode penjemuran yang digunakan maka efek radiasi lebih berkorelasi terhadap laju pengeringan rumput laut yang dijemur dengan menggunakan metode gantung yakni dengan peningkatan radiasi yang sama maka pertambahan laju pengeringan dengan metode gantung lebih besar. Hal ini disebabkan karena dengan metode gantung memungkinkan bidang permukaan rumput laut yang menerima paparan radiasi matahari lebih besar (Gambar 14).

Gambar 14. Diagram pencar hubungan laju pengeringan dengan radiasi total pada metode para-para (a) dan metode gantung (b) Tabel 6 menunjukkan bahwa intensitas matahari berpengaruh paling nyata pada peningkatan laju pengeringan terutama pada metode gantung dibandingkan faktor suhu, kecepatan angin dan RH pada proses pengeringan. Nilai R2 tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut yang dijemur dengan menggunakan metode gantung pada umur panen 35 hari dengan jarak penjemuran 15 cm sebesar (0.9072). Hal ini menunjukkan bahwa keeratan hubungan proses perpindahan massa pengeringan rumput laut lebih dipengaruhi oleh proses transfer panas karena radiasi matahari.

(b) (a)

Suhu

Selama proses pengeringan terjadi fluktuasi suhu lingkungan yang cukup signifikan. Pada awal pemanasan terjadi peningkatan suhu yang memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar air dikarenakan transfer panas dari radiasi matahari akan menaikan suhu udara di sekitar penjemuran.

Suhu udara di lingkungan berkisar antara 23.3 0C – 31.7 0C dengan rata–rata 29.2 0C. Selama penjemuran suhu udara pada hari kedua lebih tinggi daripada hari pertama. Suhu rata–rata hari pertama sebesar 28.92 0C dan hari kedua sebesar 29.50 0C. Cuaca yang cerah dihari kedua dengan peningkatan suhu yang cukup tinggi antara pukul 10.00 – 16.00 dengan rata-rata suhu sebesar 31.03 0C akan mempercepat terjadinya proses pengeringan rumput laut. Hal ini disebabkan karena energi panas dalam udara akibat peningkatan suhu di sekitar penjemuran mampu menguapkan molekul–molekul air yang ada pada permukaan bahan. Kenaikan suhu ini seiring dengan semakin lamanya proses pengeringan berlangsung.

Peningkatan tekanan uap air menyebabkan terjadinya aliran uap air dari rumput laut ke udara sekitarnya. Semakin tinggi suhu udara maka semakin besar energi panas yang dibawa ke udara sehingga dapat mempercepat terjadinya penguapan (Dwika et al. 2012). Semakin tinggi suhu maka kelembaban relatifnya akan turun, sedangkan tekanan uap jenuhnya akan naik (Nelwan 1997).

Kelembaban Relatif (RH)

Kelembaban relatif dipergunakan sebagai ukuran kapasitas udara untuk menyerap air dehidrasi, oleh karena udara hanya dapat menampung jumlah air tertentu yang akan menyebabkan udara sekitar menjadi jenuh (Earle 1986). Menurut (Sagara 1990) menyatakan bahwa kelembaban relatif dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka kelembaban relatif akan semakin rendah. Sebaliknya peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kelembaban relatif (Sukmawaty et al. 2007).

Hubungan laju pengeringan terhadap kelembaban relatif (RH) pada (Lampiran 11) memperlihatkan bahwa RH tertinggi terjadi pada awal proses pengeringan. Suhu di awal pengeringan di hari pertama pada tiga jam pertama (pukul 07.00 – 09.00) suhu berkisar antara 23.7 0C – 28.5 0C menunjukkan RH yang cukup tinggi yakni 95% – 76%. Demikian pula pengeringan hari kedua dimana RH diawal pengeringan memperlihatkan kelembaban yang cukup tinggi yakni 85% – 64% pada suhu 23.3 0C – 28.9 0C, hal ini dikarenakan suhu di awal pengeringan masih rendah sehingga kelembaban udaranya masih tinggi.

RH yang tinggi akan menghambat proses pemindahan uap air dari rumput laut ke luar bahan sehingga akan memperpanjang waktu pengeringan akibatnya laju pengeringan akan menurun secara perlahan. Nilai RH akan mempengaruhi kemampuan udara tersebut menyerap uap air dari rumput laut yang dikeringkan. Semakin rendah kelembaban udaranya, maka uap air yang berpindah dari bahan ke udara semakin besar, akibatnya laju pengeringan akan semakin meningkat dan pengeringan akan berlangsung dengan cepat. Hal ini dikarenakan makin rendah RH maka makin besar perbedaan antara tekanan uap air dipermukaan rumput laut dengan tekanan air udara sehingga makin mempercepat proses pengeringan.

Kadar air awal rumput laut yang cukup tinggi menyebabkan bahan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai kadar kesetimbangan.

Pada awal pengeringan menunjukkan laju pengeringan yang relatif konstan, hal ini terjadi karena masih banyaknya massa air bebas yang menyelimuti seluruh permukaan rumput laut sehingga laju penguapan massa air dari permukaan seolah-olah konstan, hal ini disebabkan oleh kondisi RH yang relatif tinggi selama pengeringan.

Tabel 6. Hubungan laju pengeringan relatif terhadap cuaca

Metode Penjemuran

Umur Panen

R2 Laju Pengeringan Relatif Ketebalan/Jarak

Waktu (hari)

Radiasi Suhu Kecepatan

Angin RH (W m-2) (0C) (m s-1) (%) Para-para 35 10 Hari 1 0.25 0.17 0.54 0.16 Hari 2 0.63 0.42 0.34 0.38 20 Hari 1 0.07 0.04 0.43 0.06 Hari 2 0.73 0.42 0.15 0.48 45 10 Hari 1 0.00 0.16 0.08 0.18 Hari 2 0.42 0.23 0.18 0.20 20 Hari 1 0.02 0.18 0.05 0.26 Hari 2 0.28 0.18 0.22 0.13 55 10 Hari 1 0.25 0.26 0.44 0.24 Hari 2 0.42 0.31 0.26 0.26 20 Hari 1 0.54 0.22 0.47 0.24 Hari 2 0.66 0.52 0.30 0.51 Gantung 35 15 Hari 1 0.91 0.41 0.20 0.45 Hari 2 0.30 0.14 0.00 0.12 30 Hari 1 0.66 0.28 0.43 0.34 Hari 2 0.52 0.14 0.11 0.13 45 15 Hari 1 0.10 0.29 0.00 0.21 Hari 2 0.52 0.14 0.11 0.20 30 Hari 1 0.53 0.60 0.07 0.50 Hari 2 0.38 0.11 0.42 0.08 55 15 Hari 1 0.22 0.51 0.01 0.39 Hari 2 0.32 0.08 0.07 0.08 30 Hari 1 0.08 0.51 0.03 0.39 Hari 2 0.68 0.44 0.15 0.39 Kecepatan Angin

Pengaruh kecepatan angin tidak menunjukkan keeratan hubungan yang cukup nyata, akan tetapi penjemuran yang menggunakan metode parapara menunjukkan pengaruh kecepatan angin yang lebih tinggi dengan ditunjukkannya nilai R2 yang secara umum lebih tinggi.Kecepatan angin berkisar antara 2 m s-1 – 9 m s-1 dengan rata–rata 4 m s-1. Adanya angin yang bertiup dapat berkontribusi memindahkan udara jenuh pada permukaan bahan yang kemudian digantikan dengan udara panas. Semakin cepat angin bertiup maka laju pengeringan rumput laut juga semakin tinggi. Sebaliknya bila udara tidak mengalir maka kandungan uap air disekitar bahan yang dikeringkan menjadi semakin jenuh akibatnya

pengeringan semakin lambat. Adanya pergerakkan angin menyebabkan udara lembab dipermukaan bahan cepat tergantikan oleh udara kering sehingga pengeringan dapat berlangsung lebih cepat. Bila udara tidak mengalir maka kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan makin jenuh akibatnya pengeringan menjadi lambat (Taib et el. 1988).

Kadar Kotoran Rumput Laut

Kadar kotoran rumput laut kering Eucheuma cottonii sp yang dihasilkan berkisar antara 0.42% – 2.25% dengan rata–rata 1.10%. Secara umum kadar kotoran rumput laut kering Eucheuma cottonii sp dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Grafik rata-rata kadar kotoran rumput laut Eucheuma cottonii sp Hasil sidik ragam (Tabel 7) menunjukkan bahwa metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak memberikan pengaruh utama yang nyata terhadap kadar kotoran. Pengaruh interaksi yang signifikan terhadap kotoran hanya berasal dari interaksi metode penjemuran dan umur panen sedangkan interaksi kombinasi perlakuan yang lainnya tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Tabel 7. Sidik ragam kadar kotoran rumput laut

Sumber Keragaman F Value Pr > F

Metode Penjemuran 219.80** <.0001

Umur Panen 13.28** 0.0063

Metode Penjemuran * Umur Panen 15.49** 0.0043

Ketebalan/Jarak 6.17tn* 0.0475

Metode Penjemuran * Ketebalan/Jarak 0.01tn 0.9201 Umur Panen * Ketebalan/Jarak 0.00tn 0.9967 Metode Penjemuran * Umur Panen * Ketebalan/Jarak 0.01tn 0.9929

Keterangan: *=berbeda nyata pada taraf alpha 5%, **=berbeda nyata pada taraf alpha 1%, tn=tidak nyata

Hasil uji lanjut pengaruh utama metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap kadar kotoran dapat dilihat pada (Tabel 8). Metode para–

para secara nyata menghasilkan kadar kotoran yang lebih kecil daripada metode gantung. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan dengan metode para–para mampu mengurangi kadar kotoran karena rumput laut tidak langsung menyentuh permukaan tanah, adanya (jaring/waring) memudahkan kotoran jatuh melalui rongga jaring.

Umur panen 35 hari dan 55 hari tidak berbeda nyata, namun umur panen 45 hari menghasilkan kadar kotoran yang nyata lebih kecil. Hal ini dikarenakan umur panen 45 hari mempunyai kadar air yang lebih rendah sehingga memungkinkan bahan menjadi lebih cepat kering dan kotoran tidak mudah menempel karena proses pengeringan yang berlangsung optimal.

Ketebalan 20 cm dan jarak 30 cm menghasilkan kadar kotoran yang nyata lebih kecil dibandingkan ketebalan 10 cm dan jarak 15 cm. Ketebalan 20 cm memungkinkan bahan yang dijemur tidak merata dalam menerima paparan panas matahari sehingga terjadinya pembentukan kristal garam lebih sedikit akibat dari penguapan yang rendah. Selain itu jarak 30 cm memungkinkan kadar kotoran yang lebih sedikit karena secara gravitasi kotoran mudah jatuh serta dibantu oleh adanya kecepatan angin.

Tabel 8. Pengaruh metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap kadar kotoran

Perlakuan Kadar Kotoran

Metode Penjemuran Para-para Gantung 0.55b 1.66a Umur panen 35 hari 45 hari 55 hari 1.14a 0.85b 1.32a Ketebalan/Jarak 10/15 cm 20/30 cm 1.20a 1.01b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5 %

Hasil uji lanjut pengaruh interaksi metode penjemuran dan umur panen terhadap kadar kotoran (Tabel 9) menunjukkan bahwa rumput laut umur panen 55 hari yang dikeringkan menggunakan metode gantung menghasilkan kadar kotoran yang nyata lebih tinggi dibanding kombinasi lainnya.

Tabel 9. Pengaruh interaksi metode penjemuran dan umur panen terhadap kadar kotoran

Metode Penjemuran

Umur Panen

35 Hari 45 Hari 55 Hari

Para-para 0.62d 0.53d 0.50d

Gantung 1.66b 1.17c 2.15a

Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Rumput laut dengan umur panen 55 hari lebih lama berada di dalam perairan sehingga garam–garam mineral yang terserap lebih banyak, selain itu dengan metode gantung dapat mempercepat rumput laut menjadi cepat kering dan pembentukan kristal garam lebih banyak akibat fisik thalus yang lebih besar, cenderung mengeluarkan lebih banyak garam bila dibandingkan dengan thalus yang berukuran kecil.

Uji Organoleptik Kenampakan (Kebersihan dan Warna)

Penilaian kenampakan meliputi kebersihan dan warna. Skor kenampakan rumput laut kering Eucheuma cottonii sp yang diberikan oleh panelis dalam penelitian ini berkisar antara 2.70 – 4.40 dengan rata–rata 3.26. Skor tektur rumput laut kering Eucheuma cottonii sp dapat dilihat pada (Gambar 16).

Gambar 16. Grafik rata-rata kenampakan rumput laut Eucheuma cottonii sp Hasil sidik ragam Tabel 10 menunjukkan bahwa metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak memberikan pengaruh utama yang nyata terhadap kenampakan tetapi interaksi ketiga perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kenampakan rumput laut kering Eucheuma cottonii sp.

Tabel 10. Sidik ragam kenampakan rumput laut

Sumber Keragaman F Value Pr > F

Metode Penjemuran 17.65** 0.0057

Umur Panen 55.62** 0.0001

Metode Penjemuran * Umur Panen 1.51tn 0.2934

Ketebalan/Jarak 6.35* 0.0453

Metode Penjemuran * Ketebalan/Jarak 1.25tn 0.3054 Umur Panen * Ketebalan/Jarak 0.72tn 0.5242 Metode Penjemuran * Umur Panen * Ketebalan/Jarak 2.36tn 0.1755

Keterangan: *=berbeda nyata pada taraf alpha 5%, **=berbeda nyata pada taraf alpha 1%, tn=tidak nyata

Hasil uji lanjut pada (Tabel 11) menunjukkan bahwa metode penjemuran para–para menghasilkan rumput laut kering dengan kenampakan yang lebih baik dan berbeda nyata dengan kenampakan rumput laut yang dijemur dengan metode gantung.

Proses pengeringan dengan sinar matahari menyebabkan klorofil yang memberikan warna hijau pada rumput laut mengalami degradasi sehingga terjadi perubahan warna dari hijau merata menjadi kelabu. Menurut (Bianca 1993) klorofil bersifat sangat labil dan mudah terdegradasi oleh beberapa faktor antara lain temperatur, enzim dan asam. Sedangkan (Gross 1991) menyatakan bahwa klorofil dapat terdegradasi oleh pengaruh suhu, cahaya, air dan asam, dimana klorofil b lebih tahan panas dibandingkan dengan klorofil a.

Tabel 11. Pengaruh metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap kenampakan Perlakuan Kenampakan Metode penjemuran Para-para Gantung 3.42a 3.09b Umur panen 35 hari 45 hari 55 hari 2.89b 3.84a 3.03b Ketebalan/jarak 10/15 cm 20/30 cm 3.16b 3.36a

Keterangan: Angka diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Pengamatan secara visual (Gambar 17) menunjukkan bahwa metode penjemuran para–para memungkinkan rumput laut yang dijemur menghasilkan kenampakan warna yang lebih baik, yakni warna yang lebih merata karena proses degradasi atau perombakan pigmen klorofil akibat panas yang diterima pada rumput laut berlangsung lebih lambat bila dibandingkan dengan metode gantung. Adanya panas akan mempercepat terjadinya denaturasi protein. Pada jaringan tanaman, klorofil yang ada berikatan dengan molekul protein. Ketika tanaman terpapar panas matahari, protein yang melindungi klorofil akan terdenaturasi sehingga klorofil berada dalam bentuk bebas. Klorofil bebas bersifat tidak stabil

Dokumen terkait