• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Data Tingkat Inflasi Nasional

Eksplorasi terhadap data tingkat inflasi nasional dilakukan untuk melihat gambaran umum dari data tingkat inflasi nasional periode Januari 2002 sampai April 2015. Gambaran umum tersebut yang akan menunjukkan keadaan tingkat inflasi nasional pada periode waktu tersebut. Selain itu, eksplorasi data dilakukan dengan membuat grafik data deret waktu tingkat inflasi nasional untuk melihat fluktuasi data dari waktu ke waktu. Grafik data deret waktu ini juga dapat menunjukkan pola data tingkat inflasi nasional.

Gambaran Umum Data

Gambaran secara umum data tingkat inflasi nasional periode Januari 2002 sampai April 2015 ditampilkan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Gambaran umum data tingkat inflasi nasional

Statistik Nilai Maksimum 18.380 Minimum 2.410 Rataan 7.537 Median 6.625 Simpangan baku 3.495

Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa nilai inflasi paling tinggi yaitu sebesar 18.38% yang terjadi pada November 2005. Tingginya nilai inflasi pada bulan November 2005 tersebut dikarenakan adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa. Inflasi terendah yang pernah dialami Indonesia pada periode Januari 2002 sampai April 2015 terjadi pada November 2009 dengan nilai inflasi sebesar 2.41%. Secara umum, nilai rata-rata tingkat inflasi nasional sepanjang periode Januari 2002 sampai April 2015 sebesar 7.537%.

Pola Data Tingkat Inflasi Nasional

Data deret waktu tingkat inflasi nasional periode Januari 2002 sampai Agustus 2013 ditampilkan pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa pola data tingkat inflasi nasional menunjukkan pola data yang tidak stasioner. Hal tersebut ditunjukkan dengan pola data tingkat inflasi nasional yang fluktuasinya tidak memusat pada suatu nilai tertentu. Data tingkat inflasi nasional berfluktuasi dari satu bulan ke bulan selanjutnya. Berdasarkan Gambar 3, ditunjukkan pula data tingkat inflasi nasional membentuk pola berulang. Pola berulang tersebut menunjukkan bahwa terdapat pola musiman pada data tingkat inflasi nasional. Pola tersebut disebabkan adanya fluktuasi pada data deret waktu tingkat inflasi

15 nasional. Fluktuasi ini ditandai dengan adanya kenaikan nilai inflasi secara terus menerus hingga mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu, kemudian kemudian terjadi penurunan nilai inflasi pada bulan selanjutnya. Hal tersebut berulang pada waktu-waktu selanjunya. Fluktuasi ini yang menyebabkan pola data tingkat inflasi nasional tidak stasioner.

Gambar 3 Grafik deret waktu tingkat inflasi nasional Pembentukan model ARIMA

Pembentukan model pada metode ARIMA diawali dengan identifikasi model lalu dilanjutkan dengan pendugaan parameter, diagnostik model, dan validasi pada data tingkat inflasi nasional. Tahapan-tahapan tersebut dilakukan untuk membentuk model yang baik dan layak digunakan dalam melakukan peramalan tingkat inflasi nasional periode mendatang. Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa data deret waktu inflasi nasional tidak stasioner. Oleh karena itu sebelum melakukan indentifikasi model, penstasioneran data tingkat inflasi nasional harus dilakukan.

Penstasioneran Data Tingkat Inflasi Nasional

Kestasioneran data deret waktu merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan pembentukan model. Kestasioneran data deret waktu dilihat berdasarkan kestasioneran data deret waktu terhadap rataan dan ragam. Pemeriksaan kestasioneran data deret waktu dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara yang paling mudah dan sederhana adalah dengan melihat grafik data deret waktu. Berdasarkan grafik data deret waktu tingkat inflasi nasional yang ditunjukkan pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa pola data tidak stasioner dalam rataan dan ragam.

Cara lain yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan kestasioneran data deret waktu adalah dengan melihat korelogram ACF dan PACF. Berdasarkan

tahun In fl a si (% ) 2002 2004 2006 2008 2010 2012 5 10 15

16

korelogram ACF dan PACF yang ditunjukkan pada Gambar 4, terlihat bahwa bentuk ACF menurun secara perlahan dan membentuk gelombang. Hal tersebut menandakan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional tidak stasioner. Menurut Montgomery et al. (2008) bentuk ACF atau PACF yang menurun perlahan, menurun secara drastis, atau membentuk gelombang sinus menunjukkan bahwa data deret waktu tidak stasioner.

(a) (b)

Gambar 4 ACF (a) dan PACF (b) data deret waktu tingkat inflasi nasional Selain dengan menggunakan pola data deret waktu, korelogram ACF dan korelogram PACF, untuk melakukan pemeriksaan terhadap kestasioneran data deret waktu dapat digunakan uji augmented Dickey-Fuller dan transformasi Box-Cox. Uji augmented Dickey-Fuller digunakan untuk memeriksa kestasioneran data dalam rataan, sedangkan transformasi Box-Cox digunakan untuk menstasionerkan data dalam ragam. Uji augmented Dickey-Fuller ini didasarkan pada uji hipotesis untuk melakukan pemeriksaan terhadap kestasioneran data deret waktu. Hipotesis pengujian augmented Dickey-Fuller adalah sebagai berikut:

H0 : data deret waktu tidak stasioner dalam rataan H1 : data deret waktu stasioner dalam rataan

Tabel 3 Hasil uji augmented Dickey-Fuller

Perhitungan Nilai

Dickey-Fuller -2.7115

p-value 0.2808

Hasil dari pemeriksaan kestasioneran data deret waktu menggunakan uji

augmented Dickey-Fuller ditunjukkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil uji

augmented Dickey-Fuller, didapatkan nilai Dickey-Fuller sebesar -2.7115 dan

p-value sebesar 0.2808. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan p-value yang

0 5 10 15 20 25 30 -0 .2 0 .0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8 1 .0 Lag A C F 0 5 10 15 20 25 30 -0 .2 0 .0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8 Lag P A C F

17 bernilai lebih besar dari =5%, maka hipotesis nol (H0) gagal ditolak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional tidak stasioner dalam rataan. Ketidakstasioneran data deret waktu dalam rataan dapat diatasi dengan melakukan proses pembedaan. Proses pembedaan dilakukan sampai data deret waktu tingkat inflasi nasional menjadi stasioner. Pemeriksaan kestasioneran data deret waktu tingkat inflasi nasional dalam ragam dilakukan dengan menggunakan transformasi Box-Cox.

Setelah dilakukan pencarian nilai dari data deret waktu tingkat inflasi nasional didapatkan nilai λ 0. Nilai λ 0 menunju an bahwa data deret wa tu tingkat inflasi nasional harus dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma natural (ln). Dilakukan transformasi data deret waktu tingkat inflasi nasional ke dalam bentuk ln akan diperoleh data deret waktu yang stasioner dalam ragam. Setelah dilakukan transformasi kemudian dilanjutkan dengan proses pembedaan agar data deret waktu menjadi stasioner juga dalam rataan. Setelah dilakukan pembedaan ke-1 (d=1), kemudian dilakukan pemeriksaan kembali terhadap kestasioneran data deret waktu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melihat pola data deret waktu serta korelogram ACF dan PACF data inflasi nasional yang telah ditransformasi dan dilakukan pembedaanyang ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5 Grafik deret waktu setelah stasioner

Gambar 5 menunjukkan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional yang telah dilakukan transformasi dan pembedaan telah stasioner. Hal tersebut dapat dilihat dari pola data yang begerak di sekitar nilai tertentu. Korelogram ACF dan PACF yang ditunjukkan pada Gambar 6 juga menunjukkan bahwa data telah stasioner. Korelogram ACF menunjukkan bahwa ACF turun secara drastissetelah

lag ke-1. Korelogram ACF dan PACF pun tidak menunjukkan suatu pola tertentu. Terlihat pada korelogram ACF dan PACF korelasi kembali signifikan pada lag

ke-12, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh musiman pada data. Pengaruh musiman ini akan dimaksukkan pada pembentukan model pada tahap selanjutnya. Tahun In fla si d iff 1 0 20 40 60 80 100 120 -0 .5 0. 0 0. 5

18

(a) (b)

Gambar 6 ACF (a) dan PACF (b) setelah stasioner

Kestasioneran data yang telah dilakukan transformasi dan pembedaanjuga dapat dilihat pada hasil uji augmented Dickey-Fuller yang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa p-value pada uji augmented Dickey-Fuller sebesar 0.01752. Hasil p-value yang didapatkan lebih besar dari nilai =5%, sehingga hipotesis nol (H0) ditolak. Penolakan terhadap H0 ini memberikan kesimpulan bahwa data deret waktu tingkat inflasi nasional yang telah dilakukan transformasi dan kemudian dilakukan pembedaan telah stasioner dalam rataan. Terpenuhinya syarat kestasioneran data deret waktu ini maka pembentukan model ARIMA dapat dilakukan.

Tabel 4 Hasil uji augmented Dickey-Fuller setelah stasioner

Perhitungan Nilai

Dickey-Fuller -3.8767

p-value 0.0175

Identifikasi Model

Pembentukan model ARIMA ditentukan berdasarkan korelogram ACF dan PACF yang telah stasioner yang ditunjukkan pada Gambar 6. Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan parameter pada ARIMA reguler adalah keseluruhan lag pada korelogram ACF dan PACF. Sedangkan untuk menentukan parameter pada proses ARIMA musiman adalah dengan memperhatikan lag-lag

tertentu saja, misalkan lag ke-12, ke-24, ke-36, dan ke-48. Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa ACF turun secara drastis pada lag ke-1 kemudian korelasi kembali signifikan pada lag ke-12. Hal ini menunjukkan pada korelogram ACF terdapat proses ARIMA reguler dan proses musiman pada model moving average dengan periode 12 (tahunan). Faktor musiman tersebut harus dimasukkan ke dalam model. Korelogram PACF juga menunjukkan adanya proses ARIMA reguler karena terdapat korelasi yang nyata pada lag ke-1,

0 5 10 15 20 25 30 -0 .4 -0 .2 0. 0 0. 2 0. 4 0. 6 0. 8 1. 0 Lag A C F 0 5 10 15 20 25 30 -0 .4 -0 .3 -0 .2 -0 .1 0. 0 0. 1 0. 2 0. 3 Lag P A C F

19 sementara terdapat korelasi yang nyata pada lag ke-12. Adanya korelasi yang nyata di lag ke-12 pada korelogram PACF menunjukkan bahwa terdapat proses musiman pada model autoregressive. Sehingga, berdasarkan korelogram ACF dan PACF didapatkan empat model tentatif yaitu ARIMA(1,1,0)(1,0,0)12, ARIMA(1,1,0)(0,0,1)12, ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12, dan ARIMA(0,1,1)(1,0,0)12. Pendugaan Parameter

Pendugaan parameter akan dilakukan pada empat model tentatif yang telah terbentuk pada poses identifikasi model, yaitu ARIMA(1,1,0)(1,0,0)12, ARIMA(1,1,0)(0,0,1)12, ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12, dan ARIMA(0,1,1)(1,0,0)12. Pendugaan parameter model ARIMA dilakukan dengan menggunakan metode penduga kemungkinan maksimum. Pendugaan parameter dan nilai akurasi pendugaan ditampilkan pada Tabel 5. Penentuan model terbaik dilakukan dengan menggunakan beberapa kriteria nilai akurasi model yaitu RMSE, AIC, dan BIC. Model terbaik ditentukan oleh nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil. Terlihat bahwa model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 memiliki nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil dibandingkan dengan model ARIMA lainnya. Oleh karena itu, berdasarkan hasil tersebut model terbaik yang terpilih adalah model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12.

Tabel 5 Pendugaan parameter model ARIMA dan nilai akurasi

Model Parameter Penduga

parameter T RMSE AIC BIC

(0,1,1)(0,0,1)12a 0.3158 3.47 0.1178 -172.9 -164.4 -0.4472 -5.39 (0,1,1)(1,0,0)12 0.3163 3.51 0.1194 -170.4 -161.9 -0.3854 -4.93 (1,1,0)(0,0,1)12 0.2426 -0.4395 2.81 -5.39 0.1191 -170.5 -161.9 (1,1,0)(1,0,0)12 0.2515 -0.3861 2.92 -4.93 0.1204 -168.2 -159.6 a

model ARIMA terbaik pada proses identifikasi

Diagnostik Model

Diagnostik model dilakukan dengan menguji kelayakan model terbaik yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Proses diagnostik model dilakukan dengan pemeriksaan terhadap sisaan model dan overfitting. Pemeriksaan sisaan dilakukan untuk memeriksa kelayakan model ARIMA yang telah terbentuk. Model dikatakan layak apabila antar sisaan saling bebas.

a. Pemeriksaan Sisaan

Secara analitik pemeriksaan sisaan dilakukan dengan uji Ljung-Box. Hasil uji Ljung-Box terhadap sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 ditampilkan pada Tabel 6. Pengujian kebebasan sisaan dilakukan pada lag ke-12, 24, 36, dan 48. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa p-value dari setiap lag yang diuji

20

lebih besar dari nilai =5%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti yang kuat untuk menyatakan 12 nilai korelasi pertama antar sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 berbeda dengan nol. Begitu pula dengan hasil pengujian Ljung-Box pada lag 24, 36, dan 48. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa antar sisaan dari model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 saling bebas.

Tabel 6 Hasil uji Ljung-Box

Lag p-value

12 0.9554

24 0.9109

36 0.9008

48 0.7990

Selain dengan uji Ljung-Box, untuk mengetahui kebebasan antar sisaan dapat menggunakan grafik data deret waktu sisaan serta korelogram ACF dan PACF sisaan yang ditampilkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Grafik data deret waktu sisaan yang ditunjukkan pada Gambar 7 menunjukkan bahwa data sisaan berfluktuasi di sekitaran nilai tertentu data deret waktu sisaan tidak membentuk suatu pola apapun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa antar sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 tidak berkorelasi. Korelogram ACF dan PACF yang ditunjukkan pada Gambar 8 menunjukkan bahwa tidak ada nilai korelasi diri dan nilai korelasi diri parsial yang melebihi garis batas signifikansi. Berdasarkan Gambar 8, terlihat pula bahwa korelogram ACF dan PACF tidak membentuk suatu pola. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa antar sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 saling bebas.

Gambar 7 Grafik data deret waktu sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 Tahun sisa an 0 20 40 60 80 100 120 -0. 4 -0. 2 0.0 0.2 0.4 0.6

21 Berdasarkan hasil pengujian Ljung-Box terhadap sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12serta pemeriksaan kebebasan sisaan yang ditunjukkan dengan pola data deret waktu sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 dan korelogram ACF dan PACF sisaan, dapat disimpulkan bahwa model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 layak digunakan untuk melakukan pemodelan dan peramalan data deret waku tingkat inflasi nasional.

(a) (b)

Gambar 8 ACF (a) dan PACF (b) sisaan model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12

b. Overfitting

Overfitting dilakukan dengan menambahkan satu ordo pada ordo reguler serta ordo musiman model moving average. Hal tersebut dilakukan untuk membuka peluang adanya model yang lebih baik dibandingkan dengan model yang telah teridentifikasi sebelumnya. Overfitting yang dilakukan pada model ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12 ditunjukkan pada Tabel 7. Hasil overfitting yang ditampilkan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa parameter dan

Θ tidak signifikan, sehingga penambahan parameter tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan model yang teridentifikasi sebelumnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model yang teridentifikasi di awal lebih baik dan layak untuk digunakan dalam proses peramalan tingkat inflasi nasional periode mendatang.

Tabel 7 Overfitting model ARIMA

Model Parameter Penduga

parameter T RMSE AIC BIC

(0,1,2)(0,0,1)12 0.2876 3.25 0.1214 -171.8 -160.4 -0.079 -0.92 Θ -0.4613 -5.42 (0,1,1)(0,0,2)12 0.311 3.35 0.119 -171.08 -159.7 Θ -0.454 -5.17 Θ 0.029 0.31 0 5 10 15 20 25 30 -0 .2 0 .0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8 1 .0 Lag A C F 0 5 10 15 20 25 30 -0 .1 5 -0 .1 0 -0 .0 5 0 .0 0 0 .0 5 0 .1 0 0 .1 5 Lag P A C F

22

JST Propagasi Balik dalam Peramalan Tingkat Inflasi Nasional Peramalan tingkat inflasi nasional dengan menggunakan metode JST membutuhkan suatu jaringan yang paling optimal. Pembangunan jaringan yang optimal ini melalui beberapa tahapan yaitu penentuan banyaknya masukan (input), lapisan tersembunyi (hidden layer), dan penentuan lapisan keluaran (output). Pada peramalan tingkat inflasi nasional, masukan merupakan lag data deret waktu ( , , ,…, ), sementara keluaran merupakan data pada waktu ke-t . Sehingga, jaringan ini akan membentuk suatu keterikatan antara data pada waktu ke-t ( ) dengan data pada waktu-waktu sebelumnya ( , , ,…, ). Penentuan banyaknya masukan dan lapisan tersembunyi dilakukan dengan trial and error karena belum adanya suatu acuan dalam penentuan banyaknya masukan dan lapisan tersembunyi yang membentuk jaringan paling optimal. Nilai masukan yang akan dimasukkan ke dalam jaringan merupakan nilai tingkat inflasi nasional yang telah melalui proses normalisasi data. Proses normalisasi data dilakukan agar data tingkat inflasi nasional berada pada satu selang tertentu yaitu [0,1].

Pembentukan Jaringan

Pembentukan jaringan dilakukan dengan mengkombinasikan sebanyak lima masukan, empat neuron lapisan tersembunyi, dan satu keluaran ditunjukkan pada Tabel 8. Jaringan yang terpilih adalah jaringan yang memiliki nilai kriteria akurasi yang paling kecil. Terdapat tiga kriteria akurasi yang terdiri dari RMSE, AIC, dan BIC. Hasil trial and error yang ditunjukkan oleh Tabel 8 menunjukkan kemungkinan jaringan-jaringan yang optimal untuk digunakan dalam peramalan tingkat inflasi nasional periode berikutnya. Sebanyak 20 jaringan dicoba untuk mencari jaringan yang memiliki nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil. Jaringan yang memiliki nilai RMSE, AIC, dan BIC yang paling kecil merupakan jaringan yang paling optimal dan merupakan jaringan yang akan digunakan untuk proses peramalan tingkat inflasi nasional.

Berdasarkan 20 jaringan yang terbentuk, jaringan JST(2,1,1) merupakan jaringan yang memiliki nilai AIC, dan BIC yang paling kecil, yaitu -672.96 dan -658.700. Sementara nilai RMSE jaringan JST(2,1,1) merupakan nilai terkecil kedua. Walaupun nilai RMSE jaringan JST(2,1,1) bukanlah nilai RMSE terkecil dari 20 jaringan yang terbentuk, namun nilai AIC dan BIC jaringan tersebut memiliki nilai paling kecil. Sehingga, jaringan JST(2,1,1) merupakan Jaringan yang paling optimal dibandingkan 19 jaringan lainnya. Jaringan ini terdiri dari dua masukan, satuneuron lapisan tersembunyi, dan satu keluaran. Jaringan inilah yang akan digunakan dalam proses validasi data tingkat inflasi nasional. Apabila dilihat kembali pada Tabel 8, penambahan jumlah masukan maupun jumlah neuron pada lapisan tersebunyi tidak selalu menghasilkan jaringan yang lebih optimal. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah neuron masukan dan neuron lapisan tersembunyi tidak menjamin jaringan akan semakin optimal dan menghasilkan nilai kriteria akurasi yang lebih baik. Nilai RMSE, AIC, dan BIC menunjukkan bahwa pada beberapa percobaan pembangunan jaringan, penambahan masukan dan neuron pada lapisan tersembunyi meningkatkan nilai RMSE, AIC, dan BIC tersebut.

23 Tabel 8 Jaringan hasil trial and error

Jaringan Lag

input

Banyaknya parameter

Kriteria akurasi

RMSE AIC BIC

JST(1,1,1) 1 4 0.07184 -670.21 -658.60 JST(2,1,1)a 1,2 5 0.07080 -672.96 -658.70 JST(3,1,1) 1,2,3 6 0.07109 -670.97 -653.86 JST(4,1,1) 1,2,3,4 7 0.07099 -670.36 -650.39 JST(5,1,1) 1,2,3,4,5 8 0.07101 -669.37 -646.55 JST(1,2,1) 1 7 0.07264 -664.49 -644.52 JST(2,2,1) 1,2 9 0.07187 -665.36 -639.69 JST(3,2,1) 1,2,3 11 0.07053 -668.34 -636.97 JST(4,2,1) 1,2,3,4 13 0.07260 -659.14 -622.06 JST(5,2,1) 1,2,3,4,5 15 0.07267 -657.15 -614.37 JST(1,3,1) 1 10 0.07355 -658.53 -630.01 JST(2,3,1) 1,2 13 0.07303 -657.64 -620.57 JST(3,3,1) 1,2,3 16 0.07400 -651.63 -606.00 JST(4,3,1) 1,2,3,4 19 0.07119 -658.99 -604.81 JST(5,3,1) 1,2,3,4,5 22 0.07544 -641.74 -579.00 JST(1,4,1) 1 13 0.07451 -652.50 -615.42 JST(2,4,1) 1,2 17 0.07435 -649.59 -601.10 JST(3,4,1) 1,2,3 21 0.07569 -641.68 -581.79 JST(4,4,1) 1,2,3,4 25 0.07665 -635.34 -564.04 JST(5,4,1) 1,2,3,4,5 29 0.07831 -626.93 -544.22 a

model JST terbaik dari proses trial and error

Gambar 9 Arsitektur JST(2,1,1)

Arsitektur JST(2,1,1) ditunjukkan pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa arsitektur JST(2,1,1) memiliki dua neuron masukan yaitu dan . Neuron masukan dan keluaran dihubungkan oleh satu neuron pada lapisan

24

tersembunyi yaitu H1. Bias pada lapisan tersembunyi dan lapisan keluaran ditunjukkan oleh dan . Nilai-nilai yang menghubungkan antara satu neuron dengan neuron lainnya disebut sebagai bobot. Dapat dilihat pada Gambar 9, terdapat bobot-bobot yang menghubungkan antara neuron lapisan masukan dengan neuron lapisan tersembunyi, neuron lapisan tersembunyi dengan neuron lapisan keluaran, serta bias yang dihubungkan dengan neuron lapisan tersembunyi dan keluaran. Bobot yang menghubungkan antara satu neuron dengan neuron lainnya dihasilkan melalui proses trial and error pada tahap pelatihan.

Pembandingan ARIMA dengan JST Propagasi Balik

Pembandingan kedua metode dilakukan berdasarkan hasil validasi yang dilakukan. Validasi digunakan untuk membandingkan keakuratan peramalan tingkat inflasi nasional dengan metode ARIMA dan JST propagasi balik. Validasi dilakukan dengan meramalkan nilai tingkat inflasi nasional periode September 2012 hingga April 2015 dengan menggunakan model terbaik yang dihasilkan pada proses training. Hasil peramalan dari kedua metode tersebut dibandingkan dengan nilai aktual ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Hasil validasi ARIMA dan JST

Berdasarkan Gambar 10 terlihat bahwa baik ARIMA maupun JST mampu memberikan hasil peramalan yang cukup akurat. Hal tersebut terlihat dari grafik kedua metode tersebut yang hampir bersesuaian dengan nilai aktual tingkat inflasi nasional. Selain dengan menggunakan grafik dalam melihat hasil peramalan, digunakan pula perhitungan kriteria akurasi yaitu RMSE dan MAPE. Hal tersebut digunakan untuk membandingan keakuratan peramalan di antara kedua model tersebut. Hasil perhitungan akurasi peramalan metode ARIMA dan JST ditampilkan pada Tabel 9.

0 2 4 6 8 10 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 In fl a si (% ) Waktu Aktual ARIMA JST

25 Tabel 9 Hasil validasi model

Model Kriteria akurasi

RMSE MAPE

ARIMA 0.451 0.0505

JST 0.299 0.0255

Tabel 9 menunjukkan hasil perhitungan akurasi kedua metode dalam meramalkan nilai tingkat inflasi nasional. Berdasarkan Tabel 9 tersebut, terlihat bahwa metode JST propagasi balik memiliki nilai RMSE dan MAPE yang lebih kecil dibandingkan dengan metode ARIMA. Namun, perbedaan nilai RMSE dan MAPE antara kedua metode tersebut tidak jauh berbeda. Nilai RMSE dan MAPE diantara kedua metode tersebut hanya berselisih 0.152 dan 0.025. Berdasarkan hasil tersebut, dapat terlihat bahwa kedua metode memiliki keakuratan yang baik dalam meramalkan nilai tingkat inflasi nasional. Hal tersebut terlihat dari nilai RMSE dan MAPE yang dihasilkan memiliki nilai yang kecil. Hasil perhitungan keakuratan peramalan menunjukkan bahwa kedua metode di atas sama-sama baik dalam melakukan peramalan tingkat inflasi nasional. Berdasarkan hasil tersebut, untuk menyimpulkan JST propagasi balik lebih akurat dalam melakukan peramalan tingkat inflasi nasional kurang tepat mengingat nilai RMSE dan MAPE yang hampir sama. Nilai MAPE tersebut belum cukup kuat untuk menyatakan bahwa JST propagasi balik lebih unggul dari ARIMA pada kasus peramalan tingkat inflasi nasional.

SIMPULAN

Hasil menunjukkan bahwa untuk data tingkat inflasi nasional model terbaik yang didapatkan dengan metode ARIMA adalah ARIMA(0,1,1)(0,0,1)12.

Sedangkan yang didapatkan dengan metode JST propagasi balik adalah JST(2,1,1). Berdasarkan perhitungan kriteria akurasi yaitu RMSE dan MAPE diperoleh kesimpulan bahwa metode ARIMA dan JST propagasi balik memiliki keakuratan yang sama baik dalam meramalkan tingkat inflasi nasional.

Dokumen terkait