• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fraksi antibakteri kapang endofit BAR1.5 diperoleh dengan uji bioautografi terlebih dahulu. Pengujian dilakukan untuk menentukan fraksi yang aktif sebagai antibakteri. Pengujian bioautografi membutuhkan proses fraksinasi ekstrak kasar pada KLT. Nilai Rf yang dihasilkan pada KLT untuk uji bioautogrfi penelitian ini dicocokan dengan nilai Rf fraksi pada KLT di penelitian sebelumnya. Pencocokan hasil nilai Rf pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dilakukan untuk mengkonfirmasi kebenaran fraksi yang dihasilkan. Ketentuan Fraksi aktif yang dihasilkan pada uji bioautografi menjadi pedoman untuk pengambilan fraksi di KLTP sebagai fraksi semi murni antibakteri.

Fraksi pada KLT

Fraksinasi ekstrak kasar kapang endofit pada KLT dilakukan karena pada pengujian bioautografi dibutuhkan KLT yang sudah mengandung ekstrak terfraksinasi. Fraksinasi pada KLT dalam penelitian ini menghasilkan 7 fraksi. Nilai Rf yang dihasilkan dari bawah ke atas yaitu 0.27; 0.35; 0.56; 0.60; 0.85; 0.89; 0.94 (Gambar 2A). Perhitungan nilai Rf dapat dilihat pada Lampiran 4. Jumlah fraksi yang sama yaitu sebanyak 7 dan nilai Rf yang tidak jauh berbeda dari penelitian sebelumnya Sabiliilaika et al. (2015) yaitu dari bawah ke atas 0.27; 0.32; 0.54; 0.58; 0.86; 0.90; 0.96. Hasil tersebut menunjukkan bahwa fraksinasi pada KLT yang dilakukan dalam penelitian ini adalah benar.

Fraksi Aktif pada Uji Bioautografi

Fraksi aktif dari hasil uji bioautografi yaitu ditandai dengan adanya zona penghambatan di sekitar fraksi. Hasil bioautografi dapat dilihat pada (Gambar 2B). Zona penghambatan yang dihasilkan yaitu sebanyak 3, seperti yang ditunjukkan dengan panah merah. Tiga zona penghambatan tersebut terbentuk pada fraksi yang memiliki ciri-ciri yaitu fraksi pertama (F1) merupakan fraksi urutan pertama dari bawah yang memiliki warna merah. Fraksi kedua (F2) adalah fraksi urutan kedua yang berwarna orange. Fraksi ketiga (F3) yaitu fraksi urutan kelima yang berwarna kuning.

Urutan susunan fraksi yang terpisah dari bawah ke atas menunjukkan tingkat kepolaritasan dari senyawa yang ada di dalam fraksi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa urutan fraksi berdasarkan tingkat polaritasnya dari polar ke nonpolar adalah F1, F2, kemudian F3. Spangenberg et al. (2011) menyatakan bahwa suatu pelarut yang bersifat relatif polar dapat membuat pelarut yang tidak

polar menjauh dari ikatannya dengan silica gel. Prinsipnya yaitu berdasarkan “like dissolved like”, semakin dekat kepolaran antara senyawa dengan eluen maka

10

Gambar 2 Kromatogram fraksinasi ekstrak kapang endofit mangrove BAR1.5 etil asetat: diklorometana: heksana (3:2:1) (A) pada KLT di bawah sinar UV 254 nm, (B) hasil uji bioautografi terhadap B. subtilis

Fraksi pada KLTP

Hasil bioautografi hanya digunakan untuk menentukan fraksi yang memiliki aktivitas antibakteri namun tidak bisa digunakan untuk mengambil fraksi yang terdeteksi antibakteri. Ciri-ciri warna dan urutan fraksi pada F1, F2, dan F3 menjadi ketentuan untuk pengambilan fraksi. Penelitian ini menggunakan KLTP untuk mengambil tiga fraksi yang telah ditentukan. Hasil KLTP pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Kromatogram dari KLTP menunjukkan bahwa terdapat 7 fraksi dari hasil elusidasi etil asetat: diklorometana: n-heksana (3:2:1). Tujuh fraksi tersebut sesuai dengan jumlah fraksi pada KLT. Tiga fraksi (F1, F2, dan F3) dengan ciri-ciri yang telah ditentukan pada penentuan fraksi aktif juga muncul pada KLTP. Kromatogram KLTP menunjukkan bahwa F1 adalah urutan fraksi pertama dari bawah yang memiliki warna merah. F2 adalah urutan fraksi kedua yang memiiki warna orange. Fraksi 3 (F3) adalah urutan fraksi kelima yang memiliki warna kuning.

Tiga fraksi tersebut berdasarkan urutan dan warna fraksi sesuai dengan ketentuan 3 fraksi aktif hasil dari uji bioautografi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa untuk memperoleh 3 fraksi aktif antibakteri dari kapang endofit mangrove BAR1.5 dapat dilakukan dengan menggunakan KLTP. Perolehan tiga fraksi antibakteri kapang endofit mangrove BAR1.5 dapat dilihat pada Lampiran 5. Rendemen terbanyak yaitu pada F1 sebesar 25%, nilai rendemen pada F2 dan F3 masing-masing memiliki nilai rendemen sebesar 20%. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak kasar sebesar 100 mg dapat menghasilkan fraksi antibakteri sekitar 20-25%. Perhitungan nilai rendemen dapat dilihat pada Lampiran 6.

1 2 3 (A) (B) F3 F2 F1 Rf 0.27 Rf 0.35 Rf 0.60 Rf 0.56 Rf 0.89 Rf 0.94 Rf 0.85

11

Gambar 3 Kromatogram fraksinasi ekstrak kapang endofit mangrove BAR1.5 etil asetat: diklorometana: heksana (3:2:1) pada KLTP di bawah sinar UV 254 nm

Noda fraksi yang diperoleh terlihat nyata perbedaan warna di setiap fraksinya. Hal tersebut menandakan bahwa komponen yang ada di dalam setiap fraksi memiliki fungsi bioaktif yang berbeda. Tujuh fraksi yang dihasilkan tidak semua memiliki senyawa bioaktif sebagai antibakteri, melainkan terdapat 3 fraksi yang aktif sebagai antibakteri. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Sugijanto et al. (2014) dari 17 fraksi yang didapatkan pada pemisahan ekstrak etil asetat endofit AgOt hanya 5 fraksi yang aktif sebagai antibakteri.

Fraksi Tunggal

Tiga fraksi antibakteri yang ditunjukkan pada KLTP walaupun sudah sesuai dengan ketentuan fraksi aktif yang dituju, tetapi perlu dilakukan pengujian kembali. Sarker et al. (2006) menyatakan bahwa untuk mendapatkan komponen tunggal dari pemisahan ekstrak kasar sangat sulit untuk dilakukan, sehingga dibutuhkan fraksinasi komponen dari persamaan polaritasnya, oleh karena itu pada penelitian ini walaupun telah dilakukan fraksinasi dari persamaan polaritasnya, fraksi yang diperoleh dari KLTP tetap diuji untuk memastikan bahwa fraksi yang diperoleh adalah fraksi tunggal. Fraksi yang tidak tunggal atau tercampur fraksi lain sangat dapat dimungkinkan terjadi pada saat proses pengambilan di KLTP terutama pada antar fraksi yang memiiki jarak berdekatan.

Pengujian fraksi tunggal dilakukan di KLT. Hasil pengujian fraksi tunggal terhadap 3 fraksi antibakteri dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Tiga fraksi antibakteri pada KLT yang diamati di bawah UV  366 nm memperlihatkan adanya satu noda tunggal di setiap fraksi yang dujikan. Sapar et al. (2004) menyatakan bahwa KLT dilakukan untuk memastikan bahwa fraksi tunggal yang diperoleh ditunjukkan dengan adanya satu noda tunggal yang terlihat di bawah UV.

F1 F2 F3

12

Gambar 4 Kromatogram fraksi antibakteri isolat kapang endofit BAR1.5 (A) F1, (B) F2, (C) F3

Noda tunggal yang ditunjukkan pada KLT dalam penelitian ini juga berada di sekitar nilai Rf hasil fraksinasi di KLT. F1 pada Rf 0,25; F2 pada Rf 0,35 dan F3 pada Rf 0,85. Nilai Rf pada hasil fraksinasi di KLT dapat dijadikan landasan tepat tidaknya fraksi tunggal yang diperoleh. Hal tersebut dikarenakan jenis eluen, ketebalan, kerapatan lapisan penyerap atau jenis plat silica gel yang digunakan sama. Nilai Rf pada F1 dan F2 fraksi tunggal tidak sama persis dengan nilai Rf F1 (0,27), dan F2 (0,34) pada hasil fraksinasi. Hal tersebut dimungkinkan karena jumlah totolan yang diberikan sedikit berbeda. Perbedan nilai Rf tersebut tidak memiliki rentang yang jauh, karenanya dapat dipastikan bahwa fraksi yang diperoleh pada penelitian ini bukan hanya tunggal tetapi juga fraksi aktif yang tepat dituju. Touchstone (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Rf pada KLT yaitu kerapatan lapisan penyerap, sifat penyerap atau jenis silica gel, kemurnian eluen, struktur kimia senyawa, ditambahkan Sastrohamidjojo (1991) faktor lain yang mempengaruhi adalah derajat kejenuhan sampel dan jumlah sampel yang digunakan.

Aktivitas Atibakteri Fraksi Semi-Murni

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan pada semua fraksi yang telah diperoleh (F1, F2, dan F3) terhadap B. subtiilis, P. aeruginosa. Hasil uji aktivitas antibakteri 3 fraksi kapang endofit BAR1.5 menggunakan metode paper disk diffusion dengan konsentrasi 1 mg (Gambar 5). Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap B. subtiilis menunjukkan adanya zona bening yang lebih besar dibandingkan dengan zona bening yang terbentuk pada bakteri uji P. aeruginosa. Hal tersebut menunujukkan bahwa aktivitas penghambatan terhadap B. subtiilis

lebih besar daripada P. aeruginosa.

(A) (B) (C) F1 Rf 0,25 F2 Rf 0,35 F3 Rf 0,85

13

Gambar 5 Hasil uji antibakteri F1, F2, F3 dengan masing-masing konsentrasi 1mg/disc, (+) kloramfenikol, (-) etil asetat (A) terhadap B. subtilis, (B) terhadap P. aeruginosa.

Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini yaitu kloramfenikol dengan menghasilkan zona penghambatan yang paling luas terhadap semua bakteri uji. Pelczar dan Chan (2008) menyatakan kloramfenikol masuk dalam golongan antibiotik yang memiliki spektrum luas dan dapat menghambat bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif. Kontrol negatif yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pelarut etil asetat, dimana pelarut tersebut digunakan sebagai pembawa fraksi tunggal ke paper disc. Gambar 5 menunjukkan bahwa pelarut etil asetat terhadap semua bakteri uji tidak menghasilkan zona penghambatan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa etil asetat tidak memiliki pengaruh dan tidak memiliki peran atas terbentuknya zona hambat pada setiap fraksi yang diujikan.

Pengujian fraksi tunggal terhadap bakteri uji B. subtilis pada F1 dan F2 (Gambar 5 A) yang memiliki luas zona penghambatan hampir sama dengan kloramfenikol. Diameter yang terbentuk pada F1 adalah 19 mm, pada F2 adalah 20 mm. Nilai besarnya diameter zona penghambatan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Aktivitas antibakteri fraksi kapang endofit BAR1.5 Sampel yang diuji Diameter zona hambat (mm)

B. subtilis P. aeruginosa F1 19.00±0,00 - F2 20.00±0,00 5.00±0,00 F3 02.00±0,00 - Kontrol positif 24.00 21.00 Kontrol negatif - -

Keterangan: Kontrol positif: kloramfenikol, kontrol negatif: etil asetat, -: tidak adanya zona penghambatan

Diameter pada zona bening yang dihasilkan oleh F1 dan F2 (Tabel 1) dengan konsentrasi 1 mg lebih besar dibandingkan ekstrak kasarnya pada penelitian sebelumnya oleh Sabiliilaika et al. (2015) yang menghasilkan diameter 12 mm dengan konsentrasi 2 mg. Hal tersebut dimungkinkan karena fraksi yang didapat adalah fraksi target yang berperan khusus sebagai senyawa antibakteri.

(A) (B) F2 F1 F3

+

F3 F2 F1

+

14

Senyawa di dalam fraksi tersebut semakin besar aktivitasnya ketika berperan sendiri karena tidak bersinergi dengan senyawa yang ada di dalam fraksi lain yang belum tentu memiliki aktivitas antibakteri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa antibakteri di dalam F1 dan F2 lebih besar aktivitasnya dalam bentuk fraksi tunggal, sehingga berpeluang untuk dimurnikan. Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa dengan dimurnikannya senyawa antibakteri yang terkandung dalam bahan alami, maka akan semakin besar efektifitasnya. Komponen atau golongan senyawa apa yang ada di dalam fraksi tunggal tersebut menjadi sangat penting untuk diketahui.

Silva et al. (2013) mengisolasi senyawa murni antibakteri dari kapang endofit mangrove Paecilomyces variotii yaitu senyawa viriditoxin dengan spektrum yang sangat luas. Konsentrasi terendah untuk menghambat S. aureus

yang resisten methicilin adalah 0,5 μg/mL dan 2 μg/mL untuk menghambat

Enterococcus sp. yang resisten vancomicine. Hussain et al. (2015) melaporkan pada pencarian komponen fitokimia dari kapang endofit Phoma sp. diperoleh senyawa murni atrovenetione dan sclerodione. Senyawa tersebut menghasilkan aktivitas antijamur dengan diameter zona hambat sebesar 15 mm dengan konsentrasi minimal 10 mg/mL. Jouda et al. (2014) telah menemukan tiga senyawa baru yang spesifik dengan aktivitas antibakteri yang kuat pada

konsentrasi minimal 10 μg/mL dan 5 μg/mL.

Fraksi tunggal pada F3 memiliki aktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak kasar. Hal tersebut dimungkinkan karena F3 memiliki jarak yang sangat dekat dengan fraksi lain, dimana fraksi lain di sekitar F3 tidak ikut diisolasi. F3 yang diisolasi menjadi fraksi tunggal dimungkinkan kehilangan sinergitas dengan senyawa lain, sehingga mengakibatkan luas daya hambatnya lebih rendah. Senyawa antibakteri di dalam F3 dimungkinkan akan lebih kuat aktivitas antibakterinya apabila bersinergi dengan senyawa yang ada di dalam fraksi terdekatnya.

Aires et al. (2009) melaporkan bahwa hidrolisis glucosinolate memiliki aktivitas antibakteri yang signifikan dalam melawan bakteri Gram-positif, bakteri Gram-negatif dan jamur karena pengaruh sinergitas dari kombinasi komponen lain. Tafesh et al. (2011) juga telah melaporkan kombinasi dari komponen fenolik dapat membuat pengaruh antibakteri dalam sinergitas yang berkontribusi untuk membuat reaksi antibakteri lebih baik dibandingkan dengan reaksi dari komponen tunggal. Paiva et al. (2010) telah menyatakan sejumlah publikasi walaupun telah difokuskan pada isolasi dan identifikasi bioaktif, namun senyawa tunggal yang didapatkan mungkin tidak bertanggung jawab atas aktivitas yang diamati, tetapi dapat disebabkan karena kombinasi dari senyawa yang berinteraksi secara sinergis atau aditif.

Hasil tiga fraksi semi-murni antibakteri yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa F1 dan F2 memiliki aktivitas antibakteri yang lebih besar dibanding ekstrak kasarnya terhadap B. subtilis. Fraksi 3 (F3) memiliki aktivitas antibakteri yang lebih rendah dibanding ekstrak kasarnya.

Semua fraksi yang diujikan terhadap B.subtilis memiliki diameter zona hambat lebih besar dibandingkan dengan P.aeruginosa. Sabiliilaika et al. (2015) melaporkan pada ekstrak kasar kapang endofit BAR1.5 juga memiliki aktivitas penghambatan yang lebih efektif terhadap B. subtilis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada ekstrak dan fraksi sama-sama lebih efektif menghambat bakteri

15

B. subtilis. Kapang endofit BAR1.5 diduga memiliki senyawa antibakteri yang aktif berperan dalam menghambat bakteri B. subtilis yang merupakan bakteri Gram-positif. Paiva et al. (2010) menjelaskan bahwa sensitivitas bakteri terkait dengan tingkatan lapisan luar peptidoglikan. Arias et al. (2004) menyatakan bahwa bakteri Gram-positif memiliki satu lapisan luar peptidoglikan yang bukan merupakan penghalang permeabilitas yang efektif. Hal tersebut membuat bakteri Gram-positif lebih rentan daripada bakteri Gram-negatif. Bakteri Gram-negatif memiliki lapisan luar yang lebih dari satu, seperti membran fosfolipid, komponen lipopolisakarida dan protein. Lapisan luar tersebut merupakan penghalang yang selektif.

Faktor lain yang dimungkinkan berpengaruh pada besarnya aktivitas antibakteri terhadap B. subtilis yaitu karena komponen bioaktif yang bertanggung jawab sebagai antibakteri. Senyawa bioaktif yang paling berperan sebagai antibakteri di dalam kapang endofit BAR1.5 adalah senyawa bioaktif yang ada di dalam F1 dan F2, karena kedua fraksi tersebut memiliki zona penghambatan paling besar dibanding fraksi lain dan ektrak kasarnya. Campos et al. (2009) telah melaporkan bahwa kerusakan membran sel bakteri asam laktat karena adanya pengaruh komponen bioaktif asam fenolik. Rauha et al. (2000) juga melaporkan bahwa kandungan bioaktif flavonoid yang ada di dalam ekstrak tanaman bilberry dapat menghambat semua bakteri uji positif sedangkan pada bakteri Gram-negatif tidak ada aktivitas penghambatan.

Komponen Bioaktif Fraksi Semi-Murni

Komponen bioaktif yang terdekteksi pada ketiga fraksi memiliki komponen bioaktif dari golongan senyawa yang berbeda-beda. Perbedaan komponen bioaktif tersebut dimungkinkan sebagai salah satu faktor yang ikut berperan dalam perbedaan aktivitas antibakteri dari setiap fraksi yang dihasilkan, dan juga akan mempengaruhi penghambatannya secara morfologi. Sabiliilaika et al. (2015) melaporkan bahwa dari hasil uji fitokimia, diduga senyawa yang paling dominan dalam ekstrak kasar kapang endofit mangrove BAR1.5 adalah terpenoid, polifenol dan flavonoid.

Komponen F1

Fraksi 1 (F1) menampakkan adanya noda berwarna kuning sampai orange setelah diberi uap amonia, yang menunjukkan bahwa F1 positif mengandung senyawa flavonoid. F1 dimungkinkan memiliki satu jenis komponen bioaktif yang berasal dari golongan senyawa flavonoid. Hal tersebut dikarenakan pada F1 tidak menunjukkan adanya komponen bioaktif polifenol dan triterpenoid. Hasil pengujian komponen bioaktif F1 dapat dilihat pada Tabel 2.

16

Tabel 2. Hasil pengujian komponen bioaktif F1

Jenis Fraksi Flavonoid Polifenol Triterpenoid

F1

Keterangan: + : menunjukkan positif adanya komponen bioaktif uji, - : menunjukkan tidak adanya komponen bioaktif uji.

Keberadaan flavonoid pada F1 semakin dikuatkan dengan hubungan letak kenampakkan noda yang berada di daerah bawah pada KLT. Noda kuning-orange berada pada Rf 0,26, dimana nilai Rf tersebut berada di sekitar ketentuan nilai Rf F1. Letak munculnya noda tersebut menegaskan bahwa flavonoid yang dihasilkan bukan hanya saja positif keberadaanya, tetapi juga tepat milik F1. Terdeteksinya letak noda kunig-orange pada KLT yang berada di bawah juga menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang terdeteksi harus polar. Spangenberg et al. (2011) menyatakan bahwa senyawa polar pada KLT memiliki Rf yang dekat dengan angka 0 atau bercak yang ditampakkan pada KLT berada di daerah bawah. Rijke (2005) melaporkan bahwa flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubtitusi.

Flavonoid merupakan zat fitokimia yang paling besar ditemukan di jaringan tanaman (Carlo et al. 1999). Banyak kajian yang telah melaporkan bahwa adanya aktivitas antibakteri karena ketersediaan senyawa flavonoid dalam suatu ekstrak (Xu dan lee 2001; Ogundipe et al. 2001), bahkan flavonoid dalam kandungaan antibakteri dari Ouratea sulcata dilaporkan aktif dalam melawan S. aureus, B. subtilis, Vibrio anguillarium dan E. coli yang keefektifannya hampir sama dengan standar antibiotik streptomycin (Souza et al. 2010).

Komponen flavonoid dari suatu ekstrak tanaman tertentu juga telah dilaporkan sebagai bioaktif yang paling mendominasi dalam aktivitas antibakteri melawan bakteri Gram-positif dibandingkan pada bakteri Gram-negatif (Contini et al. 2003). Flavonoid dalam mekanisme antibakteri dilaporkan sebagai penyebab terganggunya integeritas dinding sel dan membran sel bakteri (Jalil dan Ismail 2008). Penelitian lain yang mengisolasi flavonoid dari tanaman obat juga melaporkan bahwa kandungan flavonoid efektif sebagai antibakteri dengan mekanisme merusak fungsi membran atau dinding sel bakteri (Sohn et al. 2004). Komponen F2

Fraksi 2 (F2) menampakkan adanya noda hitam setelah dilakukan penyemprotan FeCl3 yang menunjukkan positif terdapat kandungan polifenol.

17

Hasil pengujian yang lain yaitu pada flavonoid tidak ditemukan adanya noda kuning atau orange, sedangkan pada pengujian triterpenoid tidak ditemukan adanya noda biru atau ungu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada F2 dimungkinkan hanya memiliki satu jenis komponen bioaktif yaitu dari golongan senyawa polifenol. Hasil pengujian komponen bioaktif F2 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengujian komponen bioaktif F2

Jenis Fraksi Flavonoid Polifenol Triterpenoid

F2

Keterangan: + : menunjukkan positif adanya komponen bioaktif uji, - : menunjukkan tidak adanya komponen bioaktif uji.

Polifenol yang ditunjukkan adalah benar komponen bioaktif yang ada pada F2 bukan pada fraksi lain. Indikator hal tersebut adalah noda polifenol yang ditampakkan berada pada daerah sekitar nilai ketentuan Rf F2 yaitu 0,37. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan komponen bioaktif yang berperan sebagai

antibakteri pada F2, dengan zona penghambatan terluas terhadap bakteri

B. subtilis (Gram-positif) adalah dari golongan polifenol. Taguri et al. (2006) melaporkan bahwa potensi polifenol sebagai antibakteri tergantung pada jenis bakteri, polifenol yang diperoleh aktif dalam melawan bakteri Gram-positif

S. aureus yang resisten metichilin dan penicilin, sementara terhadap bakteri Gram-negatif E. coli ATCC 25922 tidak aktif. Penelitian lain Koech et al. (2013) menyebutkan bahwa sifat polifenol yang kurang efektif dalam melawan bakteri Gram-negatif disebabkan rendahnya daya tarik menarik antara polifenol dengan lipopolisakarida yang menjadi salah satu komponen utama bakteri Gram-negatif yang tidak dimiliki oleh bakteri Gram-positif.

Polifenol merupakan metabolit sekunder yang memegang peranan penting sebagai pertahanan terhadap tanaman patogen dan hewan herbivora agresif serta sebagai respon terhadap berbagai kondisi stres abiotik. Secara umum polifenol dibagi dalam flavonoid dan nonflavonoid, namun kelompok terbesarnya yaitu flavonoid (Daglia, 2012). Data penelitian ini menunjukkan bahwa zona penghambatan terluas yaitu pada F1 sebesar 19 mm dan F2 sebesar 20 mm terhadap B.subtilis, dimana terlihat bahwa perbedaan nilai zona hambat yang tidak terlalu besar diantara keduanya dimungkinkan karena F1 yang terdeteksi flavonoid merupakan salah satu jenis kelompok dari senyawa polifenol. Hal

+

18

tersebut menjadi petunjuk dalam hasil penelitian ini, bahwa komponen bioaktif dari kapang endofit mangrove BAR1.5 yang paling berperan sebagai antibakteri yaitu dari golongan polifenol.

Komponen F3

Fraksi 3 (F3) menunjukkan positif triterpenoid dengan adanya noda warna ungu kebiruan setelah dialakukan penyemprotan anisaldehid asam sulfat. Hasil pengujian komponen F3 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengujian komponen bioaktif F3 Jenis Fraksi Flavonoid Polifenol Triterpenoid

F3

Keterangan: + : menunjukkan positif adanya komponen bioaktif uji, - : menunjukkan tidak adanya komponen bioaktif uji.

Triterpenoid yang dihasilkan tepat ada di F3 dengan indikator ketentuan nilai Rf F3 yaitu 0,85. Fraksi 3 juga dimungkinkan memiliki satu jenis komponen bioaktif yang berasal dari golongan senyawa triterpenoid. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya komponen bioaktif yang lain seperti flavonoid dan polifenol. Noda yang menunjukkan komponen bioaktif pada F3 adalah triterpenoid, juga diperkuat dengan letak noda pada KLT yang berada di atas. Noda yang berada di atas menunjukkan bahwa senyawa yang membentuk noda tersebut adalah senyawa non polar. Harborne (1987) menyatakan bahwa senyawa triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu triterpen, saponin, glikosida jantung, dan steroid. Firdiyani et al. (2015)melaporkan bahwa hasil uji steroid menunjukkan hasil positif ditandai dengan adanya perubahan menjadi ungu. Steroid merupakan senyawa bioaktif yang tergolong non polar.

Koch el al. (2003); Basyuni et al. (2007) menyatakan bahwa mangrove terkenal kaya sebagai sumber senyawa triterpenoid. Widiyaiti (2006) melaporkan bahwa triterpenoid pada tumbuhan memiliki peran ekologi karena dapat bekerja sebagai antifungus, insektisida, antipemangsa, antibakteri dan antivirus. Oku et al. (2003) juga melaporkan bahwa triterpenoid memainkan peran penting dalam melindungi mangrove dari faktor salinitas garam yang mengancam. Hasil penelitian dari Nassar et al. (2010) bahwa senyawa golongan triterpenoid

+

19

menunjukkan aktivitas farmakologi yang signifikan, seperti antiviral, antibakteri, antiinflamasi, sebagai inhibisi terhadap sintesis kolestrol dan sebagai antikanker.

Fraksi 3 memiliki aktivitas yang rendah pada hasil penelitian ini. Hal tersebut selain dikarenakan tidak adanya efek sinergi, juga dapat dimungkinkan karena keberadaan triterpenoid dalam kapang endofit mangrove BAR1.5 memiliki fungsi biologis lain yang bukan sebagai antibakteri. Penelitian Bandaranayake (2002) melaporkan bahwa keberadaan triterpenoid dalam mangrove Clerodendron inerm tidak memiliki aktivitas antibakteri tetapi efektif sebagai antivirus. Kokpol et al. (1986) juga menyatakan bahwa triterpenoid yang diisolasi dari mangrove Acanthus illicifolius memiliki aktivitas antileukimia yang efektif.

Pengaruh Ekstrak terhadap Morfologi Sel Bakteri

Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak kapang endofit

BAR1.5 dengan konsentrasi 1mg terhadap bakteri B. subtilis dan bakteri

P. aerogenosa terlihat adanya kerusakan pada dinding sel dengan ditandainya sel yang lisis atau pecah. Madigan et al. (2000) menyatakan bahwa senyawa antibakteri mempunyai beberapa macam efek terhadap pertumbuhan bakteri, diantaranya memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis atau pecah, tetapi ada yang menyebabkan sel lisis atau pecah.

Dokumen terkait