• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4 Diagram tahapan metode tephigram

Tabel 3 Klasifikasi intensitas turbulensi berdasarkan nilai ΔT dengan metode tephigram

ΔT (oC) Intensitas turbulensi

0 - 3 Lemah

4 - 6 Sedang

7 - 9 Kuat

> 9 Ekstrim

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Wilayah Kajian

Turbulensi merupakan fenomena cuaca yang besar pengaruhnya oleh faktor lokal sehingga kejadiannya akan berbeda antar lokasi dan antar waktu pengamatan. Kajian turbulensi dilakukan pada lima belas lokasi yakni Medan (3.580 LU, 98.660 BT), Palembang (2.980 LS, 104.730 BT), Jakarta (6.210 LS, 106.850 BT), Surabaya (7.260 LS, 112.730 BT), Pontianak (0.020 LS, 109.330 BT), Bali (8.270 LS, 115.140 BT), Samarinda (0.490 LS, 117.150 BT), Manado (1.490 LU, 124.840 BT), Makassar (5.130 LS, 119.420 BT), Kupang (10.180 LS, 123.580 BT), Ambon (3.610 LS, 128.100 BT), Sofifi (0.730 LU, 127.560 BT), Jayapura

Data Sounding

Ketinggian CCL

Suhu di 400hpa dari titik CCL mengikuti garis adiabatik jenuh (T’) Suhu di 400hpa (T400) ΔT = T’ – T400 Analisis intensitas turbulensi berdasarkan ΔT

11 (2.520 LS, 140.720 BT), Manokwari (0.850 LS, 134.060 BT), dan Seram (2.860 LS, 129.470 BT).

Karakteristik rata-rata permukaan pada kelima belas titik adalah lokasi perumahan atau perkotaan yang terdiri atas bangunan dan wilayah padat penduduk, serta pada beberapa lokasi seperti Makassar, Manado, Ambon dan Jayapura merupakan titik lokasi perkotaan yang berdekatan jaraknya dengan laut.

Laporan analisis musim kemarau dan musim hujan tahun 2012 oleh BMKG (2012) menyatakan bahwa sebagian besar wilayah Jakarta, Bali, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Maluku dan Papua mengalami awal musim hujan pada kisaran bulan Oktober - Desember 2012, dan untuk Jawa Timur dan Nusa Tenggara berkisar bulan November 2012. Sedangkan rata-rata awal musim kemarau dilaporkan terjadi pada kisaran bulan April – Mei 2012 untuk wilayah Jakarta, Jawa, Bali dan Sumatra dan untuk wilayah Kalimantan diawali pada bulan Mei- Juli 2012. Berdasarkan laporan awal musim kemarau dan hujan di Indonesia pada tahun 2012 tersebut maka untuk melihat distribusi turbulensi berdasarkan pola musimnya digunakanlah data bulan Juni dan Desember untuk mewakili kondisi pada musim kemarau dan hujan.

Analisis Ketinggian Lapisan Pencampur

Stull (2010) menyatakan bahwa ketinggian turbulensi dapat diukur melalui ketinggian lapisan pencampur karena sifat turbulensi yang menyebabkan pencampuran di atmosfer. Berikut adalah grafik yang menunjukkan ketinggian lapisan pencampur pada pagi dan siang hari di semua lokasi pengamatan dilihat pula pada kondisi musim yang berbeda yaitu musim kemarau (Juni) dan musim hujan (Desember).

Gambar 5 Ketinggian lapisan pencampur (km) di lima belas lokasi pengamatan pada pagi hari (00 UTC) di musim kemarau (bulan Juni)

12

Gambar 6 Ketinggian lapisan pencampur (km) di lima belas lokasi pengamatan pada siang hari (06 UTC) di musim kemarau (bulan Juni)

Gambar 7 Ketinggian lapisan pencampur (km) di lima belas lokasi pengamatan pada pagi hari (00 UTC) di musim hujan (bulan Desember)

13

Gambar 8 Ketinggian lapisan pencampur (km) di lima belas lokasi pengamatan pada siang hari (06 UTC) di musim hujan (bulan Desember)

Rata-rata antar lokasi menunjukkan ketinggian lapisan pencampur lebih rendah pada pagi hari dibandingkan pada siang hari, yaitu berkisar antara 2.4 km hingga 3.2 km untuk siang hari di bulan Juni dan Desember, dan pada pagi hari pada kedua bulan yang sama berkisar antara 2.1 km hingga 3.1 km. Oke (2012) menyatakan bahwa ketika siang hari, permukaan bumi akan lebih panas daripada lapisan di atasnya sehingga terjadi kenaikan panas dari permukaan ke lapisan atas yang menimbulkan pencampuran kuat dan memungkinkan ketinggian lapisan pencampur bertambah. Pagi hari, permukaan bumi pada kondisi lebih dingin dibanding lapisan di atasnya karena masih mendapatkan pengaruh dari kondisi malam yaitu suhu permukaan lebih rendah dan juga pada pagi hari sumber panas dari matahari belum mencapai maksimum untuk bisa menimbulkan pencampuran besar.

Ketinggian lapisan pencampur yang ditentukan menggunakan metode termodinamik dipengaruhi tingginya oleh perbandingan pemanasan kumulatif pada siang hari dan gradien suhu potensial (Stull 2000). Sehingga, pada lokasi Palembang yaitu lokasi dengan ketinggian lapisan pencampur siang hari paling tinggi di bulan Juni dan Desember bisa dikatakan memiliki rasio panas kumulatif dengan gradien suhu potensial yang paling besar dibandingkan lokasi lainnya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Gambar 5 sampai Gambar 8 yaitu ketinggian lapisan pencampur berdasarkan nilai lintang setiap lokasi maka ditemui bahwa sebagian besar lokasi seperti Palembang, Jakarta, Surabaya, Bali, Makassar, Kupang, Ambon, Jayapura, dan Seram memiliki nilai ketinggian lapisan pencampur yang lebih besar pada bulan Desember dibandingkan pada bulan Juni. Hal ini berarti bahwa rasio antara besarnya panas kumulatif dan gradien suhu potensial pada bulan Desember lebih besar daripada bulan Juni di setiap lokasi tersebut. Nilai lintang setiap lokasi ini mempengaruhi besarnya panas kumulatif yang diterima oleh permukaan (Stull 2000).

14

Identifikasi Keberadaan Turbulensi Berdasarkan Bilangan Richardson

Ada atau tidaknya turbulensi di atmosfer dapat disimpulkan melalui perhitungan bilangan Richardson. Menurut Mccann (2001) pengamatan lingkungan dan keluaran model prediksi numerik cukup untuk mengkuantifikasi geser angin dan bilangan Richardson, yang merupakan pemicu terjadinya gelombang graviti. Gelombang graviti adalah salah satu penyebab terjadinya turbulensi.

Bilangan Richardson diperoleh melalui rasio antara bouyancy dengan geser angin vertikal. Karena nilai penyebut selalu positif maka hubungan antara bilangan Richardson dengan turbulensi yakni Jika Ri < 0.0 menandakan terjadinya turbulensi konvektif, ketika 0.0< Ri < 0.25 maka kemungkinan turbulensi masih dapat terjadi namun dengan konvektif lemah dan ketika Ri > 0.25 menandakan tidak cukup kuat untuk membentuk terjadinya turbulensi (Panofsky 1983). Dibawah ini adalah persentase nilai bilangan Richardson pada lima belas lokasi pengamatan.

Tabel 4 Persentase bilangan Richardson berdasarkan jumlah data pada satu hari di lima belas lokasi untuk bulan Juni dan Desember

Lat, lon Lokasi

Juni Desember Ri<0 (%) 0<Ri<0.25 (%) Ri>0.25 (%) Ri<0 (%) 0<Ri<0.25 (%) Ri>0.25 (%) 3.58 N, 98.6 E Medan 1.8 73.1 25.1 1.7 70.5 27.7 2.98 S, 104.7 E Palembang 2.2 76.4 21.4 1.7 65.9 32.4 6.21 S, 106.8 E Jakarta 1.8 70.6 27.6 2.3 63.2 34.5 8.27 S, 112.7 E Surabaya 1.8 79.5 18.7 2.4 47.3 50.3 0.02 S, 109.3 E Pontianak 1.7 79.4 18.9 1.1 72.8 26.1 8.27 S, 115.1 E Bali 3.9 74.6 21.5 4.7 45.6 49.7 0.49 S, 117.1 E Samarinda 2.2 79.9 17.9 2.9 65.3 31.8 1.49 N, 124.8 E Manado 3.3 81.7 15.0 1.1 57.1 41.8 5.13 N, 119.2 E Makassar 4.8 79.0 16.2 1.1 57.1 41.8 10.18 S, 123.5 E Kupang 1.7 82.7 15.6 1.7 70.9 27.3 3.61 S, 128.1 E Ambon 3.8 78.8 17.4 2.3 63.6 34.1 0.73 N, 127.5 E Sofifi 2.3 79.8 17.9 1.2 52.1 46.6 2.52 S, 140.7 E Jayapura 1.2 57.9 40.9 1.7 66.5 31.8 0.85 S, 134.0 E Manokwari 1.9 61.4 36.7 1.9 55.6 42.5 2.86 S, 129.4 E Seram 2.3 72.3 25.4 1.8 66.3 31.9

Kondisi atmosfer kelima belas lokasi dalam satu hari pengamatan menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya turbulensi mekanik akibat geser angin vertikal sangat besar, yang ditandai dengan jumlah bilangan Richardson bernilai antara 0 sampai 0.25 rata-rata melebihi lima puluh persen dari total pengamatan. Hasil ini diperkuat oleh pernyataan McCann (2001) bahwa bilangan Richardson kurang dari 0.25 umum terjadi di lapisan perbatas karena besarnya pengaruh stabilitas dan geser angin yang merupakan standar pengukuran rawinsonde. Kondisi ini terjadi di semua lokasi pengamatan pada bulan Juni

15 namun tidak demikian pada bulan Desember, meskipun mayoritas lokasi menunjukkan kondisi yang sama namun ada beberapa lokasi seperti Surabaya dan Bali yang memiliki persentase dominan untuk bilangan Richardson lebih besar dari 0.25. Kondisi ini berarti tidak ada turbulensi yang terbentuk. Musim kemarau juga menunjukkan bahwa geser angin lebih kuat membentuk turbulensi dibanding oleh konveksi. (a) (b) (c) (d)

Gambar 9 Profil vertikal bilangan Richardson antara ketinggian permukaan dan 20 Km pada jam pengamatan siang (13.00 WIB atau 14.00 WITA) dan malam (22.00 WIB atau 23.00 WITA) di lokasi Medan (a) (b) dan Bali (c) (d)

16

Bilangan Richardson yang diplotkan secara vertikal terhadap ketinggian diwakilkan dengan lokasi Medan dan Bali menunjukkan nilai yang dominan pada kisaran antara 0 sampai 0.25 pada ketinggian di dekat permukaan sekitar di bawah 5 km. Ini berarti adanya turbulensi mekanik terjadi yaitu turbulensi akibat geser angin karena besarnya pengaruh permukaan seperti akibat kekasapan permukaan (Oke 2012).

Secara umum pada waktu siang ataupun malam hari di kedua lokasi yakni Medan dan Bali, efek geser angin lebih kuat daripada konvektif untuk membentuk terjadinya turbulensi disebut pula sebagai turbulensi mekanik. Hal ini ditandai dengan nilai Richardson dominan pada kisaran 0 hingga 0.25. Namun persentase kejadian nilai Richardson lebih besar daripada 0.25 yang menandakan tidak terjadinya turbulensi pada waktu tersebut lebih banyak ditemui pada malam hari di kedua lokasi bila dibandingkan dengan kejadian di siang hari.

Analisis Kekuatan Turbulensi Berdasarkan Besar Energi Kinetik Turbulensi

Energi kinetik turbulensi merupakan salah satu parameter penting yang digunakan oleh ahli meteorologi dalam menganalisis kondisi turbulensi di atmosfer. Besarnya energi kinetik secara langsung menggambarkan kekuatan turbulensi dalam aliran (McCann 1999). Bila bilangan Richardson dapat digunakan untuk menentukan keberadaan turbulensi, maka energi kinetik turbulensi digunakan untuk menentukan seberapa besar kekuatan turbulensi tersebut.

(a)

(b)

Gambar 10 Simulasi energi kinetik turbulensi (m2/s2) selama dua hari di Medan pada bulan Juni (a), dan bulan Desember (b)

17 Energi kinetik turbulensi di lokasi Medan pada siang hari digambarkan memiliki kontur gradien yang lebih rapat ketika waktu menunjukkan tengah hari yaitu bernilai sekitar 0.1 m2/s2. Semakin rapat gradien energi kinetik maka semakin banyak energi turbulensi yang terbentuk pada saat itu. Kontur juga menunjukkan bahwa nilai energi kinetik turbulensi berbeda pada tiap ketinggian. Hari pertama di bulan Juni menunjukkan adanya energi kinetik maksimum pada ketinggian kurang dari 2 km sedangkan pada hari pertama bulan Desember ditemui energi kinetik maksimum pada ketinggian kurang dari 1 km di kisaran jam 7 hingga 13 WIB.

Ketika waktu menunjukkan pagi hari, gradien energi tidak terlalu rapat dan ketinggian turbulensi rendah, namun saat mencapai tengah hari kerapatan energi kinetik meningkat serta ketinggian turbulensi bertambah dikarenakan besarnya geser angin yang terjadi pada siang hari menurut perhitungan Richardson yang memicu pertumbuhan turbulensi yaitu turbulensi mekanik. Pagi hari berikutnya, kerapatan gradien energi kinetik kembali berkurang akibat pengaruh efek bouyancy lebih besar daripada geser angin menurut nilai Richardson yang diperoleh (> 0.25) sehingga besarnya energi bouyancy ini tidak cukup kuat untuk mmbentuk terjadinya turbulensi ditandai dengan energi turbulensi yang teredam pada pagi hari, namun terlihat adanya pertumbuhan turbulensi ketika waktu menunjukkan siang hari yang dinyatakan dengan kerapatan energi turbulensi yang meningkat. Besar energi kinetik turbulensi dalam tampilan kontur menyatakan bahwa pola temporal yakni kondisi pagi dan siang hari memberi pengaruh berbeda bagi terbentuknya turbulensi (Savli 2012).

Berdasarkan perhitungan di lima belas lokasi pada beberapa jam pengamatan, maka nilai energi kinetik turbulensi di tiap lokasi dibagi menurut distribusi data menjadi empat bagian atau kategori berdasarkan nilai kuartilnya:

Tabel 5 Nilai kuartil turbulensi berdasarkan distribusi data energi kinetik di lima belas lokasi pengamatan

Lat, lon Lokasi

Energi kinetik turbulensi (m2/s2) x10^(-2)

Juni Desember q1 q2 q3 q1 q2 q3 3.58 N, 98.6 E Medan 2.6 8.3 16.6 0.7 2.3 5.1 2.98 S, 104.7 E Palembang 3.1 6.4 16.9 1.9 7.6 17.0 6.21 S, 106.8 E Jakarta 1.3 3.5 14.2 0.5 11.1 37.6 8.27 S, 112.7 E Surabaya 1.7 13.7 30.1 0.9 3.6 13.8 0.02 S, 109.3 E Pontianak 9.1 22.8 46.7 2.1 8.3 25.5 8.27 S, 115.1 E Bali 1.1 14.8 42.0 1.3 4.2 12.0 0.49 S, 117.1 E Samarinda 6.7 26.1 61.0 1.1 9.0 21.7 1.49 N, 124.8 E Manado 6.7 21.6 42.5 1.5 6.6 13.7 5.13 N, 119.2 E Makassar 0.4 6.8 17.8 1.0 3.9 7.8 10.1 S, 123.5 E Kupang 0.7 21.3 60.6 3.4 9.2 28.3 3.61 S, 128.1 E Ambon 10.0 56.8 116.1 1.4 4.4 10.2 0.73 N, 127.5 E Sofifi 6.1 18.2 38.6 1.3 4.4 10.4 2.52 S, 140.7 E Jayapura 0.5 2.0 9.1 3.6 23.3 47.0 0.85 S, 134.0 E Manokwari 1.1 5.4 9.5 0.8 4.3 6.9 2.86 S, 129.4 E Seram 11.4 26.3 53.4 0.5 1.7 4.1

18

Kategori turbulensi pada tabel 6 dibuat berdasarkan nilai sebaran distribusi data sehingga nilai kategori untuk setiap lokasi menjadi berbeda. Nilai pada baris q1 merupakan nilai yang membatasi data menjadi 25% frekuensi di bagian bawah dan 75% frekuensi di bagian atas. Nilai q2 berarti nilai yang membagi kelompok data menjadi 50% di atas nilai q2 dan 50% di bawah nilai q2. Dan nilai q3 merupakan nilai yang menjadi batas dari 75% frekuensi di bagian bawah dan 25% frekuensi di bagian atas. Berdasarkan nilai q1, q2, dan q3 yang membatasi data maka dapat diperoleh empat kelas pengelompokkan turbulensi, yaitu nilai di bawah q1 menandakan energi kinetik sangat kecil sehingga bisa dikatakan turbulensi sangat lemah, nilai di antara q1 dan q2 dinyatakan sebagai turbulensi lemah, nilai antara q2 dan q3 sebagai kategori turbulensi sedang, dan nilai di atas q3 yang berarti energi kinetiknya bernilai sangat besar dikelompokkan sebagai turbulensi kuat.

(a)

19 Gambar 11 Sebaran pengelompokkan turbulensi berdasarkan nilai energi kinetik

pada (a) Juni, (b) Desember

Berdasarkan besarnya energi kinetik turbulensi pada pengukuran Juni dan Desember maka dapat ditentukan kategori turbulensi di setiap lokasi berbeda dari klasifikasi kuartil. Hasil kajian bulan Juni terlihat bahwa persentase kejadian turbulensi dari seluruh pengamatan merata untuk empat kategori yaitu antara 20 sampai 30% menunjukkan masing-masing kondisi turbulensi sangat lemah, lemah, sedang, dan kuat dari semua lokasi pengamatan, namun ada dua lokasi yaitu Manokwari dan Jayapura memiliki lebih dari 40% kejadian turbulensi sangat lemah pada bulan Juni yang bisa disebabkan pengaruh kecilnya nilai geser angin vertikal atau konveksi pada lokasi tersebut sebagai pembentuk terjadinya turbulensi. Hasil perhitungan bulan Desember menunjukkan kondisi yang hampir sama dengan bulan Juni yaitu 20 hingga 30% turbulensi yang terjadi menggambarkan tiap kategori. Namun untuk lokasi Jakarta, 40% dari total kejadian memiliki nilai energi kinetik yang lebih besar dibanding nilai q3 sehingga dikategorikan sebagai lokasi dengan turbulensi kuat pada bulan Desember.

Intensitas Turbulensi dan Klasifikasi bagi Turbulensi Konvektif Klasifikasi turbulensi konvektif menggunakan metode tephigram merupakan pengelompokkan turbulensi ke dalam empat kategori yaitu lemah, sedang, kuat, dan ekstrim berdasarkan nilai intensitas dengan asumsi tidak ada pengaruh dinamik.

Gambar 12 Profil udara atas lokasi Manado pada tanggal 1 Juni 2012 pukul 13.00 WIB, cara pengeplotan suhu untuk metode Tephigram

20

Profil udara pada gambar 12 merupakan prosedur yang dilakukan untuk menentukan klasifikasi turbulensi konvektif dengan metode Tephigram. Selisih antara suhu pada tekanan 400 hPa dengan suhu 400 hPa yang ditarik dari titik CCL kemudian disesuaikan dengan kategori turbulensi yang tersedia pada metode Tephigram. Hasil klasifikasi turbulen pada lima belas lokasi selama bulan Juni dan Desember adalah sebagai berikut:

(a) (b)

Gambar 13 Jumlah kejadian intensitas turbulensi selama pengamatan di lima belas lokasi pada bulan Juni (a) dan Desember (b)

Klasifikasi turbulensi yang dilakukan menggunakan metode Tephigram pada bulan Juni dan Desember menyatakan bahwa lebih dari sembilan puluh persen total kejadian di atmosfer merupakan turbulensi dengan kategori lemah, sedangkan sisanya adalah kejadian turbulensi sedang.

Nilai intensitas turbulensi dapat pula dihitung melalui persamaan statistik yang merupakan rasio standar deviasi dari fluktuasi kecepatan angin. Apabila nilai intensitas turbulensi ini dikaitkan dengan besar intensitas turbulensi berdasarkan klasifikasi metode Tephigram maka akan diperoleh:

Tabel 6 Kaitan antara besarnya intensitas turbulensi dengan klasifikasinya pada daerah kajian Manado dan Kupang

Jam Intensitas Turbulensi klasifikasi turbulensi konvektif (WITA) Manado 8 0.09 Lemah 4 Juni 11 0.09 Sedang 14 0.08 Lemah 17 0.10 Lemah 20 0.09 Lemah 23 0.09 Lemah 2 0.10 Sedang 5 0.08 Lemah

21

Nilai intensitas turbulensi yang diperoleh melalui pendekatan statistik tidak memiliki hubungan berbanding lurus dengan klasifikasi yang digunakan untuk turbulensi konvektif. Hal ini disimpulkan karena nilai intensitas secara statistik tidak menunjukkan perubahan berarti pada klasifikasi intensitas metode Tephigram. Ini bisa jadi disebabkan pada perhitungan statistik, nilai intensitas yang dihitung tidak hanya dilihat dari proses konvektif namun juga dari pengaruh geser angin vertikal yang merupakan parameter turbulensi mekanik (Arya 2001).

Dokumen terkait