• Tidak ada hasil yang ditemukan

BERSUPLEMEN KOBALT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Susudan Calf Starter

Ransum adalah total bahan pakan yang diberikan pada ternak selama 24 jam, sedangkan calf starter adalah pakan yang diberikan pada pedet selama periode awal atau menyusu. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi merupakan faktor esensial untuk menunjang kebutuhan dasar hidup atau hidup pokok dan menentukan produksi. Secara umum, konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya bobot badan (Amin, 1997), karena kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya bobot badan, sehingga mampu mengkonsumsi pakan dalam jumlah yang lebih banyak.

Tabel 2. Rataan Konsumsi Susu dan Calf Starter pada Pedet Prasapih tanpa atau dengan Inokulasi Bakteri Pencerna Serat

Konsumsi

Perlakuan

Kontrol (P1) Inokulasi (P2) Starter Susu Total Starter Susu Total --- (g/ekor/hari) --- Segar 152 ± 140 3194 3346 ± 140 324 ± 98 3194 3518 ± 98 BK 126 ± 116 354 480 ± 116 272 ± 82 354 626 ± 82

% BB 1,29 1,42

Pemberian inokulasi bakteri pencerna serat tidak menyebabkan perbedaan konsumsi harian calf starter dan pakan total. Rataan konsumsi calf stater dan susu dapat dilihat pada Tabel 2. Semua pedet pada penelitian ini mengkonsumsi susu segar dalam jumlah yang sama, yaitu sebanyak 3194 g/ekor/hari. Susu yang digunakan mengandung BK 11,08 %. Konsumsi bahan kering (BK) total pada pedet perlakuan kontrol (480 g/ekor/hari) lebih rendah daripada pedet perlakuan inokulasi (626 g/ekor/hari). Konsumsi BK total pada pedet perlakuan kontrol sebesar 1,29 % bobot badan (BB) dan pedet perlakuan inokulasi sebesar 1,42 % BB. Hal ini menunjukkan bahwa pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat dapat mencapai konsumsi maksimum seperti dilaporkan NRC (2001) yang menyatakan bahwa kebutuhan BK pedet dengan BB 355 kg dan pertambahan bobot badan (PBB) 0-400 g adalah 320-800 g (1,07-1,46 % BB).

Inokulasi bakteri pencerna serat diperkirakan dapat memperkecil partikel pakan lebih cepat jika dibandingkan dengan pedet tanpa inokulasi. Percepatan pengecilan ukuran partikel pakan, dapat meningkatkan laju partikel pakan dalam saluran pencernaan. Semakin voluminous suatu bahan pakan semakin cepat hewan merasa kenyang karena lambung sudah terisi (Parakkasi, 1999). Laju penghancuran partikel pakan menjadi partikel yang lebih kecil dapat meningkatkan konsumsi.

Pemberian probiotik nampaknya dapat meningkatkan selera makan pedet. Namun peningkatan selera makan tidak menyebabkan perbedaan konsumsi bahan kering. Menurut Parakkasi (1999), tingkat konsumsi sukarela (voluntary feed intake) adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan bila pakan tersebut diberikan ad libitum. Faktor-faktor yang menentukan tingkat konsumsi adalah faktor hewan, pakan dan lingkungan. Faktor hewan dipengaruhi oleh bobot badan, umur dan genetik. Chemostatic dan thermostatic, atau status fisiologi hewan sebagai respon terhadap kondisi lingkungan, dapat mempengaruhi tingkat konsumsi. Hewan selalu berusaha menyeimbangkan energi yang masuk dan energi yang keluar. Hewan dengan kemampuan termoregulasi yang lebih rendah diperkirakan akan mengkonsumsi pakan lebih rendah.

Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah

Inokulasi bakteri pencerna serat tidak menyebabkan perbedaan konsumsi Co pakan dan kandungan Co darah (Tabel 3). NRC (2001) menyatakan bahwa kebutuhan Co pedet terpenuhi jika ransum mengandung 0,1-10 ppm. Berdasarkan konsumsi bahan kering, Co yang dikonsumsi telah memenuhi kebutuhan pedet. Inokulasi bakteri pencerna serat menyebabkan perbedaan konsumsi BK sehingga terjadi perbedaan konsumsi Co. Pedet perlakuan inokulasi cenderung mengkonsumsi Co lebih banyak dibandingkan pedet kontrol.

Menurut Piliang & Djojosoebagio (2006), Co pada ternak sapi dapat dimanfaatkan dan disintesis menjadi vitamin B12 dalam saluran pencernaan khususnya rumen dan kolon. Vitamin B12 berfungsi dalam proses pematangan sel-sel darah merah dan untuk mendukung berlangsungnya fungsi normal semua sel-sel tubuh. Konsumsi Co pedet perlakuan inokulasi lebih banyak dibandingkan pedet kontrol, namun kadar Co darah sama antar perlakuan. Hal ini dapat disebabkan oleh inokulasi bakteri pencerna serat lebih banyak mensintesis Co menjadi vitamin B12.

Tabel 3. Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah Pedet Prasapih tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Pengukuran Kontrol (P1) Inokulasi (P2) Konsumsi Co (mg/ekor/hari) 1,03 ± 0,95 2,22 ± 0,67 Kandungan Co Darah (ppm) 0.1487 ± 0,0078 0,1452 ± 0,0421

Profil Darah Pedet Percobaan

Darah adalah cairan dalam pembuluh darah yang beredar ke seluruh tubuh mulai dari jantung dan segera kembali ke jantung. Darah tersusun atas cairan plasma dan sel darah (eritrosit, leukosit, dan trombosit), yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda (Isnaeni, 2006). Darah memiliki peranan dalam tubuh ternak, antara lain membawa nutrien, mengangkut oksigen, dan karbon dioksida, serta berperan dalam pengaturan suhu tubuh (Frandson, 1992).

Nilai profil darah pedet percobaan tanpa atau dengan inokulasi isolat bakteri tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4). Butir darah merah (BDM), hematokrit (PCV), dan hemoglobin (Hb) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Namun jumlah BDM (15%), PCV (28%) dan Hb (23%) pada pedet perlakuan inokulasi lebih tinggi daripada pedet kontrol. Hal ini menunjukan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat pada pedet dapat merangsang pembentukan BDM, PCV, dan hemoglobin walaupun peningkatan tersebut tidak menyebabkan perbedaan nyata antar perlakuan.

Tabel 4. Nilai Rataan Profil Darah Pedet Prasapih tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Peubah Perlakuan Choliq (1992) Kontrol (P1) Inokulasi (P2) BDM (juta/mm3) 6,47 ± 1,54 7,46 ± 1,62 5,85-7,00 PCV (%) 22,00 ± 7,18 28,19 ± 5,81 26,79-27,30 Hb (g/100ml) 7,18 ± 2,19 8,85 ± 1,57 7,10-8,24

Pedet pada penelitian ini memiliki eritrosit atau butir darah merah (BDM) yang normal, karena pedet yang berumur 0-8 minggu memiliki sel darah merah 5,85-7,00 juta/ml (Choliq, 1992). Jumlah eritrosit pada pedet percobaan sangat bervariasi. Hal ini dapat dipengaruhi umur, status gizi, jenis kelamin, dan faktor-faktor iklim.

Nilai eritrosit dibawah normal mengindikasikan adanya anemia pada ternak (Hallberg, 1988). Kondisi pedet percobaan tanpa maupun dengan inokulasi tidak mengalami anemia. Hal ini berarti bahwa konsumsi nutrien telah memenuhi kebutuhan khususnya protein dan unsur Fe serta vitamin B12 telah terpenuhi, demikian juga sintesis darah merah berjalan dengan normal.

Menurut Piliang & Djojosoebagio (2006), pembentukan eritrosit memerlukan nutrien yang essensial antara lain vitamin B12 (cyanokobalamin) yang molekulnya mengandung atom kobalt. Vitamin B12 (cyanokobalamin) berfungsi dalam proses pendewasaan eritrosit. Apabila vitamin tersebut defisien, maka dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan eritrosit.

Pedet pada penelitian ini memiliki hemoglobin (Hb) yang normal, karena anak sapi berumur 0-8 minggu memiliki hemoglobin 7,10-8,24 g/100ml (Choliq, 1992). Hemoglobin sangat bermanfaat dalam mengikat oksigen dalam darah. Peningkatan kadar hemoglobin pada tubuh ternak dapat menyebabkan peningkatan efisiensi pertukaran oksigen dan karbon dioksida, sedangkan jika terjadi penurunan kadar hemoglobin dapat menghambat metabolisme.

Nilai hematokrit merupakan persentase dari darah, yang terdiri dari sel-sel darah merah. Pedet perlakuan inokulasi memiliki hematokrit yang normal, sedangkan pedet kontrol memiliki nilai hematokrit dibawah normal. Menurut Choliq (1992), anak sapi berumur 0-8 minggu memiliki hematokrit 26,79-27,30 %. Peningkatan nilai hematokrit mengindikasikan dehidrasi pada pedet, sedangkan nilai hematokrit yang rendah dapat menggambarkan status nutrisi yang kurang memadai. Hal ini berarti bahwa pedet kelompok kontrol kurang mendapatkan nutrien yang optimum. Performa produksi kelompok pedet tersebut masih dapat ditingkatkan. Inokulasi bakteri pencerna serat dapat memperbaiki status nutrisi dengan meningkatkan selera makan pedet.

Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal

Menurut Isnaeni (2006), perubahan kondisi tubuh dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu adanya perubahan aktivitas sel tubuh dan perubahan lingkungan eksternal yang berlangsung terus-menerus. Aktivitas sel dalam tubuh ternak selalu memerlukan pasokan berbagai bahan dari lingkungan luar secara konstan, misalnya

oksigen dan nutrien. Apabila aktivitas sel berubah, pengambilan nutrien dan oksigen dari lingkungan eksternal juga berubah.

Menurut Parakkasi (1999), temperatur lingkungan mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan. Pada temperatur lingkungan dibawah suhu kritis batas bawah, efisiensi pemanfaatan nutrien menurun karena nutrien digunakan untuk mempertahankan temperatur tubuh yang normal. Pada temperatur lingkungan diatas suhu kritis batas atas, hewan akan menurunkan tingkat konsumsi untuk mengurangi temperatur tubuh.

Tabel 5. Rataan Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat

Peubah Waktu Perlakuan Choliq

(1992) Kontrol (P1) Inokulasi (P2)

Denyut Jantung (kali/menit) Pagi 75,68 ± 3,45 73,85 ± 3,77 85-112

Sore 82,48 ± 1,69 79,80 ± 1,90

Respirasi (kali/menit) Pagi 50,60 ± 6,72

a 41,70 ± 1,89b 48-64 Sore 58,88 ± 5,43a 48,05 ± 3,59b Suhu Rektal (°C) Pagi 39,40 ± 0,23a 39,02 ± 0,21b 38,9-39,6 Sore 39,71 ± 0,31 39,46 ± 0,25

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Rataan denyut jantung, laju respirasi, dan suhu rektal dapat dilihat pada Tabel 5. Jantung dan pembuluh darah merupakan organ penting untuk mengalirkan darah ke berbagai jaringan. Jantung berfungsi sebagai pompa penggerak cairan bersirkulasi, sedangkan pembuluh darah berfungsi sebagai jalan aliran darah (Isnaeni, 2006).

Hasil penelitian Choliq (1992) menunjukan bahwa pedet yang berumur 0-8 minggu mempunyai frekuensi denyut jantung 85-112 kali/menit. Nilai denyut jantung tidak berbeda nyata antar perlakuan dan berada sedikit di bawah normal. Hal ini menunjukkan bahwa pedet berada dalam kondisi lingkungan normal dan didukung oleh kondisi fisiologis yang normal. Kadar BDM dan hemoglobin dalam kondisi normal (Tabel 4), sehingga sirkulasi darah dan pertukaran oksigen dengan karbon dioksida berada dalam kondisi normal.

Sistem respirasi berfungsi untuk menyediakan oksigen (O2) untuk darah dan membuang karbondioksida (CO2) dari dalam darah. Saat laju metabolisme

meningkat, kebutuhan oksigen dan pembentukan karbondioksida juga meningkat (Isnaeni, 2006). Fungsi sistem respirasi lainnya adalah membantu dalam pengendalian suhu (Frandson, 1992).

Ternak dapat mengurangi panas dalam tubuh akibat pengaruh dari lingkungan dengan cara melakukan evaporasi. Evaporasi dapat terjadi pada ternak dengan peningkatan laju respirasi. Apabila suhu lingkungan meningkat, maka hewan harus mengeluarkan panas dalam tubuh dengan cara evaporasi yang dilakukan dengan meningkatkan laju respirasi. Menurut Parakkasi (1999), pada daerah yang kering dengan kelembaban rendah, respirasi ternak terjadi lebih cepat.

Laju respirasi pada pedet berbeda (P<0,05) antar perlakuan. Laju respirasi pada pedet perlakuan inokulasi lebih rendah dibandingkan pedet kontrol. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat yang memungkinkan darah pedet tersebut mempunyai kadar BDM dan hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan kontrol, sehingga respirasi diperkirakan lebih efisien. Menurut Choliq (1992), anak sapi berumur 0-8 minggu mempunyai frekuensi nafas 48-64 kali/menit dan suhu rektal 38,9-39,6 0C.

Suhu dan kelembaban lingkungan dalam kandang pedet selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Rataan suhu di dalam kandang pada pagi hari sebesar 25,22±1,00 °C dan sore hari sebesar 28,75±2,18 °C. Kelembaban di dalam kandang pada pagi hari sebesar 94,18±3,96 % dan sore hari sebesar 74,55±10,69 %.

Suhu rektal dapat dijadikan indikator panas tubuh dan juga merupakan indikator kondisi fisiologis tubuh dan respon ternak terhadap suhu lingkungan. Suhu tubuh ternak dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungannya. Apabila suhu tubuh terlalu tinggi, ternak akan melepaskan kelebihan panas tubuh, sedangkan apabila suhu tubuh terlalu rendah, ternak akan meningkatkannya (Isnaeni, 2006). Meningkatnya suhu lingkungan akan meningkatkan suhu rektal (Tabel 5), yang menunjukkan bahwa suhu rektal pada sore hari (39,46-39,71 °C) lebih tinggi dibandingkan suhu rektal pada pagi hari (39,02-39,40 °C).

20 22 24 26 28 30 32 34 1 6 11 16 21 26 31

Hari Pemeliharaan

ke-S uh u Li ng k un ga n ( 0C) Pagi hari Sore hari 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 6 11 16 21 26 31

Hari Pemeliharaan

ke-K e le m ba ba n (% ) Pagi hari Sore hari (a) (b)

Gambar 6. Suhu dan Kelembaban Lingkungan dalam Kandang Pedet Selama Penelitian

Perubahan suhu rektal menggambarkan termoregulasi tubuh ternak dalam mengatur pelepasan energi berlebih. Termoregulasi adalah proses yang terjadi pada ternak untuk mengatur suhu tubuh supaya tetap konstan atau berada dalam kisaran yang memungkinkan metabolisme optimum. Mekanisme termoregulasi yang dilakukan ternak adalah mengatur keseimbangan antara perolehan dan kehilangan atau pelepasan panas.

Suhu rektal pada pedet perlakuan inokulasi lebih rendah dibandingkan pedet perlakuan kontrol. Suhu rektal pada pagi hari berbeda nyata (P<0,05), sedangkan suhu rektal pada sore hari tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat berpotensi membantu pedet dalam termoregulasi sehingga dapat meningkatkan kemampuannya beradaptasi terhadap lingkungan dengan baik.

Suhu rektal pedet kontrol dan inokulasi bakteri pencerna serat pada pagi hari berbanding lurus dengan suhu lingkungan pada pagi hari. Suhu rektal pedet dan suhu lingkungan pada pagi hari mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7. Suhu rektal pedet perlakuan kontrol pada sore hari berbanding terbalik dengan suhu lingkungan pada sore hari, namun suhu rektal pedet perlakuan inokulasi pada sore hari berbanding lurus dengan suhu lingkungan pada sore hari. Suhu rektal pedet dan suhu lingkungan pada sore hari mempunyai hubungan yang lebih rendah seperti dapat dilihat pada Gambar 8. Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa pada sore hari pedet cenderung mempertahankan suhu tubuhnya dibandingkan dengan suhu rektal pagi hari.

Gambar 7. Korelasi Suhu Rektal dan Suhu Lingkungan pada Pagi Hari

Gambar 8. Korelasi Suhu Rektal dan Suhu Lingkungan pada Sore Hari

Pertambahan Bobot Badan (PBB) Pedet

Menurut Parakkasi (1999), ukuran tubuh atau bobot badan ternak dapat dipengaruhi oleh penggunaan nutrien atau konsumsi ransum. Rataan bobot badan (BB) dan pertambahan bobot badan (PBB) pedet dapat dilihat pada Tabel 6. Rataan bobot badan awal dan PBB antar perlakuan tidak berbeda nyata, namun bobot badan akhir nyata (P<0,05) lebih besar pada pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat. Bobot badan awal pedet perlakuan kontrol sebesar 35,20 kg dan perlakuan inokulasi sebesar 40,00 kg. Bobot badan akhir pedet perlakuan kontrol sebesar 39,00 kg dan perlakuan inokulasi sebesar 48,25 kg.

Tabel 6. Rataan Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Peubah Perlakuan Kontrol (P1) Inokulasi (P2) BB Awal (kg) 35,20±5,07 40,00±4,97 BB Akhir (kg) 39,00±5,15a 48,25±6,08b PBB (g/ekor/hari) 108,57±107,67 235,71±58,90

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Pertambahan bobot badan pedet perlakuan kontrol dan perlakuan inokulasi adalah 109 dan 236 (g/hari). Tidak terdapat perbedaan pertambahan bobot badan yang nyata antara pedet yang diinokulasi dengan pedet kontrol. Variasi pertumbuhan pedet kontrol sangat tinggi dan variasi pertambahan bobot badan menurun pada kelompok pedet dengan inokulasi bakteri pencerna serat. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat berpotensi meningkatkan dan menyeragamkan pertambahan bobot badan pedet. Perkembangan bobot badan pedet selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Perkembangan Bobot Badan Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat Selama Penelitian

Ukuran Tubuh Pedet

Pertumbuhan adalah pertambahan bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh sesuai dengan bertambahnya umur (Rakhmanto, 2009). Pada minggu pertama setelah kelahiran, pedet memerlukan penyesuaian diri dalam fungsi faali, sehingga perlu perhatian peternak supaya dapat hidup dan tumbuh sempurna. Ukuran tubuh merupakan indikator pertumbuhan dan dapat dijadikan kriteria dalam pemilihan

pedet calon induk. Jika pedet tersebut mempunyai performa pertumbuhan yang baik, maka dapat dijadikan bibit pengganti induk (replacement stock).

Lingkar dada merupakan ukuran tubuh yang sering digunakan untuk menduga bobot badan ternak (Diwyanto, 1982). Lingkar perut merupakan salah satu komponen ukuran tubuh yang dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ternak. Pengukuran lingkar perut dilakukan sebelum pemberian pakan atau minum, sehingga perut pedet berada pada kondisi sebenarnya.

Tabel 7. Rataan Ukuran Tubuh Pedet tanpa atau dengan Inokulasi Isolat Bakteri Pencerna Serat Peubah Perlakuan Kontrol (P1) Inokulasi (P2) Lingkar Dada (cm) 82,60 ± 4,20 85,50 ± 3,39 Pertambahan (cm/minggu) 0,70 ± 1,36 1,50 ± 0,61 Lingkar Perut (cm) 85,80 ± 3,55a 92,19 ± 3,68b Pertambahan (cm/minggu) 0,90 ± 1,35a 3,16 ± 0,76b Panjang Badan (cm) 58,70 ± 3,71 60,50 ± 2,48 Pertambahan (cm/minggu) 1,55 ± 0,50 1,50 ±0,20 Tinggi Badan (cm) 75,65 ± 3,27 78,38 ± 1,84 Pertambahan (cm/minggu) 1,43 ± 0,23 1,06 ± 0,63 Dalam Dada (cm) 31,90 ± 3,15 33,50 ± 1,68 Pertambahan (cm/minggu) 1,05 ± 0,82 1,25 ± 0,61 Lebar Dada (cm) 18,90 ± 1,39 19,25 ± 1,26 Pertambahan (cm/minggu) -0,05 ± 0,21 0,00 ± 0,00

Keterangan: Superskrip pada baris yang sama, menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Rataan ukuran tubuh pedet dapat dilihat pada Tabel 7. Ukuran tubuh antar perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang nyata, namun pada lingkar perut pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat lebih besar dibandingkan kelompok pedet kontrol. Hal tersebut diduga terkait dengan konsumsi bahan kering yang cenderung lebih tinggi pada pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat. Ukuran tubuh pedet yang meliputi lingkar dada, lingkar perut, panjang badan, tinggi badan, dalam dada, dan lebar dada pada pedet perlakuan inokulasi secara umum cenderung lebih tinggi dibandingkan pedet kontrol. Hal ini terkait dengan

pertambahan bobot badan yang cenderung lebih besar pada kelompok pedet yang mendapat inokulasi bakteri pencerna serat dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat dapat meningkatkan ukuran tubuh pedet.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau berpotensi memperbaiki kondisi fisiologis dan mendorong peningkatan konsumsi nutrien, pertambahan bobot badan, ukuran tubuh, dan peningkatan kemampuan pedet beradaptasi dengan lingkungan.

Saran

Inokulasi isolat bakteri pencerna serat pada dosis yang lebih tinggi diperkirakan dapat memperbaiki status fisiologis pedet periode prasapih.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. 1997. Pengaruh penggunaan probiotik Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen, kecernaan, dan pertumbuhan sapi perah dara. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan : Retno Muwarni. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Astuti, R. 2010. Isolasi dan seleksi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Choliq, C. 1992. Studi gambaran kimia darah dan hemogram sederhana dari anak sapi penderita diare. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Cullison, A. E., R. S. Lowrey, & T. W. Perry. 2003. Feeds and Feeding. 6th ed. Pearson Education, Inc. Upper Saddle River, New York.

Diwyanto, K. 1982. Pengamatan fenotip domba priangan serta hubungan antara beberapa ukuran tubuh dengan bobot badan. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Terjemahan: B. Srigandono & K. Praseno. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat bakteri asal rumen kerbau dalam mencerna komponen serat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hallberg, L. 1988. Besi. Dalam: R. E. Olson (Editor). Pengetahuan Gizi Mutakhir Mineral. Terjemahan: Present knowledge in Nutrition. Gramedia, Jakarta. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius, Yogyakarta.

Jones, C. M. & A. J. Heinrichs. 2007. Early Weaning Strategies. The Pennsylvania State University, Pennsylvania. http://www.das.psu.edu/research-extension/dairy/nutrition/pdf/earlywean07117.pdf/?searchterm=early%20wea ning%20strategies. [8 Oktober 2010].

Lawrence, T. L. J. & V. R. Fowler. 2002. Growth of Farm Animals. 2nd ed. CABI Publishing. CABI International, Wallingford, Oxon Ox 10 8de, UK.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle: 7th Revised Edition National Academy Press, Washington.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Piliang, W. G. & S. Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi, Volume II. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Restz, L. L., Smith W. H., & Plumlee M. P. 1960. A simple wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Departement, Purdue University, West La Fayeetee. Animal Chemistry Vol 32:1728.

Roy, J. H. B. 1980. The Calf, Studies in Agriculture and Food Science. 4th ed. Butterworths, London.

Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3 dan kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Salisbury, G. W. & N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan: R. Djanuar. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

Siti, N. W. 1996. Pengaruh ragi tape sebagai sumber probiotik pada kecernaan ransum, aktivitas fermentasi dan populasi mikroba rumen kerbau. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smith, J. B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Gramedia, Jakarta.

Swenson, M. J. & W. O. Reece. 1993. Dukes’ Physiology of Domestic Animals, 11th

ed. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press, Ithaca and London.

Underwood, E. J. & N. F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock 3rd ed. CABI Publishing, New York.

Ungerer, T. 1985. Study faal tentang produktivitas sapi perah dalam kondisi lingkungan panas. Laporan Penelitian. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Williamson, F. G. & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan: S. D. Darmadja. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji-t Konsumsi Susu dan Calf Starter

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan Konsumsi Starter (BS) 2,07 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Susu (BS) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Total (BS) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Starter (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Susu (BK) 0 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Konsumsi Total (BK) 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 2. Hasil Uji-t Konsumsi Co Pakan dan Kandungan Co Darah Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan Konsumsi Co Pakan 2,11 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Kandungan Co Darah 0,19 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 3. Hasil Uji-t Nilai Profil Darah Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan BDM 0,93 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Hematokrit 1,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Hemoglobin 1,28 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 4. Hasil Uji-t Denyut Jantung, Respirasi, dan Suhu Rektal Pedet Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

Denyut Jantung Pagi 0,76 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Denyut Jantung Sore 2,24 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Respirasi Pagi 2,54 2,36 3,50 Beda Nyata Respirasi Sore 3,41 2,36 3,50 Beda Nyata Suhu Rektal Pagi 2,52 2,36 3,50 Beda Nyata Suhu Rektal Sore 1,32 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Lampiran 5. Hasil Uji-t Bobot Badan (BB) dan Pertambahan Bobot Badan (PBB) Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan

BB Awal 1,42 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata BB Akhir 2,48 2,36 3,50 Beda Nyata PBB 2,10 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Lampiran 6. Hasil Uji-t Ukuran Tubuh Pedet

Peubah thitung t0,05 t0,01 Kesimpulan Lingkar Dada 1,12 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 1,08 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Lingkar Perut 2,64 2,36 3,50 Beda Nyata Pertambahan 2,96 2,36 3,50 Beda Nyata Panjang Badan 0,83 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 0,18 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Tinggi Badan 1,48 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 1,22 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Dalam Dada 0,91 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 0,40 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Lebar Dada 0,39 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata Pertambahan 0,47 2,36 3,50 Tidak Beda Nyata

Keterangan: thitung = nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data

t0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05)

t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1%(α=0,01)

t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol

Dokumen terkait