• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords : curcuminoid, antioxidant, anti-inflamatory, curcuma xanthorrhiza, curcuma domestica

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit

Ekstraksi serbuk rimpang temulawak dilakukan dengan menggunakan metode maserasi. Pelarut yang digunakan dalam proses maserasi adalah etanol 70%. Penggunaan etanol sebagai pelarut disebabkan beberapa hal di antaranya, kepolaran, toksisitas, dan mudah diperoleh. Sifat dari pelarut etanol yang tidak beracun

menyebabkan etanol ditetapkan standar sebagai pelarut yang aman oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Etanol 70% digunakan karena memiliki dua gugus fungsi yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu gugus hidroksil (OH) yang bersifat polar dan gugus alkil (-R) yang bersifat non polar. Adanya kedua gugus tersebut diharapkan agar senyawa-senyawa kimia dengan tingkat kepolaran yang berbeda dalam simplisia sampel akan terekstrak ke dalam etanol (Khopkar 2003). Seperti halnya, kurkuminoid merupakan senyawa yang bersifat polar, kepolarannya disebabkan oleh gugus –OH yang terdapat pada struktur senyawa kurkuminoid. Kurkuminoid larut dalam pelarut-pelarut yang mempunyai kepolaran hampir sama. Etanol memiliki kepolaran yang mirip dengan kurkuminoid sehingga cocok digunakan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi rimpang temulawak dan kunyit.

Metode maserasi dilakukan selama 3 x 24 jam. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Basalmah (2006) rendemen yang dihasilkan dari suatu proses ekstraksi akan meningkat seiring dengan peningkatan waktu ektraksi. Hal ini disebabkan semakin lama waktu ekstraksi, semakin lama waktu kontak antara pelarut dan bahan baku sehingga proses penetrasi pelarut ke dalam sel bahan (sampel) akan semakin baik yang menyebabkan semakin banyaknya senyawa yang berdifusi keluar sel.

Rendemen ekstrak rata-rata dari 3 kali ulangan yang dilakukan diperoleh hasil dari penelitian ini yakni rendemen temulawak sebesar 11,78% dan kunyit 15,65% (Tabel 1). Berdasarkan hasil tersebut, rimpang kunyit (C. domesticae) memiliki persentase rendemen lebih tinggi dibandingkan temulawak. Rendemen ekstrak rimpang temulawak dan kunyit dari hasil penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Suwiah (1991), yakni sebesar 21.81-66.74%. Hal ini disebabkan karena beberapa hal diantaranya ukuran serbuk, suhu, dan kecepatan pengadukan yang digunakan berbeda. Suwiah (1991) melakukan ekstraksi dengan ukuran serbuk yang digunakan 60 mesh, suhu 70 oC dan kecepatan pengadukan dengan pengaduk magnet skala 7, sedangkan pada penelitian ini ukuran butir 100 mesh, suhu 50 oC, dan pengadukan yang hanya dilakukan sesekali.

Pemilihan suhu penguapan sebesar 50 °C pada proses ekstraksi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa etanol memiliki titik

10

0 10 20 30 40 50 60 70 C. xanthorrhiza C. domestica Kan d u n g an k u rk u m in o id ( m g /g )

didih sekitar 78 °C dan bersifat volatil meskipun pada suhu ruang sehingga perlakuan suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan penguapan pelarut yang lebih besar dan dapat merusak senyawa yang tidak tahan panas.

Perbedaan jumlah rendemen pada ekstrak sampel temulawak dan kunyit dikarenakan pada ekstrak dengan rendemen tertinggi mengandung lebih banyak senyawa yang mudah larut dalam pelarut etanol 70%, sedangkan ekstrak dengan rendemen yang lebih rendah mengandung sejumlah senyawa yang kurang larut dalam pelarut etanol 70%.

Pada penelitian ini rimpang temulawak dan kunyit yang digunakan adalah rimpang dari tanaman temulawak dan kunyit yang berumur kurang lebih 9 bulan. Menurut Wahid & Sudiarto (1985), mutu rimpang temulawak sangat tergantung pada umur, tempat tumbuh, dan jenis tanah. Umumnya pada tanaman berimpang, peningkatan karbohidrat terus meningkat secara cepat, kemudian makin lambat dengan bertambahnya umur tanaman tersebut. Panen rimpang dapat dilakukan pada saat kandungan karbohidrat tinggi, yaitu pada umur 9-10 bulan, ukuran rimpang sudah optimal dengan warna kuning kecoklatan (Rahmat 1995).

Tabel 1 Persentase rendemen ekstrak temulawak dan kunyit Sukabumi

Jenis sampel Rendemen rata-rata (%) Temulawak 11.78

Kunyit 15.65

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit

Senyawa kurkuminoid umumnya terdapat pada tanaman jenis Curcuma dan telah dilaporkan memiliki aktivitas biologis seperti antioksidan dan antiinflamasi (Itokawa et al.

2008) Penetapan kadar kurkuminoid pada temulawak dan kunyit Sukabumi dilakukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi kurkuminoid pada ekstrak etanol rimpang temulawak lebih rendah dari rimpang kunyit. Kadar kurkuminoid pada ekstrak etanol temulawak adalah sebesar 31.27 mg/g sedangkan kadar kurkuminoid pada ekstrak etanol kunyit yaitu sebesar 66.32 mg/g. Jadi, kadar kurkuminoid pada kunyit lebih tinggi dibandingkan temulawak (Gambar 7).

Kadar kurkuminoid yang lebih tinggi pada rimpang kunyit dibandingkan temulawak dikarenakan perbedaaan jumlah kandungan senyawa turunan kurkuminoid pada kunyit dan temulawak. Menurut Hernani & Rahardjo (2005), kadar senyawa kurkuminoid dalam rimpang temulawak yang terdiri dari kurkumin yaitu 21.75 mg/g bahan dan demetoksikurkumin yaitu 9.93 mg/g bahan. Lain halnya dengan rimpang kunyit, yaitu kurkumin sebesar 29.57 mg/g bahan, (Bermawie et al. 2006), demetoksikurkumin 17.88 mg/g bahan, dan bisdemetoksikurkumin 18.87 mg/g bahan. (Wardiyati et al. 2008).

Berdasarkan hasil analisis kandungan kurkuminoid dengan HPLC untuk kunyit dan temulawak terlihat pada Lampiran 6 & 7 terlihat perbedaan kandungan senyawa turunan kurkuminoid yang sangat mencolok pada temulawak dan kunyit yaitu senyawa bisdemetoksikurkumin pada temulawak hanya sebesar 0,58 mg/g sedangkan pada kunyit 18,86 mg/g. Pada umumnya kunyit mengandung senyawa turunan kurkuminoid berupa senyawa kurkumin, senyawa demetoksikurkumin, dan senyawa bisdemetoksikurkumin sedangkan pada temulawak hanya mengandung senyawa kurkumin dan senyawa demetoksikurkumin (Lechtenberg et al. 2004) (Gambar 8). Namun pada beberapa jenis rimpang temulawak ditemukan senyawa bisdemetoksikurkumin dalam jumlah yang kecil. Hal ini dipengaruhi sifat genetis dan kondisi lingkungan dari rimpang temulawak. Pada dasarnya, untuk pembentukan metabolit sekunder dipengaruhi oleh sifat dan jenis tanaman yaitu adanya sifat-sifat genetik bawaan yang dimiliki oleh suatu spesies baik antara spesies yang sama maupun spesies yang berbeda.

Gambar 7 Kadar kurkuminoid ekstrak etanol temulawak dan kunyit

31.27

12

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 12.5 25 50 100 200 P en g u k u ran ab so rb an si p ad a 5 1 7 n m C. xanthorrhiza C. domestica

Gambar 11 Hasil uji antioksidan ekstrak temulawak dan kunyit

Artinya, konsentrasi sampel yang semakin tinggi memiliki aktivitas antioksidan yang semakin tinggi pula sehingga mampu menghambat radikal bebas lebih banyak. Peghambatan radikal bebas ini ditandai dengan peluruhan warna warna ungu. Penurunan nilai absorban karena yang diukur oleh micro plate reader adalah warna ungu DPPH yang semakin pudar seiring dengan meningkatnya konsentrasi sampel.

Hal ini disebabkan satu molekul dari senyawa antioksidan disumbangkan kepada senyawa DPPH dan mekanisme ini dibuktikan dengan perubahan warna DPPH (Naik et al.

2003). Perubahan warna DPPH diukur pada panjang gelombang 517 nm dengan menggunakan ELISA reader. Pemilihan panjang gelombang 517 nm disebabkan warna ungu larutan DPPH memiliki serapan yang kuat pada panjang gelombang 517 nm dalam bentuk teroksidasi (Masuda et al. 1999).

Perbedaan aktivitas antioksidan pada temulawak dan kunyit disebabkan adanya perbedaan kadar senyawa kurkuminoid yang terkandung pada temulawak dan kunyit. Dari keseluruhan komponen senyawa bioaktif yang dimiliki temulawak dan kunyit, senyawa kurkuminoid memiliki peran yang sangat besar terhadap akvitas antioksidan pada kedua rimpang ini (Timmerman 1995). Pada kunyit, memiliki 3 jenis senyawa turunan dari kurkuminoid yaitu senyawa kurkumin, senyawa demetoksikurkumin, dan senyawa bisdemetoksikurkumin. Ketiga senyawa tersebut memiliki aktivitas tinggi sebagai antioksidan dan kadarnya dalam kunyit pun tinggi.

Lain halnya, dengan temulawak yang hanya mengandung senyawa kurkumin dan senyawa demetoksikurkumin serta senyawa

bisdemetoksikurkumin dalam kadar yang kecil. Namun, besarnya aktivitas antioksidan pada temulawak juga disebabkan ada senyawa bioaktif lain yang terkandung pada rimpang temulawak. Masuda et al. (1992) berhasil mengisolasi analog kurkumin baru dari rimpang temulawak, yaitu: 1-(4-hidroksi-3,5- dimetoksifenil)-7-(4 hidroksi-3-metoksifenil)-(1E.6E.)-1,6-heptadien-3,4-dion. Senyawa tersebut ternyata menunjukkan efek antioksidan.

Nilai IC50 rimpang temulawak dan kunyit sesuai dengan syarat aktivitas antioksidan yang baik karena berbagai senyawa bioaktif yang terkandung. Nilai IC50 sebagai aktivitas antioksidan dari rimpang temulawak dan kunyit adalah suatu konsentrasi sampel kedua rimpang yang dibutuhkan untuk menghambat aktivitas radikal bebas (serapan radikal bebas) sebanyak 50 % (Molyneux 2004). Hal ini sangat penting diketahui untuk berbagai pengembangan produk berbasis antioksidan.

Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Temulawak dan Kunyit

Aktivitas antiinflamasi pada temulawak dan kunyit diukur dengan menggunakan metode COX Inhibitor Screening Assay Kit (Cayman Chemical Catalog No. 56013).

Aktivitas antiinflamasi dapat diketahui dengan besarnya nilai % inhibisi sampel temulawak dan kunyit terhadap aktivitas enzim Siklooksigenase-2 (COX-2). Penghambatan enzim COX-2 untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi suatu bahan (sampel) disebabkan ezim COX-2 memiliki peranan penting dalam mensintesis prostaglandin yang berperan penting dalam proses peradangan (Dannhardt & Laufer 2000).

Aktivitas penghambatan enzim COX-2 menggunakan konsentrasi sampel sebesar 100 ppm. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh bahwa nilai % inhibisi temulawak terhadap aktivitas enzim COX-2 sebesar 67.96% sedangkan kunyit 74.84% (Gambar 12). Adanya penghambatan aktivitas enzim Siklooksigenase-2 (COX-2) yang cukup tinggi pada konsentrasi inhibitor (sampel) yaitu 100 ppm menunjukkan bahwa ekstrak temulawak dan kunyit memiliki bioaktivitas sebagai antiinflamasi. Namun, data menyebutkan aktivitas antiinflamasi pada temulawak lebih kecil bila dibandingkan dengan kunyit. Hal ini tentunya disebabkan dari perbedaan senyawa bioaktif yang terkandung pada rimpang temulawak dan rimpang kunyit.

Gambar 12 Penghambatan COX-2 oleh temulawak dan kunyit Perbedaan nilai % inhibisi dari aktivitas antiinflamasi pada temulawak dan kunyit disebabkan kadar kurkuminoid yang berbeda pada kedua rimpang. Berdasarkan hasil pengujian kadar kurkuminoid dengan HPLC

(High Performance Liquid Chromatography)

diperoleh bahwa kadar kurkuminoid pada kunyit jauh lebih tinggi dari temulawak yaitu 66.32 mg/g dan 31.27 mg/g. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan aktivitas antiinflamasi pada kedua sampel karena pada dasarnya yang berperan sebagai senyawa bioaktif untuk antiinflamasi ialah senyawa kurkuminoid.

Timmerman (1995) melaporkan kurkuminoid memiliki aktivitas ynag tinggi terhadap penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Sama halnya dengan aktivitas antioksidan temulawak dan kunyit, pada aktivitas antiinflamasi ini nilai % inhibisi dipengaruhi oleh senyawa turunan

kurkuminoid yang terkandung pada kedua rimpang ini. Kunyit mengandung kurkumin, demetoksikurkumin serta senyawa bisdemetoksikurkumin dengan kadar yang tinggi sedangkan temulawak hanya mengandung kurkumin, demetoksikurkumin serta senyawa bisdemetoksikurkumin dalam kadar yang rendah.

Pada temulawak, selain kurkuminoid juga terkandung senyawa yang sangat berkhasiat yaitu xanthorrhizol yang merupakan salah satu jenis minyak atsiri. Rahardjo (2010) menyebutkan bahwa minyak atsiri dari temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

secara in vitro memiliki daya antiinflamasi yang lemah. Sementara, Ozaki (1990) melaporkan bahwa efek antiinflamasi yang dimiliki temulawak disebabkan adanya germakron. Selanjutnya, Claeson et al. (1993) berhasil mengisolasi tiga jenis senyawa non fenolik diarylheptanoid dari ekstrak temulawak, yaitu trans-trans-1,7-difenil-1,3, - heptadien - 4 –on (alnuston) ; trans1,7-difenil-1-hepten-5-ol, dan trans, trans – 1,7-difenil- 1,3 – heptadien 5-ol. Senyawa tersebut telah diuji dan terbukti mempunyai efek antiinflamasi terhadap tikus percobaan.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa rimpang kunyit memiliki bioaktivitas lebih tinggi dari rimpang temulawak. Kadar kurkuminoid pada rimpang kunyit dari hasil pengukuran dengan HPLC ialah 66.32 mg/g sedangkan rimpang temulawak 31.27 mg/g. Uji aktivitas antioksidan diperoleh bahwa rimpang kunyit memiliki nilai IC50 sebesar 73.31 μg/mL dan

temulawak 81.99 μg/mL. Aktivitas

antiinflamasi didasarkan pada nilai % inhibisi kedua ekstrak untuk enzim COX-2, nilai % inhibisi sampel kunyit sebesar 74.84% sedangkan temulawak bernilai 67.96%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara spesifik efek yang ditimbulkan mengenai aktivitas antioksidan, antiinflamasi dan manfaat kurkuminoid kunyit serta temulawak di dalam tubuh yang diuji in vivo. Hal ini dilakukan untuk memahami reaksi yang terjadi dalam sistem organ tubuh sehingga dapat dilakukan analisis mendalam untuk aplikasinya di masyarakat.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 C. domestica C. xanthorrhiza In h ib is i C OX -2 ( %) 74.84 67.96

Dokumen terkait