• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma collonii sp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma collonii sp"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH UMUR PANEN DAN METODE PENJEMURAN

TERHADAP MUTU FISIK RUMPUT LAUT

Eucheuma cottonii

sp

ENY SULISTIYOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran Terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma cottonii sp adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Eny Sulistiyowati

(4)

ENY SULISTIYOWATI. Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran Terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma cottonii sp. Dibimbing oleh LEOPOLD OSCAR NELWAN dan SUTRISNO.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik pengeringan dari penjemuran dan menganalisis pengaruh umur panen dan metode penjemuran para-para dan gantung terhadap mutu fisik rumput laut kering Eucheuma cottonii

sp. Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap, yaitu budidaya rumput laut

Eucheuma cottonii sp, pemanenan, pengeringan serta uji organoleptik dengan

rancangan petak petak terbagi (RPPT) 2 x 3 x 2 yang diulang 2 kali sebagai blok. Metode penjemuran (A) merupakan faktor pertama (faktor petak utama) yang terdiri dari 2 taraf yaitu para-para (a1) dan gantung (a2). Faktor kedua (faktor anak petak) adalah umur panen (B) yang terdiri dari 3 taraf yaitu 35 hari (b1), 45 hari (b2) dan 55 hari (b3). Faktor ketiga (faktor anak–anak petak) adalah ketebalan/jarak (C) yang terdiri dari 2 taraf yaitu ketebalan 10 cm/jarak 15 cm (c1) dan ketebalan 20 cm/jarak 30 cm (c2).

Intensitas radiasi matahari berkisar antara 50 W m-2 – 700 W m-2, suhu udara 23.3 0C – 31.7 0C, kelembaban relatif (RH) 56% – 95% sedangkan kecepatan angin 2 m s-1 – 9 m s-1. Intensitas matahari lebih berkorelasi pada peningkatan laju pengeringan pada metode gantung dibandingkan faktor suhu dan kecepatan angin.

Kadar air awal rumput laut 82.57% – 83.00%. Hasil penelitian kadar air awal tertinggi rumput laut Eucheuma cottonii pada umur panen 35 hari sebesar 83.90% dan kadar air awal terendah pada umur panen 45 hari sebesar 82.57%. Laju pengeringan tercepat dicapai pada umur panen 35 hari yang dijemur dengan metode gantung pada jarak 15 cm. Kadar kotoran berkisar 0.42% – 2.25% dengan rata-rata 1.10%. Uji organoleptik untuk kenampakan rumput laut kering rata-rata 3.26 dengan kisaran 2.70 – 4.40. Tekstur rumput laut kering rata-rata 3.18 dengan kisaran 2.40 – 4.17. Skor bau rumput laut kering rata-rata 3.94 dengan kisaran 2.60 – 4.30.

Metode penjemuran para-para menghasilkan mutu fisik rumput laut kering berupa kadar kotoran yang lebih kecil, kenampakan dan bau yang lebih baik. Umur panen 45 hari menghasilkan kadar kotoran yang lebih kecil dan menghasilkan kenampakan, tekstur serta bau yang terbaik dibandingkan rumput laut yang dipanen saat berumur 35 hari maupun 55 hari. Ketebalan 20 cm atau jarak 30 cm lebih baik dibandingkan ketebalan/jarak 10/15 cm. Mutu fisik rumput laut kering Eucheuma cottonii sp yang terbaik sebaiknya dipanen pada saat berumur 45 hari kemudian dikeringkan menggunakan metode para-para.

(5)

SUMMARY

ENY SULISTIYOWATI. Effect of Harvest Time and Drying Methods on Physical Quality Seaweed Eucheuma cottonii sp. Supervised by LEOPOLD OSCAR NELWAN and SUTRISNO.

The purpose of this study was to the characteristics of drying and analyze the effects of harvesting age, rack drying and standing drying methods on physical quality of dried seaweed Eucheuma cottonii sp. The research was conducted in four stages consist of seaweed cultivation of Eucheuma cottonii sp, harvest time, drying and organoleptic tests with split-split-plot design (SSPD) 2 x 3 x 2 with 2 replications as block. Drying method (A) is the whole plot factor which consisted of 2 levels i.e. rack drying (a1) and standing drying (a2). Harvesting age (B) is sub-plot factor which consisted of 3 levels i.e. 35 days of harvest time (b1), 45 days (b2) and 55 days (b3). Thickness/distance (C) was sub – subplot which consisted of 2 levels i.e. 10 cm/15 cm (c1) and 20 cm/30 cm (c2).

Sun radiation intensity ranged between 50 W m-2 – 700 W m-2, air temperature ranged between 23.3 0C – 31.7 0C, relative humidity (RH) 56% to 95% while the wind speed ranged between 2 m s-1 – 9 m s-1.Sun intensity was the most significant factor in increasing drying rate compared to temperature and wind speed during drying process.

Initial moisture content of Euchema cottonii sp seaweed ranged between 82.57% – 83.90%. The highest moisture content was found at seaweed which harvested at 35 days i.e. 83.90%. The lowest moisture content occurred at seaweed which harvested at 45 days i.e. 82.57%. The fastest drying rate generated seaweed Eucheuma cottonii sp that is harvested at 35 days and then dried using a hanging method with a distance of 15 cm. The range of impurities from 0.42% – 2.25% with average 1.10%. The average of organoleptic test for visibly of dried seewead was 3.26 with range 2.70 to 4.40, dried seaweed texture was 3.18 with range 2.40 to 4.17 and smell was 3.94 with 2.60 to 4.30 of range.

Rack drying method generating the physical qualities of dried seaweed such as the foreign material, visibility and flavor was better. Harvesting age at 45 days produced less foreign material and best visibility, texture and flavor compared with harvest time at 35 days and 55 days. Drying with 20 cm thickness and 30 cm distance was significantly produced better dried seaweed quality compared to 10/15 cm of thickness or distance. The best physical quality of dried seaweed

Eucheuma cottonii sp was produced by harvesting the seaweed at 45 days and

followed by rack drying method.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENGARUH UMUR PANEN DAN METODE PENJEMURAN

TERHADAP MUTU FISIK RUMPUT LAUT

Eucheuma Cottonii

sp

ENY SULISTIYOWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Pascapanen

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau membuat segala sesuatu indah pada waktunya, semua dicapai bukan karena kuat dan gagahnya Penulis. Penyertaan dan pertolonganMulah yang memampukan Penulis menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul Pengaruh Umur Panen dan Metode Penjemuran terhadap Mutu Fisik Rumput Laut Eucheuma cottonii sp.

Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr Leopold Oscar Nelwan, STP MSi dan Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr sebagai Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis. Kesempatan ini Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Dyah Wulandani, MSi yang telah bersedia menjadi Penguji luar komisi pada ujian tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada Kak Yorem sekeluarga yang telah banyak membantu Penulis selama pelaksanaan penelitian. Penulis juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada kedua orang tua tercinta Bapak Suparman dan Ibunda tercinta Sumiyati serta ketiga adikku Tanti, Efan, Ditta terima kasih atas doa dan perhatiannya kepada ananda.

Terima kasih terkhusus untuk Onyongku terkasih Erick Wollo atas cinta kasih, doa dan perjuangannya bersama penulis. Onyong ini adalah perjuangan kita bersama. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan Teknologi Pascapanen 2011, Kak Beba Pablo, Maun Luis Pareira, Nilton Ribero dan Uzhu Hornai atas pertemanan dan persaudaraanya selama ini. Terima kasih untuk kakakku Rico Taolin atas waktu, bantuan dan persaudaraanya di saat–saat tersulit penulis menyelesaikan penulisan ini.

Terima kasih untuk malam yang setia menemani penulis saat penulis merasa sendirian, dan untuk kehidupan yang selalu mengajarkan kepada penulis untuk selalu rendah hati, tidak mudah menyerah dan mengucap syukur untuk setiap kejadian yang pernah dialami. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Juli 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi 

DAFTAR GAMBAR xi 

DAFTAR LAMPIRAN xii 

1  PENDAHULUAN 1 

Latar Belakang 1 

Tujuan Penelitian 3 

Manfaat Penelitian 3 

Ruang Lingkup Penelitian 3 

2   TINJAUAN PUSTAKA 4 

Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii sp 4 

Pascapanen Rumput Laut 5

Karakteristik Pengeringan 6

Kelembaban Relatif (RH) 12

Kecepatan Angin 12

Ketebalan/Jarak Penjemuran 13

Kadar Kotoran 13

Parameter Pengamatan 18 

Pengukuran Kadar Air Awal Rumput Laut 18 Pengukuran Kadar Air Rumput Laut Selama Proses Pengeringan 19

Pengukuran Kondisi Cuaca 20

Radiasi Matahari 20

Suhu dan Kelembaban Relatif (RH) 20

Kecepatan Angin 21

Kadar Kotoran 21

Uji Organoleptik 21

(12)

Karakteristik Pengeringan dari Metode Penjemuran 23 

Kadar Air Awal 23 

Kadar Air dan Lama Pengeringan 23

Laju Pengeringan 25

Kondisi Cuaca 28

Radiasi Matahari 28

Suhu 30

Kelembaban Relatif (RH) 30

Kecepatan Angin 31

Kadar Kotoran Rumput Laut 32 

Uji Organoleptik 34 

DAFTAR PUSTAKA 41 

LAMPIRAN 45

8 Pengaruh metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap kadar kotoran 33 9 Pengaruh interaksi metode penjemuran dan umur panen terhadap kadar kotoran 33

10 Sidik ragam kenampakan rumput laut 34  11 Pengaruh metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak terhadap kenampakan 38  12 Sidik ragam tekstur rumput laut 38 13 Pengaruh umur panen terhadap tekstur 38

(13)

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alir penelitian 4 

2 Rumput laut Eucheuma cottonii sp 5

3 Kurva laju pengeringan terhadap kadar air (Canovas dan Mercado 1996) 8 4 Kurva penurunan kadar air terhadap waktu (Hall 1980) 9  5 Pergerakan air selama pengeringan pada pori–pori bahan (Fellow 1990) 9  6 Radiasi langsung dan radiasi sebaran pada permukaan horizontal (Vetri

2011) 10 

7 Kontruksi penanaman rumput laut 16 

8 Metode penjemuran para–para dan gantung 17

9 Pengikatan bibit 22

10 Rumput laut Eucheuma cottonii sp yang dibudidayakan di Tablolong

Kupang 22 

11 Grafik perubahan kadar air terhadap waktu penjemuran pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c) 25  12 Laju pengeringan berbagai metode penjemuran dan ketebalan/jarak

pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c) 27  13 Variasi radiasi matahari (a), kelembaban relatif (b), suhu udara (c) dan

kecepatan angin (d) selama pengeringan 28 

14 Diagram pencar hubungan laju pengeringan dengan radiasi total pada metode para–para (a) dari metode gantung (b) 29  15 Grafik rata–rata kadar kotoran rumput laut Eucheuma cottonii sp 32  16 Grafik rata–rata kenampakan rumput laut Eucheuma cottonii sp 34 17 Warna rumput laut kering Eucheuma cottonii sp umur panen 35 hari (a), 45 hari (b), 55 hari (c) yang dijemur dengan metode para–para 36 18 Warna rumput laut kering Eucheuma cottonii sp umur panen 35 hari (a), 45 hari (b), 55 hari (c) yang dijemur dengan metode gantung 37 19 Grafik rata–rata tekstur rumput laut Eucheuma cottonii sp 37  20 Grafik rata–rata bau rumput laut Eucheuma cottonii sp 39 

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

 

Rumput laut merupakan salah satu komoditi ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Nilai gunanya yang cukup tinggi sebagai produk pangan dan non pangan menjadikan rumput laut sebagai komoditi andalan sumberdaya perairan. Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya hayati yang ketersediaanya sangat melimpah di perairan Indonesia yaitu sekitar 8.6% dari biota di laut (Dahuri 1998).

Orientasi pemasaran rumput laut didominasi dalam bentuk ekspor kering utuh (dried seawead), sehingga kebanyakan penjualan rumput laut yang dilakukan para petani dalam bentuk rumput laut kering. Mutu fisik rumput laut kering ditingkat petani masih dihargai sangat murah karena rendahnya kualitas rumput laut kering yang dihasilkan. Menurut (Mubarak et al. 1990) panen merupakan tahap akhir dari suatu kegiatan budidaya oleh karena itu panen harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan cara dan waktu yang tepat agar diperoleh hasil yang memenuhi permintaan pasar secara kualitas dan kuantitas. Untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi, persyaratan mutu bahan baku rumput laut kering harus memenuhi standar. Standar mutu rumput laut kering Eucheuma sesuai yang ditetapkan SNI 01 – 2690 (1992) seperti pada (Tabel 1) adalah rumput laut yang kandungan benda asingnya seperti pasir atau batu karang tidak lebih dari 5% dan kandungan airnya sekitar 32%.

Tabel 1. Standar mutu rumput laut kering

Karakteristik Syarat

Eucheuma Galidium Gramacilaria Hypnen Kadar air maksimal (%) 32 15 25 30 Benda asing maksimal (%) 5*) 5**) 5**) 5**) Bau spesifik rumput laut spesifik rumput laut spesifik rumput laut spesifik rumput laut *) Benda asing (garam, pasir, karang, kayu dan jenis lainnya)

**) Benda asing (garam, pasir, karang, dan kayu)

Kualitas rumput laut kering yang dihasilkan selain ditentukan oleh teknik budidaya, lingkungan tempat tumbuh, iklim, juga dipengaruhi oleh umur panen dan penanganan pascapanen yang tepat. Usia panen rumput laut harus diperhatikan untuk mendapatkan rumput laut kering yang berkualitas. Pemanenan yang terlalu cepat atau lambat akan berakibat pada turunnya kualitas rumput laut. Umur panen rumput laut jenis Eucheuma cottonii sp adalah 45 – 55 hari. Menurut (Sukri 2006) umur panen optimal rumput laut Eucheuma cottonii sp yang menghasilkan rendemen, kekuatan gel dan viskositas (tingkat kekentalan) tertinggi adalah umur panen 45 hari.

(16)

Sebelum umur 45 hari proses fotosintesa rumput laut digunakan untuk pertumbuhan, sebaliknya setelah berumur lebih dari 50 hari proses fotosintesa digunakan untuk regenerasi tunas baru. Panen yang dilakukan sebelum umur panen yang optimal akan berpengaruh terhadap rendahnya rendemen karaginan serta tingkat kekuatan gel yang dihasilkan. Masa pemeliharaan dibawah umur 40 hari dapat menyebabkan kualitas rumput laut kering yang dihasilkan menjadi rendah (Rusdi et al. 2013).

Salah satu tahap penanganan pascapanen yang sangat mempengaruhi mutu rumput laut kering adalah proses pengeringan. Pengeringan yang umum di tingkat petani adalah rumput laut dikeringkan langsung di bawah sinar matahari dengan menggunakan metode penjemuran yang konvensional, yakni rumput laut hanya dijemur atau dihamparkan disepanjang pantai atau jalananan di sekitar rumah. Akibatnya peluang terjadinya kontaminasi kotoran menjadi lebih banyak. Penggunaan teknologi untuk mengeringkan rumput laut di tingkat petani masih sulit dilakukan karena alasan biaya dan kemudahan secara teknis. Pengeringan dengan cara penjemuran langsung yang memanfaatkan panas sinar matahari mempunyai kelebihan diantaranya tidak memerlukan bahan bakar sehingga biaya menjadi lebih murah, ketersediaannya yang melimpah pada musim kemarau, sinar infra merah mampu menembus sel–sel bahan (Taib et al. 1988). Kelemahannya membutuhkan tempat penjemuran yang luas, ketergantungan terhadap cuaca, suhu pengeringan dan RH tidak dapat dikontrol. Selain itu intensitas sinar matahari yang tidak tetap dapat menyebabkan proses pengeringan tidak dapat berjalan secara maksimal akibatnya dapat terjadi pembusukan sebelum bahan menjadi kering.

Perbaikan mutu fisik rumput laut kering dapat dilakukan oleh para petani dengan cara mengoptimalkan metode penjemuran yang sudah biasa dilakukan dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Untuk menurunkan kadar kotoran rumput laut kering maka penjemuran bisa dilakukan di atas media tertentu seperti para–para atau dijemur dengan cara digantung. Rusdi et al. (2013) menyatakan bahwa berdasarkan anjuran cara budidaya yang baik dan benar, bila menggunakan cara digantung atau para–para saat dijemur, maka kadar kotoran yang ada biasanya maksimal 5%.

Menjemur rumput laut dengan menggunakan metode para–para selain rumput laut tidak langsung menyentuh permukaan tanah, waktu pengeringan menjadi lebih efisien karena sirkulasi udara yang melewati rongga pada alas jemur, selain itu media para–para juga berkontribusi memberikan panas pada bahan yang dikeringkan karena adanya aliran panas dari media ke bahan. Rumput laut yang dikeringkan dengan menggunakan metode gantung mempunyai kelebihan yakni tidak banyak mengalami benturan fisik atau patahan thalus, posisi menjemur secara gravitasi juga mengurangi persentase garam dan benda asing/kotoran yang menempel dan air pada rumput laut menjadi lebih mudah menetes.

(17)

laut dengan diameter yang lebih besar akan lebih lambat bila dibandingan dengan thalus yang berdiameter lebih kecil. Bagian thalus yang lebih muda banyak memiliki kandungan air jika dibandingkan thalus yang lebih tua sehingga terjadinya penguapan dapat lebih cepat. Kondisi lingkungan seperti kecepatan angin akan lebih mempercepat terjadinya penguapan dimana jarak antara bahan yang digantung juga akan mempengaruhi laju pengeringan.

Berkaitan dengan hal tersebut maka melakukan proses pengeringan rumput laut dengan metode penjemuran para–para dan gantung dengan memperhatikan aspek ketebalan/jarak penjemuran perlu dilakukan agar dapat menghasilkan mutu fisik rumput laut kering yang sesuai SNI. Proses pengeringan rumput laut yang belum tepat dapat menyebabkan rendahnya mutu fisik rumput laut yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai cara pengeringan rumput laut yang memperhatikan umur panen, metode penjemuran, aspek ketebalan/jarak penjemuran agar diperoleh rumput laut kering yang sesuai SNI.

Tujuan Penelitian

 

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pengeringan dari penjemuran rumput laut dan menganalisis pengaruh umur panen dan metode penjemuran terhadap mutu fisik rumput laut kering Eucheuma cottonii sp.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang penanganan pascapanen rumput laut khususnya proses pengeringan untuk mendapatkan rumput laut kering yang sesuai standar SNI.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh umur panen, metode penjemuran yang mengkaji aspek ketebalan/jarak penjemuran terhadap mutu fisik rumput laut Eucheuma cottonii sp.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan petak petak terbagi (RPPT) 2 x 3 x 2 yang diulang 2 kali sebagai blok. Objek yang diteliti meliputi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii sp, pemanenan, pengeringan dan uji organoleptik. Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi pengukuran kadar air awal rumput laut, pengukuran kadar air rumput laut selama proses pengeringan, kadar kotoran serta uji organoleptik. Data hasil pengamatan diolah dengan analisis sidik ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torie 1993). Data diolah dengan program SAS 9.1.3.

(18)

Gambar 1. Bagan alir penelitian

2 TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi dan Klasifikasi Eucheuma cottonii sp

 

Eucheuma cottonii sp merupakan salah satu jenis rumput laut merah

(Rhodophyceae) penghasil karaginan, dikenal dengan nama Kappaphycus

alvarezii. Berdasarkan klasifikasi taksonomi Eucheuma cottonii sp (Anggadiredja 2009), digolongkan ke dalam:

Kingdom : Plantae Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Bangsa : Gigartinales Suku : Solierisceae Marga : Eucheuma

Jenis : Eucheuma cottonii sp (Kappaphycus alvarezii)

 

Jarak 15 cm Jarak 30 cm Tebal 20 cm

Budidaya rumput laut E. Cottonii

Penjemuran Metode Para-Para   

Tebal 10 cm

   

Pengeringan Rumput laut hingga kadar air ± 32 %

Uji Organoleptik (Kenampakan, Tekstur dan Bau)

Informasi Kadar Kotoran Umur Panen 35, 45, dan 55 hari

(19)

Gambar 2. Rumput laut Eucheuma cottonii sp

Ciri–ciri Eucheume cottonii sp yaitu thalus silindris, permukaan licin,

cartilageneus (lunak seperti tulang rawan), serta berwarna hijau terang, hijau olive

dan cokelat kemerahan. Percabangan thalus berujung runcing atau tumpul, ditumbuhi nodulus (tonjolan–tonjolan), dan duri lunak/tumpul yang melindungi

gametangia. Percabangan bersifat alternatus (berseling), tidak teratur, serta dapat bersifat dichotomus (percabangan dua–dua) atau trichotomus (sistem percabangan tiga–tiga) (Anggadiredja 2009). Rumput laut Eucheuma berwarna hijau kemerahan pada keadaan hidup dan berwarna kuning kecoklatan bila kering.

Pascapanen Rumput Laut

Penentuan saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pascapanen rumput laut. Tahap kegiatan panen dan pascapanen yang dilakukan yaitu :

a. Menentukan umur panen

Penentuan umur panen merupakan faktor penting untuk menjaga kualitas rumput laut. Menurut (Yunizal et al. 2000) sebagai bahan baku pengolahan, rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. Rumput laut jenis Eucheuma

(20)

b. Proses pemanenan

Kualitas rumput laut yang baik akan menghasilkan rendemen dan karaginan yang baik. Tujuan pemanenan rumput laut dikategorikan menjadi dua yaitu: 1) pemanenan untuk mendapatkan bibit yang dilakukan saat memasuki umur 25

– 30 hari

2) pemanenan untuk mendapatkan rumput laut basah siap jemur

Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total. Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan cabang–cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk penanaman berikutnya. Pemanenan secara total dengan cara mengangkat semua rumpun rumput laut secara keseluruhan, dan thalus yang masih muda dapat dipilih kembali untuk dijadikan bibit.

Karakteristik Pengeringan

Kadar Air

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kadar air. Kadar air akan mempengaruhi lama pengeringan, mekanisme pengeringan, perubahan pada bahan dan perancangan alat pengeringan (Sopyan 2001).

Kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan yang dinyatakan dalam persen basis basah (wet basis) atau dalam persen basis kering (dry basis). Kadar air basis basah (b.b) adalah perbandingan antara berat air dalam bahan dengan berat totalnya. Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

Kadar air basis kering (b.k) adalah perbandingan antara berat air dalam bahan dengan berat bahan keringnya. Kadar air basis kering dapat ditentukan dengan persamaan berikut :

dimana:

m : kadar air basis basah (% bb) M : kadar air basis kering (% bk) Wm : berat air dalam bahan (gram)

Wd : berat padatan dalam bahan atau berat kering bahan (gram) Wt : berat total (gram)

Kadar air basis basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air basis kering dapat lebih dari 100%. Analisis kadar air bahan dalam proses pengeringan ditentukan berdasarkan basis kering, karena perhitungan berdasarkan basis basah mempunyai kelemahan yakni basis basah bahan selalu berubah-ubah, sedangkan perhitungan berdasarkan basis kering maka berat basah bahan selalu tetap.

(21)

1) Air bebas (free water), yakni air yang terdapat di permukaan bahan, mudah diuapkan pada proses pengeringan karena tidak terikat dalam jaringan suatu bahan.

2) Air terikat secara fisik, yakni bagian air yang terdapat dalam jaringan matriks bahan (tenunan bahan) akibat adanya ikatan–ikatan fisik pada bahan, terdiri dari dari tiga jenis yaitu :

- air terikat yang ada dalam bahan karena adanya pipa–pipa kapiler pada bahan

- air absorpsi, terdapat pada tenunan-tenunan bahan karena adanya tenaga penyerapan dari dalam bahan

- air yang terkurung diantara tenunan bahan karena adanya hambatan mekanis, biasanya terdapat pada bahan yang berserat

3) Air terikat secara kimia, yakni molekul air yang terikat secara kimia membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lainnya

Kekuatan diantara ketiga bagian air tersebut berbeda–beda, untuk memutuskan ikatannya diperlukan energi penguapan. Besarnya energi penguapan untuk air yang terikat bebas adalah paling rendah bila dibandingkan dengan energi penguapan untuk air yang terikat secara fisik, sedangkan energi penguapan untuk air yang terikat secara kimiawi adalah yang paling besar diantara ketiga macam air tersebut (Taib et al. 1988).

Pengeringan

Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dicegah dari serangan jamur, enzim dan aktifitas serangga (Henderson dan Perry 1976). Penurunan kadar air sampai batas tertentu dapat memperlambat laju kerusakan bahan akibat aktifitas biologis dan kimia sebelum bahan diolah atau dimanfaatkan.

Prinsip pengeringan merupakan proses pemindahan panas dan pemindahan massa (air dan uap air) yang terjadi secara bersamaan (simultan). Berpindahnya sejumlah massa uap air karena adanya perbedaan konsentrasi uap air dari bahan dan lingkungan, yakni kandungan uap air di udara atau kelembaban nisbi yang lebih rendah daripada bahan sehingga menyebabkan terjadinya penguapan (Taib

et al.1988).

Mekanisme terjadinya pengeringan yakni sebelum proses pengeringan berlangsung tekanan uap air di dalam bahan dan lingkungan berada dalam kondisi keseimbangan. Panas yang diberikan akan menaikkan suhu bahan akibatnya tekanan uap air di dalam bahan menjadi lebih tinggi daripada tekanan uap air di lingkungan, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penguapan dari bahan ke udara.

(22)

disekitarnya. Keseimbangan kadar air menentukan batas akhir dari proses pengeringan. Kelembaban udara nisbi dan suhu udara pada bahan kering biasanya akan mempengaruhi keseimbangan kadar air. Pada saat kadar air mencapai keseimbangan, proses penguapan air pada bahan terhenti dan jumlah molekul– molekul air yang diuapkan sama dengan jumlah molekul air yang diserap oleh permukaan bahan. Laju pengeringan bergantung pada perbedaan antara kadar air bahan dengan kadar air keseimbangan (Siswanto 2004).

Laju Pengeringan

Laju pengeringan menggambarkan kecepatan suatu bahan terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar air tersebut. Laju pengeringan dipengaruhi oleh keadaan dari bahan seperti kadar air bahan, bentuk bahan, ukuran, luas permukaan, volume bahan dan komposisi kimia dari bahan yang akan dikeringkan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi laju pengeringan adalah suhu, kelembaban, laju aliran udara.

Henderson dan Perry (1976) menyatakan bahwa proses pengeringan mempunyai dua periode utama yaitu: 1) periode laju pengeringan tetap (constant rate period) dan 2) fase laju pengeringan menurun (falling rate period). Kedua periode ini dibatasi oleh kadar air kritis (critical moisture content) yakni kadar air terendah saat laju aliran air bebas dalam bahan ke permukaan sama dengan laju pengambilan uap air maksimum dari bahan. Menurut (Nasution 1982) laju pengeringan tetap adalah laju pengeringan yang terjadi pada permukaan bahan, sedangkan laju pengeringan menurun terjadi ketika tidak ada lagi lapisan tipis air yang menutupi permukaan bahan.

Kurva laju pengeringan terhadap kadar air menurut (Canovas dan Mercado 1996) pada Gambar 3 menunjukkan bahwa (titik A) merupakan kandungan air awal pada tahap pengeringan. Periode laju pengeringan awal ditunjukkan pada titik (A – B) dimana kadar air yang berkurang masih sangat sedikit. Titik (B – C) merupakan periode laju pengeringan tetap dan air yang diuapkan merupakan air tidak terikat. Laju pengeringan menurun kemudian terbagi menjadi dua tahap yaitu laju pengeringan menurun pertama (titik C – D), terjadi ketika permukaan masih basah dan secara kontinyu berkurang selama pengeringan berlangsung. Tahap kedua adalah laju pengeringan menurun kedua (titik D – E) terjadi ketika permukaan mengering dengan laju penguapan yang rendah.

(23)

Keterangan :

A – B : periode pemanasan atau pendinginan B – C : periode laju pengeringan tetap C : kadar air kritis

C – D : periode laju penurunan pertama D – E : periode laju penurunan kedua

Waktu yang dibutuhkan oleh bahan untuk melewati keempat periode pengeringan tersebut berbeda–beda tergantung dari kadar air bahan dan kondisi pengeringan. Jika panas diberikan dengan laju yang tinggi, maka laju pengeringan konstan akan lebih pendek, sebaliknya jika rendah maka periode penyesuaian awal hingga tercapainya kadar air kritis akan lebih panjang dan periode laju pengeringan akan sangat pendek (Okos el al. 1992).

Laju pengeringan menurun dalam kurva pengeringan yang merupakan hubungan kadar air terhadap waktu dapat dilihat pada (Gambar 4).

Gambar 4. Kurva penurunan kadar air terhadap waktu (Hall 1980)

Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah panas dan pindah massa. Proses penyerapan akan terhenti sampai kesetimbangan tercapai. Pergerakan air selama pengeringan pada pori–pori bahan dapat dilihat pada (Gambar 5).

Gambar 5. Pergerakan air selama pengeringan pada pori-pori bahan (Fellow 1990)

Moisture

(24)

Kondisi Cuaca

Radiasi Matahari

Radiasi matahari (solar radiation) merupakan pindah panas oleh radiasi gelombang elektromagnetik (Zemansky dan Dittman 1982). Daerah tropis sangat diuntungkan akan energi yang bersumber dari panas matahari yang melimpah, oleh karena itu pengeringan dengan cara penjemuran banyak dimanfaatkan daerah beriklim panas dengan temperatur yang relatif tinggi, kelembaban rendah dan sedikit menerima curah hujan. Pengeringan dengan memanfaatkan panas matahari dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu:

1) pengeringan secara langsung atau pengeringan pada udara terbuka, yakni bahan yang dikeringkan langsung menerima paparan panas matahari contohnya penjemuran rak terbuka (penjemuran tradisional), penjemuran rak tertutup (efek rumah kaca)

2) pengeringan tidak langsung (convective solar drying), yakni pengeringan dengan mengalirkan udara panas ke produk yang dikeringkan atau secara tidak langsung menerima paparan panas matahari

Energi matahari tiba di bumi dalam bentuk radiasi elektromagnetik. Nilai rata–rata radiasi matahari diluar atmosfir bumi adalah 1353 W m-2 dinyatakan sebagai konstanta matahari. Menurut (Vetri 2011) tidak seluruh energi dalam konstanta matahari mencapai permukaan bumi, karena terdapat absorbsi yang kuat dari karbondioksida dan uap air di atmosfer. Total energi yang sampai pada permukaan horizontal di bumi adalah konstanta matahari dikurangi radiasi akibat penyerapan dan pemantulan atmosfer sebelum mencapai bumi yang disebut dengan radiasi matahari global.

Radiasi matahari global terdiri dari radiasi yang langsung memancar dari matahari (direct radiation) dan radiasi sebaran yang dipencarkan oleh molekul gas, debu dan uap air di atmosfer (diffuse radiation) dapat dilihat pada Gambar 6.

Radiasi sebaran Radiasi langsung

(25)

Menurut (Arismunandar 1995) radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi telah mengalami perubahan intensitas akibat penghamburan antara molekul– molekul udara, nitrogen dan oksigen, aerosol, uap air dan debu dan partikel– partikel lain. Penghamburan radiasi ini menyebabkan langit tampak biru pada hari cerah. Radiasi yang sudah mengalami penghamburan, mencapai permukaan bumi disebut dengan radiasi difusi (radiasi langit). Apabila radiasi matahari tidak mengalami penghamburan oleh atmosfer maka radiasi sampai ke permukaan sebagai radiasi langsung (beam radiation).

Radiasi matahari yang menimpa permukaan bumi tergantung dari kadar debu dan zat pencemar lainnya dalam atmosfer. Energi matahari yang maksimum akan mencapai permukaan bumi bila berkas sinar itu langsung menimpa permukaan bumi, karena terdapat bidang pandang yang lebih luas terhadap fluks

matahari yang datang dan berkas menempuh jarak yang lebih pendek di atmosfer sehingga mengalami penyerapan lebih sedikit daripada jika sudut timpanya miring terhadap normal. Muhiddin (2003) menyatakan bahwa faktor penentu tinggi rendahnya intensitas radiasi matahari antara lain perubahan iklim dan cuaca, waktu dalam hari dan sudut datang sinar matahari pada permukaan penerimaan. Abdullah (1995) menyatakan bahwa besarnya intensitas radiasi matahari akan tergantung pada kecerahan atmosfer dimana intensitas akan berkurang bila langit berawan dan tidak jernih. Intensitas radiasi matahari sangat tergantung dari kondisi atmosfer, saat dalam tahun dan sudut timpa (angle of incidence) sinar matahari di permukaan bumi.

Intensitas radiasi matahari pada kondisi cerah akan bertambah dari pagi hari sejak matahari terbit sampai siang pada kondisi puncak dan akan menurun seiring terbenamnya matahari di sore hari. Intensitas radiasi matahari rata–rata yang diterima selama satu jam dinyatakan dengan I (insolasi matahari) dengan satuan W m-2. Radiasi matahari sampai ke bumi dengan cara sebagai berikut:

- diserap oleh aerosol dan awan di atmosfer bumi, yang akhirnya menjadi panas sehingga akan menaikkan suhu gas–gas dan aerosol

- dipancarkan kembali oleh lapisan atmosfer dan disebarkan ke segala penjuru, dimana sebagian radiasi ada yang kembali ke angkasa dan sebagian lagi sampai ke permukaan bumi

Perbedaan penerimaan radiasi matahari antar tempat di permukaan bumi akan menciptakan pola angin yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kondisi curah hujan, suhu dan kelembaban nisbi udara.

Suhu

(26)

Proses pengeringan kandungan air yang dikeluarkan berupa uap air. Uap air tersebut harus segera dikeluarkan dari atmosfer di sekitar bahan yang dikeringkan, jika tidak segera keluar udara di sekitar bahan akan menjadi jenuh oleh uap air sehingga akan memperlambat penguapan (Estiasih dan Ahmadi 2009).

Kelembaban Relatif (RH)

Kelembaban relatif udara (RH) menunjukkan kemampuan udara untuk menyerap air, yang akan berpengaruh terhadap pemindahan uap air dari bahan ke permukaan bahan yang dikeringkan. Proses pengeringan akan berlangsung dengan baik apabila sirkulasi udara atau pergerakan udara disekitarnya juga baik.

RH yang rendah akan menyebabkan perbedaan tekanan parsial uap air di permukaan bahan dengan udara disekitarnya, akibatnya massa uap air dari bahan ke lingkungan juga akan semakin meningkat. Semakin rendah RH maka kemampuannya dalam menyerap uap air akan semakin besar, sebaliknya semakin tinggi RH maka kemampuan dalam menyerap uap air juga akan semakin kecil (Widyotomo dan Muloto 2005). Pada RH yang tinggi, perbedaan tekanan uap air di dalam dan diluar bahan kecil sehingga pemindahan uap air dari dalam bahan keluar menjadi terhambat.

Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap atau memantulkan, sekurang-kurangnya setelah radiasi matahari gelombang pendek yang menuju permukaan bumi. Kelembaban juga menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam (Asdak 1995). Kelembaban berkurang disebabkan oleh perbedaan tekanan uap antara permukaan bahan dan lingkungan.

Suhu dan RH akan mempengaruhi laju dan periode pengeringan. Semakin tinggi suhu pengeringan pada RH yang konstan maka waktu pengeringan akan semakin pendek, sebaliknya semakin tinggi RH pada suhu yang konstan maka waktu pengeringan akan semakin panjang (Sigge et al. 1998).

Kecepatan Angin

Angin merupakan udara yang bergerak baik secara vertikal maupun horizontal yang terjadi secara bersamaan. Kecepatan angin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan. Angin berfungsi memindahkan uap air yang terlepas dari bahan ke lingkungan, sehingga penguapan dapat berlangsung lebih cepat. Menurut (Taib et al. 1988) menyatakan bahwa bila udara tidak mengalir maka kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan menjadi jenuh akibatnya laju pengeringan menjadi lambat. Sebaliknya jika kecepatan aliran udara semakin tinggi maka massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfer menjadi lebih cepat.

(27)

meningkatkan suhu molekul air sehingga tekanan uap air di dalam molekul meningkat dan air yang berada di bahan mudah keluar (Dobry et al. 2009).

Ketebalan/Jarak Penjemuran

Sifat dan ukuran bahan yang dikeringkan akan mempengaruhi kecepatan pengeringan. Peristiwa lepasnya molekul air dari permukaan tergantung dari bentuk dan luas permukaan bidang jemur. Wirakartakusuma (1992) menyatakan bahwa jika dua bahan dengan ukuran dan bentuk yang sama dikeringkan pada kondisi yang sama, maka kedua bahan tersebut akan kehilangan air dengan kecepatan yang sama pada awal pengeringan. Kecepatan pengeringan lempengan basah yang tipis akan berbanding terbalik dengan kuadrat ketebalannya. Oleh karena itu lama pengeringan dapat dipersingkat dengan pengurangan ukuran bahan yang dikeringkan.

Penjemuran dengan menggunakan metode para–para dan metode gantung perlu diatur ketebalan dan jaraknya. Ketebalan dan jarak penjemuran rumput laut berhubungan dengan kecepatan laju pengeringan bahan menjadi kering dalam menerima paparan sinar matahari dan sirkulasi udara dalam membawa uap air jenuh. Rumput laut yang dijemur dengan ketebalan yang minimal (tipis) akan menerima paparan panas lebih luas sehingga mengurangi jarak dimana massa air harus keluar ke permukaan bahan. Sebaliknya lapisan penjemuran yang terlalu tebal, membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi kering.

Fuadi (1999) menyatakan bahwa kecepatan penurunan uap air dipengaruhi oleh luas permukaan bahan, jenis bahan dan ketebalan bahan yang langsung bersinggungan dengan udara. Lapisan tebal memungkinkan terjadinya penguapan berlangsung lebih lambat, karena massa air dibagian tengah membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke permukaan, pergerakan udara yang tidak merata akan terakumulasi di bagian tengah tumpukan bahan sehingga pengeringan menjadi tidak merata.

Jarak penjemuran yang terlalu rapat juga memungkinkan bahan yang dikeringkan tidak merata menerima paparan sinar matahari dan terjadinya sirkulasi udara untuk membawa uap air jenuh tidak dapat berlangsung dengan optimal. Sehingga udara panas lambat untuk sampai ke bahan, udara lembab dipermukaan bahan menjadi lambat digantikan udara kering, daya tampung uap air di udara menurun serta memungkinkan penguapan berlangsung lebih lambat. Sebaliknya rumput laut yang dijemur dengan ketebalan terlalu tipis dan jarak yang terlalu renggang menjadi lebih mudah kering dan terbakar sinar matahari, komposisi kimia yang terkandung didalamnya menjadi rusak dan berwarna gelap. Warna gelap rumput laut yang telah kering akan menurunkan mutu fisik yakni akan menghasilkan tepung karagenan yang berwarna gelap.

Kadar Kotoran

(28)

termasuk kadar kotoran adalah sampah, potongan kayu, karang pasir, termasuk jenis rumput laut lainnya.

Penanganan pascapanen yang tidak tepat seperti memanen rumput laut langsung ditarik dari dasar perairan dan membawanya tanpa menggunakan keranjang atau jaring dapat mengakibatkan kotoran mudah melekat. Cara–cara penjemuran di jalanan sekitar rumah dan tempat–tempat yang tidak memadai tanpa menggunakan alas jemur akan memudahkan terjadinya kontaminasi kotoran dan benda asing.

Kadar kekeringan yang tidak optimal ketika melakukan penjemuran juga dapat menyebabkan kotoran seperti pasir menjadi mudah menempel. Mubarak (1987) menyatakan bahwa kotoran yang melekat pada rumput laut disebabkan perawatan saat budidaya dan penanganan pascapanen yang kurang tepat. Semakin tinggi kadar kotoran rumput laut kering akan dapat mengurangi nilai jual produk, karena pabrik akan membutuhkan biaya yang lebih besar untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel.

Uji Organoleptik

Mutu fisik merupakan atribut akhir dari rumput laut kering yang digunakan untuk menentukan kualitas produk. Mutu fisik rumput laut kering dilihat secara visual dari:

1. Kenampakan (kebersihan dan warna).

Kotoran atau benda asing adalah jenis–jenis kotoran yang terbawa selama proses pengeringan diantaranya pasir, batu, tali rafia bekas ikatan rumput laut, karang. Kenampakan mutu fisik rumput laut kering yang lain adalah warna. Warna dari suatu rumput laut kering sangat bervariasi, tergantung dari beberapa faktor diantaranya arus dan kesuburan dari suatu perairan, tingkat kecerahan air laut dan suhu, asal bibit, metode penanaman dan metode penjemuran yang dilakukan.

2. Tekstur

Tekstur rumput laut kering berkaitan dengan keliatan dan kekerasan dari hasil penjemuran yang dilakukan. Rumput laut kering yang liat dan keras karena kandungan seratnya yang tinggi. Proses pengeringan yang optimal akan menghasilkan rumput laut kering liat yang tidak mudah dipatahkan antara thalus–thalusnya, bila dipegang akan terasa kaku dan agak sakit di tangan. Rumput laut yang masih banyak mengandung kadar air (> 35%) akan terasa lembab dan thalus–thalusnya mudah sekali dipatahkan.

3. Bau (spesifik bau rumput laut)

(29)

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Mei 2013 di Tablolong Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan bahwa perairan Tablolong merupakan salah satu lokasi yang banyak membudidayakan rumput laut Eucheuma cottonii sp. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada (Lampiran 1).

Parameter pendukung dianalisis di Laboratorium Kimia, Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah pyranometer, termometer, anemometer digital, timbangan, drying oven, cawan, penjepit cawan dan desikator. Bahan yang digunakan adalah rumput laut jenis Eucheuma cottonii sp, dan bahan tambahan lain seperti tali, waring, jangkar, bambu dan terpal.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap yakni budidaya rumput laut

Eucheuma Cottonii sp, pemanenan, pengeringan dan uji organoleptik.

Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii sp

Tahapan budidaya rumput laut Eucheuma cottonii sp dilakukan untuk mendapatkan umur panen yang diinginkan yakni umur panen 35 hari, 45 hari dan 55 hari pada waktu yang bersamaan. Metode yang digunakan untuk menanam rumput laut adalah metode tali panjang (long line method), dimana dalam metoda ini menggunakan sejumlah tali yang terdiri atas tali induk atau tali utama (berdiameter 8 mm), tali ris atau tali rentang (berdiameter 3.5 – 4 mm) dan tali pengikat (berdiameter 1.5 – 2 mm). Selain itu dalam metode ini dibutuhkan beberapa pelampung dan jangkar.

(30)

Gambar 7. Kontruksi penanaman rumput laut

Bibit yang digunakan untuk budidaya mempunyai kualitas yang baik seperti thalus yang masih muda dan segar, berwarna cerah, keras, tidak layu, memiliki cabang yang banyak/rimbun, berujung agak runcing serta tidak terdapat bercak atau terkelupas. Thalus dengan berat masing-masing 3 gram diikatkan pada tali ris dengan menggunakan tali rafia, dimnaa tiap titik berjarak 20 – 25 cm. Kemudian tali ris yang sudah berisi bibit diikatkan pada tali induk yang berada dilepas pantai.

Penanaman rumput laut dilakukan tiga kali dengan selisih waktu 10 hari (tanggal 8 Mei, 18 Mei dan 28 Mei 2013), dimulai dari rumput laut yang akan dipanen pada 55 hari setelah tanam (HST). Panen dilakukan secara serempak pada tanggal 28 Juni 2013.

Pemanenan

Pemanenan rumput laut dilakukan secara total atau keseluruhan dengan mengangkat seluruh tanaman berdasarkan umur panen dengan cara:

- tali ris yang akan di panen dilepaskan dari tali utama

- gulungan tali ris yang berisi ikatan rumput laut diletakan di sampan untuk dibawa ke daratan

- rumput laut dari sampan dimasukkan dalam waring/jaring untuk memudahkan mengangkut rumput laut basah sekaligus menghindarkan terkena kotoran/pasir - rumput laut dibawa ke daratan untuk dilepaskan ikatan dari tali ris, setelah itu

dilakukan proses pengeringan

Pengeringan

(31)

penjemuran para–para dan ± 20 kg akan dikeringkan dengan metode penjemuran gantung. Secara keseluruhan disiapkan ± 120 kg rumput laut.

Pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menjemur rumput laut dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Penjemuran metode para–para

Rumput laut yang akan dikeringkan dihamparkan pada bilahan bambu yang berongga agar rumput laut tidak langsung menyentuh permukaan tanah. Media tempat penjemuran berupa para-para dibuat secara horizontal. Para–para berukuran panjang 4 m, lebar 2 m dan tinggi 1.25 m.

2. Penjemuran metode gantung

Metode gantung dilakukan dengan menjemur rumput laut yang diikatkan pada tali kemudian digantungkan pada tiang bambu yang dipasang secara horizontal. Bambu yang digunakan untuk menggantungkan rumput laut berukuran panjang 2 m dan tinggi 2.75 m. Tempat untuk menjemur rumput laut secara gantung dan para-para dapat dilihat pada (Gambar 8).

Gambar 8. Metode penjemuran gantung dan para-para

Proses pengeringan dalam penelitian ini berlangsung selama 22 jam yakni dimulai pukul 07.00 hingga pukul 17.00 selama dua hari. Pada malam hari, rumput laut ditutup menggunakan terpal untuk menghindari pengaruh cuaca.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

(32)

(c1) dan ketebalan 20 cm/jarak 30 cm (c2). Kombinasi perlakuannya adalah a1b1c1, a1b1c2, a1b2c1, a1b2c2, a1b3c1, a1b3c2, a2b1c1, a2b1c2, a2b2c1, a2b2c2, a2b3c1 dan a2b3c2. Lay out lahan percobaan dapat dilihat pada (Lampiran 2).

Model umum untuk rancangan RPPT (Sumerta Jaya et al. 2006) pada penelitian ini adalah:

Yijkl= µ + K1 + Ai + il + Bj + ABij + ijl + Ck + ACik + BCjk + ABCijk + γijkl

dimana :

Yijkl : nilai respon kelompok ke-l pada taraf ke-i faktor metode penjemuran, taraf ke-j umur panen dan taraf ke-k faktor ketebalan/jarak

µ : nilai rata–rata pengamatan

Kl : pengaruh sebenarnya kelompokke-l

Ai : pengaruh sebenarnya faktor metode penjemuranpada taraf ke-i il : kesalahan (galat) percobaan kelompok ke-l pada faktor metode

penjemuran pada taraf ke-i

Bj : pengaruh sebenarnya faktor umur panen pada taraf ke-j

ABij : pengaruh interaksi faktor metode penjemuran pada taraf ke-i dan faktor umur panen pada taraf ke-j

ijl : kesalahan (galat) percobaan kelompok ke-l pada faktor metode penjemuran pada taraf ke-i dan faktor umur panen pada taraf ke-j

Ck : pengaruh sebenarnya faktor ketebalan/jarak pada taraf ke-k ACik : pengaruh interaksi faktor metode penjemuran pada taraf ke-i dan

faktor ketebalan/jarak pada taraf ke-k

BCjk : pengaruh interaksi faktor umur panen pada taraf ke-j dan faktor ketebalan/jarak pada taraf ke-k

i : metode penjemuran (para–para dan gantung)

j : umur panen (35 hari, 45 hari dan 55 hari)

k : ketebalan/jarak (ketebalan 10 cm/jarak 15 cm dan ketebalan 20 cm/jarak 30 cm)

l : kelompok (1,2)

KNPijk : pengaruh interaksi faktor metode penjemuran pada taraf ke-i, faktor umur panen pada taraf ke-j dan ketebalan/jarak pada taraf ke-k

γijkl :kesalahan (galat) percobaan kelompok ke-l pada faktor metode penjemuran pada taraf ke-i, faktor umur panen pada taraf ke-j dan faktor ketebalan/jarak pada taraf ke-k

Parameter Pengamatan

 

Pengukuran Kadar Air Awal Rumput Laut

Rumput laut setelah panen terlebih dahulu diuji kadar airnya untuk mengetahui berapa persen kadar air awalnya. Metode pengeringan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode oven dengan langkah– langkah sebagai berikut:

(33)

- cawan porselin diambil dengan menggunakan tang penjepit dan didinginkan dalam desikator dengan tutup dilepas selama 1 jam

- setelah dingin, cawan porselin ditimbang dalam keadaan tertutup (MS)

- timbang sampel rumput laut kering untuk setiap umur panen dengan menggunakan cawan porselin (MS1) dan dikeringkan di dalam oven pengering pada suhu 105 0C selama 6 jam tanpa tutup

- dengan menggunakan tang penjepit cawan porselin ditutup, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dengan tutup dilepas, setelah dingin cawan porselin ditutup kembali dan ditimbang (MS2)

- kadar air sampel dapat dihitung melalui persamaan

(1) dimana :

MS : berat cawan dan tutup

MS1 : berat cawan + tutup + sampel sebelum dikeringkan MS2 : berat cawan + tutup + sampel sesudah dikeringkan

Pengukuran Kadar Air Rumput Laut Selama Proses Pengeringan

Pengukuran kadar air selama proses pengeringan dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kadar air rumput laut hingga mencapai kadar air yang sesuai dengan standar SNI rumput laut kering yaitu 32%. Parameter yang diamati dalam tahap ini adalah perubahan massa dengan cara menimbang sampel rumput laut (gram) dari masing–masing perlakuan setiap jam selama proses penjemuran untuk menghitung kadar air basis kering (%) dan laju pengeringan rumput laut.

Kadar air basis kering (b.k) adalah perbandingan antara berat air dalam bahan dengan berat bahan keringnya. Kadar air berat kering dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

(2) dimana :

m : kadar air basis basah (% bb) M : kadar air basis kering (% bk) Wm : berat air dalam bahan (gram)

Wd : berat padatan dalam bahan atau berat kering bahan (gram) Wt : berat total (gram)

Laju pengeringan dihitung menggunakan rumus:

(34)

(4) dimana :

LP(t) : laju pengeringan (% bk/jam) LP(r) : laju pengeringan relatif (1/jam) M(t) : kadar air pada saat t (% bk) M(t -Δt) : kadar air pada saat t – Δt (% bk) M(t +Δt) : kadar air pada saat Δt (% bk)

Δt : selang waktu lama pengeringan (jam)

Pengukuran Kondisi Cuaca

1. Radiasi Matahari

Data radiasi matahari diukur dengan menggunakan alat pyranometer.

Pengukuran dilakukan disaat alat mulai dioperasikan sampai matahari terbenam dan keluarnya berupa tegangan (mV). Nilai 1 mV keluaran pyranometer setara dengan 1000/7 Watt/m2. Total radiasi harian (Ih) dihitung dengan menggunakan Metode Simpson.

Ih = (5)

dimana :

Ih : total radiasi matahari (W.h)

Δt : selang pengukuran (menit) Itgl : radiasi jam ganjil (W/m2) Itgp : radiasi jam genap (W/m2) Ii : radiasi awal (W/m2) If : radiasi akhir (W/m2)

Untuk mengetahui radiasi matahari dengan persamaan sebagai berikut :

I = (6)

dimana :

I : radiasi matahari (W/m2)

Ipm : radiasi matahari pyranometer (WV) 2. Suhu dan Kelembaban Relatif (RH)

(35)

mengukur suhu udara sesaat dan termometer bola basah digunakan untuk menentukan kelembaban udara. Pengukuran suhu dilakukan tiap satu jam.

3. Kecepatan Angin

Pengukuran kecepatan angin dilakukan dengan menggunakan anemometer

digital yang dapat secara langsung menunjukkan besarnya kecepatan angin yang diukur dalam satuan meter/detik (m s-1).

Kadar Kotoran

Kadar kotoran diperoleh dari sampel rumput laut kering pada masing– masing kombinasi perlakuan. Rumput laut kering dipisahkan dari kotoran atau benda asing yang melekat seperti pasir, batu, kerikil, karang dan garam–garam yang melekat pada rumput laut dengan cara diayak menggunakan saringan. Kotoran yang sudah terpisahkan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Kadar kotoran rumput laut dapat dihitung dengan cara

(7) dimana :

: berat rumput laut kering (gram) : berat kotoran rumput laut (gram)

Uji Organoleptik

Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian yang bersifat subjektif dengan menggunakan indera manusia (secara visual) sebagai alat utama untuk daya penerimaan. Uji organoleptik ini dilakukan terhadap kenampakan fisik rumput laut kering, meliputi parameter kenampakan (warna dan kebersihan), tekstur dan bau menggunakan sampel berupa rumput laut kering dari masing-masing kombinasi perlakuan ( ± 10 gram) dengan dua kali ulangan. Jumlah panelis yang melakukan pengujian sebanyak 15 panelis semi terlatih yang terdiri dari petani rumput laut, pedagang pengumpul atau pelaku industri dengan mengisi

score sheet yang telah disediakan (Lampiran 4). Kriteria uji kesukaan disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kriteria uji kesukaan

Skala Hedonik Nilai

Amat sangat suka 6

Sangat suka 5

Suka 4

Agak suka 3

Agak tidak suka 2

Tidak suka 1

(36)

Analisis Data

 

Data hasil pengamatan diolah dengan analisis sidik ragam dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torie 1993). Data diolah dengan program SAS 9.1.3.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii sp

 

Budidaya yang dilakukan untuk mendapatkan keseragaman umur panen, yaitu umur panen 35 hari, 45 hari serta 55 hari. Bibit yang dibudidaya diperoleh dari potongan thalus muda yang berumur 30 hari, berwarna segar dan cerah, tidak layu, memiliki cabang yang banyak atau rimbun serta tidak terdapat bercak atau terkelupas. Tiap titik tali berisi 1 bibit rumput laut dengan berat ± 3 gram. Bibit diikat tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang karena akan menyebabkan bibit lepas dari ikatan ataupun bibit menjadi terpotong oleh tali pengikat seperti yang terlihat pada (Gambar 9).

Gambar 9. Pengikatan bibit

Gambaran deskripsi rumput laut sebagai bibit yang akan dibudidayakan di Tablolong Kupang dapat dilihat pada (Gambar 10) di bawah ini.

(37)

Karakteristik Pengeringan dari Metode Penjemuran

 

Kadar Air Awal

Kadar air awal rumput laut pada penelitian ini berkisar antara 82.57% – 83.90% (Tabel 3). Hasil rata–rata kadar air awal berdasarkan umur panen menunjukkan bahwa umur panen 35 hari menghasilkan kadar air tertinggi yaitu 83.90%. Rumput laut yang dipanen masih terlalu muda (kurang dari 45 hari) mempunyai kadar air yang tinggi dan kandungan kadar karaginan yang rendah karena siklus kehidupan rumput laut tersebut masih dalam tahap pertumbuhan, dinding sel rumput laut belum membentuk atau menghasilkan karaginan.

Tabel 3. Rata- rata kadar air awal rumput laut Eucheuma cottonii sp Umur panen (hari) Kadar air awal (%)

35 83.90 ± 1.51

45 82.57 ± 1.09

55 83.00 ± 0.31

Menurut Wenno et al. (2010) umur panen 50 hari menghasilkan rendemen karaginan tertinggi. Hal ini disebabkan semakin tua umur panen pada rumput laut maka kandungan polisakarida yang dihasilkan juga semakin banyak sehingga kandungan karaginannya juga semakin tinggi (Syammsuar 2006). Rumput laut pada umur 55 hari rendemen karaginan mengalami penurunan. Penambahan umur panen akan meningkatkan berat basah yang diikuti dengan penambahan kadar karaginan sampai batas tertentu dan cenderung menurun seiring dengan penambahan berat basah dan umur panen. Selain itu bagian thalus yang muda lebih banyak kandungan air jika dibandingkan dengan bagian thalus yang lebih tua. Semakin tua umur panen maka semakin rendah kandungan kadar air (Sukri 2006).

Kadar Air dan Lama Pengeringan

Analisa kadar air selama penjemuran dimaksudkan untuk mengetahui perubahan kadar air rumput laut hingga mencapai kadar air standar SNI rumput laut kering Eucheuma cottonii sp sebesar 32%. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air sesuai standar SNI dapat dilihat pada (Tabel 4).

(38)

rumput laut yang menggunakan metode gantung dengan jarak 30 cm memungkinkan bidang permukaan bahan menerima paparan panas lebih luas dibandingkan bahan yang dijemur dengan jarak yang lebih rapat.

Grafik perubahan kadar air rumput laut terhadap waktu penjemuran dapat dilihat pada (Gambar 11) yang menunjukkan bahwa kadar air menurun secara simultan. Proses pengeringan hari pertama dimulai pukul 07.00 dengan penurunan kadar air yang relatif lebih cepat dalam jumlah yang besar, hal ini dikarenakan air yang menguap adalah air bebas yang terdapat pada permukaan rumput laut. Selama pengeringan terjadi perpindahan panas dan massa secara serempak. Perpindahan massa air rumput laut terjadi akibat adanya panas dan perbedaan tekanan uap air. Panas yang masuk akan menguapkan air secara perlahan–lahan pada permukaan rumput laut karena tekanan uap air di lingkungan yang lebih rendah.

Semakin tinggi suhu pengeringan maka waktu pengeringan rumput laut juga semakin rendah. Pada tahap awal pengeringan dimana kadar air dan laju pengeringan rumput laut masih tinggi, kadar air bahan memperlihatkan penurunan yang cepat kemudian melandai dan melambat saat mencapai kadar air keseimbangan. Suhu yang semakin rendah, terlihat dari grafik yang menurun dikarenakan kecepatan waktu pembebasan air semakin rendah. Lama pengeringan semakin meningkat sejalan dengan menurunnya suhu pengeringan.

Kadar air rumput laut mengalami peningkatan kembali setelah mengalami penyimpanan selama satu malam. Hal ini dikarenakan rumput laut mengandung air garam yang bersifat higroskopis yang mempunyai tekanan osmotik tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya plasmolisis dimana bahan dapat menyerap kembali uap air baik dari bahan maupun lingkungan, akibatnya kadar air kembali meningkat (Suwamba 2008).

Penurunan kadar air kembali terjadi karena adanya kenaikan suhu dan intensitas panas matahari pada pukul 08.00 – 13.00 dan pergerakan terlihat semakin melambat pada pukul 14.00, hal ini disebabkan karena rumput laut sudah mendekati kadar air keseimbangannya. Mendekati keseimbangan penurunan kadar air semakin lambat karena massa air yang terdapat di permukaan sudah habis dan penguapan air terjadi hanya dari dalam bahan. Kadar air keseimbangan terjadi ketika kandungan uap air bahan dengan lingkungan telah seimbang sehingga keadaan kandungan air yang sama pada keduanya mengakibatkan kandungan air tidak dapat berpindah(Chakraverty 2001).

(39)

(b)

(c)

Gambar 11. Grafik perubahan kadar air terhadap waktu penjemuran pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c)

Laju Pengeringan

Laju pengeringan menurun seiring dengan waktu penjemuran (Gambar 12). Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pada hari pertama laju pengeringan rumput laut meningkat pada pagi hari, berfluktuasi siang hari dan menurun pada sore hari. Penguapan menyebabkan tekanan uap di dalam bahan semakin rendah diikuti laju pengeringan yang semakin menurun, periode ini disebut laju pengeringan menurun (Mursalim 2003).

(40)

Penurunan kadar air rumput laut yang dikeringkan menggunakan metode penjemuran gantung lebih cepat dibandingkan metode para–para. Pada metode gantung, penurunan kadar air rumput laut yang dikeringkan dengan jarak 30 cm lebih cepat dibandingkan jarak 15 cm, sedangkan pada metode penjemuran para-para penurunan kadar air rumput laut yang dikeringkan dengan ketebalan 10 cm lebih cepat dibandingkan ketebalan 20 cm.

Lapisan tipis mengurangi jarak dimana panas harus bergerak ke pusat bahan, absorsi panas yang mencapai bagian dalam tumpukan rumput laut akan berlangsung lebih cepat sehingga proses pelepasan air dari rumput laut bisa berlangsung lebih mudah. Menurut (Devastin dan Sakarmon 2001) dengan mengurangi ketebalan bahan yang dijemur maka perpindahan panas menjadi lebih efisien dan penetrasi panas dengan waktu yang lebih singkat dapat mempercepat terjadinya proses difusi.

Laju pengeringan hari pertama menunjukkan bahwa tiga jam diawal penjemuran, rumput laut yang dijemur dengan menggunakan metode para–para memperlihatkan laju pengeringan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan metode gantung. Tetapi pada tiga jam berikutnya hingga sore hari laju pengeringan terlihat sebaliknya, dimana rumput laut yang dijemur dengan metode gantung menunjukkan laju yang lebih cepat.

(41)

Gambar 12. Laju pengeringan berbagai metode penjemuran dan ketebalan/jarak pada umur panen 35 hari (a), 45 hari (b) dan 55 hari (c)

Rata-rata laju pengeringan berbagai metode penjemuran dan ketebalan/jarak pada umur panen yang berbeda dapat dilihat pada (Tabel 5).

Tabel 5. Rata-rata laju pengeringan (% b.k/jam) Waktu

35 31.16 45.67 27.38 45.12

45 10.69 12.77 20.60 23.80

55 20.91 25.78 18.24 14.62

10.00-12.00

35 59.83 31.06 66.95 61.46

45 34.07 25.40 39.54 61.49

55 60.34 45.16 39.97 51.78

13.00-15.00

35 15.91 30.28 26.00 18.65

45 45.07 32.15 51.78 34.78

55 15.21 18.02 36.09 37.66

16.00-17.00

55 16.39 13.03 13.08 10.48

10.00-12.00

35 24.06 25.20 20.82 7.77 45 15.01 25.73 8.75 4.04

55 29.83 33.73 12.42 13.04

(42)

Faktor–faktor yang mempengaruhi laju pengeringan rumput laut adalah intensitas radiasi matahari, suhu, kecepatan angin, ketebalan rumput laut yang akan mempengaruhi kecepatan pindah panas dan kadar air rumput laut. Intensitas radiasi matahari, suhu, kelembaban relatif dan kecepatan angin di lokasi penelitian berfluktuasi selama periode penjemuran seperti terlihat pada (Gambar 13).

0

Gambar 13. Variasi radiasi matahari (a), kelembaban relatif (b), suhu udara (c) dan kecepatan angin (d) selama pengeringan

Kondisi Cuaca

Radiasi Matahari

Intensitas radiasi matahari yakni meningkat sejak pagi hari, berfluktuasi pada siang hari kemudian menurun pada sore hari, intensitas radiasi matahari berkisar antara 50 W m-2 – 700 W m-2 dengan rata-rata 375 W m-2.

Intensitas radiasi matahari yang meningkat sejak pagi selain digunakan untuk pemanasan udara, juga digunakan untuk pemanasan berbagai bidang permukaan termasuk rumput laut yang dijemur. Energi dari sinar matahari digunakan sebagai sumber tunggal untuk kebutuhan panas pengeringan. Proses pengeringan ditandai adanya proses penguapan kadar air dari rumput laut yang dikeringkan (Ekechukuw dan Norton 1999).

Peningkatan intensitas radiasi matahari akan diikuti dengan peningkatan laju pengeringan rumput laut baik yang dijemur menggunakan metode para–para maupun metode gantung dengan total radiasi yang diterima permukaan selama

(a) (b)

(43)

proses penjemuran berlangsung sebesar 13.89 MJ m-2 pada hari pertama dan 15.66 MJ m-2 pada hari kedua.

Jika dibandingkan antara kedua metode penjemuran yang digunakan maka efek radiasi lebih berkorelasi terhadap laju pengeringan rumput laut yang dijemur dengan menggunakan metode gantung yakni dengan peningkatan radiasi yang sama maka pertambahan laju pengeringan dengan metode gantung lebih besar. Hal ini disebabkan karena dengan metode gantung memungkinkan bidang permukaan rumput laut yang menerima paparan radiasi matahari lebih besar (Gambar 14).

Gambar 14. Diagram pencar hubungan laju pengeringan dengan radiasi total pada metode para-para (a) dan metode gantung (b) Tabel 6 menunjukkan bahwa intensitas matahari berpengaruh paling nyata pada peningkatan laju pengeringan terutama pada metode gantung dibandingkan faktor suhu, kecepatan angin dan RH pada proses pengeringan. Nilai R2 tertinggi ditunjukkan oleh rumput laut yang dijemur dengan menggunakan metode gantung pada umur panen 35 hari dengan jarak penjemuran 15 cm sebesar (0.9072). Hal ini menunjukkan bahwa keeratan hubungan proses perpindahan massa pengeringan rumput laut lebih dipengaruhi oleh proses transfer panas karena radiasi matahari.

(44)

Suhu

Selama proses pengeringan terjadi fluktuasi suhu lingkungan yang cukup signifikan. Pada awal pemanasan terjadi peningkatan suhu yang memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar air dikarenakan transfer panas dari radiasi matahari akan menaikan suhu udara di sekitar penjemuran.

Suhu udara di lingkungan berkisar antara 23.3 0C – 31.7 0C dengan rata–rata 29.2 0C. Selama penjemuran suhu udara pada hari kedua lebih tinggi daripada hari pertama. Suhu rata–rata hari pertama sebesar 28.92 0C dan hari kedua sebesar 29.50 0C. Cuaca yang cerah dihari kedua dengan peningkatan suhu yang cukup tinggi antara pukul 10.00 – 16.00 dengan rata-rata suhu sebesar 31.03 0C akan mempercepat terjadinya proses pengeringan rumput laut. Hal ini disebabkan karena energi panas dalam udara akibat peningkatan suhu di sekitar penjemuran mampu menguapkan molekul–molekul air yang ada pada permukaan bahan. Kenaikan suhu ini seiring dengan semakin lamanya proses pengeringan berlangsung.

Peningkatan tekanan uap air menyebabkan terjadinya aliran uap air dari rumput laut ke udara sekitarnya. Semakin tinggi suhu udara maka semakin besar energi panas yang dibawa ke udara sehingga dapat mempercepat terjadinya penguapan (Dwika et al. 2012). Semakin tinggi suhu maka kelembaban relatifnya akan turun, sedangkan tekanan uap jenuhnya akan naik (Nelwan 1997).

Kelembaban Relatif (RH)

Kelembaban relatif dipergunakan sebagai ukuran kapasitas udara untuk menyerap air dehidrasi, oleh karena udara hanya dapat menampung jumlah air tertentu yang akan menyebabkan udara sekitar menjadi jenuh (Earle 1986). Menurut (Sagara 1990) menyatakan bahwa kelembaban relatif dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu maka kelembaban relatif akan semakin rendah. Sebaliknya peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kelembaban relatif (Sukmawaty et al. 2007).

Hubungan laju pengeringan terhadap kelembaban relatif (RH) pada (Lampiran 11) memperlihatkan bahwa RH tertinggi terjadi pada awal proses pengeringan. Suhu di awal pengeringan di hari pertama pada tiga jam pertama (pukul 07.00 – 09.00) suhu berkisar antara 23.7 0C – 28.5 0C menunjukkan RH yang cukup tinggi yakni 95% – 76%. Demikian pula pengeringan hari kedua dimana RH diawal pengeringan memperlihatkan kelembaban yang cukup tinggi yakni 85% – 64% pada suhu 23.3 0C – 28.9 0C, hal ini dikarenakan suhu di awal pengeringan masih rendah sehingga kelembaban udaranya masih tinggi.

RH yang tinggi akan menghambat proses pemindahan uap air dari rumput laut ke luar bahan sehingga akan memperpanjang waktu pengeringan akibatnya laju pengeringan akan menurun secara perlahan. Nilai RH akan mempengaruhi kemampuan udara tersebut menyerap uap air dari rumput laut yang dikeringkan. Semakin rendah kelembaban udaranya, maka uap air yang berpindah dari bahan ke udara semakin besar, akibatnya laju pengeringan akan semakin meningkat dan pengeringan akan berlangsung dengan cepat. Hal ini dikarenakan makin rendah RH maka makin besar perbedaan antara tekanan uap air dipermukaan rumput laut dengan tekanan air udara sehingga makin mempercepat proses pengeringan.

(45)

Pada awal pengeringan menunjukkan laju pengeringan yang relatif konstan, hal ini terjadi karena masih banyaknya massa air bebas yang menyelimuti seluruh permukaan rumput laut sehingga laju penguapan massa air dari permukaan seolah-olah konstan, hal ini disebabkan oleh kondisi RH yang relatif tinggi selama pengeringan.

Tabel 6. Hubungan laju pengeringan relatif terhadap cuaca

Metode Penjemuran

Umur Panen

R2 Laju Pengeringan Relatif

Ketebalan/Jarak

Waktu

(hari)

Radiasi Suhu Kecepatan

Angin RH

(46)

pengeringan semakin lambat. Adanya pergerakkan angin menyebabkan udara lembab dipermukaan bahan cepat tergantikan oleh udara kering sehingga pengeringan dapat berlangsung lebih cepat. Bila udara tidak mengalir maka kandungan uap air di sekitar bahan yang dikeringkan makin jenuh akibatnya pengeringan menjadi lambat (Taib et el. 1988).

Kadar Kotoran Rumput Laut

Kadar kotoran rumput laut kering Eucheuma cottonii sp yang dihasilkan berkisar antara 0.42% – 2.25% dengan rata–rata 1.10%. Secara umum kadar kotoran rumput laut kering Eucheuma cottonii sp dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Grafik rata-rata kadar kotoran rumput laut Eucheuma cottonii sp Hasil sidik ragam (Tabel 7) menunjukkan bahwa metode penjemuran, umur panen dan ketebalan/jarak memberikan pengaruh utama yang nyata terhadap kadar kotoran. Pengaruh interaksi yang signifikan terhadap kotoran hanya berasal dari interaksi metode penjemuran dan umur panen sedangkan interaksi kombinasi perlakuan yang lainnya tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Tabel 7. Sidik ragam kadar kotoran rumput laut

Sumber Keragaman F Value Pr > F

Metode Penjemuran 219.80** <.0001

Umur Panen 13.28** 0.0063

Metode Penjemuran * Umur Panen 15.49** 0.0043

Ketebalan/Jarak 6.17tn* 0.0475

Metode Penjemuran * Ketebalan/Jarak 0.01tn 0.9201 Umur Panen * Ketebalan/Jarak 0.00tn 0.9967 Metode Penjemuran * Umur Panen * Ketebalan/Jarak 0.01tn 0.9929

Keterangan: *=berbeda nyata pada taraf alpha 5%, **=berbeda nyata pada taraf alpha 1%, tn=tidak nyata

Gambar

Gambar 1. Bagan alir penelitian
Gambar 2.  Rumput laut Eucheuma cottonii  sp
Gambar 3. Kurva laju pengeringan terhadap kadar air
Gambar 5. Pergerakan air selama pengeringan pada pori-pori bahan (Fellow 1990)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rumput laut coklat yang dibudidayakan dengan cara pertama dari berat 3,4 kg pada awal penanaman menjadi 13,6 kg setelah 3 bulan dengan viskositas Na-alginat

Perlu dilakukan pencarian karekteristik bahan baku ampas rumput laut hasil limbah agroindustri rumput laut agar dihasilkan bahan baku yang berkulitas serta perlu adanya

Hasil penelitian menunjukan bahwa penanganan pasca panen rumput dengan teknik fermentasi yang menggunakan perlakuan terpal plastik dengan lama fermentasi 1

Hasil penelitian menunjukan bahwa penanganan pasca panen rumput dengan teknik fermentasi yang menggunakan perlakuan terpal plastik dengan lama fermentasi 1

Rumput laut coklat yang dibudidayakan dengan cara pertama dari berat 3,4 kg pada awal penanaman menjadi 13,6 kg setelah 3 bulan dengan viskositas Na-alginat

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Tiar, (2012) bahwa perbedaan jarak tanam rumput laut pada metode long line memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan

pengolahan rumput laut kering jenis Eucheuma sp yang dilakukan dengan menggunakan bahan yang diizinkan untuk makanan yang berfungsi sebagai pemutih juga bersifat aseptis

menunjukkan bahwa tingkat efisien saluran pemasaran rumput laut di Desa Biangkeke Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng yang paling efisien pada saluran I tingkat