• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Stunting Balita Di Indonesia

Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Kondisi stunting ini memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Pada tahun 2013 terdapat 37,20% balita dengan tinggi badan di bawah normal yang terdiri dari 18,0% balita sangat pendek dan 19,20% balita pendek. Dibandingkan tahun 2010, terjadi peningkatan persentase balita pendek dan sangat pendek pada tahun 2013 dari 35,60% menjadi 37,20%. Bila prevalensi stunting ini dibandingkan dengan batas non public health problem yang ditetapkan WHO (1995) maka Indonesia masih dalam kondisi yang bermasalah dalam hal kesehatan masyarakat.

Gambar 4.1. Perkembangan Prevalensi Stunting Indonesia 2007 – 2013 Prevalensi stunting di berbagai kabupaten/kota di Indonesia berkisar antara 10,45% dan 70,43%. Prevalensi stunting terendah terjadi di Kabupaten Deiyai (10,45%), Kabupaten Wakatobi (10,06%), dan Kota Pangkal Pinang (12,57%). Sedangkan kabupaten dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (70,43%), Kabupaten Intan Jaya (68,95%) dan Kabupaten Dogiyai (66,12%). Berdasarkan klasifikasi rentang permasalahan gizi yang telah ditetapkan oleh WHO, hanya terdapat 8 kabupaten/kota yang prevalensi stunting -nya berada pada kategori rendah (30-39%) yaitu Kota Pangkal Piang, Kota Tanjung Pinang, Kota Bandung, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tanah Tidung, Kota Bitung, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Deiyai. Sementara itu, sebagian besar wilayah Indonesia masih memiliki prevalensi stunting sangat tinggi (lebih dari 40%).

Gambar 4.2. Prevalensi Stunting Kabupaten / Kota di Indonesia 2013 Terkait dengan target prevalensi stunting 32% pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan menyusun beberapa program yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015. Dalam RANPG 2011 – 2015 tersebut, wilayah – wilayah di Indonesia dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan tingkat prevalensi stunting dengan batasan 32%. Hasil pengelompokkan ini pada akhirnya digunakan untuk menentukan tingkat intensitas intervensi pemerintah dalam strategi 5 pilar rencana aksi (gizi masyarakat, aksebilitas pangan, mutu dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta kelembagaan pangan dan gizi).

Gambar 4.3. Stratifikasi Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Prevalensi Stunting 2013

23

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, diketahui hanya 113 kabupaten/kota yang telah berhasil mencapai target prevalensi stunting. Penyebaran 113 kabupaten tersebut berdasarkan kewilayahan adalah Pulau Sumatra (31 kabupaten/kota), Pulau Jawa (48 kabupaten/kota), Pulau Bali (3 kabupaten/kota), Pulau Kalimantan (13 kabupaten/kota), Pulau Sulawesi (8 kabupaten/kota), Pulau Maluku (3 kabupaten/kota) dan Pulau Papua (7 kabupaten/kota). Kabupaten/kota pada kelompok ini akan diterapkan beberapa program terkait dengan kebijakan terkait dengan upaya melanjutkan penurunan prevalensi stunting. Sedang 384 kabupaten/kota yang tergabung dalam kelompok lain akan diterapkan program dalam upaya percepatan penurunan prevalensi

stunting.

Penggerombolan Kabupaten/Kota menurut Faktor Stunting dengan TMCM Langkah 1 : Transformasi

Tahap pertama transformasi adalah untuk membaca input data dan menormalisasi nilai peubah numerik ke dalam kisaran nilai nol dan satu. Hal ini dilakukan dalam rangka menangani perbedaan satuan peubah numerik. Setelah normalisasi, peubah numerik dengan keragaman terendah merupakan acuan dalam dalam transformasi peubah kategorik. Peubah rata-rata pengeluaran perkapita keluarga balita (X7) dan angka keluhan diare balita (X9) setelah normalisasi memiliki tingkat keragaman yang sama, yaitu 0,12. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan dasar transformasi adalah rata-rata pengeluaran perkapita keluarga balita (X7).

Tabel 4.1. Simpangan Baku Peubah Numerik Setelah Normalisasi

Peubah Simpangan Baku Setelah Normalisasi (1) (4) X1 0,17 X2 0,25 X3 0,20 X4 0,14 X5 0,20 X6 0,19 X7 0,12 X8 0,15 X9 0,12 X10 0,19

Tahap selanjutnya dari transformasi adalah penentuan peubah dasar. Peubah kategori yang memiliki kategori paling banyak akan dipilih menjadi

peubah dasar dan kategori yang muncul dalam peubah dasar didefinisikan sebagai kategorik dasar. Peubah kategorik dalam penelitian ini antara lain : kecukupan puskesmas, kecukupan dokter, dan kecukupan ahli gizi. Ketiga peubah tersebut memiliki 2 kategori, yaitu cukup dan tidak cukup sehingga ketiganya dapat dijadikan peubah dasar. Namun demikian, pada penelitian ini yang akan digunakan sebagai peubah dasar adalah kecukupan puskesmas.

Setelah peubah dasar didefinisikan, tahap selanjutnya adalah pembentukan matriks M yang menggambarkan frekuensi co-occurrence antar masing masing kategori (tidak cukup = 0; cukup = 1) dan matrik D yang menunjukkan kesamaan antara kategori.

Gambar 4.4. Matrik M dan Matrik D

Proses berikutnya adalah memberikan nilai-nilai numerik untuk kategori dasar. Nilai numerik kategori dasar diperoleh dari rata-rata peubah numerik, dalam hal ini rata-rata pengeluran perkapita rumah tangga balita, untuk setiap kategori dasar. Berdasarkan penghitungan nilai tersebut, kabupaten/kota dengan kategori tidak cukup puskesmas diberi nilai 0,3795 sedangkan kabupaten/kota dengan kategori cukup diberi nilai 0,2818. Tahap akhir dari langkah transformasi adalah numerisasi kategori non-dasar melalui formula seperti disebutkan pada Bab 2. Nilai numerik masing – masing kategori pada setiap peubah kategorik dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Jumlah kabupaten / kota yang termasuk dalam kategori tidak cukup puskesmas Jumlah kabupaten / kota yang termasuk dalam kategori tidak cukup puskesmas dan tidak cukup dokter = ⌈ ⌈ ⌈ ⌈ 1 0 0.31 0.11 0.22 0.08 1 0.11 0.31 0.08 0.22 1 0 0.16 0.07 1 0.07 0.16 1 0 1 ⌉ ⌉ ⌉ ⌉ Kesamaan antara puskesmas kategori tidak cukup dengan dokter kategori tidak cukup

25

Tabel 4.2. Numerisasi Peubah Kategorik

Peubah Kategori Nilai Numerik

(1) (2) (3)

Kecukupan Puskesmas Tidak Cukup 0,3795

Cukup 0,2818

Kecukupan Dokter Tidak Cukup 0,1479

Cukup 0,1277

Kecukupan Ahli Gizi Tidak Cukup 0,1042

Cukup 0,0903

Langkah 2 : Penggerombolan

Tahap pertama dari penggerombolan adalah pembentukan sub-gerombol sebanyak sepertiga dari jumlah observasi awal (166 sub-gerombol) dengan penerapan algoritma HAC (hierarchical agglomerative cluster). Berdasarkan Gambar 4.4. dapat diketahui bahwa sebagian besar sub-gerombol yang terbentuk (hampir 80 persen) hanya memiliki anggota sebanyak 1-3 kabupaten/kota. Sub-gerombol terbesar memiliki anggota sebanyak 19 kabupaten/kota.

Gambar 4.5. Persentase Sub-Gerombol menurut Jumlah Anggota

Tahap terakhir dari penggerombolan adalah penerapan agoritma K-Means

dengan penambahan fitur tambahan. Data yang digunakan dalam tahapan ini adalah rata-rata masing – masing peubah pada masing – masing sub-gerombol dengan penambahan fitur/peubah yaitu semua kategori dari peubah kategorik. Nilai dari fitur tambahan adalah jumlah anggota sub-gerombol yang memiliki kategori terkait. Dengan kata lain, jumlah peubah yang dilibatkan pada tahapan ini ada 19 peubah.

Salah satu kelemahan algoritma K-means jumlah gerombol yang terbentuk sesuai dengan subyektifitas peneliti. Agar lebih obyektif, pada penelitian ini optimasi hasil penggerombolan K-means dinilai melalui Statistik Pseudo-F. Statistik Pseudo-F pada intinya adalah perbandingan antara nilai simpangan baku antar kelompok dengan nilai simpangan baku dalam kelompok. Sehingga, nilai Statistik Pseudo-F yang lebih tinggi menunjukkan kualitas ketepatan kelompok yang lebih baik, seperti diungkapkan dalam penelitian Caliński dan Harabasz (1974). Berdasarkan Gambar 4.5. dapat disimpulkan bahwa jumlah gerombol optimal pada TMCM adalah empat gerombol dengan nilai Statistik Pseudo-F 15,95.

Gambar 4.6. Nilai Statistik Pseudo F Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Indonesia Berdasarkan Faktor Stunting dengan TMCM

Jumlah anggota gerombol 1, gerombol 2, gerombol 3 dan gerombol 4 secara berurutan adalah 90 kabupaten/kota, 36 kabupaten/kota, 352 kabupaten/kota dan 19 kabupaten/kota. Untuk melihat lebih jelas posisi masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 1. Peubah yang berperan penting dalam penggerombolan ini adalah kecukupan puskesmas dengan nilai

variable importance sama dengan 1 disusul oleh peubah kecukupan ahli gizi, persentase rumah tangga balita tanpa sanitasi layak, dan kecukupan dokter.

Gambar 4.7. Jumlah Kabupaten / Kota menurut Gerombol dan nilai Importance Variable

Gerombol 3 yang memiliki jumlah terbanyak menyebar di semua pulau. Keanggotaan gerombol 3 pada Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Maluku dan Pulau Irian

27

secara berurutan adalah 60,26%, 65,25%, 85,00%, 78,18%, 65,75%, 95,00%, dan 100,00%. Sedangkan gerombol 4 yang merupakan gerombol dengan anggota paling sedikit hanya terdapat di Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan dengan keanggotaan terbesar adalah Pulau Jawa (7,63%).

Perbandingan kota terhadap kabupaten pada gerombol 1, 2,3, dan 4 masing – masing adalah 33:57, 0:36, 51:301, dan 17:2. Berdasarkan proporsi tersebut terlihat bahwa wilayah perkotaan mengelompok pada gerombol 4, 1, dan 3 . Propinsi NAD dan Propinsi Riau merupakan 2 propinsi dengan keragaman gerombol yang cukup tinggi dibanding propinsi lain di Pulau Sumatera. Dari 5 kota di Propinsi NAD, 3 diantaranya merupakan anggota gerombol 1, yaitu Kota Subulussalam, Kota Langsa, dan Kota Lhokseumawe. Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota propinsi dan pusat perekonomian berada pada gerombol 4 sedang Kota Sabang yang terletak di Pulau We berada pada gerombol 3. Di Propinsi Riau, lebih dari 50% kabupaten/kota berada pada gerombol 1. Sejalan dengan Propinsi NAD, ibu kota Propinsi Riau ( Kota Pekan Baru ) berada pada gerombol 4. Di Pulau Kalimantan, propinsi dengan keragaman gerombol tertinggi adalah Propinsi Kalimantan Selatan. Dua kota pada propinsi ini, yaitu Kota Banjarmasin dan Kota Banjar Baru merupakan anggota gerombol 4 dan gerombol 1.

(a)

(b)

Gambar 4.8. Persentase Keanggotaan Gerombol Menurut Pulau (a) dan Status Kabupaten/Kota Menurut Gerombol (b)

29

Karakteristik Gerombol

Identifikasi karakteristik dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis deskriptif dan analisis biplot. Berdasarkan analisis deskriptif dapat disusun posisi relatif rata – rata atau proporsi gerombol terhadap rata – rata atau proporsi nasional. Hasil analisis deskriptif ini dapat memberikan gambaran awal karakteristik masing – masing gerombol. Rata – rata dan proporsi gerombol selanjutnya digunakan dalam analisis biplot. Melalui analisis biplot dapat diketahui karakteristik masing – masing gerombol dan keterkaitan antar peubah penelitian.

Tabel 4.3. Rata – Rata Peubah Numerik dan Proporsi Peubah Kategorik

Peubah Gerombol Nasional

1 2 3 4 (1) (2) (3) (4) (5) (6) X1 4,87 4,72 5,00 4,62 4,94 X2 33,08 53,82 50,59 17,71 46,39 X3 28,15 38,80 38,72 10,11 35,72 X4 14,85 16,29 15,39 13,59 15,29 X5 55,93 73,66 64,15 40,06 62,43 X6 38,87 40,23 50,58 37,38 47,20 X7 735,29 518, 60 641, 49 1.176, 63 670,03 X8 1.842,07 1.800,98 1.833,03 1.782,79 1.830,42 X9 8,42 8,64 8,98 6,00 8,74 X10 57,54 47,21 48,78 51,96 50,37 X11 68,89 72,22 41,19 84,21 50,10 X12 48,89 77,78 47,16 63,16 50,30 X13 55,56 77,78 45,45 63,16 50,30 Keterangan :

X1 Rata - rata jumlah anggota rumah tangga balita X2 persentase rumah tangga balita tanpa sanitasi layak X3 persentase rumah tangga balita tanpa sumber air layak X4 Rata - rata lama pemberian ASI

X5 persentase ibu balita berpendidikan < SLTA X6 persentase ibu balita yang bekerja

X7 Rata - rata pengeluaran perkapita X8 Rata - rata konsumsi kalori X9 Angka keluhan diare balita X10 persentase kelengkapan imunisasi X11 persentase tidak cukup puskesmas X12 persentase tase tidak cukup dokter X13 persentase tase tidak cukup ahli gizi

Untuk peubah numerik, posisi relatif dilakukan dengan memberi tanda “+” gerombol dengan rata-rata di atas rata-rata keseluruhan dan sebaliknya “-“ sedang pada peubah kategorik dilakukan perbandingan peubah kategorik dapat dilihat melalui perbandingan frekuensi relatif kategori tertentu pada setiap gerombol.

Tabel 4.4. Posisi Relatif Gerombol

Peubah Gerombol 1 2 3 4 (1) (2) (3) (4) (5) X1 - - + - X2 - + + - X3 - + + - X4 - + + - X5 - + + - X6 - - + - X7 + - - + X8 + - + - X9 - - + - X10 + - - +

X11 tidak cukup tidak cukup Cukup tidak cukup

X12 Cukup tidak cukup Cukup tidak cukup

X13 tidak cukup tidak cukup Cukup tidak cukup Berdasarkan Tabel 4.4. dapat diketahui karakteristik umum gerombol. Sebagai contoh Gerombol 3 yang merupakan gerombol terbesar memiliki karakteristik sebagai berikut : rata – rata jumlah anggota tinggi, sanitasi belum memadai, sumber air bersih belum memadai, rata – rata lama pemberian ASI tinggi, pendidikan ibu balita relatif rendah, sebagian besar ibu balita bekerja, pengeluaran rata – rata perkapita rumah tangga balita rendah atau kemiskinan tinggi, rata – rata konsumsi kalori tinggi, angka keluhan diare tinggi, kesadaran imunisasi rendah, jumlah puskesmas beserta dokter puskesmas dan tenaga ahli gizi puskesmas cukup memadai. Hasil identifikasi awal (analisis deskriptif) di atas sejalan dengan visualisasi biplot pada gambar 4.9. Gerombol 3 yang berada pada kudran pertama memiliki nilai yang paling tinggi dibanding gerombol – gerombol lain hampir peubah kecuali pada peubah rata – rata pengeluaran perkapita (X7), persentase kelengkapan imunisasi rendah, tingkat ketidakcukupan puskesmas, dokter puskesmas, dan ahli gizi puskesmas rendah.

31

Visualisai biplot juga menunjukkan terdapat 7 kelompok peubah yang saling berkorelasi satu sama lain. Peubah anggota kelompok 1 sampai kelompok 7 secara berurutan adalah (X1, X6, dan X8), (X2, X3, dan X9), (X4 dan X5), (X7), (X10), (X11) serta (X12 dan X13). Pada peubah yang memiliki korelasi, penyusunan program rekomendasi dapat diintegrasikan. Sebagai contoh, angka keluhan diare balita terkait erat dengan persentase rumah tangga balita tanpa sanitasi dan sumber air layak sehingga program penanggulangan diare dapat di integrasikan dengan program penyediaan sanitasi dan sumber air yang layak.

Gambar 4.10.

Biplot Gerombol Kabupaten/Kota terhadap Faktor Stunting

Jarak orthogonal antara titik objek (gerombol) dengan garis berarah menunjukkan ciri utamanya. Ciri utama gerombol 1 sampai 4 secara berurutan adalah kekurangan jumlah dokter rendah, kelengkapan imunisasi rendah, rata – rata anggota rumah tangga tinggi, dan angka keluhan diare balita rendah.

Permasalahan Gerombol

Berdasarkan identifikasi karakteristik gerombol yang telah dibahas sebelumnya dapat diketahui permasalahan masing – masing gerombol seperti pada Gambar 4.10. Gerombol 1 memiliki 3 permasalahan, yaitu rata – rata lama pemberian ASI rendah, kekurangan puskesmas dan kekurangan tenaga ahli gizi yang bekerja dipuskesmas. Permasalahan yang dihadapi kabupaten/ kota pada gerombol 1 juga ada pada kabupaten / kota pada gerombol. Namun, gerombol 4 memiliki permasalahan tambahan, yaitu kekurangan dokter dan konsumsi kalori rendah. Hal ini terkait dengan status kabupaten / kota yang sebagian besar adalah daerah perkotaan. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada daerah perkotaan dokter

memiliki peluang bekerja tidak hanya di puskesmas namun juga di rumah sakit dan poliklinik. Pada statistik deskriptif gerombol diketahui pengeluaran perkapita jauh lebih tinggi dari pada gerombol lain. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa tingkat kesejahteraan berbanding terbalik dengan konsumsi makanan. Semakin tinggi tingkat kesejateraan maka semakin turun proporsi konsumsi makanan.

Gambar 4.11.

Diagram Venn Permasalahan Gerombol

Gerombol 3 merupakan satu-satunya gerombol dengan rata – rata jumlah anggota keluarga lebih tinggi dari pada rata – rata nasional. Jumlah anggota rumah tangga yang relatif banyak dan keterbatasan kemampuan ekonomi mendorong ibu balita buntuk bekerja. Hal ini dilakukan untuk memperoleh pendapatan tambahan atau membantu memperoleh pendapatan. Ibu balita pada gerombol 3 memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga mereka hanya dapat di tampung pada sektor informal dengan pendapatan yang rendah. Permasalahan lain yang dihadapi gerombol ini adalah sanitasi dan sumber air yang kurang memadai. Pada akhirnya permasalahan ini berdampak pada tinggi angka keluhan diare.

Gerombol 2 memiliki permasalahan irisan dari berbagai gerombol. Kekurangan dokter dan kekurangan ahli merupakan masalah utama gerombol ini. Hal ini dapat diketahui dari jarak orthogonal terdekat dengan gerombol pada visualisasi biplot. Selain permasalahan aksen pelayanan kesehatan, gerombol yang semua anggotanya berstatus kabupaten ini memiliki masalah kemiskinan yang tinggi, konsumsi kalori rendah, sanitasi dan air bersih tidak memadai, pendidikan ibu rendah dan kesadaran imunisasi kurang. Contoh kabupaten anggota gerombol ini pada Propinsi Jawa Timur adalah Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Lumajang.

Gerombol 1 Gerombol 2 Gerombol 3

Gerombol 4 Rata-rata Lama Menyusui Rendah Kekurangan Puskesmas Kekurangan Ahli Gizi Kekurangan Dokter Konsumsi Kalori Rendah Kelengkapan Imunisasi Rendah Kemiskinan Tinggi Pendidikan Ibu Rendah Sanitasi dan Sumber Air Bersih Tidak Memadai Ibu Bekerja Jumlah Anggota Rumah Tangga Banyak Keluhan Diare Tinggi

33

Rekomendasi Kebijakan Gerombol

Berdasarkan permasalahan masing – masing gerombol yang telah disebutkan sebelumnya dan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan dapat disusun beberapa rekomendasi untuk masing – masing gerombol seperti tertuang dalam Gambar 4.11. Sebagai contoh program promosi menyusui merupakan salah satu alternatif program dalam rangka mengatasi permasalahan lama pemberian ASI yang masih rendah. Sesuai dengan identifikasi permasalahan sebelumnya, program promosi ASI hendaknya lebih ditekankan pada kabupaten / kota pada gerombol 1 dan gerombol 4. Promosi menyusui baik konseling individu dan kelompok dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti training konselor dan fasilitator menyusui ASI eksklusif, KIE IMD dan ASI Eksklusif, melakukan IMD disemua sarana pelayanan kesehatan, sosialisasi dan advokasi PP ASI, Permen Kesehatan menindaklanjuti PP ASI, pembentukan dan pembinaan kader motivator Kadarsi. Sedangkan program keluarga berencana lebih tepat diterapkan pada kabupaten / kota pada gerombol 3 yang memiliki rata – rata jumlah anggota rumah tangga relatif lebih tinggi dibanding gerombol lain. Program keluarga bekerja dilakukan melalui beberapa kegiatan antara lain pelatihan tenaga kesehatan dalam pemakaian kontrasepsi, advokasi dan sosialisasi pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia 15-24 tahun, monitoring dan evaluasi pemakaian kontrasepsi. Secara rinci kebijakan masing-masing gerombol dapat dilihat Lampiran 2.

Gambar 4.12.

Diagram Venn Rekomendasi Kebijakan Gerombol Prevalensi Stunting Gerombol

Gerombol 1 Gerombol 2 Gerombol 3

Gerombol 4 Promosi Menyusui Jaminan Kesehatan Masyarakat Pendidikan Gizi Masyarakat Penambahan Jumlah Dokter Ketahanan Pangan dan Gizi Revitalisasi Posyandu Pengentasan Kemiskinan Intervensi Remaja Peremouan Penyedian Sanitasi dan Sumber Air Bersih Penyiapan Ruang ASI KB Penanggulangan Diare

Perbedaan gerombol tidak hanya dalam karakteristiknya, namun juga pada prevalensi stunting. Secara umum dapat dikatakan bahwa prevalesi stunting

kabupaten/ kota pada gerombol 4 lebih rendah dibanding prevalensi stunting

kabupaten/kota pada gerombol lain. Prevalensi stunting pada gerombol 4 berkisar antara 12,57 sampai dengan 48,49 dengan rata – rata 27,70 dan simpangan baku 7,91. Sedangkan gerombol dengan rata-rata prevalensi stunting tertinggi adalah gerombol 3.

Tabel 4.5. Prevalensi Stunting Gerombol Gerombol Rata-Rata Simpangan

Baku Minimum Maksimum

1 37,70 8,38 19,33 65,77

2 40,03 5,81 29,55 56,03

3 40,35 9,61 10,45 70,43

4 27,70 7,91 12,57 48,49

Terkait dengan pencapaian target prevalensi stunting 32% pada tahun 2015, pemerintah menstratifikasi wilayah menjadi 2 bagian yaitu wilayah dengan prevalensi stunting 32 kebawah dan wilayah dengan prevalensi stunting lebih dari 32. Gambar 4.12. menunjukkan bahwa pada gerombol 1, 2, dan 3 sebagian besar kabupaten/kota anggotanya belum mencapai target prevalensi stunting yang telah ditetapkan pemerintah. Hal yang berbeda terjadi pada gerombol 4. Dari 19 kabupaten/kota anggota gerombol 4 hanya 4 diantaranya yang masih memiliki prevalensi stunting lebih dari 32, yaitu Kota Pekan Baru (34,65%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (48,49%), Kota Jakarta Barat (37,81%), dan Kota Banjarmasin (35,79%). Stratifikasi yang telah dilakukan Kementrian Kesehatan ini selanjutnya dapat gunakan dalam menentukan tingkatan intervensi program yang telah disesuaikan dengan permasalahan masing – masing gerombol.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait