• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Penelitian dilakukan di lahan sawah dengan pola tanam sepanjang tahun padi-padi. Pengairan dilakukan dengan sistem irigasi. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum percobaan diketahui bahwa pH tanah tergolong agak masam, kandungan C-organik dalam tanah rendah, kandungan hara N dalam tanah tergolong rendah, kandungan P

2O

5rendah, dan K

2O sangat rendah. Berdasarkan hasil analisis tanah tersebut, status kesuburan tanah tergolong rendah (Pusat Penelitian Tanah, 1980).

Bibit ditanam pada umur 14 hari setelah semai. Penyulaman dilakukan 1-3 MST dengan bibit yang berumur sama. Pada kondisi di lapang terlihat bahwa pada saat pertumbuhan vegetatif awal, perlakuan yang mengunakan pupuk hayati jenis 1 terlihat lebih hijau dan lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang menggunakan pupuk hayati jenis 2.

Gambar 1. Kondisi Pertanaman Secara Umum pada Umur 7 MST.

Hama yang menyerang di pembibitan dan bibit muda yaitu hama keong. Pengendalian hama keong dilakukan dengan cara mengambil keong secara manual dengan tangan dan mengatur pengairannya. Fase vegetatif terserang hama sundep dan tikus. Selain fase vegetatif, hama tikus juga menyerang fase generatif.

Rekapitulasi Hasil Analisis Sidik Ragam

Analisis sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati (Tabel 1). Hasil analisis sidik ragam terhadap berbagai peubah yang diamati menunjukkan bahwa secara umum perlakuan pembenaman jerami, pupuk organik dan atau hayati, dan reduksi dosis pupuk NPK hingga 50 % tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan awal tinggi tanaman, biomassa tanaman, komponen hasil dan hasil padi dibandingkan dengan perlakuan dosis NPK penuh.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Pertumbuhan Vegetatif dan Komponen Hasil

Peubah Yang Diamati Pengaruh perlakuan Koefisien Keragaman Pertumbuhan Tanaman Tinggi Tanaman 3 Mst tn 2.24 5 Mst tn 3.48 7 Mst * 2.63 Jumlah Anakan 3 Mst * 7.80 5 Mst * 9.08 7 Mst * 6.76 Volume Akar tn 28.27 Panjang Akar tn 10.48

Bobot Basah Akar tn 29.32

Bobot Basah Tajuk tn 25.26

Bobot Kering Akar tn 24.74

Bobot Kering Tajuk tn 17.93

Komponen Panen

Anakan Produktif tn 8.78

Panjang Malai ** 12.63

Jumlah Gabah Permalai ** 8.93

Bobot Jerami Ubinan Basah tn 15.58

Bobot Jerami Ubinan Kering tn 26.91

Bobot Basah Padi Ubinan tn 8.88

Bobot Kering Padi Ubinan tn 10.71

Bobot 1000 Butir tn 3.203

Persen Gabah Hampa tn 15.25

Gabah Kering Giling tn 10.72

Bobot Basah Contoh tn 14.24

Bobot Kering Contoh tn 12.76

Analisis Kandungan Hara Tanah

Berdasarkan kriteria sifat kimia tanah pada Lampiran 8, hasil analisis hara tanah sebelum percobaan diketahui bahwa pH tanah tergolong agak masam (5.94), kandungan C-organik tanah rendah (1.93 %), kandungan hara N tanah rendah (0.18 %), kandungan hara P tanah rendah (5.75 ppm), dan kandungan hara K tanah sangat rendah (1.21 mg/100g). Berdasarkan sifat kimia tanah tersebut, maka status kesuburan tanah tergolong rendah (Pusat Penelitian Tanah, 1980). Secara rinci hasil analisis tanah disajikan pada Tabel 8.

Tabel 2. Hasil Analisis pH Tanah dan Kandungan C-organik Tanah Sebelum dan Setelah Percobaan

Perlakuan pH C-organik

(%)

Sb St Sb St

1 dosis NPK 5.7a 4.7b 1.66a 2.39b

1 dosis NPK + Jerami 6.0a 4.7b 1.81a 2.52b

Tanpa Pupuk dan Tanpa Jerami 5.9a 4.6b 1.89a 2.64b

0.5 dosis NPK + Jerami 5.9a 4.6b 2.04a 2.60b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 6.0a 4.7b 1.89a 2.47b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + Dek 5.9a 4.8b 2.16a 2.60b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + POG 5.9a 4.7b 2.00a 2.88b

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC 6.0a 4.8b 1.94a 2.76b

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC + 1 dosis PH 1

5.9a 4.7b 2.11a 2.42b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 2 5.9a 4.8b 1.98a 2.60b

0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 2 6.0a 4.8b 1.84a 2.52b

0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 6.0a 4.7b 1.89a 2.56b

0.5 dosis NPK + Jerami + 0.5 dosis PH 2 6.1a 4.8b 1.87a 2.47b

Ket: 1) Sb:sebelum percobaan St:setelah percobaan

2) Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji t-student taraf 5 %

Berdasarkan hasil analisis statistik (uji t-student), pelakuan yang diaplikasikan nyata menurunkan nilai pH dan menaikan kandungan C-organik tanah antara sebelum dan setelah percobaan. Nilai pH tanah diakhir percobaan menunjukkan nilai rata-rata 4.7 satuan. Penurunan pH diduga karena adanya dekomposisi bahan organik berupa jerami yang dibenamkan ke tanah. Penurunan pH tanah sebagai akibat pemberian bahan organik dapat terjadi karena dekomposisi bahan organik yang banyak menghasilkan asam-asam dominan (sitrat, tatrad, acetat) (Sugito, 1995). Peningkatan C-organik tanah tertinggi

terlihat pada perlakuan Jerami + 0.5 dosis NPK + PH 1 + POG. Peningkatan C-organik dalam tanah diduga karena penambahan jerami maupun pupuk C-organik kedalam tanah. Widati et al. (2000) menyatakan pemberian jerami dapat meningkatkan kadar C-organik, K tanah, dan KTK tanah berturut-turut sebesar 13.2%, 28.6%, dan 153%.

Tabel 3. Hasil Analisis Kandungan Hara N dan P Tanah Sebelum dan Setelah Percobaan

Perlakuan N (%) P (ppm)

Sb St Sb St

1 dosis NPK 0.15a 0.14b 4.5a 3.5a

1 dosis NPK + Jerami 0.16a 0.16b 4.2a 4.1a

Tanpa Pupuk dan Tanpa Jerami 0.18a 0.15b 4.6a 6.4a

0.5 dosis NPK + Jerami 0.19a 0.17b 5.5a 6.2a

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 0.17a 0.15b 5.2a 3.9a

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + Dek 0.21a 0.18b 7.1a 4.4a

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + POG 0.19a 0.17b 7.5a 5.4a

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC 0.18a 0.17b 5.8a 6.2a

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC + 1 dosis PH 1

0.20a 0.16b 5.5a 6.6a

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 2 0.19a 0.14b 6.2a 3.7a

0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 2 0.17a 0.15b 5.7a 4.6a

0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 0.18a 0.17b 6.1a 7.1a

0.5 dosis NPK + Jerami + 0.5 dosis PH 2 0.17a 0.16b 6.8a 6.7a

Ket: 1) Sb:sebelum percobaan St:setelah percobaan

2) Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji t-student taraf 5 %

Berdasarkan hasil uji t-student, terjadi penurunan yang nyata terhadap ketersediaan hara N total dalam tanah antara sebelum dan setelah percobaan. Ketersediaan hara N dalam tanah setelah percobaan menunjukkan terjadinya penurunan dan penurunan hara N tertinggi terjadi pada perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK + PH 2. Penurunan hara N diduga karena selain adanya serapan oleh tanaman, hara N juga diasimilasi oleh mikroba yang terkandung dalam pupuk hayati atau mikroba endogenous untuk membentuk protein, asam nukleat DNA dan RNA serta dinding sel mikroba. Pada kondisi tersebut maka akan terjadi persaingan penggunaan hara N anatara tanaman dan mikroba. Oleh sebab itu untuk mencegah immobilisasi N pada proses dekomposisi bahan organik yang mempunyai nisbah C/N tinggi, maka diperlukan masukan N-anorganik dalam lingkungan tersebut 0D¶VKXPet al., 2003).

Berdasarkan uji statistik t-student, ketersediaan hara sebelum dan setelah percobaan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena ketersediaan unsur hara P dalam tanah diakhir pengamatan nilainya bervariasi, yaitu terdapat perlakuan yang mengalami peningkatan dan penurunan. Ketersediaan hara P tanah meningkat pada perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK, jerami + 0.5 dosis NPK + Dek + POG + POC, jerami + 0.5 dosis NPK + Dek + POG + POC + PH 1, 0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2, dan jerami + 0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2. Kenaikan hara P tanah diduga karena aplikasi pupuk hayati yang mengandung bakteri pelarut fosfat dan aplikasi bahan organik baik berupa jerami yang dibenamkan ke tanah maupun dalam bentuk pupuk organik. Menurut Hanafiah (2005) bahan organik mampu mengikat koloid dan kation-kation menyebabkan fiksasi P tanah menjadi termineralisasi, serta adanya asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik yang mampu melarutkan P dan unsur lain dari pengikatnya, menghasilkan peningkatan ketersediaan dan efisiensi pemupukan P dan hara lain. 0D¶VKXPet al. (2003) menambahkan bahwa asam-asam organik hasil dekomposisi akan membentuk anion organik yang akan menggatikan anion fosfat. Anion organik bersama dengan kation Ca, Al, dan Fe membentuk senyawa komplek yang sukar larut, sehingga akan meningkatkan ketersediaan P dalam tanah. Dengan demikian maka penggunaan jerami sebagai bahan organik, pupuk organik, dan bakteri pelarut fosfat yang terkandung dalam pupuk hayati mampu meningkatkan ketersediaan hara P bagi tanaman.

Ketersediaan hara P tanah menurun terlihat pada perlakuan 1 dosis NPK, jerami + 1 dosis NPK, jerami + 0.5 dosis NPK + PH 1, jerami + 0.5 dosis NPK + PH 1 + POG, jerami + 0.5 dosis NPK + PH 2, dan 0.5 dosis NPK + PH 2. Penurunan hara P diduga karena tidak diaplikasikannya jerami (perlakuan 0.5 dosis NPK + PH 2), diaplikasikan jerami tetapi tidak ditambahkan dekomposer, kurang efektifnya bakteri pelarut fosfat pada pupuk hayati, penggunaan fosfat oleh mikroba, dan adanya serapan hara oleh tanaman. Tidak efektifnya bakteri pelarut fosfat dapat terjadi karena kondisi anaerob yang dapat mempengaruhi efektifitas bakteri pelarut fosfat dalam tanah dan tingkat keasaman tanah sehingga aktivitasnya kurang optimal. Selain itu, fosfat juga digunakan oleh mikroba sebagai bahan penyusun sel dan sumber energi untuk kegiatan metabolisme

didalam sel. Faktor lain yang menyebabkan ketersediaan hara P menurun yaitu karakteristik P yang lambat tersedia karena P terdapat dalam kompleks jerapan organik (humus) dan atau jerapan anorganik pada permukaan mineral dan permukaan kation Ca, Al, dan Fe serta P yang diasimilasi oleh mikroba tanah sebagai penyusun sel dan sumber energi untuk semua kegiatan metabolisme di GDODPVHO0D¶VKXPet al., 2003).

Tabel 4. Hasil Analisis Kandungan Hara K Tanah Sebelum dan Setelah Percobaan

Perlakuan K (mg/100g)

Sb St

1 dosis NPK 1.36a 0.61b

1 dosis NPK + Jerami 1.28a 0.76b

Tanpa Pupuk dan Tanpa Jerami 1.33a 0.79b

0.5 dosis NPK + Jerami 1.14a 0.81b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 1.28a 0.64b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + Dek 0.98a 0.69b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + POG 0.83a 0.74b

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC 1.24a 0.76b

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC + 1 dosis PH 1 1.63a 0.79b

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 2 0.99a 0.59b

0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 2 0.86a 0.64b

0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 1.34a 0.67b

0.5 dosis NPK + Jerami + 0.5 dosis PH 2 1.49a 0.68b

Ket: 1) Sb:sebelum percobaan St:setelah percobaan

2) Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji t-student taraf 5 %

Berdasarkan hasil uji t-student, terjadi penurunan yang nyata terhadap ketersediaan hara K total dalam tanah antara sebelum dan setelah percobaan. Ketersediaan unsur hara K dalam tanah diakhir percobaan menunjukkan adanya penurunan pada semua perlakuan. Penurunan hara K tertinggi terlihat pada perlakuan jerami +0.5 dosis NPK + PH 2. Penurunan ketersediaan K dalam tanah diduga karena serapan oleh tanaman dan unsur K pada jerami yang dibenamkan ke dalam tanah belum termineralisasi. Kandungan unsur K tanah pada awal penelitian tergolong sangat rendah, sedangkan serapan K pada tanaman tinggi (Tabel 5 dan Tabel 7) menyebabkan penurunan ketersediaan unsur K dalam tanah. Dobermann dan Fairhurst (2000) menunjukkan bahwa serapan K jerami 1.2 ±1.7 % pada padi varietas modern di Asia. Selain itu, unsur K juga digunakan oleh

mikroba tanah untuk penyusunan sel, akan tetapi K dalam sel mikroba akan tersedia kembali bagi tanaman ketika terjadi dekomposisi sel PLNURED0D¶VKXP et al., 2003).

Analisis Serapan Hara pada Jerami dan Gabah

Hasil analisis serapan hara pada jerami secara rinci disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan hasil penelitian Dobermann dan Fairhurst (2000) pada tanaman padi varietas modern di Asia, batasan optimal serapan unsur hara dalam jerami yaitu berkisar 6-8 kg N/ton, 0.8-1.2 kg P/ton, dan hara 12-17 kg K/ton.

Tabel 5. Hasil Analisis Serapan Hara pada Jerami

Perlakuan kg N/ton jerami kg P/ton jerami kg K/ton jerami 1 dosis NPK 7.8 1.5 12 1 dosis NPK + Jerami 9.2 1.8 12.4

Tanpa Pupuk dan Tanpa Jerami 8.4 1.6 11.9

0.5 dosis NPK + Jerami 8.7 1.6 12.8

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 9.7 1.7 13.1

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + Dek 10.5 1.9 12.6

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + POG 9 1.6 12.8

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC 9.5 1.8 11.9

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC + 1 dosis

PH 1 8 1.5 12.4

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 2 9.7 2.1 11.6

0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 2 8.6 1.6 11.3

0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 9.2 1.7 12.7

0.5 dosis NPK + Jerami + 0.5 dosis PH 2 10.6 2.1 12.6

Hasil analisis serapan hara dalam jerami menunjukkan bahwa hara N yang terserap oleh jerami pada perlakuan jerami, pupuk hayati dan atau pupuk organik dan 50 % pupuk NPK lebih besar dibandingkan perlakuan satu dosis pupuk NPK dan berada di atas batasan optimum hasil penelitian Dobermann dan Fairhurst (2000). Perlakuan satu dosis pupuk NPK menghasilkan serapan 7.8 kg N/ton. Hasil serapan hara P untuk semua perlakuan menunjukkan angka di atas batasan optimum serapan hara hasil penelitian Dobermann dan Fairhurst (2000). Perlakuan satu dosis pupuk NPK menghasilkan serapan hara 1.5 kg N/ton, sedangkan pada perlakuan pembenaman jerami, pupuk organik dan atau pupuk

hayati dan reduksi pupuk NPK 50 % menghasilkan serapan hara diatas 1.5 kg N/ton, kecuali pada perlakuan Jerami + 0.5 dosis NPK + Dek + POG + POC + PH1.

Hasil serapan hara K pada perlakuan satu dosis pupuk NPK yaitu 12 kg N/ton. Perlakuan pembenaman jerami, pupuk organik dan atau pupuk hayati, dan reduksi 50 % NPK menghasilkan serapan hara yang masih berada pada batasan optimum serapan hara Dobermann and Fairhurst (2000). Serapan hara N, P dan K yang masih berada pada batasan optimum atau diatas batasan optimum menunjukkan bahwa perlakuan pembenaman jerami, pupuk organik dan atau hayati, dan reduksi dosis pupuk hingga 50 % masih dapat mencukupi kebutuhan hara untuk dapat diserap oleh tanaman secara optimum atau berlebih.

Hasil analisis serapan hara pada gabah secara rinci disajikan pada Tabel 7. Serapan hara pada gabah dapat digunakan untuk menilai status kecukupan hara pada tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Dobermann and Fairhurst (2000) kecukupan hara pada gabah dikelompokan dalam status sangat terbatas, terbatas, optimum, berlebih dan sangat berlebih, seperti terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kriteria Serapan Hara pada Gabah Dobermann and Fairhurst (2000)

Serapan kg N/ton kg P/ton kg K/ton

Sangat terbatas ” ” < 0.9

Terbatas 11-13 1.7-2.3 1 -1.3

Optimum 14-16 2.4-2.8 1.4 ±1.6

Berlebih - 2.9-4.8 1.7±2.7

Sangat Berlebih - > 4.9 > 2.8

Berdasarkan hasil analisi serapan hara pada gabah (Tabel 7), diperoleh bahwa perlakuan satu dosis pupuk NPK menunjukkan status hara N yang terbatas (T). Perlakuan pembenaman jerami, pupuk organik dan atau pupuk hayati, dan reduksi 50 % pupuk NPK mempunyai status serapan hara N yang optimum, kecuali pada perlakuan jerami + 1 dosis NPK dan 0.5 dosis NPK + PH 2 yaitu perlakuan yang tidak menggunakan jerami atau menggunakan jerami tetapi tidak diaplikasikan pupuk hayati. Hal ini diduga karena hara pada bahan organik dilepas secara berlahan-lahan sehingga hara tersedia sampai tanaman mencapai

pertumbuhan generatif sesuai dengan pernyataan Dobermann dan Fairhurst (2000) yang menyatakan bahwa pembenaman jerami ke tanah akan meningkatkan ketersediaan hara dalam waktu yang lama. Sedangkan status hara P tergolong berlebih dan status hara K tergolong sangat berlebih untuk semua perlakuan. Berdasarkan kriteria serapan hara pada gabah Dobermann dan Fairhurst (Tabel 6) pada penelitian ini diperolah hasil sebagai berikut:

Tabel 7. Hasil Analisis Serapan Hara pada Gabah

Perlakuan Kg N/ton gabah Status kecukupan hara Kg P/ton gabah Status kecukupan hara Kg K/ton gabah Status kecukupan hara 1 dosis NPK 13.2 T 3 B 8.4 SB 1 dosis NPK + Jerami 13.4 T 3.4 B 8.7 SB

Tanpa Pupuk dan

Tanpa Jerami 14.1 O 3.6 B 8.6 SB 0.5 dosis NPK + Jerami 14.6 O 3.8 B 8.8 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 17.4 O 3.9 B 8.9 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + Dek 14.5 O 3.8 B 9 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + POG 16.2 O 4.1 B 9.2 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC 16.4 O 3.9 B 9.4 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC + 1 dosis PH 1 15.3 O 3.6 B 9.3 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 2 16.4 O 4 B 9.6 SB 0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 2 13.4 T 3.6 B 9.6 SB 0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 15.4 O 3.8 B 9.5 SB 0.5 dosis NPK + Jerami + 0.5 dosis PH 2 16.4 O 3.9 B 9.6 SB

Ket : T=Terbatas O=Optimum B=Berlebih SB=sangat berlebih Sumber: Status kecukupan hara Dobermann and Fairhurst 2000.

Berdasarkan hasil pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa pembenaman jerami, aplikasi pupuk organik dan atau pupuk hayati dengan mereduksi 50 % dosis pupuk NPK masih dapat memenuhi kebutuhan hara N, P, dan K tanaman sehingga hara yang terserap oleh tanaman masih optimum atau berlebih. Hasil serapan pada jerami dan gabah yang tergolong optimum dan berlebih diduga karena adanya aktivitas bakteri ( Azotobacter sp. dan Azospirillum sp.) disekitar akar yang membantu dalam perkembangan, penyediaan dan penyerapan hara, sesuai dengan pernyataan Fellik et al. (1988) yang menyatakan Azospirillum sp. dapat meningkatkan luas permukaan akar yang disebabkan oleh adanya pengumpulan asam indol asetat (IAA) dan asam indol butirat (IBA) bebas didaerah perakaran dan Hamim et al. (2008) menyatakan aplikasi pupuk biologi (mikroba) menyebabkan peningkatan serapan hara makro.

Analisis Kandungan Mikroba

Mikroba tanah mempunyai bannyak peranan di dalam proses penyediaan maupun penyerapan unsur hara tanah bagi tanaman. Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi ke dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi residu toksik (Sparling, 1998). Pada penelitian ini spesies mikroba yang diamati yaitu Azotobacter sp., Azospirillum sp.dan Thiobacillus sp.Azospirillummerupakan bakteri penambat N2dan pemacu tumbuh tanaman yang hidup bebas mengkolonisasi permukaan luar dan dalam akar tanaman padi, jagung, tebu, dan rerumputan lainya (Saraswati et al., 2004). Selain mampu menambat nitrogen, Azotobacter merupakan rizobakteri yang berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman melalui produksi fitohormon yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Hindersahet al., 2004).Hasil penelitian Wedhastri (2002) menunjukkan bahwa pada PH yang berkisar antara 4.2 ± 5.5 Azotobacterdapat menghasilkan isolat penambat nitrogen unggul. Hasil analisis pH setelah perlakuan menunjukkan nilai pH yang berkisar antara 4.6 ±4.8 Nilai pH tersebut menunjukkan nilai pH dimana Azotobacterdapat menghasilkan isolat penambat nitrogen dengan unggul. Untuk mengetahui populasi mikroba dalam tanah makadilakukan analisis terhadap jumlah populasi mikroba dalam tanah.

Proses perhitungan bakteri dalam tanah diawali dengan pembuatan larutan tanah yaitu melalui pengenceran yang berseri (10-5 ± 10-7). Setelah mengalami pengenceran, larutan tanah diinkubasi pada medium yang sesuai dengan perkembangbiakan bakteri untuk memberikan kesempatan bakteri tumbuh. Setelah bakteri tumbuh, kemudian menghitung jumlah bakteri dalam cawan petri yang dapat ditentukan jumlah bakteri tiap gram tanah yaitu dengan cara mengembalikan jumlah koloni dengan kebalikan pengenceranya. Hasil analisis mikroba tanah secara rinci disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Analisis Mikroba Tanah Setelah Percobaan Perlakuan Azospirillum (MPN/g) Azotobater (CFU/g) Thiobacillus (CFU/g) 1 dosis NPK 3.5 x 102 2.1 x 108 5.0 x 103 1 dosis NPK + Jerami 74 6.2 x 107 3.6 x 103

Tanpa Pupuk dan Tanpa Jerami 1.1 x 102 1.0 x 108 3.1 x 104

0.5 dosis NPK + Jerami 2.3 x 105 1.7 x 108 3.0 x 104

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 1.5 x 106 1.5 x 108 5.4 x 103

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + Dek

74 5.0 x 105 ttd

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 1 + POG

2.0 x 102 4.2 x 107 3.9 x 104

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC

1.5 x 104 9.7 x 107 2.8 x 104

0.5 dosis NPK + Jerami + Dek + POG + POC + 1 dosis PH 1

1.5 x 104 1.2 x 108 6.4 x 104

0.5 dosis NPK + Jerami + 1 dosis PH 2

1.5 x 103 7.0 x 107 8.1 x 104

0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 2 1.1 x 102 7.3 x 106 4.7 x 105

0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 ttd 5.7 x 107 4.2 x 104

0.5 dosis NPK + Jerami + 0.5 dosis PH 2

2.0 x 102 2.6 x 108 5.4 x 104 Ket: ttd = tidak terdeteksi

Secara umum kandungan Azospirillumsp. dalam tanah pada percobaan ini tergolong rendah (berkisar 102- 105 MPN/g), kecuali pada perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 1 mencapai 106 MPN/g. Rendahnya kandungan Azospirillum sp. diduga karena adanya persaingan nutrisi antara bakteri Azospirillum sp. yang diinokulasikan pada pupuk hayati dan bakteri Azospirillum sp. yang endogeneus dalam tanah. Persaingan dalam memperoleh nutrisi dapat terjadi pada golongan mikroba yang sama, misalnya antara inokulan Azospirillum sp. yang diintroduksi ke dalam tanah denganAzospirillum sp. yang terdapat dalam

tanah (MD¶VKXP et al., 2003). Kandungan Azospirillum terlihat lebih tinggi dibandingkan perlakuan satu dosis pupuk NPK yaitu pada perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK (2.3 x 105MPN/g), 0.5 dosis NPK + jerami + 1 dosis PH 1 (1.5 x 106 MPN/g), jerami + 0.5 dosis NPK + PH 1 + POG + POC + Dek (1.5 x 104 MPN/g) danjerami + 0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 (1.5 x 103MPN/g).

Sebaliknya kandungan bakteri Azotobacter sp. pada umumnya tinggi termasuk kontrol (rata-rata 108CFU/g). Perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK + 0.5 dosis PH 2 memiliki populasi bakteri Azotobacter sp. yang hampir sama dengan perlakuan satu dosis NPK. Perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK, jerami + 0.5 dosis NPK + PH 1, jerami + 0.5 dosis NPK + POG + POC + Dek, jerami + 0.5 dosis NPK + PH 1 + POG + POC + Dek dan jerami + 0.5 dosis NPK + PH 2

menunjukkan hasil kandungan bakteri Azotobater sp. yang lebih tinggi dibandingkan satu dosis pupu NPK. Tingginya kandungan bakteri Azotobacter sp. diduga karena adanya bahan organik yang diberikan baik dalam bentuk jerami yang dibenamkan ke dalam tanah maupun dalam bentuk pupuk organik mampu menyediakan nutrisi untuk perkembangbiakan mikroba. Husnain et al. (2005) menyatakan keberadaan mikroba tanah akan meningkat dengan pemberian bahan organik ke dalam tanah. Selain itu ketersediaan unsur P yang cukup untuk kebutuhan mikroba juga akan mempengaruhi perkembangbiakan bakteri tersebut. Hasil penelitian Ristiati et al. (2008) menunjukkan bahwa ketersediaan fosfat akan menyebabkan perkembangbiakan Azotobacter sp. baik karena fosfat merupakan elemen yang sangat penting di dalam kehidupan dan berada dalam bentuk phospholipida, asam nukleat dan ATP (adenosin triphosphat). Dengan meningkatnya populasi bakteri Azotobacter sp. maka N2 yang dapat diikat oleh bakteri semakin besar dan ketersediaan unsur N untuk tanaman akan lebih banyak. Berdasarkan hasil analisis serapan hara jerami (Tabel 5) terlihat hasil serapan pada penelitian ini berada diatas hasil serapan penelitian Dobermann dan Fairhurst (2000) dan status unsur N yang terserap dalam gabah secara umum optimum (Tabel 7).

Perlakuan jerami, pupuk organik dan atau hayati, reduksi 50 % pupuk NPK secara umum mempunyai kandungan Thiobacillus sp. yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan satu dosis pupuk NPK kecuali pada perlakuan jerami + 1

dosis NPK dan perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK + PH1 + dekomposer yang tidak terdeteksi. Thiobacillus sp. merupakan bakteri pengoksidasi sulfur dan Fe dalam tanah 0D¶VKXPet al., 2003). Unsur P akan diikat Al dan Fe saat kondisi pH rendah, sedangkan saat kondisi pH tinggi diikat oleh Ca dan Mg dan dapat mengendap. Apabila Fe dioksidasi oleh Thiobacillussp. maka ketersediaan P akan lebih besar. Thiobacillus sp merupakan salah satu bakteri pelarut fosfat yang optimum pada pH netral dan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai pH tanah 0D¶VKXPet al., 2003). Rendahnya kandungan bakteri Thiobacillus sp diduga karena pH tanah yang tergolong agak masam sehingga kurang optimum untuk pertumbuhan bakteri Thiobacillussp.

Perlakuan jerami + 0.5 dosis NPK + 1 dosis PH 1 + dekomposer memiliki kandungan bakteri baik Azospirillum sp., Azotobater sp., dan Thiobacillus sp. yang rendah, hal ini terjadi diduga karena adanya persaingan nutrisi (bahan organik) antara bakteri tersebut dan mikroba perombak bahan organik (dekomposer) sehingga pertumbuhan bakteri terhambat.

Pengamatan Vegetatif

Pengamatan vegetatif yang dilakukan yaitu meliputi pengamatan tinggi tanaman, jumlah anakan, tingkat kehijauan daun yang diamati dengan skala bagan warna daun (BWD), dan biomassa tanaman saat umur 8 MST yang meliputi

Dokumen terkait