• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR (Halaman 36-53)

Neraca Hayati

N. longispinosus memiliki nilai waktu generasi (T) sebesar 4.05 hari

dengan laju reproduksi bersih (Ro) sebesar 24.96 butir telur per generasi pada tabel 1. Hal ini menunjukkan bahwa populasi N. longispinosus dapat berkembang sebanyak 24.96 kali dalam satu generasi selama 4.05 hari. Nilai laju pertambahan intrinsik rm adalah 0.44 betina/betina/hari dan laju pertambahan terbatas (λ) sebesar 1.55 betina/betina/hari.

Nilai laju pertambahan intrinsik rm tungau predator N. longispinosus adalah 0.44 betina/betina/hari. Nilai rm tersebut lebih tinggi dibandingkan rm

Tetranychidae. Nilai rm Tetranychidae memiliki kisaran 0.1 - 0.3 (Wrensch 1979; Razmjou et al. 2009). Hal ini menunjukkan bahwa populasi tungau predator N.

longispinosus berkembang lebih cepat dibandingkan tungau Tetranychidae. Oleh

karena itu, N. longispinosus cenderung memiliki potensi tinggi sebagai musuh alami dalam pengendalian tungau Tetranychidae. Nilai rm diperoleh dari persamaan Σe-rx

lx mx = 1 (Carey 1993).

GRR dan Ro menunjukkan tingkat reproduksi N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai. Nilai GRR adalah 32.78 individu, yang menunjukkan rata-rata jumlah keturunan betina per generasi. Ro bernilai 24.96 individu, menunjukkan jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago. Nilai GRR dan Ro N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai lebih tinggi dibandingkan dengan mangsa lain (Puspitarini 2005; Thongtab et al 2002).

Jumlah keturunan betina yang relatif tinggi berimplikasi pada jumlah telur yang dihasilkan dalam suatu populasi. Birch (1948) menyatakan bahwa makin besar jumlah telur yang dihasilkan maka makin besar nilai laju pertambahan intrinsik suatu organisme. Krebs (1978) menambahkan bahwa makin cepat tercapainya puncak reproduksi maka makin besar nilai r suatu spesies. Nilai r dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu reproduksi pada umur muda, jumlah telur yang dihasilkan setiap bertelur, dan meningkatnya ulangan peneluran yang berarti terjadi peningkatan panjang umur (Krebs 1978).

Perkembangan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari (λ) dapat dilihat pada tabel 1. λ sering juga disebut sebagai laju pertambahan terbatas, yang memiliki arti nilai perkembangan tungau predator pada lingkungan yang terbatas. Nilai λ = 1.55 per satuan hari, yang berarti bahwa perkembangan setiap individu pada setiap generasi menjadi satu individu pada keadaan lingkungan yang terbatas (Tarumingkeng 1992). Bila nilai λ > 1 maka terjadi pertambahan populasi tungau predator N. longispinosus setiap hari.

T dan DT merupakan parameter statistik demografi yang berkaitan dengan waktu. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan siklus hidup N.

longispinosus per generasi (T) adalah 4.05 hari. Nilai T yang hampir sama juga

ditunjukkan pada penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2002).

Doubling time (DT) memiliki nilai sebesar 1.586 hari, yang mengisyaratkan

kemampuan N. longispinosus berkembang dalam satu generasi.

Tabel 1 Statistik demografi N. longispinosus

Parameter demografi Nilai Satuan

GRR 32.78 Individu Ro 24.96 Individu/induk/generasi rm 0.44 Individu/induk/hari T 4.05 Hari λ 1.55 Hari DT 1.59 Hari

Pendugaan kelimpahan populasi suatu serangga merupakan implikasi praktis dari sebaran umur stabil terutama serangga yang memiliki stadia pradewasa yang tidak terlihat atau tersembunyi (Birch 1948). Selain itu, sebaran umur stabil suatu populasi juga dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah pertambahan populasi.

Distribusi sebaran umur N. longispinosus pada percobaan ini menunjukkan bahwa 83.78% populasi pradewasa dan sisanya 16.22% merupakan populasi dewasa (tabel 2). Proporsi telur memiliki nilai paling tinggi di antara populasi pradewasa. Nilai proporsi telur adalah 36.26 %. Deutonimfa memiliki nilai proporsi paling kecil dalam populasi pradewasa.

Asumsi yang dihasilkan dari data distribusi sebaran umur N. longispinosus menunjukkan bahwa sebagian besar populasi N. longispinosus didominasi oleh populasi pradewasa. Implikasinya pada penarikan contoh di lapangan adalah jumlah imago N. longispinosus di lapangan yang relatif rendah tidak menggambarkan jumlah populasi N. longispinosus yang sebenarnya. Populasi pradewasa juga mempengaruhi jumlah populasi yang sebenarnya. Populasi telur

N. longispinosus yang terkadang tersembunyi memiliki proporsi yang relatif besar

dalam menentukan keadaan populasi N. longispinosus. Percobaan ini dilakukan dalam skala laboratorium maka faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi populasi dalam lingkungan yang alami tidak diperhitungkan.

Tabel 2 Proporsi berbagai fase perkembangan N. longispinosus pada persebaran umur stabil

Fase perkembangan (stadia) Proporsi (%) Pradewasa Telur 83.78 36.26 Larva 23.29 Protonimfa 14.86 Deutonimfa 9.37 Dewasa 16.22

Siklus Hidup dan Perkembangan

Siklus hidup N longispinosus terdiri dari telur, larva, protonimfa, deutonimfa, dan dewasa yang ditunjukkan pada Tabel 3. N. longispinosus meletakkan telur secara acak pada permukaan bawah daun ubi kayu. Telur berbentuk oval dan berwarna putih transparan. Croft et al. (1999) menyatakan bahwa ukuran telur 13 tungau Phytoseiidae yang diteliti, memiliki kisaran panjang bervariasi dari 184.5–243.5 µm dan Phytoseiulus persimilis memiliki ukuran telur yang paling besar. Puspitarini (2005) menunjukkan bahwa telur N. longispinosus yang dibiakkan pada Panonychus citri memiliki panjang berkisar 330-370 µm dan lebar 280-320 µm. Hal tersebut menunjukkan bahwa ukuran telur N.

longispinosus lebih besar dibandingkan ukuran telur P. persimilis. Telur

membutuhkan waktu perkembangan yang paling lama yaitu 1.40 hari.

Stadia larva merupakan stadia yang mudah diamati dan dibedakan dari stadia lainnya. Ciri khas stadia larva adalah 3 pasang tungkai yang dimilikinya. Pada stadia ini, larva berwarna putih dan masih bersifat pasif bergerak. Larva N.

longispinosus memiliki panjang rata-rata 230 µm dan lebar rata-rata 220 µm

(Puspitarini 2005). Larva sebagian besar tungau predator tidak makan sehingga pada stadia ini tidak membutuhkan mangsa (Thongtab et al.2001; Zhang 2003). Larva memiliki waktu perkembangan yang paling singkat yakni hanya 0.49 hari. Waktu tersebut tidak berbeda nyata dengan penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001).

Perubahan stadia larva menjadi protonimfa dapat dilihat pada jumlah tungkai. Protonimfa memiliki 4 pasang tungkai dan berwarna putih keruh. Pada stadia protonimfa, N. longispinosus mulai aktif untuk mencari mangsa. Protonimfa N. longispinosus akan berubah warna setelah memakan mangsa, menjadi merah kecoklatan. Masa protonimfa berlangsung selama 0.64 hari. Setelah itu, N. longispinosus akan memasuki stadia deutonimfa. Lama masa deutonimfa berkisar 0.70 hari. Masa protonimfa dan deutonimfa N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai memiliki waktu paling singkat dibandingkan N.

longispinosus yang dibiakkan pada P. citri (Puspitarini 2005) dan T. urticae

(Thongtab et al. 2001). Deutonimfa memiliki morfologi badan yang lebih besar dan idiosoma yang pipih dibandingkan protonimfa. N. longispinosus bergerak aktif mencari mangsa pada stadia deutonimfa. Protonimfa dan deutonimfa dapat memangsa semua stadia mangsa yang terdapat dalam arena.

Tungau Phytoseiidae dewasa memiliki ukuran berkisar 200-490 µm, Jarang sekali tungau Phytoseiidae dewasa memiliki ukuran lebih dari 500 µm. Tungau dewasa N. longispinosus jantan dan betina memiliki ukuran yang berbeda.

N. longispinosus betina memiliki panjang dan lebar rata-rata berturut-turut: 400

µm dan 290 µm. Sementara panjang dan lebar rata-rata N. longispinosus jantan lebih kecil yaitu 230 µm dan 170 µm (Puspitarini 2005). N. longispinosus memiliki warna tubuh putih kekuningan keruh dan mengkilat serta seta-seta yang terlihat jelas pada bagian idiosoma dorsal. Warna tubuh N. longispinosus akan

mengikuti warna mangsanya. Ketika N. longispinosus diberikan mangsa imago T.

kanzawai yang berwarna merah, maka warna N. longispinosus akan berwarna

merah kecoklatan.

Waktu perkembangan N. longispinosus dari pradewasa menjadi dewasa relatif singkat, yaitu 3.23 (Tabel 3). Pada umumnya tungau predator famili Phytoseiidae memiliki waktu perkembangan yang relatif lebih cepat dan singkat dari Tetranychidae (Zhang 2003). Penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et

al. (2001) menunjukkan bahwa lama perkembangan N. longispinosus dari telur

hingga menjadi dewasa adalah 4.78 hari dan 4.23 hari. Waktu perkembangan N.

longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai lebih cepat. Hal ini dapat

disebabkan oleh pengalaman predator terhadap mangsa karena selama pembiakan

N. longispinosus diberikan mangsa T. kanzawai.

Tabel 3 Berbagai parameter kehidupan N. longispinosus yang dibiakkan pada

T.kanzawai

Parameter Durasi (hari) (mean ± SD)a Lama perkembangan pradewasa 3.23 ± 0.41

Telur 1.40 ± 0.32 Larva 0.49 ± 0.01 Protonimfa Deutonimfa 0.64 ± 0.21 0.70 ± 0.31 Lama hidup betina 16.78 ± 7.44

Periode praoviposisi Periode oviposisi Periode pascaoviposisi 1.55 ± 0.57 8.76 ± 4.68 1.92 ± 2.91

Lama hidup jantan 22.28 ± 7.02

Keperidian (butir/betina) 32.78 ± 1.31

Nisbah kelamin (♂:♀) 1: 2.13

Tabel 3 juga memberikan informasi berbagai parameter kehidupan tungau dewasa N. longispinosus. Dewasa N. longispinosus betina memiliki masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Masa oviposisi memiliki masa yang

lebih lama dibandingkan masa praoviposisi dan pascaoviposisi. Masa oviposisi N.

longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 8.76 hari. Masa oviposisi

tersebut lebih singkat dibandingkan dengan masa oviposisi N. longispinosus yang dibiakkan pada tungau merah jeruk P. citri (Puspitarini 2005) dan Eotetranychus

cendanai (Thongtab et al. 2001). Namun, keperidian yang diperoleh lebih tinggi

dibandingkan penelitian Puspitarini (2005) dan Thongtab et al. (2001). Keperidian N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 32.78 butir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah telur yang diletakkan per hari adalah 3.39 butir. Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan penelitian N.

longispinosus yang dilakukan oleh Puspitarini (2005) dan Yulianah (2008).

Jumlah telur rata-rata N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai memiliki nilai yang hampir sama dengan N. longispinosus yang dibiakkan pada T. urticae yaitu 3.36 butir (Kongchuensin et al. 1989 dalam Thongtab et al. 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa T. kanzawai merupakan mangsa yang sesuai bagi perkembangan N. longsipinosus.

Lama hidup tungau jantan lebih lama dibandingkan lama hidup tungau betina. Tungau jantan memiliki lama hidup yaitu 22.28 hari sedangkan lama hidup tungau betina hanya berkisar 16.78 hari. Nisbah kelamin N. longispinosus yang dibiakkan pada T. kanzawai adalah 1:2.13. Penelitian Escudero & Ferragut (2005) menunjukkan nisbah kelamin 1:2 untuk P. persimilis yang diberikan mangsa T. urticae, T. turkestani, dan T. ludeni.

Sintasan dan Jumlah Telur Predator Harian

Sintasan menunjukkan tingkat keberhasilan hidup dari suatu populasi dalam bentuk persen. Sintasan tungau predator N. longispinosus dari pengamatan harian ditunjukkan pada Gambar 9. Kurva sintasan tungau predator

N. longispinosus memperlihatkan bahwa mortalitas mulai terjadi pada saat tungau

predator N. longispinosus berumur 2 hari. Penurunan sintasan terus terjadi sampai semua tungau predator betina mati yang terjadi pada saat tungau predator berumur 32 hari. Kurva sintasan tungau predator N. longispinosus termasuk dalam kurva sintasan tipe I (Tarumingkeng 1992). Kurva sintasan tipe I menunjukkan bahwa tingkat kematian tungau predator N. longispinosus yang tinggi dialami saat

tungau predator N. longispinosus berumur tua. Penelitian Puspitarini (2005) juga menunjukkan kurva sintasan tipe 1 untuk N. longispinosus yang diberikan mangsa

P. citri. Namun tingkat mortalitas pada N. longispinosus yang diberikan mangsa P. citri terjadi pada umur 4 hari dan lama hidup yang lebih singkat yaitu 27 hari

(Puspitarini 2005). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh mangsa yang diberikan pada N. longispinosus.

Gambar 10 Kurva sintasan (lx) dan rata-rata jumlah telur harian (mx) tungau predator N. longispinosus

Selain informasi sintasan tungau predator N. longispinosus, gambar 9 juga menunjukkan informasi tentang rata-rata produksi telur per hari yang diletakkan oleh individu betina yang hidup pada umur tertentu (mx). Kurva mx

memperlihatkan bahwa tungau predator N. longispinosus mulai mengalami oviposisi saat berumur 3 hari. Penelitian Thongtab et al. (2001) juga menyatakan masa oviposisi N. longispinosus yang diberikan E. cendanai yaitu 3.57 hari. Produksi telur meningkat pada awal umur predator dan menurun seiring pertambahan umur predator. Tingkat produksi telur tertinggi dicapai saat tungau predator betina N. longispinosus berumur 6 hari dengan rata-rata produksi telur 4 butir. Gambar 9 juga memberikan informasi tentang masa praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi. Masa praoviposisi relatif singkat yaitu 1.55 hari.

N.longispinosus memasuki stadia dewasa saat hari ke-3. Pada saat tungau

predator betina N. longispinosus berumur 4 hari mulai terlihat peningkatan produksi telur sehingga ini merupakan awal masa oviposisi N. longispinosus. Masa oviposisi berlangsung selama 21 hari, berawal saat N. longispinosus

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 Rat a-ra ta ju m lah t elu r h ar ian (m x) Pro p o rs i b etin a h id u p (lx) Umur (hari) Lx mx

berumur 4 hari hingga berumur 24 hari. Rata-rata jumlah telur harian tertinggi terjadi pada tungau predator N. longispinosus berumur 6 hari. Oleh karena itu, puncak mx terjadi pada tungau predator betina N. longispinosus umur 6 hari. Kurva mx mengalami fluktuasi setelah tungau predator N. longispinosus berumur 6 hari. Pada saat berumur 24 hari, N. longispinosus mulai memasuki masa pascaoviposisi. Masa pascaoviposisi terjadi saat tungau predator N. longispinosus berumur 25 hari. Hal ini mengindikasikan bahwa N. longispinosus memiliki potensi relatif besar sebagai agen pengendali tungau Tetranychidae karena peletakkan telur terjadi pada awal sehingga cukup menguntungkan dari segi pengendalian tungau Tetranychidae.

Preferensi Stadia Mangsa

Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa (telur, nimfa, dan imago T.

kanzawai) berkaitan dengan perilaku pencarian dan pengenalan mangsa oleh

predator. Perilaku N. longispinosus tersebut didukung oleh suatu stimuli dari mangsa. Stimuli tersebut dapat berupa gerakan atau tanda yang ditinggalkan oleh mangsa. Keberadaan stimuli yang cukup tinggi dapat meningkatkan peluang predator untuk menemukan mangsa (Dickens 1999).

Preferensi N. longispinosus terhadap mangsa tertentu akan meningkatkan perilaku pemangsaan yang tinggi. Stadia dan jenis mangsa mempengaruhi perilaku pemangsaan predator terhadap mangsa (Gullan & Cranston 1994).

Preferensi keberadaan imago N. longispinosus pada arena percobaan selama 3 jam ditunjukkan pada gambar 11. Sebagian besar imago N.

longispinosus lebih banyak dijumpai pada daun yang berisi telur tungau T. kanzawai. Hal ini menunjukkan bahwa N. longispinosus memiliki ketertarikan

yang cukup tinggi terhadap mangsa dalam stadia telur. Bahkan mangsa dalam stadia imago tidak dikunjungi oleh N. longispinosus pada waktu pengamatan ke-2, 3, dan 6. Jenis, stadia dan ukuran tubuh mangsa yang bervariasi memiliki pengaruh terhadap preferensi predator (Yang & Li 2002). Semakin besar instar nimfa mangsa maka semakin kecil preferensi terhadap mangsa. Penyebab penurunan preferensi predator tersebut mungkin dikarenakan bentuk dan ukuran tubuh mangsa. Semakin besar bentuk dan ukuran maka semakin sulit predator

untuk memangsa. Mekanisme pertahanan mangsa dalam bentuk karakteristik mangsa merupakan bagian dari proses interaksi predator dan mangsa (Holling 1961).

Gambar 11 Keberadaan imago N. longispinosus selama 3 jam

Tanggap Fungsional

Hasil analisis regresi logistik predasi N. longispinosus pada mangsa telur

Tetranychus kanzawai diperlihatkan pada tabel 4. Hubungan kepadatan mangsa

dan tingkat predasi memperlihatkan tanggap fungsional tipe III. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis regresi logistik. Tanggap fungsional tipe III ditunjukkan oleh koefisien linear yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya proporsi mangsa yang dipredasi meningkat kemudian menurun seiring dengan bertambahnya kepadatan mangsa (Sabelis 1985).

Tabel 4 Hasil analisis regresi logistik proporsi mangsa T. kanzawai yang dimangsa N. longispinosus

Parameter Nilai Penduga Standar Error Pa

Titik potong -6.0075 430.0 0.9889 Linear 2.0273 129.0 0.9875 Kuadratik -0.1347 8.5996 0.9875 a P=probability 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 Ju m lah imago N . lo n g is p ino su s

Waktu pengamatan (per 30 menit)

Telur Nimfa Imago

Tanggap fungsional tipe III merupakan satu-satunya tipe tanggap fungsional yang memiliki kontribusi nyata dalam regulasi populasi hama (Hassel 1976; Hassel 1978). Fernandez & Corley (2003) menambahkan bahwa predator atau parasitoid yang memiliki tanggap fungsional tipe III berpotensi sebagai agen biokontrol yang efisien.

Tipe tanggap fungsional ditentukan oleh perilaku memburu dan menangani mangsa. Laju pencarian mangsa akan meningkat pada kepadatan mangsa yang tinggi hingga mencapai kejenuhan. Penambahan populasi mangsa akan menurunkan laju pencarian predator. Laju pemangsaan diduga berkaitan dengan waktu penanganan mangsa (mengenal dan memburu) dimana preferensi predator akan menentukan laju pencarian mangsa (Tarumingkeng 1992).

Waktu penanganan mangsa (Th) merupakan salah satu karakter penting dalam interaksi mangsa-predator. Waktu penanganan ini meliputi mengenal, memburu dan menangani mangsa. Kepadatan populasi mangsa sangat berkaitan dengan waktu penanganan mangsa. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5. Kepadatan populasi mangsa yang rendah membutuhkan waktu yang cukup panjang. Kepadatan mangsa sebanyak 5 butir telur membutuhkan waktu yang paling lama yaitu 4.06 jam. Sebaliknya pada kepadatan populasi mangsa yang tinggi, predator membutuhkan waktu yang relatif pendek. Waktu penanganan mangsa paling pendek yaitu 1.21 jam ditunjukkan pada kepadatan mangsa 40 butir telur.

Lama waktu penanganan mangsa berhubungan dengan kepadatan mangsa. Ketika kepadatan populasi mangsa rendah maka predator membutuhkan waktu yang relatif panjang. Namun pada kepadatan populasi mangsa yang tinggi, predator membutuhkan waktu yang relatif singkat untuk memangsa satu individu. Perolehan kumulatif waktu pemangsaan diasumsikan dengan jumlah pemangsaan maksimum predator yaitu dengan menghitung 1/Th (Tarumingkeng 1992).

Rataan jumlah telur mangsa yang dikonsumsi predator pada kepadatan mangsa yang berbeda dapat dilihat pada tabel 5. Tingkat pemangsaan predator akan meningkat dengan peningkatan kepadatan mangsa. Tingkat pemangsaan terendah yaitu 4.4 butir telur terjadi pada saat kepadatan mangsa hanya 5 butir telur mangsa. Tingkat pemangsaan tertinggi yaitu 17.4 butir diraih pada saat kepadatan mangsa berjumlah 40 butir telur.

Tabel 5 Estimasi masa penanganan dan rataan jumlah mangsa yang dimangsa

N.longispinosus

Kepadatan mangsa (butir) Rataan jumlah mangsa yang dimangsa (x)a Waktu penanganan mangsa/Th (jam) 5 4.4 a 4.06 10 8.7 a 2.06 20 14.9 b 1.26 40 17.4 b 1.21 80 17.1 b 1.32 Rataan 12.5 1.98 a

Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)

Kurva tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus yang diberi mangsa tungau hama T. kanzawai ditunjukkan pada gambar 12. Tingkat pemangsaan predator akan meningkat seiring dengan penambahan kepadatan mangsa. Namun, pada kepadatan mangsa 40-80 butir mengalami kejenuhan yang mungkin disebabkan karena faktor kekenyangan sehingga kurva datar pada kepadatan 40-80 butir.

Gambar 12 Kurva tanggap fungsional

Proporsi pemangsaan cenderung menurun seiring dengan peningkatan mangsa (Gambar 13). Hal ini mungkin terjadi karena faktor kekenyangan pada arena dengan kepadatan mangsa yang tinggi.

pr edasi 0 10 20 30 kepadat an 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Gambar 13 Proporsi pemangsaan pada tanggap fungsional tungau predator N. longispinosus (%)

Tanggap Numerik

Tanggap numerik menggambarkan respon populasi predator terhadap perubahan populasi mangsa. Jika predator memiliki tanggap numerik yang besar berarti predator mampu merespon perubahan populasi mangsa dengan cepat. Dengan kata lain, tanggap numerik menentukan peningkatan populasi predator sebagai akibat dari konsumsi mangsa (Hayes 1988). Perubahan populasi predator dapat terjadi melalui: (1) peningkatan reproduksi dan survival predator serta (2) agregasi predator dalam suatu tempat dimana mangsa berkumpul.

Tanggap numerik memiliki 3 model yaitu: (1) respons langsung, dimana populasi predator akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah mangsa; (2) tidak ada respons, tidak ada pertambahan jumlah predator ketika jumlah mangsa meningkat; dan (3) respons yang terbalik, terjadi bilamana jumlah predator menurun ketika jumlah mangsa meningkat.

Tanggap numerik N. longispinosus yang diberi mangsa T. kanzawai pada Tabel 6. Pada dasarnya produksi telur predator akan meningkat seiring dengan peningkatan densitas mangsa. Saat predator diberikan mangsa sebanyak 20 butir terlihat peningkatan jumlah produksi telur yang cukup tinggi. Namun, pada densitas mangsa sebanyak 40 butir terjadi penurunan produksi. Peningkatan produksi terjadi lagi pada densitas mangsa 80 butir. Hamdan (2006) menyatakan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 80 100 Pr o p o rsi te lu r yan g d im an gsa (% )

bahwa ketika sumber daya makanan berlimpah, maka oocytes berkembang dan waktu oviposisi lebih lama. Hal tersebut mendukung dalam penambahan suatu populasi makhluk hidup.

Tabel 6 Rataan predasi, produksi telur predator dan ratio predator: mangsa Kepadatan mangsa

(butir)

Predasi (x)a Telur predator (x)a Ratio predator:mangsa 5 4.4 a 0.3 a 0.068:1 10 8.7 a 1.2 ab 0.138:1 20 14.9 b 1.9 b 0.128:1 40 17.4 b 1.8 b 0.103:1 80 17.1 b 2 b 0.117:1

a Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)

Hubungan antara rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa yang berbeda terdapat pada gambar 14. Hubungan antara produksi telur predator dan kepadatan mangsa bersifat bertautan. Semakin tinggi kepadatan mangsa terdapat kecenderungan peningkatan produksi telur predator. Jumlah telur predator terendah ditemui pada kepadatan mangsa 5 butir yaitu 0.3 butir telur predator. Sedangkan kepadatan mangsa 80 butir memiliki produksi telur predator yang paling tinggi yaitu 2 butir.

Pada kepadatan mangsa yang rendah (kurang dari 5 butir telur), tungau predator tidak meletakkan telur. Penelitian Hayes (1988) pada tungau predator

Typhlodromus pyri juga menunjukkan hal yang sama. Hal ini menyatakan bahwa

terdapat ambang batas konsumsi untuk memproduksi telur. Hayes (1988) menambahkan nutrisi harian yang berada pada ambang batas akan digunakan hanya untuk pemeliharaan metabolisme. Ketika mangsa berada di bawah ambang batas maka laju perkembangan bernilai 0 karena tidak tersedia energi untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Gambar 14 Laju rataan produksi telur predator pada kepadatan mangsa yang berbeda

Kemampuan Individu Imago Betina Tungau Predator N. longispinosus Menekan Populasi Tungau Hama T. kanzawai

Grafik populasi tungau hama T. kanzawai yang disertai satu imago betina tungau predator N. longispinosus selama 3 hari berturut-turut diperlihatkan pada Gambar 15. Keberadaaan predator merupakan suatu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi tungau hama T. kanzawai. Hal ini dapat dilihat pada gambar 15. Mulanya populasi tungau hama T. kanzawai meningkat kemudian pada hari ke-4 populasi mulai mengalami penurunan. Bahkan pada perlakuan kepadatan mangsa 4 ekor, populasi tungau hama T. kanzawai hampir mendekati nilai 0 pada hari ke-3. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa keberadaan predator dapat menekan pertumbuhan populasi tungau hama T. kanzawai.

Pertumbuhan populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator bersifat linear (Gambar 16). Populasi tungau hama T. kanzawai akan terus meningkat secara linear tanpa ada faktor pembatas dalam pertumbuhan tersebut.

R² = 0.795 0 0.5 1 1.5 2 2.5 0 20 40 60 80 100 R ataan te lu r p re d ato r (b u tir )

Gambar 15 Populasi tungau hama T. kanzawai dengan predator

Gambar 16 Populasi tungau hama T. kanzawai tanpa predator

Jumlah predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir pengamatan pada Tabel 7. Jumlah predator antar kepadatan mangsa yang berbeda tidak berbeda nyata kecuali kontrol. Jumlah predator terbanyak adalah 11 ekor predator, ditemui pada perlakuan dengan kepadatan mangsa 8 ekor.

Sementara itu, mangsa yang tersisa memiliki korelasi positif dengan kepadatan mangsa. Semakin tinggi kepadatan mangsa maka

0 100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 Ju m lah tu n gau Hari 4 8 16 32 0 100 200 300 400 500 600 700 1 2 3 Ju m lah t u n gau Hari 4 8 16 32

jumlah mangsa yang tersisa semakin banyak. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kepadatan 4 dan 8 ekor mangsa tidak berbeda nyata untuk mangsa yang tersisa pada akhir pengamatan. Perbedaan nyata mangsa yang tersisa dapat dilihat pada perlakuan kepadatan mangsa 4 ekor dengan perlakuan kepadatan 16 dan 32 ekor mangsa.

Kemampuan individu predator N. longispinosus menekan populasi tungau hama T. kanzawai selama 3 hari belum menunjukkan hasil yang begitu memuaskan karena jumlah mangsa yang tersisa masih cukup banyak bila dilihat pada tabel 7. Namun, keberadaan predator N.

longispinosus mampu menekan populasi tungau hama bila dibandingkan

dengan kontrol (tanpa predator) pada gambar 15 dan 16. Waktu perlakuan menjadi komponen penting untuk menunjukkan penurunan mangsa karena keberadaan predator. Implikasinya di lapangan dibutuhkan waktu lebih dari 3 hari untuk menunjukkan hasil penurunan mangsa karena pelepasan predator.

Tabel 7 Predator dan mangsa yang tersisa pada hari terakhir pengamatan di laboratorium

Predator: Mangsa Jumlah predator (x)a Jumlah mangsa (x)a

1:4 9.20a 20.00a

1:8 11.20a 94.20a

1:16 9.80a 255.00b

1:32 8.80a 430.60b

Kontrol 0b

a Rataan pada lajur yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan (α = 0.05)

Jumlah kumulatif stadia predator pada hari terakhir pengamatan juga dihitung (Tabel 8). Pada hari terakhir pengamatan, stadia telur

Dalam dokumen BIOLOGI DAN POTENSI PREDASI TUNGAU PREDATOR (Halaman 36-53)

Dokumen terkait