• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggerombolan Kabupaten / Kota Berdasarkan Faktor Stunting Menggunakan Metode Penggerombolan Dua Langkah Untuk Data Campuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggerombolan Kabupaten / Kota Berdasarkan Faktor Stunting Menggunakan Metode Penggerombolan Dua Langkah Untuk Data Campuran"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGEROMBOLAN KABUPATEN / KOTA

BERDASARKAN FAKTOR

STUNTING

MENGGUNAKAN METODE PENGGEROMBOLAN

DUA LANGKAH UNTUK DATA CAMPURAN

NURUL ISTIQOMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Penggerombolan Kabupaten / Kota Berdasarkan Faktor Stunting Menggunakan Metode Penggerombolan Dua Langkah Untuk Data Campuran” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Nurul Istiqomah

G152130424

(4)

RINGKASAN

NURUL ISTIQOMAH. Penggerombolan Kabupaten / Kota Berdasarkan Faktor

Stunting Menggunakan Metode Penggerombolan Dua Langkah Untuk Data Campuran. Dibimbing oleh HARI WIJAYANTO dan FARIT M AFENDI.

Kondisi stunting ditandai dengan pertumbuhan bayi dan anak-anak yang lambat, gagal mencapai tinggi badan yang diharapkan (normal). Stunting

mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode paling kritis pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan. Untuk mengurangi prevalensi stunting, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai program, diantaranya stratifikasi provinsi berdasarkan prevalensi stunting balita dan tingkat kerawanan pangan. Berdasarkan stratifikasi tersebut, wilayah dalam strata yang sama akan diterapkan kebijakan yang sama tanpa melihat karakteristik faktor stunting daerah terkait.

Analisis penggerombolan merupakan salah satu teknik statistik yang bertujuan mengorganisasi data menjadi beberapa kelompok sehingga tingkat kesamaan dalam kelompok tinggi dan tingkat kesamaan antar kelompok rendah. Metode dua langkah untuk penggerombolan data campuran (Two-Step Method For Clustering Mixed Categorical And Numeric Data/TMCM) merupakan metode penggerombolan data campuran numerik dan kategorik dengan memperhatikan adanya hubungan antara item kategorik. Kelebihan TMCM

dibanding metode lain adalah transformasi peubah kategori dilakukan berdasarkan teori co-occurrence.

Penelitian ini mengaplikasikan algoritma TMCM untuk penggerombolan kabupaten/kota berdasarkan faktor stunting. Data yang digunakan pada penelitian ini antara lain Data Indeks Pembangunan Kesehatan masyarakat 2013, Data Dasar Puskesmas 2013 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2013.

Penggerombolan kabupaten/kota di Indonesia berdasarkan faktor stunting

menggunakan TMCM menghasilkan 4 gerombol dengan anggota gerombol 1, gerombol 2, gerombol 3, dan gerombol 4 masing – masing adalah 90 kabupaten/kota, 36 kabupaten/kota, 352 kabupaten/kota dan 19 kabupaten/kota. Masing – masing gerombol memiliki permasalahan yang berbeda. Berdasarkan jumlah permasalahan yang dihadapi, gerombol 2 merupakan gerombol dengan jumlah permasalahan terbanyak disusul gerombol 3, gerombol 4, dan gerombol. Untuk itu, rekomendasi program harus disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi.

(5)

SUMMARY

NURUL ISTIQOMAH. CLUSTERING DISTRICTS BASED ON

INFLUENCED FACTORS OF STUNTING THE APPLICATION OF TWO-STEP METHOD FOR CLUSTERING MIXED DATA/TMCM. Supervised by HARI WIJAYANTO and FARIT M AFENDI.

Stunting (inadequate length/height for age) captures early chronic exposure to undernutrition during the most critical period of development in early life. In order to decrease the number of stunted children, Indonesian government has conducted various programs. One of the Indonesian government's policy is stratify the province based on the prevalence of stunting of children under 5 years and calorie consumption. Based on the stratification, the province in the same strata would apply the same policy without looking at the factors that influence it.

Cluster analysis is a techniques used to classify objects or cases into relatively homogeneous groups called clusters. Objects in each cluster tend to be similar to each other and dissimilar to objects in the other clusters. Two-Step Method For categorical And Clustering Mixed Numeric Data / TMCM is a method that is designed to handle a large number of objects, especially on objects that have the problem of continuous and categorical variables. This method also defines the relationships among items. One of tmcm excess is the transformation of categoric variable carried out based on the theory of co-occurrence.

This research applies the algorithm TMCM to grouping districts / cities based on factors stunting. The data used in this study include are from from “Data Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013”, “Data Dasar Puskesmas 2013” dan “Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2013”.

Grouping of districts / cities in Indonesia based on factors stunting use tmcm generate 4 clusters with members of Cluster 1, Cluster 2, Cluster 3 and Cluster 4 respectively are 90 districts / cities, 36 districts / cities, 352 districts / cities and 19 districts / cities. Each cluster has a different problem. Based on the many problems faced, cluster 2 is a cluster with the highest number of problems followed by clusters 3, 4 clusters, and clusters. For therefore, recommended by the program must be adapted to each issue.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Statistika Terapan

PENGGEROMBOLAN KABUPATEN / KOTA

BERDASARKAN FAKTOR

STUNTING

MENGGUNAKAN METODE PENGGEROMBOLAN

DUA LANGKAH UNTUK DATA CAMPURAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Penggerombolan Kabupaten / Kota Berdasarkan Faktor Stunting

Menggunakan Metode Penggerombolan Dua Langkah Untuk Data Campuran

Nama : Nurul Istiqomah NIM : G152130424

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Hari Wijayanto M.Si Ketua

Dr. Farit M Afendi S.Si M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Statistika Terapan

Dr Ir Indahwati, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Penggerombolan Kabupaten / Kota Berdasarkan Faktor Stunting Menggunakan Metode Penggerombolan Dua Langkah Untuk Data Campuran”. Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan petunjuk dari berbagai pihak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Hari Wijayanto M.Si, sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Farit M Afendi S.Si M.Si sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta saran kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Badan Pusat Statistik (BPS) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh jenjang Magister Statistika Terapan. Ungkapan terima kasih terkhusus penulis sampaikan kepada orang tua, suami dan anak-anak tercinta serta seluruh keluarga besar atas do’a, dukungan dan pengertiannya. Terima kasih pula kepada seluruh staf Program Studi Statistika Terapan, teman-teman Statistika (S2 dan S3) dan Statistika Terapan (S2) khususnya Kelas BPS atas bantuan dan kebersamaannya. Terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Semoga penelitian selanjutnya dapat lebih baik dari penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Permasalahan Stunting 3

Penyebab Stunting 4

Kerangka Pemikiran 5

Analisis Gerombol 5

Metode Dua Langkah Penggerombolan Data Campuran 9 Evaluasi Hasil Penggerombolan (Pseudo F Statistik) 10

Intepretasi Hasil Penggerombolan 11

3 METODE PENELITIAN 17

Data 17

Metode Analisis 19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

Deskripsi Peubah Penelitian 21

Penggerombolan Kabupaten/Kota menurut Faktor Stunting

dengan TMCM 23

Karakteristik Gerombol 29

Permasalahan Gerombol 31

Rekomendasi KebijakanGerombol 33

Prevalensi Stunting Gerombol 34

5 SIMPULAN DAN SARAN 35

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 39

(12)

DAFTAR TABEL

2.1 Klasifikasi Status Gizi Balita Berdasarkan Nilai Z-Score 3

2.2 Klasifikasi Permasalahan Gizi 4

3.1 Peubah Penelitian, Definisi Opersional, Skala Pengukuran dan Satuan 17 4.1 Simpangan Baku Peubah Numerik Setelah Normalisasi 23

4.2 Numerisasi Peubah Kategorik 25

4.3 Rata-Rata Peubah Numerik dan Proporsi Peubah Kategorik 29

4.4.Posisi Relatif Gerombol 30

4.5 Prevalensi Stunting Gerombol 34

DAFTAR GAMBAR

2.1 Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi 4 2.2 Kerangka Pikir Penelitian 5 2.3 Metode Penggabungan Gerombol 8 2.4. Algoritma TMCM 10 3.1 Metode Analisis 20 4.1 Perkembangan Prevalensi Stunting Indonesia 2007 – 2013 21

4.2 Prevalensi Stunting Kabupaten / Kota di Indonesia 2013 22

4.3 Stratifikasi Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Prevalensi Stunting 2013 22

4.4. Matrik M dan Matrik D 24

4.5. Persentase Sub-Gerombol Menurut Jumlah Gerombol 25

4.6. Nilai Statistik Pseudo F Pengelompokkan Kabupaten/Kota di Indonesia Berdasarkan Faktor Stunting dengan TMCM 26

4.7. Jumlah Kabupaten/ Kota menurut Gerombol dan nilai Importance Variable 26

4.8. Persentase Kenggotaan Gerombol menurut Pulau (a) dan Status Kabupaten / Kota menurut Gerombol (b) 27

4.9. Persebaran Kabupaten / Kota Menurut Gerombol 28

4.10. Biplot Gerombol Kabupaten/Kota terhadap Faktor Stunting 31

4.11. Diagran Venn Permasalahan Gerombol 32

4.12. Diagran Venn Rekomendasi Kebijakan Program Gerombol 33

4.13 Distribusi Tingkatan Prevalensi Stunting Menurut Gerombol 34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar Kabupaten Anggota Menurut Gerombol Dan Strata Prevalensi Stunting 39

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu ukuran gizi adalah gangguan pertumbuhan linier (stunting).

Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode paling kritis pertumbuhan dan perkembangan pada awal kehidupan sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan. Stunting

merupakan sebuah proses dengan dampak yang dapat meluas tidak hanya pada kehidupan selanjutnya tetapi juga ke generasi selanjutnya. Permasalahan stunting

dimulai dari seorang ibu hamil dan anak yang tidak memperoleh gizi yang seimbang. Pada usia sekolah anak yang stunting kehilangan tingkat kecerdasan atau intelligence quotient sebesar 10 – 15 poin (Bappenas 2011). Akibatnya mereka kurang dapat bersaing dalam dunia kerja dan terjerumus dalam kemiskinan. Kemiskinan dan perilaku hidup yang tidak sehat meningkatkan peluang anak-anak mereka terlahir dengan gizi buruk. Siklus tersebut akan terus berulang.

Tahun 2011, Indonesia adalah rumah bagi 5% dari anak yang mengalami

stunting (Unicef 2013). Angka prevalensi stunting di Indonesia meningkat dari 35,6% pada 2010 menjadi 37,2% pada 2013 (Kemenkes 2014). Prevalensi

stunting terendah di Pulau Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,3%), dan Jakarta (27,5%) sedang propinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah NTT (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%), dan NTB (45,2%). Berdasarkan klasifikasi yang telah ditetapkan oleh WHO, prevalensi stunting Indonesia tergolong tinggi karena berada dalam kisaran 30 – 39%.

Untuk mengurangi jumlah anak stunting, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai program, diantaranya stratifikasi propinsi berdasarkan prevalensi stunting balita dan tingkat kerawanan pangan (Bappenas 2011). Berdasarkan stratifikasi tersebut, wilayah dalam strata yang sama akan diterapkan kebijakan yang sama tanpa melihat karakteristik faktor stunting daerah terkait. Kerangka konseptual UNICEF menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi status gizi yaitu pangan, kesehatan dan perawatan (Unicef 1990). Faktor-faktor ini secara langsung mempengaruhi asupan nutrisi dan adanya penyakit.

Beberapa studi faktor risiko stunting balita telah dilakukan di Indonesia baik dalam skala kecil maupun skala besar. Salah satu penelitian dalam skala kecil dilakukan Sabaruddin (2012). Sabarudin melakukan penelitian terkait kajian positive deviance masalah stunting balita pada keluarga miskin di Kota Bogor. Penelitian dalam skala yang lebih besar dilakukan oleh Aditianti (2010) dan Hayati (2013). Aditianti melakukan studi terkait faktor determinan stunting pada anak usia 24 – 59 bulan di Indonesia sedang Hayati meneliti faktor-faktor risiko

(14)

(kabupaten/kota) di Indonesia berdasarkan kemiripan karakteristik faktor

stunting. Melalui penggerombolan daerah ini diharapkan program – program terkait stunting lebih sesuai dengan karakteristik dan permasalahan masing – masing wilayah.

Analisis penggerombolan merupakan salah satu teknik statistik yang bertujuan mengorganisasi data menjadi beberapa kelompok sehingga tingkat kesamaan dalam kelompok tinggi dan tingkat kesamaan antar kelompok rendah. Metode dua langkah untuk penggerombolan data campuran (Two-Step Method for Clustering Mixed Categorical and Numeric Data/TMCM) merupakan metode penggerombolan data campuran numerik dan kategorik dengan memperhatikan adanya hubungan antara item kategorik. Shih et al (2010) melakukan penggerombolan data National Indonesia Contraceptive Prevalence Survey tahun 1987 dengan menggunakan K-Prototipe, Two Step Cluster, dan TMCM. Rosdiana (2014) melakukan penelitian yang hampir sama yaitu melakukan perbandingan hasil penggerombolan tanaman obat – obatan dengan metode Two Step Cluster

dan TMCM. Kedua penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hasil penggelompokkan dengan menggunakan TMCM lebih baik dibanding metode lain yang diteliti. Kelebihan TMCM dibanding metode lain adalah transformasi peubah kategorik dilakukan berdasarkan teori co-occurrence. Penelitian ini mengaplikasikan algoritma TMCM untuk penggerombolan kabupaten/kota berdasarkan faktor stunting yang memiliki skala pengukuran numerik dan kategorik.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimanakah gambaran prevalensi stunting kabupaten/kota di Indonesia 2. Bagaimanakah pengerombolan kabupaten/kota di Indonesia berdasarkan

kemiripan karakteristik faktor stunting dengan menggunakan metode TMCM

3. Bagaimanakah karakteristik gerombol – gerombol kabupaten/kota

4. Apakah permasalahan yang dihadapi gerombol – gerombol kabupaten/kota dan rekomendasi apa yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Memperoleh gambaran prevalensi stunting kabupaten/kota di Indonesia 2. Melakukan pengerombolan kabupaten/kota di Indonesia berdasarkan

kemiripan karakteristik faktor stunting dengan menggunakan metode TMCM

3. Melakukan analisis profil terhadap gerombol yang terbentuk untuk mengetahui karakteristiknya

(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Permasalahan Stunting

Stunting merupakan indikator masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan. Kondisi stunting ditandai dengan pertumbuhan bayi dan anak-anak yang lambat, gagal mencapai tinggi badan yang diharapkan (normal). Karena merupakan dampak dari proses yang terjadi dalam waktu panjang, stunting dapat digunakan untuk tujuan evaluasi tetapi tidak direkomendasikan untuk monitoring pada perubahan dalam jangka pendek misalnya 6-12 bulan.

Adanya permasalahan stunting pada balita dapat diketahui melalui hasil pengukuran status gizi. Penilaian status gizi balita merujuk pada standar antropometri yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 atau disebut Standar WHO 2005 (Yuliana 2015). Seorang balita dikatakan memiliki masalah stunting

jika tergolong pendek dan sangat pendek atau hasil pengukuran nilai Z-score

kurang dari -2.0 SD (standar deviasi).

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Balita Berdasarkan Nilai Z-Score

Indikator Nilai Z-Score Kategori

(1) (2) (3)

Z-Score < -3.0 Sangat pendek -3.0 < Z-Score < -2.0 Pendek

Z-Score > -2.0 Normal Berat

Badan/Tinggi Badan

Z-Score < -3.0 Sangat Kurus -3.0 < Z-Score < -2.0 Kurus

-2.0 < Z-Score < 2.0 Normal Z-Score > 2.0 Gemuk Sumber : Kementerian Kesehatan (2014)

Gambaran permasalahan gizi masyarakat disajikan dalam angka prevalensi. Prevalensi merupakan persentase jumlah orang yang mengalami kejadian tertentu pada periode tertentu terhadap keseluruhan populasi. Prevalensi

(16)

Tabel 2.2. Klasifikasi Permasalahan Gizi

Kategori Prevalensi (%)

BB/U TB/U BB/TB

(1) (2) (3) (4)

Rendah <10 <20 <5

Sedang 10-19 20-29 5-9

Tinggi 20-29 30-39 10-14

Sangat Tinggi 30 40 15

Sumber : WHO (1995)

Penyebab Stunting

Unicef (1990) menjelaskan tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung yaitu asupan zat gizi dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diare atau demam akhirnya dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam kenyataannya makanan dan penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi

(17)

5

tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkannya. Ketiga faktor tidak langsung tersebut bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan dan ekonomi keluarga serta keterampilan memanfaatkan sumber daya keluarga dan masyarakat. Dari ketiga penyebab tersebut menyebabkan efek jangka pendek diantaranya kesakitan, ketidakmampuan dan kematian. Sedangkan efek jangka panjang menyebabkan ukuran tubuh saat dewasa, kemampuan berfikir, produktifitas ekonomi, kemampuan reproduktif, penyakit metabolik dan kardiovaskular.

Kerangka Pemikiran

Unicef (1990) menjelaskan tahapan penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita yaitu penyebab langsung dan tidak langsung. Penggerombolan kabupaten kota dalam penelitian ini melibatkan penyebab langsung antara lain tingkat konsumsi kalori rumah tangga balita, rata – rata lama pemberian ASI serta keluan diare pada balita. Sedangkan penyebab tak langsung yang diteliti adalah kelengkapan imunisasi, kecukupan puskesmas, kecukupan dokter, kecukupan ahli gizi, kelayakan sanitasi, kelayakan sumber air bersih dan rata jumlah anggota rumah tangga. Akar masalah stunting yang turut diamati antara lain rata-rata pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan ibu dan status pekerjaan ibu.

(18)

Analisis Gerombol

Analisis gerombol merupakan salah satu metode yang sering digunakan dalam analisis data dan interpretasi data. Tujuan dari analisis ini adalah menggabungkan beberapa objek ke dalam gerombol-gerombol sehingga di dalam setiap gerombol beranggotakan beberapa objek yang memiliki kemiripan satu sama lainnya, dan anggota dari suatu gerombol harus berbeda dari gerombol lainnya (Sharma 1996). Dengan kata lain, objek-objek dalam satu gerombol cenderung memiliki karakteristik yang homogen, sedangkan antar gerombol cenderung memiliki karakteristik yang heterogen.

Tahapan-tahapan dalam melakukan analisis gerombol adalah (Sharma 1996):

1. Menentukan ukuran kemiripan yang akan digunakan.

2. Menentukan jenis dari analisis gerombol yang digunakan, apakah hirarki atau nonhirarki.

3. Menentukan teknik yang akan digunakan dari jenis analisis gerombol yang telah ditetapkan.

4. Menentukan jumlah gerombol dan melakukan penggerombolan. 5. Melakukan interpretasi atas gerombol yang terbentuk.

Ukuran Kemiripan

Sesuai dengan urutan di atas, permasalahan pertama adalah menentukan ukuran kemiripan yang akan digunakan. Kemiripan antar objek diukur dengan menggunakan ukuran jarak (Mattjik dan Sumertajaya 2011). Fungsi jarak yang sering digunakan diantaranya:

Jarak Euclidean

Jarak Euclidean paling sering digunakan hampir di berbagai metode analisis gerombol, tetapi hanya dapat digunakan apabila semua peubah yang digunakan adalah kontinu. Jarak Euclidean antara objek X dan objek Y dari p peubah didefinisikan :

[∑ ] (1) Jarak Manhattan

Ukuran jarak ini dapat dikatakan sebagai bentuk yang lebih bersifat umum dari jarak Euclidean. Fungsi jaraknya adalah sebagai berikut :

[∑ ] (2)

Jika dipilih m=2, maka akan menghasilkan jarak Euclidean. Jarak Mahalanobis

Jarak Mahalanobis sangat berguna dalam menghilangkan atau mengurangi perbedaan skala pada masing-masing komponen. Pada permasalahan tertentu, pada saat menentukan jarak, perlu juga dipertimbangkan ragam dan peragam. Jarak Mahalanobis didefinisikan sebagai berikut :

(3)

(19)

7

Jarak Log-Likelihood

Jarak Log-Likelihood dapat digunakan untuk peubah kontinu maupun kategorik. Jarak antara gerombol dan didefinisikan sebagai berikut:

(4) d(x,y) = jarak antara gerombol x dan y <x,y>= indeks kombinasi gerombol x dan y

Metode Penggerombolan

Secara umum metode yang digunakan dalam penggerombolan obyek adalah metode hirarki dan metode non hirarki. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada metode penggerombolan nonhirarki jumlah gerombol yang akan terbentuk ditentukan terlebih dahulu (Sharma 1996). Lebih lanjut, Sharma (1996) juga menjelaskan bahwa Metode Pengelompokkan Nonhirarki dan Metode Pengelompokkan Hirarki sebaiknya digunakan untuk saling melengkapi, bukan untuk dibandingkan.

Metode Hirarki

Dalam metode hirarki gerombol terdapat dua tipe dasar yaitu agglomerative (penggabungan) dan divisive (pemisahan). Dalam metode agglomerative, setiap obyek atau observasi dianggap sebagai sebuah gerombol tersendiri. Dalam tahap selanjutnya, dua gerombol yang mempunyai kemiripan digabungkan menjadi sebuah gerombol baru demikian seterusnya. Sebaliknya, dalam metode divisive kita beranjak dari sebuah gerombol besar yang terdiri dari semua obyek atau observasi. Selanjutnya, obyek atau observasi yang paling tinggi nilai ketidakmiripannya kita pisahkan demikian seterusnya.

Dalam agglomerative ada lima metode yang cukup terkenal, yaitu

(20)

mengelompokkan obyek berdasarkan jarak terjauh. Metode average linkage

memiliki prosedure yang hampir sama dengan single linkage maupun complete linkage, namun kriteria yang digunakan adalah rata-rata jarak seluruh individu dalam suatu gerombol dengan jarak seluruh individu dalam gerombol yang lain. Jarak antar dua gerombol dalam ward’s method berdasarkan total sum of square dua gerombol pada masing-masing variabel sedangkan jarak antar dua gerombol dalam centroid method berdasarkan jarak centroid dua gerombol yang bersangkutan.

Gambar 2.3. Metode Penggabungan Gerombol

Algoritma metode hirarki secara umum adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2011) :

1. Tentukan matriks jarak antar data atau kelompok

2. Gabungkan dua data atau kelompok terdekat ke dalam kelompok yang baru

3. Tentukan kembali matrik jarak tersebut.

4. Lakukan langkah 2 dan 3 sampai semua data masuk dalam satu kelompok Metode Nonhirarki

Kebalikan dari metode hirarki, metode nonhirarki tidak meliputi proses “treelike construction“. Metode non hirarki menempatkan objek-objek ke dalam gerombol sekaligus sehingga terbentuk sejumlah gerombol tertentu. Terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk menempatkan masing-masing observasi pada satu gerombol, yaitu sequential threshold, parallel threshold, dan

(21)

9

Salah satu metode non hirarki yang paling terkenal adalah K-Means. Algoritma K-Means secara umum adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2011) :

1. Pilih k objek pertama secara acak sebagai centroid dari setiap gerombol. 2. Menetapkan setiap objek ke gerombol terdekat berdasarkan jarak euclid

atau kemiripan kosinus.

3. Perbarui centroid setiap gerombol.

4. Ulangi langkah 2 sampai 3 sampai kriteria berhenti tercapai. Metode Dua Langkah Penggerombolan Data Campuran

(Two-Step Method for Geromboling Mixed Categorical and Numeric Data)

TMCM yaitu metode dua-langkah untuk mengelompokkan data campuran numerik dan kategorik yang didasarkan pada ide-ide untuk mengeksplorasi hubungan antara nilai-nilai peubah kategorik. Metode ini mendefinisikan kesamaan antara kategorik dalam peubah kategori berdasarkan gagasan co-occurrence, selanjutnya menerapkan metode HAC (hierarchical agglomerative cluster) dan K-means dengan menambahkan fitur tambahan sebagai objek sehingga akan diperoleh gerombol optimal(Shih et al. 2010).

Langkah pertama dalam TMCM adalah untuk membaca input data dan menormalisasi nilai peubah numerik ke dalam kisaran nilai nol dan satu. Hal ini dilakukan dalam rangka menangani perbedaan satuan peubah numerik. Peubah kategorik dengan kategori yang paling banyak akan dipilih menjadi peubah dasar, dan kategori yang muncul dalam peubah dasar didefinisikan sebagai kategorik dasar. Setelah peubah dasar didefinisikan, hitung frekuensi co-occurrence antar masing masing kategori dengan menggunakan matrik M. Matriks M adalah matriks dengan ukuran a x a dengan a adalah banyaknya kategori dalam semua peubah kategorik. Pembentukan matriks M akan tergantung pada kemunculan setiap kategori. Adapun bentuk matriks M dapat didefinisikan sebagai berikut

[

Karena frekuensi co-occurrence tersedia, kesamaan antara mereka dapat dihitung dengan mengadopsi persamaan berikut:

| | | | | || | (6)

m (r) adalah sekumpulan objek yang mengandung kategori r;

m (s) adalah sekumpulan objek yang mengandung kategori s;

m (r, s) adalah sekumpulan objek yang mengandung kategori r dan s.

(22)

memiliki ragam terkecil dan dilanjutkan menetapkan rata-rata peubah numerik untuk setiap kategori dasar. Karena setiap kategori dasar telah diberi nilai numerik, maka kategori lainnya dapat diukur dengan menerapkan fungsi berikut.

∑ (7)

d adalah jumlah kategori dasar;

ai adalah kesamaan antara item x dan item dasar ke-i;

vi adalah nilai yang diukur dari item dasar ke-i.

Tahap akhir TMCM adalah penggerombolan. Semua peubah dalam set data baru hanya akan memuat nilai numerik sehingga jarak yang ada berdasarkan algoritma penggerombolan dapat diterapkan dengan baik. Selanjutnya menerapkan metode HAC (hierarchical agglomerative cluster) dan K-means dengan menambahkan fitur tambahan. Fitur tambahan merupakan jumlah observasi yang memiliki kategori tertentu pada sub-gerombol terkait.

Gambar 2.4. Algoritma TMCM

Evaluasi Hasil Penggerombolan (Pseudo F Statistik)

Salah satu metode alternatif terbaik yang digunakan untuk menentukan banyaknya gerombol optimum adalah statistik F-Pseudo yang dirumuskan oleh Calinski dan Harabasz (Milligan dan Cooper 1985). Pseudo F tertinggi menunjukkan bahwa gerombol tersebut menunjukkan hasil yang optimal, dimana keragaman dalam gerombol sangat homogen sedangkan antar gerombol sangat heterogen. Berikut formula Statistik F-Pseudo yang dirumuskan Caliński dan Harabasz (1974)

Transformasi peubah

(23)

11

SST = total jumlah dari kuadrat jarak terhadap rata-rata keseluruhan.

SSW = total jumlah dari kuadrat jarak sampel terhadap rata-rata gerombolnya.

n = banyaknya sampel.

Interpretasi hasil penggerombolan meliputi jumlah gerombol yang dihasilkan, peubah yang berperan (variable importance) dalam pembentukan gerombol dan profiling karakteristik masing – masing gerombol. Karakteristik gerombol dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis deskriptif dan analisis biplot.

Variable Importance

Tingkat kepentingan peubah dalam pembentukan gerombol didefinisikan melalui formula sebagai berikut :

(9)

IBM (2013) menyebutkan bahwa atau p-value peubah kategorik dihitung berdasarkan Pearsons chi-square sedangkan atau p-value peubah numerik dihitung berdasarkan uji F dengan formula sebagai berikut :

(24)

∑ ( ̂ ̂ )

= jumlah observasi pada gerombol-j yang memiliki kategori-l peubah k = jumlah observasi pada gerombol-j

= jumlah observasi yang berkategori-l pada peubah-k = jumlah keseluruhan observasi

̂ = rata – rata peubah-k

̂ = rata – rata peubah-k pada gerombol j

̂ = simpangan baku peubah-k pada gerombol j Analisis Deskriptif

Statistika deskriptif sering disebut sebagai statistika deduktif yang membahas tentang bagaimana merangkum sekumpulan data dalam bentuk yang mudah dibaca dan cepat memberikan informasi, yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik, nilai pemusatan dan nilai penyebaran. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif (khususnya nilai pemusatan) digunakan untuk menerangkan keadaan atau permasalahan faktor stunting yang dialami masing-masing gerombol.

Ukuran pemusatan adalah sembarang ukuran yang menunjukkan pusat segugus data. Salah satu kegunaan dari ukuran pemusatan data adalah untuk membandingkan dua atau contoh, karena sangat sulit untuk membandingkan masing-masing anggota dari masing-masing anggota populasi atau masing-masing anggota data contoh. Ukuran pemusatan yang paling banyak digunakan adalah rata-rata/mean. Rata-rata/mean tepat digunakan untuk mengambarkan pemusatan data yang cenderung homogen.

Analisis gerombol menghasilkan gerombol-gerombol dengan keragaman yang rendah antar obyek dalam gerombol dan keragaman yang tinggi antar gerombol. Untuk itu, penelitian ini menggunakan ukuran pemusatan rata-rata/ mean. Untuk peubah kualitatif (kecukupan jumlah puskesmas, jumlah dokter dan jumlah tenaga ahli gizi) digunakan proporsi sebagai ukuran pemusatan.

Analisis Biplot

(25)

13

Empat hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan biplot adalah : 1. Kedekatan antar objek yang diamati

Informasi ini dapat dijadikan panduan untuk mengetahui objek yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek lain. Dua objek yang memiliki karakteristik sama akan digambarkan sebagai dua titik dengan posisi yang berdekatan.

2. Keragaman peubah

Variabel yang mempunyai nilai keragaman yang kecil digambarkan sebagai vektor pendek sedangkan variable dengan nilai keragaman yang besar digambarkan sebagai vektor yang panjang.

3. Korelasi antar peubah

Dua variabel yang memiliki nilai korelasi positif akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua variabel yang memiliki nilai korelasi negatif akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul). Sedangkan dua variabel yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut yang mendekati 90 (siku-siku).

4. Nilai peubah pada suatu objek

Objek yang terletak searah dengan arah vektor variabel dikatakan bahwa objek tersebut mempunyai nilai di atas rata-rata. Namun jika objek terletak berlawanan dengan arah dari vektor variabel tersebut, maka objek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata.

Perlu dipahami sebelumnya bahwa biplot adalah upaya membuat gambar di ruang berdimensi banyak menjadi gambar di ruang berdimensi dua. Pereduksian dimensi ini mengakibatkan menurunnya informasi yang terkandung dalam biplot. Biplot yang mampu memberikan informasi sebesar 70% dari seluruh informasi dianggap cukup (Mattjik dan Sumertajaya 2011).

Analisis biplot didasarkan pada Penguraian Nilai Singular (PNS) atau

Singular Value Decomposition (SVD) dari suatu matrik data yang masing-masing kolom mewakili suatu peubah dan masing-masing baris mewakili obyek penelitian.

Matriks koragam (S) peubah ganda dari data adalah

(13)

sedangkan matriks korelasi dari matriks X* adalah

⁄ ⁄ (14)

dengan (

(26)

Untuk mendapatkan nilai singularnya, digunakan matrik X yang merupakan matrik X* yang telah dikoreksi terhadap rata-ratanya dan memiliki rank r sehingga dapat dituliskan sebagai berikut (Aitchison dan Greenacre 2002)

; Dengan ( (13)

= matrik diagonal dengan unsur-unsur diagonalnya diperoleh dari akar ciri- akar ciri X’X atau XX’ yaitu

= matrik autonormal (A’A=Ir) yang kolom-kolomnya adalah vektor ciri dari X’X yang berpadanan dengan akar cirinya

= matrik autonormal (U’U=Ir) yang kolom-kolomnya diperoleh

dari

√ i=1,2…r dengan adalah kolom matrik A dan akar ciri ke-i

Menurut Jollife (2002), jika didefinisikan G=ULα dan H’=L1-α A’ untuk maka persamaan di atas dapat ditulis menjadi

. (14)

Dengan demikian setiap unsur ke-(i,j) dari matrik X dapat dituliskan sebagai berikut

(15)

i=1,2,…,n dan j=1,2,…,p. masing-masing merupakan baris matrik G dan kolom matrik H. Jika X mempunyai rank 2, vektor baris dan vektor kolom dapat digambarkan dalam ruang dimensi dua. Sementara itu, bagi matrik X yang mempunyai rank lebih dari 2 dapat didekati dengan matrik dengan rank 2, sehingga persamaan (14) dapat ditulis menjadi

(16)

dengan dan dua unsur pertama dari dan .

Gabriel (1971) mengemukakan ukuran pendekatan matrik X dengan biplot dalam bentuk sebagai berikut :

(17)

(27)

15

Pengambilan nilai ekstrim α=0 dan α=1 berguna dalam intepretasi biplot. Berikut beberapa intepretasi jika α=0 atau α=1 :

1. Jika α=0 didapat G=UL0=U dan H’=L1A=LA’ sehingga

Matrik U orthonormal dan dengan n adalah banyaknya obyek pengamatan dan S adalah matrik kovarian dari matri X maka

Selanjutnya untuk mengetahui keragaman dari peubah digunakan matrik H

[

] [ ]

[

] (18)

Diagonal utama pada matrik menggambarkan variansi dari peubah.sedangkan , j=1,2,…,n menyatakan panjang vektor variabel (dengan jarak Euclid dari titik O(0,0)). Sehingga dapat disimpulkan panjang vektor peubah sebanding dengan variansi peubah. Korelasi peubah ke-j dan ke-k sama dengan cosinus vektor hj dan hk

dengan rumus sebagai berikut : ‖‖

√ √ (19)

adalah korelasi antara peubah ke-j dengan peubah ke-k. 2. Jika α=1 maka G=UL dan H’=L0A=A’; A’A=H’H=I akibatnya :

(20)

artinya: ( ) ( ) ( )( ) atau kuadrat jarak Euclid antara dan akan sama dengan kuadrat jarak Euclid antara

(28)
(29)

3 METODE PENELITIAN

Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu Publikasi “Data Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat 2013” dan “Data Dasar Puskesmas 2013” dari Kementrian Kesehatan dan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 yang dilakukan oleh BPS.

Tabel 3.1. Peubah Penelitian, Definisi Operasional, Skala Pengukuran dan Satuan

Persentase rumah tangga balita dengan sanitasi tidak layak. Kriteria sanitasi layak adalah fasilitas tempat buang air besar sendiri atau bersama dengan mengunakan jenis kloset leher angsa dan tempat pembuangan akhir tinja menggunakan

Persentase rumah tangga balita dengan sumber air minum yang biasa digunakan tidak layak. Sumber air minum layak adalah air leding eceran/meteran, air hujan, dan pompa/sumur terlindung/mata air usia 0-59 bulan diberi ASI

(30)

No Nama

Persentase ibu balita dengan tingkat pendidikan formal yang ditamatkan kurang dari SLTA atau sederajat bekerja. Bakerja didefinisikan sebagai kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan paling sedikit selama satu jam berturut-turut dalam seminggu terakhir sebelum survei, termasuk mereka yang mempunyai pekerjaan/usaha tetapi sementara tidak bekerja selama seminggu terakhir sebelum survei.

Pengeluaran rata-rata per kapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan baik yang berasal dari pembelian, pemberian maupun produksi sendiri dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga dalam rumah tangga

Tingkat konsumsi kalori perkapita. Besarnya konsumsi kalori dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori setiap jenis makanan,

kemudian hasilnya

dijumlahkan

(31)

19

Persentase balita yang mengalami keluhan diare bulan yang telah diimunisasi lengkap. Lengkap jika anak tersebut telah diimunisasi 1 kali BCG, 3 kali DPT,dan puskesmas dengan jumlah penduduk. Dikatakan cukup jika nilainya melebihi nilai tengah (median)

Perbandingan jumlah dokter puskesmas dengan jumlah penduduk. Dikatakan cukup jika nilainya melebihi nilai tengah (median)

Perbandingan jumlah ahli gizi puskesmas dengan jumlah penduduk. Dikatakan cukup jika nilainya melebihi nilai tengah (median)

Tahapan pertama yang dilakukan setelah terbentuk set data adalah melakukan eksplorasi. Pada penelitian ini, eksplorasi data dilakukan dengan menggunakan teknik aritmatik sederhana dan teknik grafis. Melalui tahapan ini, kita dapat mengetahui dan menelaah struktur data sehingga dapat menentukan metode penggerombolan yang tepat. Eksplorasi juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran prevalensi stunting kabupaten / kota di seluruh Indonesia di Tahun 2013.

(32)

penelitian ini dilakukan dengan melakukan optimasi K-Means dengan melalui penghitungan statistik Pseudo-F. Semakin besar nilai Pseudo-F maka penggerombolan makin optimal.

Tahapan terakhir analisis gerombol adalah melakukan interpretasi atas hasil penggerombolan atau analisis profil gerombol. Analisis profil gerombol meliputi menentukan distribusi gerombol, menentuan peubah yang berperan penting dalam pembentukan gerombol, dan menentukan karakteristik gerombol. Analisis profil gerombol pada penelitian ini juga dilakukan dengan membandingkan hasil penggerombolan akhir dengan stratifikasi yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan sebelumnya.

Hasil analisis profil gerombol kabupaten / kota berdasarkan kesamaan karakteristik faktor stunting dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dalam memtukan program penurunan jumlah anak usia 5 tahun yang mengalami

stunting. Suatu gerombol kabupaten / kota dapat diberikan interfensi yang sama karena kondisinya relative sama.

(33)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Peubah Penelitian

Prevalensi Stunting Balita Di Indonesia

Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Kondisi stunting ini memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Pada tahun 2013 terdapat 37,20% balita dengan tinggi badan di bawah normal yang terdiri dari 18,0% balita sangat pendek dan 19,20% balita pendek. Dibandingkan tahun 2010, terjadi peningkatan persentase balita pendek dan sangat pendek pada tahun 2013 dari 35,60% menjadi 37,20%. Bila prevalensi stunting ini dibandingkan dengan batas non public health problem yang ditetapkan WHO (1995) maka Indonesia masih dalam kondisi yang bermasalah dalam hal kesehatan masyarakat.

(34)

Gambar 4.2. Prevalensi Stunting Kabupaten / Kota di Indonesia 2013 Terkait dengan target prevalensi stunting 32% pada tahun 2015, Kementerian Kesehatan menyusun beberapa program yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015. Dalam RANPG 2011 – 2015 tersebut, wilayah – wilayah di Indonesia dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan tingkat prevalensi stunting dengan batasan 32%. Hasil pengelompokkan ini pada akhirnya digunakan untuk menentukan tingkat intensitas intervensi pemerintah dalam strategi 5 pilar rencana aksi (gizi masyarakat, aksebilitas pangan, mutu dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta kelembagaan pangan dan gizi).

(35)

23

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, diketahui hanya 113 kabupaten/kota yang telah berhasil mencapai target prevalensi stunting. Penyebaran 113 kabupaten tersebut berdasarkan kewilayahan adalah Pulau Sumatra (31 kabupaten/kota), Pulau Jawa (48 kabupaten/kota), Pulau Bali (3 kabupaten/kota), Pulau Kalimantan (13 kabupaten/kota), Pulau Sulawesi (8 kabupaten/kota), Pulau Maluku (3 kabupaten/kota) dan Pulau Papua (7 kabupaten/kota). Kabupaten/kota pada kelompok ini akan diterapkan beberapa program terkait dengan kebijakan terkait dengan upaya melanjutkan penurunan prevalensi stunting. Sedang 384 kabupaten/kota yang tergabung dalam kelompok lain akan diterapkan program dalam upaya percepatan penurunan prevalensi

stunting.

Penggerombolan Kabupaten/Kota menurut Faktor Stunting dengan TMCM

Langkah 1 : Transformasi

Tahap pertama transformasi adalah untuk membaca input data dan menormalisasi nilai peubah numerik ke dalam kisaran nilai nol dan satu. Hal ini dilakukan dalam rangka menangani perbedaan satuan peubah numerik. Setelah normalisasi, peubah numerik dengan keragaman terendah merupakan acuan dalam dalam transformasi peubah kategorik. Peubah rata-rata pengeluaran perkapita keluarga balita (X7) dan angka keluhan diare balita (X9) setelah normalisasi memiliki tingkat keragaman yang sama, yaitu 0,12. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan dasar transformasi adalah rata-rata pengeluaran perkapita keluarga balita (X7).

Tabel 4.1. Simpangan Baku Peubah Numerik Setelah Normalisasi

Peubah Simpangan Baku Setelah Normalisasi

(1) (4)

X1 0,17

X2 0,25

X3 0,20

X4 0,14

X5 0,20

X6 0,19

X7 0,12

X8 0,15

X9 0,12

X10 0,19

(36)

peubah dasar dan kategori yang muncul dalam peubah dasar didefinisikan sebagai kategorik dasar. Peubah kategorik dalam penelitian ini antara lain : kecukupan puskesmas, kecukupan dokter, dan kecukupan ahli gizi. Ketiga peubah tersebut memiliki 2 kategori, yaitu cukup dan tidak cukup sehingga ketiganya dapat dijadikan peubah dasar. Namun demikian, pada penelitian ini yang akan digunakan sebagai peubah dasar adalah kecukupan puskesmas.

Setelah peubah dasar didefinisikan, tahap selanjutnya adalah pembentukan matriks M yang menggambarkan frekuensi co-occurrence antar masing masing kategori (tidak cukup = 0; cukup = 1) dan matrik D yang menunjukkan kesamaan antara kategori.

Gambar 4.4. Matrik M dan Matrik D

(37)

25

Tabel 4.2. Numerisasi Peubah Kategorik

Peubah Kategori Nilai Numerik

(1) (2) (3)

Kecukupan Puskesmas Tidak Cukup 0,3795

Cukup 0,2818

Kecukupan Dokter Tidak Cukup 0,1479

Cukup 0,1277

Kecukupan Ahli Gizi Tidak Cukup 0,1042

Cukup 0,0903

Langkah 2 : Penggerombolan

Tahap pertama dari penggerombolan adalah pembentukan sub-gerombol sebanyak sepertiga dari jumlah observasi awal (166 sub-gerombol) dengan penerapan algoritma HAC (hierarchical agglomerative cluster). Berdasarkan Gambar 4.4. dapat diketahui bahwa sebagian besar sub-gerombol yang terbentuk (hampir 80 persen) hanya memiliki anggota sebanyak 1-3 kabupaten/kota. Sub-gerombol terbesar memiliki anggota sebanyak 19 kabupaten/kota.

Gambar 4.5. Persentase Sub-Gerombol menurut Jumlah Anggota

Tahap terakhir dari penggerombolan adalah penerapan agoritma K-Means

(38)

Salah satu kelemahan algoritma K-means jumlah gerombol yang terbentuk sesuai dengan subyektifitas peneliti. Agar lebih obyektif, pada penelitian ini optimasi hasil penggerombolan K-means dinilai melalui Statistik Pseudo-F. Statistik Pseudo-F pada intinya adalah perbandingan antara nilai simpangan baku antar kelompok dengan nilai simpangan baku dalam kelompok. Sehingga, nilai Statistik Pseudo-F yang lebih tinggi menunjukkan kualitas ketepatan kelompok yang lebih baik, seperti diungkapkan dalam penelitian Caliński dan Harabasz (1974). Berdasarkan Gambar 4.5. dapat disimpulkan bahwa jumlah gerombol optimal pada TMCM adalah empat gerombol dengan nilai Statistik Pseudo-F 15,95.

Gambar 4.6. Nilai Statistik Pseudo F Pengelompokkan Kabupaten/Kota Di Indonesia Berdasarkan Faktor Stunting dengan TMCM

Jumlah anggota gerombol 1, gerombol 2, gerombol 3 dan gerombol 4 secara berurutan adalah 90 kabupaten/kota, 36 kabupaten/kota, 352 kabupaten/kota dan 19 kabupaten/kota. Untuk melihat lebih jelas posisi masing-masing kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 1. Peubah yang berperan penting dalam penggerombolan ini adalah kecukupan puskesmas dengan nilai

variable importance sama dengan 1 disusul oleh peubah kecukupan ahli gizi, persentase rumah tangga balita tanpa sanitasi layak, dan kecukupan dokter.

Gambar 4.7. Jumlah Kabupaten / Kota menurut Gerombol dan nilai Importance Variable

(39)

27

secara berurutan adalah 60,26%, 65,25%, 85,00%, 78,18%, 65,75%, 95,00%, dan 100,00%. Sedangkan gerombol 4 yang merupakan gerombol dengan anggota paling sedikit hanya terdapat di Pulau Sumatra, Pulau Jawa, dan Pulau Kalimantan dengan keanggotaan terbesar adalah Pulau Jawa (7,63%).

Perbandingan kota terhadap kabupaten pada gerombol 1, 2,3, dan 4 masing – masing adalah 33:57, 0:36, 51:301, dan 17:2. Berdasarkan proporsi tersebut terlihat bahwa wilayah perkotaan mengelompok pada gerombol 4, 1, dan 3 . Propinsi NAD dan Propinsi Riau merupakan 2 propinsi dengan keragaman gerombol yang cukup tinggi dibanding propinsi lain di Pulau Sumatera. Dari 5 kota di Propinsi NAD, 3 diantaranya merupakan anggota gerombol 1, yaitu Kota Subulussalam, Kota Langsa, dan Kota Lhokseumawe. Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota propinsi dan pusat perekonomian berada pada gerombol 4 sedang Kota Sabang yang terletak di Pulau We berada pada gerombol 3. Di Propinsi Riau, lebih dari 50% kabupaten/kota berada pada gerombol 1. Sejalan dengan Propinsi NAD, ibu kota Propinsi Riau ( Kota Pekan Baru ) berada pada gerombol 4. Di Pulau Kalimantan, propinsi dengan keragaman gerombol tertinggi adalah Propinsi Kalimantan Selatan. Dua kota pada propinsi ini, yaitu Kota Banjarmasin dan Kota Banjar Baru merupakan anggota gerombol 4 dan gerombol 1.

(a)

(b)

(40)
(41)

29

Karakteristik Gerombol

Identifikasi karakteristik dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis deskriptif dan analisis biplot. Berdasarkan analisis deskriptif dapat disusun posisi relatif rata – rata atau proporsi gerombol terhadap rata – rata atau proporsi nasional. Hasil analisis deskriptif ini dapat memberikan gambaran awal karakteristik masing – masing gerombol. Rata – rata dan proporsi gerombol selanjutnya digunakan dalam analisis biplot. Melalui analisis biplot dapat diketahui karakteristik masing – masing gerombol dan keterkaitan antar peubah penelitian.

Tabel 4.3. Rata – Rata Peubah Numerik dan Proporsi Peubah Kategorik

Peubah Gerombol Nasional

1 2 3 4

X1 Rata - rata jumlah anggota rumah tangga balita X2 persentase rumah tangga balita tanpa sanitasi layak X3 persentase rumah tangga balita tanpa sumber air layak X4 Rata - rata lama pemberian ASI

X5 persentase ibu balita berpendidikan < SLTA X6 persentase ibu balita yang bekerja

(42)

Untuk peubah numerik, posisi relatif dilakukan dengan memberi tanda “+” gerombol dengan rata-rata di atas rata-rata keseluruhan dan sebaliknya “-“ sedang pada peubah kategorik dilakukan perbandingan peubah kategorik dapat dilihat melalui perbandingan frekuensi relatif kategori tertentu pada setiap gerombol.

Tabel 4.4. Posisi Relatif Gerombol

Peubah Gerombol

1 2 3 4

(1) (2) (3) (4) (5)

X1 - - + -

X2 - + + -

X3 - + + -

X4 - + + -

X5 - + + -

X6 - - + -

X7 + - - +

X8 + - + -

X9 - - + -

X10 + - - +

X11 tidak cukup tidak cukup Cukup tidak cukup

X12 Cukup tidak cukup Cukup tidak cukup

X13 tidak cukup tidak cukup Cukup tidak cukup

(43)

31

Visualisai biplot juga menunjukkan terdapat 7 kelompok peubah yang saling berkorelasi satu sama lain. Peubah anggota kelompok 1 sampai kelompok 7 secara berurutan adalah (X1, X6, dan X8), (X2, X3, dan X9), (X4 dan X5), (X7), (X10), (X11) serta (X12 dan X13). Pada peubah yang memiliki korelasi, penyusunan program rekomendasi dapat diintegrasikan. Sebagai contoh, angka keluhan diare balita terkait erat dengan persentase rumah tangga balita tanpa sanitasi dan sumber air layak sehingga program penanggulangan diare dapat di integrasikan dengan program penyediaan sanitasi dan sumber air yang layak.

Gambar 4.10.

Biplot Gerombol Kabupaten/Kota terhadap Faktor Stunting

Jarak orthogonal antara titik objek (gerombol) dengan garis berarah menunjukkan ciri utamanya. Ciri utama gerombol 1 sampai 4 secara berurutan adalah kekurangan jumlah dokter rendah, kelengkapan imunisasi rendah, rata – rata anggota rumah tangga tinggi, dan angka keluhan diare balita rendah.

Permasalahan Gerombol

(44)

memiliki peluang bekerja tidak hanya di puskesmas namun juga di rumah sakit dan poliklinik. Pada statistik deskriptif gerombol diketahui pengeluaran perkapita jauh lebih tinggi dari pada gerombol lain. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa tingkat kesejahteraan berbanding terbalik dengan konsumsi makanan. Semakin tinggi tingkat kesejateraan maka semakin turun proporsi konsumsi makanan.

Gambar 4.11.

Diagram Venn Permasalahan Gerombol

Gerombol 3 merupakan satu-satunya gerombol dengan rata – rata jumlah anggota keluarga lebih tinggi dari pada rata – rata nasional. Jumlah anggota rumah tangga yang relatif banyak dan keterbatasan kemampuan ekonomi mendorong ibu balita buntuk bekerja. Hal ini dilakukan untuk memperoleh pendapatan tambahan atau membantu memperoleh pendapatan. Ibu balita pada gerombol 3 memiliki tingkat pendidikan rendah, sehingga mereka hanya dapat di tampung pada sektor informal dengan pendapatan yang rendah. Permasalahan lain yang dihadapi gerombol ini adalah sanitasi dan sumber air yang kurang memadai. Pada akhirnya permasalahan ini berdampak pada tinggi angka keluhan diare.

Gerombol 2 memiliki permasalahan irisan dari berbagai gerombol. Kekurangan dokter dan kekurangan ahli merupakan masalah utama gerombol ini. Hal ini dapat diketahui dari jarak orthogonal terdekat dengan gerombol pada visualisasi biplot. Selain permasalahan aksen pelayanan kesehatan, gerombol yang semua anggotanya berstatus kabupaten ini memiliki masalah kemiskinan yang tinggi, konsumsi kalori rendah, sanitasi dan air bersih tidak memadai, pendidikan ibu rendah dan kesadaran imunisasi kurang. Contoh kabupaten anggota gerombol ini pada Propinsi Jawa Timur adalah Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Lumajang.

Gerombol 1 Gerombol 2 Gerombol 3

(45)

33

Rekomendasi Kebijakan Gerombol

Berdasarkan permasalahan masing – masing gerombol yang telah disebutkan sebelumnya dan Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan dapat disusun beberapa rekomendasi untuk masing – masing gerombol seperti tertuang dalam Gambar 4.11. Sebagai contoh program promosi menyusui merupakan salah satu alternatif program dalam rangka mengatasi permasalahan lama pemberian ASI yang masih rendah. Sesuai dengan identifikasi permasalahan sebelumnya, program promosi ASI hendaknya lebih ditekankan pada kabupaten / kota pada gerombol 1 dan gerombol 4. Promosi menyusui baik konseling individu dan kelompok dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti training konselor dan fasilitator menyusui ASI eksklusif, KIE IMD dan ASI Eksklusif, melakukan IMD disemua sarana pelayanan kesehatan, sosialisasi dan advokasi PP ASI, Permen Kesehatan menindaklanjuti PP ASI, pembentukan dan pembinaan kader motivator Kadarsi. Sedangkan program keluarga berencana lebih tepat diterapkan pada kabupaten / kota pada gerombol 3 yang memiliki rata – rata jumlah anggota rumah tangga relatif lebih tinggi dibanding gerombol lain. Program keluarga bekerja dilakukan melalui beberapa kegiatan antara lain pelatihan tenaga kesehatan dalam pemakaian kontrasepsi, advokasi dan sosialisasi pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia 15-24 tahun, monitoring dan evaluasi pemakaian kontrasepsi. Secara rinci kebijakan masing-masing gerombol dapat dilihat Lampiran 2.

Gambar 4.12.

Diagram Venn Rekomendasi Kebijakan Gerombol Prevalensi Stunting Gerombol

Gerombol 1 Gerombol 2 Gerombol 3

(46)

Perbedaan gerombol tidak hanya dalam karakteristiknya, namun juga pada prevalensi stunting. Secara umum dapat dikatakan bahwa prevalesi stunting

kabupaten/ kota pada gerombol 4 lebih rendah dibanding prevalensi stunting

kabupaten/kota pada gerombol lain. Prevalensi stunting pada gerombol 4 berkisar antara 12,57 sampai dengan 48,49 dengan rata – rata 27,70 dan simpangan baku 7,91. Sedangkan gerombol dengan rata-rata prevalensi stunting tertinggi adalah gerombol 3.

Tabel 4.5. Prevalensi Stunting Gerombol Gerombol Rata-Rata Simpangan

Baku Minimum Maksimum

1 37,70 8,38 19,33 65,77

2 40,03 5,81 29,55 56,03

3 40,35 9,61 10,45 70,43

4 27,70 7,91 12,57 48,49

Terkait dengan pencapaian target prevalensi stunting 32% pada tahun 2015, pemerintah menstratifikasi wilayah menjadi 2 bagian yaitu wilayah dengan prevalensi stunting 32 kebawah dan wilayah dengan prevalensi stunting lebih dari 32. Gambar 4.12. menunjukkan bahwa pada gerombol 1, 2, dan 3 sebagian besar kabupaten/kota anggotanya belum mencapai target prevalensi stunting yang telah ditetapkan pemerintah. Hal yang berbeda terjadi pada gerombol 4. Dari 19 kabupaten/kota anggota gerombol 4 hanya 4 diantaranya yang masih memiliki prevalensi stunting lebih dari 32, yaitu Kota Pekan Baru (34,65%), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (48,49%), Kota Jakarta Barat (37,81%), dan Kota Banjarmasin (35,79%). Stratifikasi yang telah dilakukan Kementrian Kesehatan ini selanjutnya dapat gunakan dalam menentukan tingkatan intervensi program yang telah disesuaikan dengan permasalahan masing – masing gerombol.

(47)

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi stunting kabupaten/kota di Indonesia tahun 2013 berkisar antara 10,45% dan 70,43%. Berdasarkan klasifikasi rentang permasalahan gizi yang telah ditetapkan oleh WHO, hanya terdapat 8 kabupaten/kota yang prevalensi

stunting-nya berada pada kategori rendah (30-39%). Pemerintah Indonesia telah menetapkan target prevalensi stunting tahun 2015 adalah 32%. Namun demikian, pada tahun 2013 hanya 113 kabupaten/kota (22,79%) yang mencapai target tersebut.

Pengelompokkan kabupaten/kota berdasarkan kesamaan karakteristik faktor stunting dengan menggunakan TMCM menghasilkan 4 gerombol dengan anggota gerombol 1, 2, 3, dan 4 masing – masing adalah 90 kabupaten/kota, 36 kabupaten/kota, 352 kabupaten/kota dan 19 kabupaten/kota. Berdasarkan karakteristik wilayahnya, maka gerombol 4 didominasi daerah perkotaan sedangkan gerombol 1, 2, dan 3 didominasi daerah yang berstatus kabupaten. Bahkan seluruh anggota gerombol 2 merupakan daerah dengan status kabupaten. Permasalahan faktor stunting yang hadapi masing – masing gerombol juga berbeda-beda. Gerombol 3 yang memiliki anggota terbanyak memiliki permasalahan antara lain rata – rata jumlah anggota rumah tangga tinggi, kemiskinan tinggi, sebagian besar ibu bekerja dan berpendidikan rendah, kelengkapan imunisasi rendah, sanitasi dan sumber air bersih tidak layak, serta keluahan diare tinggi. Gerombol 4 yang didominasi daerah perkotaan memiliki permasalahan terkait pelayanan kesehatan dasar puskesmas baik dari segi jumlah puskesma, jumlah dokter puskesmas, maupun jumlah ahli gizi di puskesmas. Selain itu gerombol 4 juga mengalami masalah terkait rata-rata lama pemberian ASI dan rata-rata konsumsi kalori. Kebijakan penurunan prevalensi stunting akan lebih efektif jika disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi masing-masing wilayah. Sebagai contoh, kebijakan yang sesuai untuk gerombol 3 antara lain Keluarga Berencana, pengentasan kemiskinan, penyiapan ruang ASI pada tempat tempat umum atau tempat kerja, intervensi remaja perempuan, revitalisasi posyandu, penyediaan sanitasi dan sumber air yang layak, serta penanggulangan diare. Terkait dengan target yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya, dapat gunakan dalam menentukan tingkatan intervensi program yang telah disesuaikan dengan permasalahan masing – masing gerombol.

Saran

(48)
(49)

37

DAFTAR PUSTAKA

Aditianti. 2010. Faktor Determinan “Stunting” Pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Indonesia. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (ID). 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

_____________________________________________ .2013. Pedoman Perencanaan Program Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Jakarta (ID): Bappenas.

Caliński T, Harabasz J. 1974. A dendrite method for cluster analysis.

Communications in Statistics-theory and Methods. 3(1):1-27

Gabriel KR. 1971. The biplot graphic display of matrices with application to principal component analysis. Biometrika. 58(3):453-467.

Aitchison J, Greenacre M. 2002. Biplots of compositional data. Journal of the Royal Statistical Society: Series C (Applied Statistics). 51(4):375-392 Hayati AW. 2013. Faktor-Faktor Risiko Stunting, Pola Konsumsi Pangan, Asupan

Energi dan Zat Gizi Anak 0-23 Bulan .[tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

[IBM] International Business Machines.2013. IBM SPSS Statistics 22 Algorithms. New York (US): IBM Corporation.

Jollife.IT.2002.Principal Component Analysis.New York(US):Springer.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2011. Sidik Peubah Ganda Dengan menggunakan SAS. Bogor(ID): IPB Press.

Milligan GW, Cooper MC. 1985. An examination of procedures for determining the number of clusters in a data set. Psychometrika. 50(2):159-179.

Nadiyah. 2013. Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0-23 Bulan di Propinsi Bali, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur.[tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

[WHO] World Health Organization. 1995. Physical status: The use of and interpretation of anthropometry, Report of a WHO Expert Committee. Rosdiana R. 2014. Penggunaan Dua Tahap Metode dan Dua Tahap

Penggerombolan pada Peubah Campuran (Studi Kasus : Tanaman Obat). [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Sabaruddin EE. 2012. Kajian Positive Deviance Masalah Stunting Balita pada Keluarga Miskin di Kota Bogor .[tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

Sharma S. 1996. Applied Multivariate Techniques. New York(US): John Willey & Sons Inc.

(50)

[UNICEF] United Nations International Children's Emergency Fund. 1990.

Strategy For Improved Nutrition Of Children and Women in Developing Countries. New York(US): United Nation.

____________________________________________________________. 2013.

Improving Child Nutrition The Achievable Imperative For Global Progress. New York(US): United Nation.

(51)

39

Lampiran 1

Daftar Kabupaten Anggota Menurut Gerombol Dan Strata Prevalensi Stunting

Gerombol Strata Nama Kabupaten/ Kota

(1) (2) (3)

1 1 Langsa, Lhokseumawe, Tebing Tinggi,Solok, Sawahlunto, bukit tinggi, Siak, Kampar, Bengkalis,Palembang, Bengkulu,Belitung, Bogor, Cimahi, Klaten, Sidoarjo, Probolinggo, Cilegon,Kutai Kartanegara, Berau, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Bitung 1 2 Aceh Besar, Bireuen, Aceh Barat Daya, Subulussalam, Labuhan

Batu, Asahan, Deli Serdang, Langkat, Serdang Bedagai, Batu Bara, Padang Lawas, Tanjung Balai, Pematangsiantar, Medan, Sijunjung, Padang, Indragiri Hulu, Pelalawan, Kepulauan Meranti,Dumai, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, Prabumulih, Lampung Selatan, Pesawaran, Bandar Lampung, Metro, Bangka, Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Kuningan, Cirebon, Sumedang, Purwakarta, Karawang, Bandung, Situbondo, Batu, Tangerang, Tabanan, Gianyar, Lombok Barat, Sumbawa, Lombok Utara, Mataram, Palangka Raya, Banjar Baru, Tarakan, Minahasa, Siau Tagulandang Biaro, Minahasa Tenggara, Manado, Sigi, Bulukumba, Jeneponto, Takalar, Pangkajene Dan Kepulauan, Barru, Sidenreng Rappang, Luwu, Luwu Timur, Kolaka Utara, Konawe Utara, Kendari, Polewali Mandar, Buru

2 1 Tanjung Jabung B

2 2 Aceh Utara, Aceh Tamiang, Pidie Jaya, Rokan Hilir, Tebo, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyu Asin, Lampung Barat, Lampung Timur, Tulangbawang, Pringsewu, Garut, Ciamis, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Magelang, Temanggung, Batang, Pemalang, Tegal, Trenggalek, Lumajang, Pasuruan, Sumenep, Bengkayang, Sanggau, Hulu Sungai Tengah , Hulu Sungai Utara, Banggai, Toli-Toli, Buol, Muna, Konawe Selatan

(52)

Gerombol Strata Nama Kabupaten/ Kota

(1) (2) (3)

(53)

41

Gerombol Strata Nama Kabupaten/ Kota

(1) (2) (3)

3 2 Buru Selatan,Tual, Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Pulau Morotai, Tidore Kepulauan, Fakfak, Kaimana, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Manokwari, Sorong Selatan, Sorong, Raja Ampat, Tambrauw, Maybrat, Sorong, Jayawijaya, Jayapura, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak Numfor, Puncak Jaya, Mimika, Boven Digoel, Mappi, Yahukimo,Pegunungan Bintang, Tolikara, Keerom, Supiori, Nduga, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Yalimo, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, Jayapura

4 1 Banda Aceh, Pangkalpinang, Kepulauan Anambas, Batam, Tanjungpinang, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Cirebon, Bekasi, Depok, Malang, Surabaya, Tangerang Selatan, Balikpapan, Samarinda

(54)

Lampiran 2.

Rekomendasi Kebijakan menurut Gerombol

Gerombol Masalah Rekomendasi

(1) (2) (3)

1 1. Rata-rata lama pemberian ASI rendah

1. Promosi menyusui (konseling individu dan kelompok)

a. Training konselor dan fasilitator menyusui ASI Eksklusif

b. KIE IMD dan ASI Eksklusif c. Melakukan IMD disemua

sarana pelayanan kesehatan d. Sosialisasi dan advokasi PP ASI e.

Permen Kesehatan menindaklanjuti PP ASI f. Pembentukan dan pembinaan

kader motivator Kadarsi 2. Kekurangan

jumlah ahli gizi

2. Pendidikan gizi masyarakat 3. Kekurangan

jumlah puskesmas

3. Jaminan kesehatan masyarakat a. Pendataan penduduk miskin

yang tercakup program kesehatan

b. Pengadaan sarana dan prasarana puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi penduduk miskin c. Pemantauan dan supervisi

pelaksanaan jamkesmas

2 1. Kekurangan

jumlah ahli gizi

1. Pendidikan gizi masyarakat 2. Kekurangan

jumlah puskesmas

2. Jaminan kesehatan masyarakat

a. Pendataan penduduk miskin yang tercakup program kesehatan

b. Pengadaan sarana dan prasarana puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan bagi penduduk miskin c. Pemantauan dan supervisi

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi Status Gizi Balita Berdasarkan Nilai Z-Score
Tabel 2.2. Klasifikasi Permasalahan Gizi
Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2.4. Algoritma TMCM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sistem dirancang untuk mengkategorikan jemaat sesuai dengan peranannya dalam gereja.Kategori ini membentuk suatu kelompok seperti yang terlihat dalam gambar 3.4.Admin yang

Perencanaan proyek rekayasa perangkat lunak membahas berbagai tindakan atau pekerjaan yang perlu dilakukan oleh semua yang terlibat di dalam proyek, termasuk dokumen- dokumen

Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak

• Kelas sosial golongan atas memiliki kecenderungan membeli barang-barang yang mahal, membeli pada toko berkualitas dan lengkap (toko serba ada, supermarket), konservatif dalam

Konsep compact booth ini dirancang berdasarkan tujuan memenuhi kebutuhan para pengusaha yang sering mengikuti pameran, antara lain kemudahan dalam penggunaan booth

Tidak hanya itu, kegemaran para senior yang telah menjadi dokter muda dan spesialis membina mereka lebih membuat KPLA kuat dan berkembang.. “Mbaknya itu selalu bersedia

Judul : Upaya Guru BK Dalam Mengurangi Perilaku Terlambat Siswa Dengan Menggunakan Layanan Konseling Individu di Kelas XI MAS PAB I Sampali Pembimbing I : Dr. Adapun

1) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat. 2) Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya sumatera, Kali- mantan dan lain-lain) maka