• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sedangkan pengamatan bobot gonad digunakan untuk menghitung indeks somatik gonad dengan menggunakan rumus Effendie (2002) sebagai berikut :

Keterangan : ISG = indeks somatik gonad BG = berat gonad (gram) BB = bobot badan (gram)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Frekuensi Panjang Ikan Kerapu

Berdasarkan hasil penelitian total jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Perairan Kabupaten Kolaka selama bulan Maret sampai Mei sebanyak 1505 ekor. Panjang total 21 sampai 90 cm dan bobot 100 sampai 12000 gram (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan panjang ikan kerapu sunu di Perairan Kabupaten Kolaka

No Parameter Ikan kerapu sunu 1 Jumlah (ekor) 1505 2 Panjang rata-rata (cm) 41,3 3 Standar deviasi 10,8 4 Panjang maksimum (cm) 90 5 Panjang minimum (cm) 21

Hasil penelitian Prasetya (2010) di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara mendapatkan ukuran minimal ikan kerapu sunu yang tertangkap 13 cm. Grandcourt et al. (2005) di perairan Teluk Selatan Arab mendapatkan ukuran minimal 28,9 cm. Hal ini berarti bahwa ukuran minimal ikan kerapu sunu yang ditangkap di Perairan Kabupaten Kolaka dan beberapa perairan lainnya belum mengalami kematangan seksual. Elevati dan Aditya (2001) menyatakan perubahan kelamin betina menjadi jantan ikan kerapu sunu terjadi pada saat panjang ikan berukuran 42 cm. Selanjutnya Grandcourt (2005) menambahkan ukuran kematangan seksual betina untuk ikan kerapu sunu adalah 43,5 cm. Penangkapan yang terjadi sebelum ikan kerapu sunu mengalami kematangan seksual akan mengakibatkan rendahnya proporsi jantan dalam populasi yang berdampak pada aktivitas reproduksi. Penurunan jumlah individu jantan dalam suatu lokasi pemijahan menyebabkan keterbatasan sperma dalam proses reproduksi.

Berdasarkan hasil pengelompokkan didapatkan 14 kelas panjang dengan frekuensi tertinggi betina pada selang kelas 31-35 sebanyak 334 ekor dan jantan selang 61–65 sebanyak 51 ekor (Lampiran 9). Selang 56-60 terjadi frekuensi gabungan betina dan jantan disebut masa transisi yaitu proses perubahan jaringan ovarium mengkerut kemudian jaringan testesnya berkembang. Data frekuensi panjang digunakan untuk mengetahui kelompok ikan dengan ukuran tertentu. Frekuensi panjang yang digambarkan dengan grafik akan membentuk beberapa puncak sebagai tanda kelompok umur ikan kerapu sunu. Sparre dan Venema (1999) menyatakan frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok umur-umur tertentu dan memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran. Metode pengkajian stok (stock assessment) pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik yang dikembangkan memungkinkan dilakukan konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Berdasarkan metode NORMSEP (normal separation) yang terdapat pada program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) dapat mengambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang ikan (Gambar 4).

Gambar 4 Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu sunu Maret sampai Mei 2012 Tabel 5 Nilai kelompok umur ikan kerapu sunu periode Maret sampai Mei 2012

Waktu (bulan) Nilai Tengah (cm) Jumlah Populasi

Maret 30,36 203,73 43,37 296,27 April 32,49 161,91 41,24 140,44 50,87 198,65 Mei 36,99 342,03 57,11 161,97 Maret April Mei

Analisis kelompok umur dilakukan setiap pengambilan contoh. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang pada setiap pengambilan sampel. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur, karena frekuensi panjang umumnya berasal dari umur yang sama (Tabel 5). Grafik pertumbuhan ikan kerapu sunu betina dan jantan mengalami pergeseran ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan. Selama pengambilan contoh ditemukan adanya kelompok umur baru (rekruitment) dapat dilihat pada Gambar 10 persentase kematangan gonad, komposisi TKG bulan Mei banyak ditemukan TKG I.

Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar yang diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama. Pauly (1984) menyatakan fungsi analisis frekuensi panjang adalah untuk menentukan umur dan membandingkan dengan metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit. Selain penentuan umur dengan menggunakan frekuensi panjang dapat juga menggunakan tagging, marking, sisik, batu telinga (otolith), tulang operculum, tulang punggung (vertebrae) dan jari-jari keras sirip punggung. Penentuan umur tersebut baik untuk ikan didaerah bermusim empat, pelambatan pertumbuhan terjadi pada musim dingin. Daerah tropik seperti Indonesia termasuk perairan Kabupaten Kolaka perbedaan suhu perairan antara musim hujan dengan musim kemarau umumnya tidak begitu nyata sehingga tidak menyebabkan perbedaan nyata dalam pertumbuhan. Oleh karena itu analisis frekuensi panjang lebih umum digunakan sebab tidak memerlukan keahlian khusus dan waktu yang lama dalam pengumpulan data sehingga biayanya lebih murah.

Parameter Pertumbuhan

Hasil perhitungan parameter pertumbuhan dengan menggunakan metode plot Ford-Walford didapatkan parameter pertumbuhan Ladalah 92,4 cm. Nilai estimasi L digunakan sebagai dugaan awal untuk estimasi nilai koefisien pertumbuhan (K) didapatkan hasil 0,75/tahun. Hasil penelitian ikan kerapu sunu di beberapa perairan lainnya didapatkan nilai K dan L yang berbeda yaitu Hurtado et al. (2005) di perairan Campeche Mexico mendapatkan nilai L82,7 cm dan K sebesar 0,21. Grandcourt et al. (2005) di perairan Teluk Selatan Arab nilai K 0,14/tahun dan L 97,9 cm. Carlson et al. (2008) di Pantai Barat Florida mendapatkan nilai K 0,23/tahun dan L 80 cm dan Prasetya (2010) di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton mendapatkan nilai K 0,21/tahun dan L 75,7 cm, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Parameter pertumbuhan ikan kerapu sunu beberapa hasil penelitian

Sumber Lokasi Penelitian Parameter Pertumbuhan K(/thn) L∞ (cm) t0

Hurtado, et al. 2005 Perairan Campeche Mexico 0,21 82,7 -0,07 Grandcourt, et al. 2005 Teluk Selatan Arab 0,14 97,9 -1,5 Carlson, et al. 2008 Pantai Barat Florida 0,23 80,0 -1,12 Prasetya, 2010 Perairan Teluk Lasongko 0,21 75,7 -0,24

Pertumbuhan ikan kerapu sunu di perairan kabupaten Kolaka tergolong cukup baik mengindikasikan kondisi perairan tergolong cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu sunu. Koefisien pertumbuhan lebih tinggi dapat disebabkan oleh kondisi perairan di suatu wilayah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit untuk dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin, umur, jumlah ikan, jenis makanan, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu suhu dan makanan. Hernandez dan Seijo (2003) menyatakan pertumbuhan yang cepat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan sesuai. Faktor genetik merupakan salah satu hal yang dapat menentukan cepat atau tidaknya pertumbuhan suatu individu. Vrijenhoek (1998) menyatakan faktor genetik yang terbentuk dalam spesies, jumlah pakan, temperatur, siklus hormonal, dapat mempengaruhi laju pertumbuhan. Perbedaan ukuran ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya umur, ketersediaan makanan, penyakit, predasi, dan kondisi perairan. Model Von Bertalanffy umum digunakan dalam kajian stok ikan, panjang badan sebagai fungsi dari umur (Gambar 5).

Gambar 5 Grafik pertumbuhan von Bertalanffy ikan kerapu sunu

Grafik von Bertalanffy menunjukkan laju pertumbuhan ikan kerapu, mempunyai nilai yang berbeda pada bagian rentang umurnya. Ikan yang lebih muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat kemudian berkurang dengan bertambahnya umur dan berhenti pada ukuran tertentu. Sparre dan Venema (1999) menyatakan parameter pertumbuhan memegang peranan penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu dengan menggunakan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy. Representasi pertumbuhan populasi dapat diketahui dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis yaitu mengetahui variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Berdasarkan Gambar 5. dapat diketahui pada kisaran umur 2 sampai 3 tahun terjadi masa interseks, atau masa transisi perubahan kelamin betina ke jantan yang berada pada kisaran panjang 56,5 cm sampai 57 cm. Demikian pula dari hasil analisis FISAT

Lt = 92,4 (1-e0,75(t+0,15))

ELEFAN I di dapatkan plot VBGF terlihat kisaran umur >50 cm berada pada umur 2-3 tahun (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan pendapat Elevati dan Aditya (2001) perubahan kelamin terjadi pada saat panjang total 42-62 cm dan untuk mencapai dewasa membutuhkan waktu 2-3 tahun.

Gambar 6 Hasil analisis VBGF menggunakan ELEFAN I ikan kerapu sunu Parameter-parameter yang digunakan yaitu panjang infinitif (L) yang secara teoritis merupakan panjang maksimum, koefisien pertumbuhan (K) yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya dan t0 disebut juga pameter kondisi awal yang merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Berdasarkan gambar 6. dapat diduga bahwa kerapu sunu akan menetas pada pertengahan Agustus/September.

Laju Eksploitasi

Laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas total (Z). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, kanibalisme, penyakit, stress pemijahan, kelaparan, dan umur. Nilai mortalitas alami berkaitan dengan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yaitu nilai K, L∞, dan T (suhu rata-rata perairan dalam setahun). Nilai K yang tinggi mempunyai nilai mortalitas alami yang tinggi sedangkan ikan yang pertumbuhannya lambat mempunyai nilai K yang rendah, memiliki mortalitas rendah bertujuan agar tidak terjadi kepunahan dari ikan tersebut. Heemstra dan Randall (2005) menyatakan ikan kerapu sunu memiliki pertumbuhan yang lambat. Mortalitas alami juga dikaitkan dengan L sebab pemangsa ikan besar lebih sedikit daripada ikan kecil sedangkan dengan suhu perairan sebab sebagian besar proses biologi lebih cepat pada suhu yang tinggi (batas tertentu toleransi ikan). Pauly 1984; Catalano dan Allen 2010 menyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum teoritis dan laju pertumbuhan. Selanjutnya Carlson et al. (2008) menambahkan mortalitas alami berdasarkan pada baik atau buruknya kondisi wilayah suatu perairan.

0 1

2 3

Mortalitas alami ikan kerapu sunu di Perairan Kabupaten Kolaka yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre dan Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan 300C sebesar 0,6/tahun. Mortalitas alami ini lebih tinggi dibanding beberapa peneliti di perairan yang berbeda. Prasetya 2010 di perairan Teluk Lasongko nilai M 0,49/tahun. Burgos dan Defeo (2004) mendapatkan nilai M sebesar 0,30/tahun di perairan Campeche Teluk Mexico. Pantai Barat Florida nilai M sebesar 0,15/tahun (Hurtado et al. 2005). Nilai M di perairan Kabupaten Kolaka masih tergolong kecil. Beverton dan Holt (1959) in Sparre dan Venema (1999) menyatakan nilai M yang besar berkisar antara 1,5–2,5. Mortalitas total diestimasi menggunakan metode Beverton-Holt berbasis data panjang dan nilai koefisien pertumbuhan. Mortalitas total ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 1,9 per tahun. Nilai ini tergolong tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Prasetya (2010) di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton sebesar 1,01 per tahun, dan Grancourt et al. (2005) di Teluk Selatan Arab sebesar 0,97 per tahun.

Mortalitas penangkapan (fishing mortality rate) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) mencakup jumlah dan jenis ikan, efektivitas dari alat tangkap dan waktu yang digunakan untuk melakukan penangkapan. Dari hasil perhitungan mortalitas total dikurangi mortalitas alami didapatkan mortalitas penangkapan sebesar 1,3/tahun. Nilai ini jauh lebih tinggi dari hasil yang didapatkan di beberapa perairan yaitu Grandcourt et al. (2005) di perairan Selatan Teluk Arab sebesar 0,78/tahun, nilai F yang didapatkan Prasetya (2010) di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton sebesar 0,52/tahun. Mortalitas penangkapan di perairan Kabupaten Kolaka telah meningkat secara signifikan selama 2 tahun (2007 dan 2008) berdampak rendahnya penangkapan pada tahun 2009 sampai 2011 (DKP Kabupaten Kolaka 2011). Burton (2002) menyatakan eksploitasi yang tinggi berpotensi merusak kestabilan stok dalam suatu perairan. Nilai mortalitas alami, mortalitas penangkapan, mortalitas total, dan laju eksploitasi untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), mortalitas total (Z), dan laju eksploitasi (E) ikan kerapu sunu

No Parameter Nilai

1 Mortalitas Alami 0,6/tahun 2 Mortalitas Penangkapan 1,3/tahun 3 Mortalitas Total 1,9/tahun 4 Laju Eksploitasi 0,7/tahun

Laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang akan ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena kematian alami maupun penangkapan. Berdasarkan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z) didapatkan nilai laju eksploitasi sebesar 70%, yang berarti laju eksploitasi ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka telah melewati batas optimum atau telah mengalami penangkapan lebih (overfishing). Pauly (1984) dan King (1995) menyatakan eksploitasi optimal dari suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas alaminya, sehingga laju

eksploitasi optimal E=0,5. Sumber daya dikatakan mengalami penangkapan lebih jika laju eksploitasi >0,5 dan under exploited bila penangkapannya <0,5.

Penangkapan lebih ikan kerapu yang terjadi di Perairan Kabupaten Kolaka disebabkan tingginya aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setempat. Aparat pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan Kabupaten Kolaka tidak memberlakukan sanksi tegas terhadap nelayan yang memasang bubu atau penangkapan di pulau Padamarang sebagai areal Taman Wisata Alam Laut yang merupakan daerah pemijahan massal (spawning aggregation) untuk ikan kerapu sunu. Sadovy (2005) menyatakan bahwa umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama dan melibatkan puluhan ribu individu sehingga kumpulan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan.

Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur ikan, nelayan cenderung menangkap ikan yang berukuran besar. Pengurangan jumlah ikan karena penangkapan akan mengakibatkan turunnya biomassa. Penangkapan yang terjadi secara terus menerus terhadap spesies yang berukuran besar atau spesies yang sedang memijah menurunkan karakteristik genetik tertentu yang menimbulkan kelainan bentuk atau perilaku. Hurtado et al. 2005; Nelson 2007 menyatakan ciri populasi yang telah mengalami eksploitasi tinggi adalah perubahan komposisi ukuran ikan menjadi lebih kecil sehingga secara signifikan akan berpengaruh terhadap hasil reproduksi. Jumlah ikan berukuran besar yang banyak memiliki potensi produksi lebih besar dibandingkan jumlah ikan yang berukuran kecil.Vrijenhoek (1998) menyatakan dengan berkurangnya keragaman genetik maka dapat mempengaruhi potensi produksi dan selanjutnya menurunkan ketahanan populasi dalam menghadapi perubahan lingkungan.

Penangkapan yang tidak ramah lingkungan dapat juga menjadi penyebab penurunan stok ikan. Data terbaru KKP (2011) menyatakan sebagian besar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia telah mengalami overfishing dan dalam kondisi kritis disebabkan karena pengelolaan sumber daya ikan yang tidak ramah lingkungan. Memperbaiki kondisi lingkungan terumbu karang sebagai tempat hidup ikan kerapu merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh baik dengan cara penangkapan yang ramah lingkungan ataupun dengan cara transplantasi karang yang dinilai cukup efektif dan berhasil di beberapa perairan, sebab kelimpahan ikan karang sangat terkait dengan kondisi terumbu karang sebagai habitatnya. Williams et al. (2008) menyatakan dalam rangka meningkatkan pengelolaan perikanan terumbu karang, penting memahami dinamika populasi ikan karang dan proses-proses yang mengendalikannya terhadap berbagai tingkat tekanan penangkapan.

Sumber daya ikan termasuk dalam sumber daya hayati yang dapat diperbaharui (renewable resource), namun juga bersifat dapat rusak (depletable resource). Upaya untuk menjaga keberlangsungan sumber daya ikan diperlukan di perairan Kabupaten Kolaka, tindakan tegas harus diberlakukan terhadap nelayan yang melakukan penangkapan dan pemasangan bubu di wilayah Taman Wisata alam Laut (TWAL) Pulau Padamarang yang merupakan wilayah konservasi. Sesuai dengan Undang-Undang No. 31/2004 pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan oleh sebab itu dengan diberlakukannya UU No. 31/2004 maka penyelenggaraan konservasi sumber daya ikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan

sumber daya ikan berkelanjutan serta tidak hanya terfokus pada perlindungan jenis ikan saja namun juga mengatur tentang konservasi ekosistem dan genetik.

Hasil Tangkap Maksimum Lestari

Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka yaitu bubu dan pancing. Konstruksi bubu adalah berbentuk segi empat persegi panjang, dengan panjang x lebar x tinggi kurang lebih 100 x 80 x 60 cm. Kontruksi pancing ulur atau hand line terdiri dari tali pancing utama yang terbuat dari benang sintetik atau senar dengan mata pancing dilengkapi umpan alam seperti potongan ikan atau udang. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Alat tangkap bubu dan pancing (Dokumentasi pribadi 2012) Jumlah alat tangkap pancing dan bubu meningkat walaupun peningkatannya sangat kecil. Penggunaan alat tangkap pancing dan bubu jumlah hasil tangkapannya lebih kecil dibandingkan dengan alat tangkap lain dengan wilayah pengoperasian yang sangat terbatas. Perkembangan jumlah alat tangkap di perairan Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011 untuk lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah alat tangkap di perairan Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011

No Tahun Jumlah Alat Tangkap (unit) Bubu Pancing 1 2005 295 96 2 2006 320 108 3 2007 400 204 4 2008 430 232 5 2009 485 252 6 2010 535 260 7 2011 590 281

Sumber : Diolah dari data statistik DKP Kabupaten Kolaka tahun 2011

Hasil tangkapan bubu dan pancing umumnya ikan dasar seperti ikan kerapu dan biota perairan lainnya sebagai hasil tangkapan sampingan. Untuk memikat ikan di dalam bubu diberi umpan ikan rucah. Metode pengoperasian bubu dengan cara direndam di dasar perairan untuk beberapa lama, ada yang direndam satu hari dan ada juga dua sampai tiga hari bahkan sampai lima hari apabila bubu belum mendapatkan hasil. Umumnya nelayan di Kabupaten Kolaka membutuhkan waktu 3 hari, diusahakan ikan kerapu yang tertangkap dalam kondisi hidup karena memiliki harga yang tinggi dibandingkan dengan yang telah mati. Perahu yang digunakan oleh nelayan adalah perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor dengan ukuran kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikan alat tangkap ini umumnya 1–2 orang dalam satu kali operasi rata-rata menggunakan >10 buah bubu, namun ada juga nelayan (Bapak Mbuli) yang menggunakan >40 bubu sekali operasi (Mbuli 8 Maret 2012, komunikasi pribadi).

Alat tangkap bubu lebih banyak digunakan oleh nelayan (67%) dibanding alat tangkap pancing (33%), penggunaan alat tangkap bubu yang lebih banyak disebabkan kualitas hasil tangkapan kerapu dengan alat tangkap bubu yang lebih baik dari alat tangkap pancing sehingga ikan kerapu hasil tangkapan bubu mempunyai harga yang lebih mahal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nababan (2006) yang menyatakan bahwa nelayan-nelayan di Sulawesi lebih memilih alat tangkap bubu dibanding pancing karena hasil tangkapan bubu biasanya tidak luka, mempunyai fisik yang baik dan dapat bertahan hidup lebih lama baik pada saat penangkapan, penampungan, dan perjalanan ke negara tujuan ekspor.

Daerah penangkapan ikan kerapu sunu di perairan pantai Kabupaten Kolaka pada kedalaman < 5 m untuk pancing dan > 10 m untuk bubu atau di sekitar areal terumbu karang bahkan ada beberapa nelayan yang memasang bubu di taman wisata alam laut (TWAL) pulau Padamarang, sebab daerah tersebut memiliki potensi sumberdaya kerapu yang tinggi walaupun sebenarnya pihak dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kolaka telah mengeluarkan pelarangan terhadap pemasangan bubu diareal wisata tersebut namun belum adanya sanksi tegas mengakibatkan hal tersebut masih tetap berlangsung (Mbuli Maret 2012, komunikasi pribadi).

Hasil tangkapan per satuan upaya atau catch per unit effort (CPUE) ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka berfluktuasi setiap tahun. Peningkatan

yang signifikan terjadi pada tahun 2007, kemudian menurun pada tahun 2008 dan meningkat kembali tahun 2009 selanjutnya menurun pada tahun 2010 dan 2011 (Gambar 8).

Gambar 8 Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011

Berdasarkan Gambar 8. Menunjukkan bahwa nelayan dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu lalu serentak meningkatkan upaya penangkapan, tapi diikuti dengan hasil yang semakin berkurang pada tahun-tahun berikutnya karena sumber daya telah ditangkap dan berkurang. King (1995) mengatakan bahwa hasil tangkapan yang dicirikan oleh MSY (maxsimum sustainable yield) yang diperoleh dari suatu stok sumber daya diharapkan tidak mempengaruhi reproduksi dan rekruitmen dimasa depan.

Melalui metode regresi sederhana antara CPUE (model Schaefer) dengan upaya standar diperoleh nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi (R2) untuk ikan kerapu sunu, terlihat bahwa nilai R2 untuk model Schaefer lebih besar 0,8 dari model Fox 0,7 sehingga dalam perhitungan nilai MSY dan fopt digunakan model Schaefer. Tujuan penggunaan model surplus produksi untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan yang maksimum dan lestari. Metode ini banyak digunakan di daerah perairan tropis karena motode ini hanya menggunakan hasil tangkapan per upaya (CPUE). Surplus produksi didasarkan pada asumsi bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan menghasilkan jumlah berlebih (surplus) yang dapat ditangkap dan jika ditangkap sebanyak surplus yang dihasilkan maka sumber daya tersebut akan tetap lestari.

Hubungan antara upaya penangkapan dengan hasil penangkapan memperlihatkan kurva berbentuk parabola asimetris dimana hasil tangkapan akan meningkat dengan bertambahnya jumlah upaya hingga mencapai titik maksimal dan kemudian menurun meskipun dengan penambahan jumlah upaya. Eksploitasi yang lebih besar dari tingkat tersebut melalui penambahan upaya seperti penambahan alat tangkap dan kapal tidak akan meningkatkan hasil tangkapan malah sebaliknya akan menurunkan stok, sehingga hasil yang didapatkan akan

semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal tersebut akan berdampak pada besarnya biaya produksi yang dikeluarkan dengan keuntungan yang minimal sehingga nelayan akan mengalami kerugian dari segi finansial dan waktu. Kondisi ini juga akan mengakibatkan populasi ikan kerapu akan mengalami penangkapan berlebih. Untuk lebih jelas kurva hubungan upaya penangkapan dengan produksi dapat di lihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kurva hubungan antara produksi dan upaya model Schaefer. Nilai maksimum sustainable yield (MSY) atau hasil tangkap maksimum lestari (HTML) ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 1103 ton dengan menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari MSY (Barani 2004; Mous et al. 2005). Berdasarkan hasil perhitungan, maka JTB ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 882 ton per tahun dengan upaya sebesar 297 unit. Berdasarkan perolehan nilai JTB maka jumlah tangkapan yang dilakukan oleh nelayan telah melebihi dari jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan sejak tahun 2006 sampai tahun 2011 (Lampiran 10). Mengakibatkan tingginya laju eksploitasi di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 70%. Boer dan Azis (1995) menyatakan pengelolaan sumber daya perikanan bertujuan tercapainya kesejahteraan nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri penghasil devisa serta mengetahui

Dokumen terkait