• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Umum Lokasi Pengamatan

Pengambilan sampel kutudaun pada tanaman wortel dan bawang daun dila-kukan di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada bulan Mei 2014 hingga Juni 2014 sedangkan pengambilan sampel kutudaun pada tanaman mentimun di lakukan di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat pada bulan Mei 2014. Desa Tugu Selatan terletak pada 006o41’21.68” LS 106o57’1.67” BT sedangkan Desa Taman Sari terletak di -6o39’11.42” LS 106o44’36.37”.

Desa Tugu Selatan dan Desa Taman Sari terletak pada ketinggian yang berbeda. Letak Desa Tugu Selatan lebih tinggi dibandingkan Desa Taman Sari. Adapun curah hujan di Desa Tugu Selatan pada bulan Mei jauh lebih rendah di-bandingkan dengan curah hujan di Desa Taman Sari. Kisaran suhu udara di Da-erah Cisarua lebih tinggi daripada suhu udara di DaDa-erah Taman Sari. Kelembaban di Desa Tugu Selatan juga lebih tinggi dibanding dengan kelembaban di Desa Ta-man Sari (Tabel 1).

Tabel 1 Karakteristik umum lokasi pengambilan sampel

Karakteristik Desa Tugu Selatan Desa Taman Sari

Ketinggian (m dpl) 958.9 604.2

Curah hujan (mm) Mei : 220 Mei : 388 Juni : 199

Suhu (oC) 23-25 25-30

Kelembaban (%) 83-90 60-80

Gambaran Umum Tanaman Wortel, Bawang Daun dan Mentimun di Bogor

Pengambilan sampel kutudaun diambil dari tempat yang berbeda. Pengam-bilan sampel kutudaun wortel dan bawang daun dilakukan di Desa Tugu Selatan, Cisarua sedangkan pengambilan sampel kutudaun pada tanaman mentimun di la-kukan di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Ba-rat. Lahan tanaman wortel dan bawang daun terletak di dekat pemukiman warga. Sistem penanaman wortel dan bawang daun ditanam secara monokultur dan tumpang sari (wortel dan bawang daun). Kondisi lahan tersebut bersih dari gulma karena pembersihan gulma dilakukan seminggu sekali secara manual. Lahan men-timun terletak agak jauh dengan pemukiman warga. Sistem penanaman yang di-gunakan yaitu monokultur. Kondisi lahan tersebut kurang terawat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gulma yang disekitar pertanaman serta ajir yang jatuh (Tabel 2).

Tabel 2 Gambaran umum lahan yang dijadikan tempat pengambilan sampel

Keadaan lahan Tanaman

Wortel Bawang daun Mentimun Sistem

penanaman

Monokultur dan tumpang sari

Monokultur dan

tumpang sari Monokultur Kondisi lahan Bersih Bersih Banyak gulma Umur tanaman 2-2.5 bulan 2-2.5 bulan 7-8 minggu Tanaman sekitar Pakcoy, caisin,

tomat

Pakcoy, caisin,

tomat Singkong, talas Kutudaun yang ditemukan dalam penelitian ini, tidak diidentifikasi. Ber-dasarkan penelitian Bramantyo (2013), spesies kutudaun yang menyerang tana-man wortel di Cisarua adalah Semiaphis dauci (Fabricius). Ciri morfologi kutu-daun ini adalah tubuh berwarna hijau atau coklat dengan sedikit lapisan lilin putih pada abdomen bagian dorsal, sedangkan menurut Anggarimurni (1997), spesies kutudaun yang menyerang tanaman bawang daun di Cisarua adalah Neotoxoptera formosana (Takahashi). Tubuhnya berwarna merah gelap sampai kehitaman. Berdasarkan Bramantyo (2013) spesies kutudaun yang menyerang tanaman mentimun adalah Aphis gossypii Glover yang berwarna kuning atau kuning kemerahan atau hijau gelap sampai hitam.

Populasi kutudaun pada tanaman wortel cukup tinggi, terlihat pada daun dan batang daun dipenuhi oleh kutudaun (Gambar 1D). Populasi kutudaun pada tanaman bawang daun juga cukup tinggi, terlihat pada gejala yang di-timbulkan cukup parah (Gambar 1E). Daun pada tanaman bawang daun yang terserang kutudaun berwarna coklat dan layu. Populasi kutudaun mentimun yang terletak di Desa Taman Sari juga cukup tinggi, terlihat pada gejala yang di-timbulkan cukup parah (Gambar 1F). Daun mentimun terlihat mengalami klorosis dan berwarna kecoklatan, pada bagian bawah daun terbanyak banyak koloni kutu-daun.

Gambar 1 Kondisi lahan dan tanaman yang dijadikan area pengambilan sampel. (A) tanaman wortel di Desa Tugu Selatan, (B) tanaman bawang daun di Desa Tugu Selatan, (C) tanaman mentimun di Desa Taman Sari

A B C

D E F

Kelimpahan populasi serangga pada tanaman dapat dipengaruhi oleh bebe-rapa faktor fisik seperti curah hujan dan hembusan angin. Serangga kecil seperti kutu-kutuan (Hemiptera) dapat rentan terhadap tetesan air hujan dan hembusan angin. Tetesan hujan dan hembusan angin dapat menyebabkan serangga jatuh ke tanah dan tidak dapat kembali kepermukaan daun, sehingga kelimpahan populasi kutu pada daun akan berkurang (Steyenoff 2001).

Tingkat Infeksi Neozygites sp. pada Kutudaun

Pengambilan sampel kutudaun wortel dan bawang daun di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor dilakukan pada tanggal 7, 14, 21 dan 1 Juni 2014. Hasil pengamatan mikroskopis, fase Neozygites sp. yang ditemukan menginfeksi kutudaun wortel adalah badan hifa, konidia sekunder, dan cendawan saprofitik. Badan hifa hanya ditemukan pada pengamatan 2 dan 4 dengan persentase berturut-turut sebesar 13.3% dan 10%. Konidia sekunder ditemukan pada pengamatan 3 dan 4 sebesar 1.4% dan 10%. Cendawan saprofitik ditemukan pada pengamatan 4 dengan persentase sebesar 6%.

Hasil pengamatan mikroskopis, fase Neozygites sp. yang ditemukan menginfeksi kutudaun bawang daun adalah badan hifa, konidia sekunder, dan cendawan saprofitik. Badan hifa hanya ditemukan pada pengamatan 1 sebesar 14%. Konidia sekunder ditemukan pada pengamatan 3 dan 4. Persentasenya berturut-turut sebesar 2% dan 4%. Fase konidia primer tidak ditemukan pada ku-tudaun bawang daun. Cendawan saprofitik ditemukan pada pengamatan tanggal 1, 2 dan 4 dengan persentase berturut-turut 2%, 1.7% dan 2%.

Pengambilan sampel kutudaun mentimun di Desa Taman Sari yaitu pada tanggal 1 dan 8 Mei 2014. Hasil pengamatan kutudaun pada tanaman mentimun didapatkan badan hifa, konidia sekunder dan konidia primer. Persentase badan hifa yang menginfeksi kutudaun pada kedua tanggal tersebut adalah 23.3% dan 63.8%. Fase konidia sekunder ditemukan pada pengamatan 1 dan 2, sebesar 5% dan 3.8%. Konidia primer hanya ditemukan pada pengamatan 1 dan tidak ditemukan pada pengamatan 2 dengan persentase konidia primer sebesar 33.3%.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fase Neozygites sp. yang men-dominasi yaitu badan hifa. Perbedaan infeksi diduga diakibatkan oleh faktor ling-kungan diantaranya suhu udara dan kelembaban udara. Menurut Geest et al.

(2000) konidia primer dapat menyebar dan menghasilkan capilliconidia pada waktu sebelum matahari terbit, saat suhu udara rendah dan kelembaban udara tinggi.

Gambar 2 Proporsi fase Neozygites sp. pada kutudaun (A) infeksi pada kutudaun wortel, (B) infeksi pada kutudaun bawang daun, (C) infeksi pada kutudaun mentimun

B

C A 8

Menurut Keller (2007) fase konidia primer merupakan fase yang paling ren-tan terhadap kondisi lingkungan sehingga, fase tersebut akan cepat berkecambah dan membentuk konidia sekunder untuk menginfeksi inang yang baru atau men-jadi spora istirahat ketika lingkungan kurang mendukung dan ketidakadaan inang. Fase spora istirahat juga tidak ditemukan pada penelitian ini. Fase ini sulit dite-mukan diduga karena lingkungan masih mendukung dan inang masih tersedia da-lam jumlah banyak, sehingga fase ini tidak ditemukan.

Rata-rata tingkat infeksi Neozygites sp. kutudaun wortel, bawang daun dan mentimun berbeda. Tingkat infeksi Neozygites sp. pada kutudaun di tanaman wortel 12.9%, tingkat infeksi Neozygites sp. pada kutudaun di tanaman bawang daun 6.43%, tingkat infeksi Neozygites sp. pada kutudaun di tanaman mentimun 64.65%. Rata-rata tingkat infeksi tertinggi terjadi pada kutudaun di tanaman men-timun dan rata-rata tingkat infeksi terendah terjadi pada kutudaun di tanaman ba-wang daun (Tabel 3).

Tabel 3 Rata-rata tingkat infeksi Neozygites sp. pada Kutudaun Wortel, Bawang daun dan Mentimun di Bogor (%)

Pengamatan Wortel Bawang Daun Mentimun

1 0 16 61.7

2 13.3 1.7 67.6

3 14.3 2 -

4 24 6 -

Rata-rata 12.9 6.43 64.65

Fase Neozygites sp. pada Kutudaun

Preparat yang dibuat dalam penelitian ini sebanyak 63 preparat (615 kutudaun). Kutudaun dimasukkan ke dalam salah satu dari 6 kategori, yaitu kutu-daun sehat, terinfeksi badan hifa, terinfeksi konidia sekunder, terinfeksi konidia primer dan konidiofor, terinfeksi spora istirahat dan terinfeksi cendawan saprofitik (Steinkraus et al. 1995).

Proses infeksi Neozygites sp. pada inang dimulai dari infeksi konidia sekun-der yang menempel pada kutikula inangnya. Konidia sekunsekun-der dihasilkan oleh ta-bung kapiler yang disebut capilliconidium yang terdapat pada konidia primer sete-lah itu konidia sekunder masuk dan membentuk miselium yang berubah menjadi segmen-segmen kecil yang disebut badan hifa. Pada saat nutrisi dari inang telah habis dan konidisi lingkungan menguntungkan yaitu pada kelembaban udara ting-gi dan suhu udara rendah, badan hifa tersebut berkembang menjadi konidiofor dan pada ujungnya akan terbentuk konidia primer. Konidia primer tersebut dilepaskan dari ujung konidiofor melalui sporulasi. Karena tidak stabil dan tidak infektif, ko-nidia primer membentuk koko-nidia sekunder pada ujung kapiler yang siap untuk menginfeksi inang yang baru.

Hasil pengamatan mikroskopis, fase Neozygites sp. yang ditemukan menginfeksi kutudaun adalah konidia sekunder, konidia primer, badan hifa, dan cendawan saprofitik (sekunder). Kutudaun yang sehat memiliki tubuh yang 9

mulus serta tidak terdapat hifa dari Neozygites sp. atau cendawan lain yang menginfeksi (Gambar 3A). Badan hifa merupakan fase perkembangan vegetatif yang hampir ditemukan pada semua spesies cendawan Entomophthorales. Hyphal bodies berkembang dari protoplas dan merupakan proses awal yang terjadi pada inang yang terinfeksi. Badan hifa yang ditemukan pada pengamatan ini yaitu berbentuk bulat (Gambar 3B). Badan hifa ditemukan pada sampel kutudaun yang diambil dari ketiga tanaman.

Gambar 3 Perbandingan kutudaun sehat dengan kutudaun yang terinfeksi badan hifa (A) Kutudaun sehat (B) Badan hifa yang mengisi tubuh kutudaun Konidia primer terbentuk dari perkembangan konidiofor yang mengalami perkecambahan dan berhasil menembus kutikula serangga. Konidia terbentuk secara aktif dari bagian ujung konidiofor atau kapilokonidia (Keller 2007). Konidia primer yang dihasilkan pada konidiofor tidak bercabang memiliki 2 atau lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan oleh konidiofor bercabang memiliki 1 nukleus. Konidia primer berwarna hialin dan berbentuk seperti buah pir. Bentuk dan ukuran konidia primer merupakan kriteria penting dalam identifikasi jenis cendawan Entomophthorales (Keller 1987). Cendawan famili Neozygitaceae mampu menghasilkan 3000 konidia primer per individu inang dalam waktu 3-4 hari siap menginfeksi inang. Cendawan ini hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menginfeksi inangnya kemudian bersporulasi. Selain kemampuan berkembang yang pesat dan dapat menghasilkan konidia dalam jumlah yang sangat banyak, cendawan dari famili Neozygitaceae juga mampu menginfeksi hampir semua stadia serangga inang kecuali telur. Hal ini berbeda dengan cendawan dari ordo Entomophthorales lainnya yang umumnya hanya menginfeksi inang pada stadia imago (Pell et al. 2001). Fase konidia primer ditemukan pada kutudaun yang telah mati dan rusak. Konidia primer yang ditemukan berbentuk seperti buah pir dan berwarna hialin (Gambar 4). Konidia primer yang ditemukan memiliki rata-rata panjang 10 µm dan rata-rata lebar 9.4 µm dari 100 konidia primer yang diukur

A B

Gambar 4 Struktur Konidia primer Neozygites sp. pada kutudaun (A) kondia primer di dalam tubuh kutudaun (B) konidia primer (sumber Barta & Cagan 2006) (C) kapilokonidia (D) kapilokonidia (sumber Barta & Cagan 2006)

pada 10 kutudaun yang terinfeksi fase konida primer. Konidia primer dengan ciri demikian adalah dari cendawan genus Neozygites. Konidia primer hanya dite-mukan pada sampel kutudaun yang diambil dari tanaman mentimun.

Konidia sekunder merupakan struktur yang infektif dari cendawan Ento-mophthorales. Konidia sekunder tersebut termasuk ke dalam Tipe II yang dikenal dengan istilah capilliconidia. Bentuk konidia sekunder merupakan kriteria penting dalam mengidentifikasi cendawan Entomophthorales. Konidia sekunder biasanya dihasilkan dari arah samping konidia primer (Keller & Eilenberg 1993). Konidia sekunder dihasilkan satu per satu, berbentuk menyerupai elips, dan pada bagian ujung terdapat pipa kapiler tempat dihasilkannya konidia primer. Apabila terjadi kontak antara konidia dan serangga inang, maka konidia akan membentuk tabung kecambah (germ tube). Selanjutnya, cendawan akan melakukan invasi pada hae-mosol serangga, sehingga terjadi infeksi (Keller 1987). Konidia sekunder akan di-temukan pada bagian luar tubuh kutudaun dengan posisi menempel pada bagian tubuh tertentu. Bagian tubuh tersebut adalah antena, tungkai, dan abdomen. Fase konidia sekunder ditemukan pada sampel kutudaun yang diambil dari semua ta-naman (Gambar 5).

A B

C D D

Gambar 5 Struktur konidia sekunder Neozygites sp. pada kutudaun (A) dan (B) menempel pada tungkai kutudaun

Spora istirahat (resting spores) tidak ditemukan dalam penelitian ini. Spora ini merupakan struktur bertahan Neozygites sp. dengan dinding sel ganda dan ber-ukuran tebal. Spora iniberfungsi untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan. Resting spores yang dihasilkan berfungsi agar cendawan tetap bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, terutama pa-da suhu yang ekstrim. Resting spores dibentuk secara aseksual dari suatu hyphal bodies (azygospores) atau secara seksual dari konjugasi dua hyphal bodies

(zygospores). Sebagian besar bentuk resting spores adalah bulat dan hialin. Beberapa resting spores ada yang dikelilingi oleh episporium. Resting spores se-cara spesifik hanya dapat ditemukan pada genus Neozygites. Resting spores pada

Neozygites berwarna coklat gelap sampai hitam, berbentuk bola atau elips, ber-struktur halus, dan mempunyai dua inti (Keller 2007).

Cendawan saprofitik adalah cendawan sekunder. Cendawan ini merupakan infeksi lanjutan dari infeksi primer Neozygites sp.. Cendawan saprofitik akan muncul setelah serangga mati atau buduk (Keller 1987). Fase cendawan saprofitik ditemukan pada kutudaun bawang daun dan wortel. Cendawan yang ditemukan berbentuk batang dan terdapat sekat (Gambar 6A dan 6B).

Gambar 6 Struktur cendawan saprofitik yang berasosiasi dengan Neozygites sp. pada kutudaun (A) cendawan saprofitik pada kutudaun wortel, (B) cendawan saprofitik pada kutudaun bawang daun

A B

A B

Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis

Pengamatan dilakukan secara makroskopis yaitu dengan cara meng-klasifikasikan kutudaun sesuai dengan warna tubuhnya. Hasil pengamatan secara makroskopis ditemukan berbagai warna pada permukaan tubuh kutudaun di ketiga tanaman, yaitu kuning, hijau, coklat dan hitam. Pada tubuh kutudaun yang berwarna kuning, hijau dan coklat tidak terdapat infeksi dari Neozygites sp. dan merupakan kutudaun sehat, sedangkan tubuh kutudaun yang berwarna hitam ditemukan pada kutudaun yang telah mati dan rusak serta terdapat infeksi

Neozygites sp.. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan secara mikroskopis bahwa tubuh kutudaun yang berwarna kuning, hijau dan coklat tidak terdapat in-feksi, sedangkan yang berwarna hitam ditemukan infeksi Neozygites sp. berupa badan hifa, konidia primer serta cendawan saprofitik (Gambar 7).

Gambar 7 Pengamatan makroskopis dan mikroskopis kutudaun (A) tubuh ku-tudaun sehat (B) tubuh kuku-tudaun hitam, (C) konidia primer, (D) badan hifa berbentuk bulat, (E) cendawan saprofitik.

Fase Neozygites sp. yang sering ditemukan adalah fase badan hifa, sedang-kan fase yang sulit ditemusedang-kan dalam penelitian ini adalah konidia primer dan fase yang tidak ditemukan dalam penelitian ini adalah spora istirahat.

SIMPULAN

Sampel kutudaun dari tanaman wortel, bawang daun dan mentimun terin-feksi Neozygites sp.. Rata-rata tingkat infeksi tertinggi terjadi pada kutudaun mentimun sebesar 64.65% dan rata-rata tingkat infeksi terendah terjadi pada kutu-daun bawang kutu-daun sebesar 6.43%. Fase Neozygites sp. pada kutudaun wortel dan bawang daun yaitu badan hifa, konidia sekunder dan cendawan saprofitik se-dangkan fase yang ditemukan pada kutudaun mentimun yaitu badan hifa, konidia sekunder, dan konidia primer.

A B

E

C

D

Dokumen terkait