• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan laju eksploitasi dan reproduksi ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan laju eksploitasi dan reproduksi ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

IKAN KERAPU SUNU (

Plectropomus leopardus

) DI PERAIRAN

KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

ANTI LANDU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

(4)

ANTI LANDU. Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER dan SULISTIONO.

Ikan kerapu merupakan salah satu sumber daya ekosistem terumbu karang yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi tinggi. Permintaan yang tinggi mengakibatkan ikan kerapu mengalami tekanan yang cukup berat dan beberapa wilayah dunia termasuk di Indonesia telah mengalami tangkap lebih. Kegiatan perikanan tangkap kerapu sunu di Kabupaten Kolaka dari tahun 2008 sampai 2011 mengalami penurunan produksi sebanyak 45%. Informasi akan status stok ikan kerapu sunu belum ada, oleh karena itu dilakukan kajian pertumbuhan, laju eksploitasi dan reproduksi sebagai dasar pengelolaan ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) di perairan Kabupaten Kolaka.

Penelitian dilaksanakan Januari sampai Juni 2012, di perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan dan laju eksploitasi dianalisis menggunakan perangkat lunak ELEFAN I FISAT. Hasil tangkapan maksimum lestari dengan model Surplus Produksi Schaefer. Tingkat kematangan gonad dianalisis secara morfologi untuk mengetahui ukuran pertama kali matang gonad dengan persamaan Sperman Karber dan Indeks Somatik Gonad menggunakan persamaan Effendie.

Total ikan kerapu sunu yang tertangkap sebanyak 1505 ekor. Koefisien pertumbuhan 0,75/tahun dengan panjang L∞ 92,4 cm dan t0 -0,15. Berdasarkan

(5)

ANTI LANDU. Growth Exploitation Rate and Reproduction Sunu Grouper Fish (Plectropomus leopardus) in the Waters of Kolaka Regency, Southeast Sulawesi. Supervised by MENNOFATRIA BOER and SULISTIONO

Sunu grouper fish is one of the important fishery resources in the water of Kolaka Regency, Southeast Sulawesi. The grouper fishing activities in 2008 – 2011 experienced a production decline of 45%. This study was aimed to study the growth, exploitation rate, maximum sustainable yield, and reproduction of sunu grouper fish. The data were collected in January to June 2012. The growth and exploitation rate were analyzed using FISAT. The Maximum sustainable yield were determined by the Schaefer model of Surplus Production. The first mature size of gonads was measured by using the Sperman Karber equation and the gonad somatic indeks was calculated using Effendie equation. The analysis result showed von Bertalanffy growth coefficient L 92,4 cm, K 0,75/year and t0 -0,15.

The exploitation rate of 70%/year is categorized into an overexploited condition. The total allowable catch is 882 tones/year. The first mature size of female and males gonads was 35,9 cm and 69,5 cm respectively.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta dilindungi Undang

Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PERTUMBUHAN LAJU EKSPLOITASI DAN REPRODUKSI

IKAN KERAPU SUNU (

Plectropomus leopardus

) DI PERAIRAN

KABUPATEN KOLAKA SULAWESI TENGGARA

ANTI LANDU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara

Nama : Anti Landu NIM : C251100071

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Dr Ir Sulistiono, MSc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Perairan

Dr Ir Enan M. Adiwilaga Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dapat diselesaikan. Tema dalam penelitian yang dilaksanakan Januari sampai Juni 2012 ialah Pengelolaan Stok Ikan dengan judul Pertumbuhan Laju Eksploitasi dan Reproduksi Ikan Kerapu Sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA dan Bapak Dr Ir Sulistiono, MSc selaku komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan banyak memberikan arahan dan saran kepada penulis sejak pembuatan proposal, penelitian hingga penyusunan karya ilmiah. Bapak Dr Ir Enan M. Adiwilaga selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan serta dosen-dosen pembina mata kuliah atas semua saran dan bimbingan. Kepada Bapak Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian tesis.

Pada kesempatan ini pula, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas 19 November Kolaka dan DIKTI atas Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) serta PT. ANTAM TBk atas bantuan dana penelitian. Buat teman-teman SDP 2010 (Aliati Iswantari, Munirah Tuli, Haiatus Shohihah, Sri Wahyuni, Dyah Muji Rahayu, Robin, Gema Wahyu Dewantoro, Darwin Syahputra). BIW dan Teman-teman mega kost (Tia, Tajul, Ayu, Putri, Dian, Nia, Anis, Vonny, Fatma, Yus, Kiki, mba Endah, mba Dori dan bu’Tami) atas cinta, kebersamaan dan rasa kekeluargaannya. Dosen dan mahasiswa USN Kolaka Ir. Agussalim, MP, Asni, SPi MP, Asis Alkahar, Jumarni, Akbar serta nelayan dan pengumpul ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka terima kasih atas bantuannya.

Kepada Ibunda tercinta Hj.Tjeha dan Bapak H.Landu serta saudara-saudaraku tercinta (Asma landu SH, Drs. Sulham Landu MS, Muh. Hidayat SE, Asriani Landu, S.Sos, Miminarni, Ihwan Landu, SPd, Ihlas Landu, STp, Ihyar landu, SPd, Imma Landu, SPt) dengan setulus hati diucapkan terima kasih atas segala pengertian, pengorbanan, dan doanya selama penulis menyelesaikan pendidikan. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca dan semoga AllahSWT membalas dan meridhoi usaha yang dilakukan untuk kelestarian sumber daya perairan.

Bogor, Maret 2013

(11)

DAFTAR ISI

Pengelolaan Sumber Daya Perikanan 10 Keadaan Umum Wilayah Kajian 10

Luas Wilayah 10

Kependudukan 11

Keadaan Iklim 12

Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi 12 Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan 13

3 METODE PENELITIAN 15

Frekuensi Panjang Ikan Kerapu Sunu 19

Parameter Pertumbuhan 21

Laju Eksploitasi 23

Hasil Tangkap Maksimum Lestari 26 Tingkat Kematangan Gonad 30 Pengelolaan Sumber Daya Ikan Kerapu Sunu 32

5 SIMPULAN DAN SARAN 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 39

(12)

DAFTAR TABEL

1 Tahap perkembangan gonad ikan kerapu 6 2 Luas wilayah kabupaten Kolaka menurut Kecamatan 11 3 Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatannya di Kabupaten

Kolaka tahun 2011 14

4 Jumlah dan panjang ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka 19 5 Nilai kelompok umur ikan kerapu sunu periode Maret sampai April 2012 20 6 Parameter pertumbuhan ikan kerapu sunu beberapa hasil penelitian 21 7 Nilai mortalitas alami, mortalitas penangkapan, mortalitas total dan laju

Eksploitasi ikan kerapu sunu 24 8 Jumlah alat tangkap ikan kerapu di Perairan Kabupaten Kolaka

tahun 2005 sampai 2011 27

DAFTAR GAMBAR

1 Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) 5 2 Tujuan dasar pengkajian stok ikan 9 3 Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2004-2008 14 4 Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu sunu Maret sampai Mei 2012 20 5 Grafik pertumbuhan ikan kerapu sunu 22 6 Hasil analisis VBGF menggunakan ELEFAN I ikan kerapu sunu 23 7 Alat tangkap bubu dan pancing ikan kerapu sunu 26 8 Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu sunu di perairan

Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011 28 9 Kurva hubungan antara produksi dan upaya model Schaefer 29 10 Persentase kematangan gonad ikan kerapu sunu betina dan jantan

periode Maret sampai Mei 31

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penangkapan ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka 39 2 Diagram alir perumusan masalah penelitian 40 3 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ikan kerapu sunu 41 4 Pengukuran panjang total dan penimbangan berat ikan kerapu sunu 43 5 Penimbangan berat gonad ikan kerapu sunu di Laboratorium SMK Negeri

2 Kabupaten Kolaka 43

6 Kapal yang digunakan dalam survei lokasi penelitian 44 7 Salah satu tempat pengumpul ikan kerapu sunu di Kabupaten Kolaka 44 8 Data hasil pengukuran panjang total (TL) dan berat ikan kerapu sunu 45 9 Distribusi frekuensi panjang total ikan kerapu sunu Maret sampai Mei 56 10 Perhitungan model Schaefer menggunakan data sekunder ikan kerapu

Sunu di DKP Kabupaten Kolaka 57 11 Perhitungan nilai hasil tangkap lestari maksimum (HTML) dan upaya

Optimum (UO) berdasarkan model Schaefer 59 12 perhitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan kerapu sunu betina

dan jantan 60

13 Data panjang total, berat badan, berat gonad, indeks kematangan gonad

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan kerapu merupakan salah satu sumber daya ekosistem terumbu karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Burgos and Defeo 2004; Mendoza and Larez 2004; Nelson 2007). Nilai jual ukuran konsumsi dalam kondisi hidup yaitu US$ 30-50/kg dan diekspor ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan, China, Malaysia dan Amerika Serikat. Harga di pasar domestik ikan kerapu ukuran ikan hias (4-5 cm) Rp. 7.000,- per ekor, di tingkat nelayan Rp 70.000–150.000 per kg. Kerapu dalam kondisi hidup untuk spesies yang langka dihargai jauh lebih mahal (Akbar dan Sudaryanto 2000).

Perdagangan ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat, tahun 1995 sebesar 3.800 ton meningkat pada tahun 2011 sebesar 441.000 ton (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011). Berdasarkan data Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) menyebutkan ekspor kerapu pada tahun 2010 mencapai 6.340 ton. Indonesia menyuplai lebih dari 50% tangkapan ikan karang hidup ke Hongkong dan Singapura dan tercatat sebagai negara pengekspor utama ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan giant grouper (Epinephelus lanceolatus) (Lau dan Parry-Jones 1999).

Permintaan yang tinggi mengakibatkan ikan kerapu mengalami tekanan yang cukup berat dan beberapa wilayah di dunia telah mengalami over fishing (Musick et al. 2000; Sadovy 2005; Lucero dan Sanchez 2009). Daftar The International Union for the Consevation of Nature and natural Resources (IUCN) ikan kerapu termasuk dalam spesies yang terancam punah. Hasil penelitian beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sari (2006) melaporkan di Kepulauan Seribu pemanfaatan sumber daya ikan kerapu telah melebihi tingkat pemanfaatan optimal yang disarankan (29.940 kg/tahun). Hal yang sama diperoleh di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dengan tingkat pemanfaatan telah melebihi kondisi optimal >0,5 (Prasetya 2010). Umumnya perikanan kerapu di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi) sudah mengalami tekanan sumber daya yang tinggi menunjukkan tanda-tanda signifikan dari over eksploitasi. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat mengakibatkan kebutuhan pangan meningkat pula (Soede et al. 1999). Kegiatan perikanan tangkap kerapu sunu di Kabupaten Kolaka dari tahun 2008 sampai 2011 mengalami penurunan produksi (Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kolaka 2011).

(15)

Rumusan Masalah

Kabupaten Kolaka merupakan pintu gerbang bagian barat Sulawesi Tenggara dengan luas wilayah ± 6.914.94 Km2. Terdapat 15 Kecamatan 10 diantaranya terletak pada wilayah pesisir. Luas laut 15.000 Km2 dengan panjang garis pantai 295,875 Km yang terbentang dari Kolaka bagian Utara sampai Kolaka bagian Selatan. Jumlah penduduk wilayah ini secara keseluruhan sebanyak 243,246 jiwa, yang bermukim pada wilayah pesisir sebanyak 74.882 jiwa (DKP 2011). Berdasarkan hal tersebut Kabupaten Kolaka dapat dikategorikan sebagai Kabupaten pesisir. Salah satu sumber daya ikan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah ikan kerapu sunu. Hasil laporan dinas perikanan Kabupaten Kolaka menyebutkan produksi komoditi perikanan tangkap kerapu mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2011 sebanyak 45%. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengawasan dan pengendalian sumber daya yang mengakibatkan terjadinya penurunan stok ikan.

Penambahan jumlah unit upaya secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumber daya dan ekosistem. Dampak nyata yang ditimbulkan dalam kurun waktu tertentu akan terjadi penurunan biomassa atau stok disebabkan menurunnya daya dukung lingkungan yaitu sumber makanan dan ruang habitat. Penurunan jumlah hasil tangkapan, ukuran dan perubahan fishing ground merupakan bukti terjadinya tekanan terhadap sumber daya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka yang ingin dikaji adalah memberikan saran tentang pengelolaan stok sumber daya ikan kerapu yang berkelanjutan di perairan Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Kerangka perumusan masalah dapat dilihat secara lengkap pada lampiran 2.

Tujuan dan Manfaat

Penelitian bertujuan mengkaji pertumbuhan, hasil tangkapan maksimum lestari, laju eksploitasi dan reproduksi ikan kerapu sunu. Manfaat penelitian diharapkan menjadi dasar dalam pengelolaan ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Kerapu Sunu

(16)

Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara (Heemstra dan Randall 2005).

Beberapa jenis kerapu telah diidentifikasi berdasar pada morfologi yang berbeda-beda tiap jenisnya termasuk bentuk tubuh, ukuran sirip, bentuk kepala, jumlah jari-jari sirip, gurat sisik, dan gill raker. Beberapa jenis kerapu dewasa dengan ukuran besar pola pewarnaan cukup untuk membedakan spesies tertentu. Spesies yang hidup di perairan dalam memiliki pola pewarnaan lebih kemerahan dibanding spesies yang tertangkap di perairan dangkal. Jenis kerapu yang bisa diidentifikasi diantaranya kerapu sunu yaitu, badan ikan memanjang tegap, kepala dan badan serta bagian tengah dari sirip berwarna abu-abu kehijau-hijauan, cokelat, merah, atau jingga kemerahan dengan bintik-bintik biru yang berwarna gelap pada pinggirnya. Bintik-bintik pada kepala dan bagian depan badan sebesar diameter bola matanya atau lebih besar. Bentuk ujung sirip ekor ikan kerapu sunu rata ujung sirip tersebut terdapat garis putih adapun pada sirip punggung terdapat duri sebanyak 7-8 buah. Laju pertumbuhan kerapu sunu bervariasi menurut kelas umurnya. Awal kehidupan laju pertumbuhan kerapu sunu berlangsung cepat, yaitu 0,81 mm/hari dalam waktu 6 bulan sudah mencapai ukuran panjang total 14 cm. Pada stadia larva ikan ini termasuk jasad pemakan plankton perubahan sifat menjadi karnivora terjadi sejak mencapai stadia juwana. Menjelang dewasa ikan ini tergolong jenis ikan predator yang memangsa ikan-ikan kecil, udang, dan cumi-cumi.

Ikan ini termasuk hermaprhodite protogynous, yaitu proses deferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan setelah mencapai ukuran tertentu (Effendie 2002; Widodo 2006). Perubahan kelamin terjadi pada saat panjang total ikan berukuran antara 42-62 cm, dan untuk mencapai dewasa membutuhkan waktu 2-3 tahun dengan berat >2,5 kg (Elevati dan Aditya 2001). Kerapu sunu merupakan komoditas ekspor yang harganya cukup tinggi. Dua jenis kerapu sunu yang berharga tinggi dan terdapat di Indonesia yaitu P. leopardus (leopard corral trout) dan P. maculatus (barred cheek corral trout). Spesies kerapu dari genus Plectropomus yang dapat dibudidayakan dan memiliki nilai jual cukup tinggi adalah ikan kerapu sunu atau kerapu merah (Plectropomus leopardus). Harga jenis leopardus hidup mencapai sekitar US$ 30-50/kg pada tahun 2010. Jenis ini banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya lebih cepat dari jenis ikan kerapu lainnya, benihnya mudah diperoleh dari alam (penangkapan) dan pemijahan dalam bak.

(17)

Kebiasaan makan ikan kerapu termasuk jenis ikan karnivora dan makan dengan cara menggerus targetnya yaitu ikan tembang, teri, belanak, crustasea, dan cephalopoda. Termasuk ke dalam predator yang dominan dan tergolong ikan buas, hidup soliter, dan menetap (sedentary). Umumnya ikan karang merupakan jenis ikan yang menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya mudah dijangkau (Utojo et al. 1999). Umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap, menahan, dan merobek mangsa. Jari-jari insang sebagai penahan, memegang, memarut dan menggilas mangsa. Mempunyai lambung benar dan palsu, usus pendek, tebal dan elastis (Yeeting et al. 2001;Effendie 2002).

Aktivitas reproduksi terjadi dalam satu pemijahan massal (spawning agregation) yang melibatkan puluhan hingga puluhan ribuan individu (Sadovy 2005). Pemijahan massal adalah kelompok spesies yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Utojo et al. 1999). Umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ini menjadi target bagi aktivitas penangkapan (Sadovy 2005). Eksploitasi pada lokasi pemijahan massal akan berimplikasi terhadap ekologi reproduksi. Individu yang lebih tua dan berukuran besar lebih rentan terhadap penangkapan menyebabkan proporsi jantan menurun dalam populasi. Individu muda yang belum memiliki pengalaman melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal akan menghilangkan lokasi pemijahan tersebut. Namun jika lokasi pemijahan masih berfungsi akan mengganggu keberhasilan pemijahan sebab penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma (Grandcourt et al. 2005).

Catalano dan Allen (2010) menyatakan dalam siklus hidup spesies ikan reproduksi dan rekruitmen merupakan hal yang sangat penting dan kritis sebab proses ini melibatkan perpindahan antar wilayah dan beberapa spesies melakukan migrasi ke daerah pemijahan utama. Umumnya populasi ikan rentan terhadap dampak aktivitas penangkapan di daerah pemijahan (spawning ground) dan di daerah pengasuhan (nursery ground) daerah tersebut stok induk dan juvenil melimpah.

Sistematika ikan kerapu sunu menurut FAO (2005) sebagai berikut : Phylum : Chordata

Nama dagang : Spotted coralgrouper, spotted coraltrout, viele saintsilac, mero con pintas, mero de coral, coral cod, jin hou, sai sing

(18)

Gambar 1 Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (FAO 2005)

Tingkat Kematangan Gonad

Tahapan penting pada siklus reproduksi ikan adalah proses pematangan gonad yaitu tahapan perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad dan bobot ikan akan mencapai maksimum sesaat sebelum memijah kemudian menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (2002) pertambahan bobot gonad betina pada saat stadium matang gonad mencapai 10–25% dan jantan 5-10% dari bobot tubuh. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan kematangan gonad ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran telurnya.

Perkembangan gonad ikan secara garis besar dibagi atas dua tahap perkembangan utama yaitu tahap pertumbuhan gonad sampai ikan mencapai tahap dewasa kelamin dan tahap pematangan produk seksual. Perkembangan gonad ikan betina (ovarium) terdiri atas beberapa tingkat yang dapat diamati secara mikroskopis dan makroskopis. Secara mikroskopis perkembangan telur diamati untuk menilai perkembangan ovarium antara lain tebalnya dinding indung telur, keadaaan pembuluh darah, inti butiran minyak, vesikula dan kuning telur. Pengamatan secara makroskopis perkembangan ovarium dengan mengamati warna indung telur, ukuran butiran telur, dan volume rongga perut ikan.

(19)

Tabel 1 Tahap perkembangan gonad ikan kerapu Kelas Keterangan

1 Ovari tidak matang didapatkan oocyt tingkat 1 dan 2 bila tidak terdapat Jaringan yang mengkerut menunjukkan belum pernah terjadi pemijahan 2 Betina dengan ovary matang beristerahat terdapat oocyt tingkat 1, 2,

dan 3, mungkin terdapat jaringan mengkerut sisa pemijahan dulu

3 Betina matang aktif kebanyakan oocyt tingkat 3 dan 4 dan secara morfologi ovary berkembang mudah dikenal

4 Betina pasca pemijahan kelas ini susah didapatkan

5 Transisi sukar dikenal dari luar gonad terlihat mengkerut dan didalamnya kosong jaringan mengkerut banyak didapatkan pada bagian tengah

6 Testes tidak matang hampir sama dengan kelas sebelumnya banyak didapatkan kerutan

7 Testes menuju masak didapatkan kelompok kantung spermatogonia spermatocyt 1 dan 2

8 Testes masak banyak spermatocyt 1 dan 2 didapatkan pula sperma di dalam kantung

9 Testes masak sekali banyak didapatkan spermatozoa di dalam kantung spermatocyt tingkat awal sangat jarang

10 Testes pasca pemijahan kantung sperma umumnya kosong

Sumber : Tan dan Tan (1974)

Pertumbuhan

Mempelajari permasalahan pertumbuhan pada disiplin perikanan sering diucapkan sebagai usaha untuk menghubungkan sebuah peubah yang mencirikan suatu individu (panjang atau bobot spesies) dengan umur dari spesies tersebut. Sejak tahun 1975 dipelopori oleh Henderstrom dari Swedia banyak para ahli dibidang perikanan berikutnya mencoba mengungkapkan teknik-teknik untuk menduga umur ikan. Beberapa karakteristik yang pernah diungkapkan adalah sebaran frekuensi panjang, percobaan bertanda (tagging dan marking), sisik, batu telinga (otolith), bagian tutup insang (opercular), tulang punggung (vertebra), sirip (fin rays) dan sebagainya. Hubungan antara pendugaan umur dengan kecepatan pertumbuhan sangat erat dan memainkan peranan penting dalam dinamika populasi ikan (Boer dan Aziz 2007).

(20)

jumlah pakan, temperature, dan siklus hormonal dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.

Model Von Bertalanffy adalah model yang umum digunakan dalam kajian stok ikan yaitu panjang badan sebagai fungsi dari umur. Parameter-parameter yang sering digunakan yaitu panjang infinitif ( ) merupakan panjang maksimum secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yaitu umur teoritis pada saat

panjang sama dengan nol (Pilling et al. 1999). Model ini menjadi dasar dalam biologi perikanan digunakan sebagai sub model untuk model yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan (Sparre dan Venema 1999). Pendugaan parameter pertumbuhan metode yang umum digunakan adalah metode anatomik dan analisis frekuensi panjang. Analisis frekuensi panjang bertujuan menentukan umur terhadap kelompok umur-umur tertentu dan memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran. Analisis frekuensi panjang lebih umum digunakan untuk ikan tropis sebab tidak memerlukan keahlian khusus dalam pengumpulan data dan memerlukan waktu yang singkat sehingga biayanya lebih murah.

Laju Eksploitasi

Potensi penangkapan ikan tahunan sebesar 6,7 juta ton untuk keseluruhan perairan Indonesia yang terdiri dari 2 juta ton untuk zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) dan 4,7 juta ton bagi perairan laut teritorial (zona 12 mil laut) (Dahuri 2002). Sumber daya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun potensinya berbeda dari satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Dahuri (2002) menyatakan dari 12 wilayah pengelolaan perikanan beberapa lokasi tingkat pemanfaatannya telah melebihi atau mendekati potensi lestarinya, seperti Selat Malaka dan Laut Jawa (> 100%), laut Banda (82,19%) serta Selat Makassar dan Laut Flores (70,50%). Mallawa (2006) mengungkapkan 5 wilayah pengelolaan sumber daya demersal telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda dan Samudera Hindia dan 3 wilayah pengelolaan masih rendah tangkap (under exploited) yaitu Laut Cina Selatan, Laut Seram, dan Samudera Pasifik dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut Arafuru. Potensi penangkapan ikan menurun secara cepat mulai dari perairan pantai menuju laut lepas.

(21)

dukung habitat dan meningkatkan kesempatan tumbuh bagi ikan-ikan kecil (Sparre dan Venema 1999).

Penangkapan yang terus menerus dari suatu stok ikan yang berukuran besar atau sedang memijah dapat menurunkan karakteristik genetik yaitu kelainan bentuk atau perilaku. Keragaman genetik dari populasi dapat dipengaruhi sehingga menurunkan ketahanannya dalam menghadapi variasi dan perubahan lingkungan (Vrijenhoek 1998). Hurtado et al. 2005; Nelson 2007 menyatakan ciri populasi yang mengalami eksploitasi tinggi adalah perubahan komposisi ukuran ikan menjadi lebih kecil sehingga secara signifikan akan berpengaruh terhadap hasil reproduksi. Ikan berukuran besar memiliki potensi produksi yang lebih besar dibandingkan ikan yang berukuran kecil. Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur ikan. Nelayan cenderung menangkap ikan yang berukuran besar daripada ikan yang berukuran kecil. Akibatnya populasi ikan akan didominasi oleh ikan ukuran kecil yang mengalami kematangan gonad lebih awal (Effendie 2002). Sanchez (2000) menyatakan penangkapan yang berlebihan akan menurunkan ukuran dan umur ikan pada populasi tersebut.

Laju eksploitasi didefenisikan sebagai suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup dengan kata lain laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena kematian alami maupun penangkapan. Menurut Pauly (1984) laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas total (Z). Mortalitas penangkapan dapat diperoleh setelah mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) diketahui. Mortalitas penangkapan (fishing mortality rate) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) mencakup jumlah, jenis ikan, efektivitas alat penangkapan dan waktu yang digunakan untuk melakukan penangkapan. Mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan Von Bertalanffy yaitu K dan Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu pula sebaliknya. Pauly (1984) menyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan, panjang maksimum teoritis, dan laju pertumbuhan. Laju mortalitas total dapat diestimasi menggunakan metode Beverton-Holt berbasis data panjang (Sparre dan Venema 1999). King (1995) menyatakan laju mortalitas total merupakan hasil penambahan dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Eksploitasi optimal dari suatu stok ikan terjadi jika mortalitas penangkapan sebanding dengan mortalitas alaminya sehingga laju eksploitasi optimal (E) = 0,5. Sumberdaya dikatakan mengalami penangkapan lebih (overfishing) jika laju exsploited >0,5 dan under exploited bila penangkapannya < 0,5.

Laju eksploitasi merupakan bagian dari populasi yang ditangkap selama periode waktu tertentu (1 tahun). Populasi yang tidak dieksploitasi mortalitasnya mencakup mortalitas alami yang terdiri dari proses-proses seperti pemangsaan, penyakit, dan kematian melalui perubahan drastis dari lingkungan. Populasi yang di eksploitasi mortalitas totalnya terdiri dari mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Perbedaan mortalitas alami dan mortalitas total yaitu mortalitas total berdasarkan pada wilayah penangkapan dan alat tangkap sedangkan mortalitas alami berdasarkan pada wilayah (Carlson et al. 2008).

(22)

Tangkapan Maksimum Lestari

Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi dicirikan oleh Fmsy dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY

(Maximum Sustainable Yield) yaitu jumlah atau berat tangkapan maksimum yang dapat diperoleh dari suatu stok sumber daya ikan tanpa mempengaruhi reproduksinya dan rekruitmen dimasa depan. Sparre dan Venema (1999) mengungkapkan tangkapan maksimum dapat diperoleh tanpa mempengaruhi produktivitas stok ikan dalam jangka panjang. Ungkapan dalam jangka panjang digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu lalu serentak meningkatkan upaya penangkapan tapi diikuti dengan hasil yang makin berkurang pada tahun-tahun berikutnya karena sumber dayanya telah ditangkap (Gambar 2). Gambar 2 Tujuan dasar pengkajian stok ikan (Sparre dan Venema 1999)

Usaha perikanan tangkap memanfaatkan sumber daya hayati perikanan yang dapat pulih. Sumber daya tersebut dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa menimbulkan dampak negatif. Eksploitasi yang lebih besar melalui penambahan upaya seperti penambahan jaring dan kapal tidak akan meningkatkan hasil tangkapan namun sebaliknya akan menurunkan stok ikan. Gordon (1957) in Clark (1985) menjelaskan kondisi perikanan bebas tangkap adalah kondisi siapa saja dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan tanpa ada pembatasan. Kondisi perikanan akses terbuka tingkat upaya penangkapan akan meningkat sedangkan keuntungan yang diperoleh akan sama dengan nol.

(23)

maksimum dan lestari. Metode ini banyak digunakan di daerah perairan tropis karena dalam penggunaanya model ini hanya menggunakan hasil tangkapan per upaya (CPUE). Umumnya menggunakan metode produksi surplus dari Schaefer dan Fox yang menitik beratkan pada perbandingan hasil tangkapan yang dihubungkan dengan intensitas penangkapan.

PengelolaanSumber Daya Perikanan

Pengelolaan sumber daya perikanan memang dihadapkan pada suatu sistem yang kompleks yang timbul baik dari sistem sumber daya alam maupun interaksi antara sistem sumber daya alam dengan aspek manusia. Cochrane (2002) menjelaskan pengelolaan sumber daya perikanan didefenisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi. Penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas perikanan dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumber daya perikanan harus memperhatikan semua aspek yang berhubungan dengan sumber daya tersebut sebab seluruh dinamika alam dan intervensi manusia mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sumber daya perikanan tersebut sepanjang waktu.

Keputusan pengelolaan atau eksploitasi yang dilakukan dimasa lalu akan mempengaruhi kondisi sumber daya perikanan dimasa sekarang dan dimasa akan datang demikian juga keputusan pengelolaan atau eksploitasi dimasa sekarang akan mempengaruhi kondisi sumber daya perikanan dimasa depan. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan tantangan untuk memelihara sumber daya yang lestari menjadi isu yang kompleks dalam pembangunan perikanan meskipun sumber daya perikanan dikategorikan sebagai sumber daya yang dapat pulih. Pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar ikan dapat ditangkap tanpa harus menimbulkan dampak negatif untuk masa mendatang.

Tujuan utama pengelolaan sumber daya berkelanjutan adalah pencapaian keuntungan secara maksimum dengan tetap menjaga keberlangsungan ketersediaan sumber daya sebagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa menurunkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Dahuri 2002). Selanjutnya atas dasar definisi dari tujuan tersebut pembangunan berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologis, dan sosial.

Keadaan Umum Wilayah Kajian

Luas Wilayah

(24)

 Utara berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara Provinsi Sulawesi Tenggara

 Timur berbatasan dengan Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara

 Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara  Barat berbatasan dengan Teluk Bone Provinsi Sulawesi Selatan.

Daerah Kabupaten Kolaka mencakup jazirah daratan dan kepulauan yang memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 6.914,94 km2 dan luas wilayah perairan laut diperkirakan seluas 15.000 km2 dengan panjang garis pantai 295.875 km serta memiliki 13 (tiga belas) buah pulau-pulau kecil dengan luas secara keseluruhan pulau-pulau kecil tersebut yaitu 4.384 Ha. Berdasarkan luas wilayah Kabupaten Kolaka menurut Kecamatan masing-masing dapat secara lengkap dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2 Luas wilayah Kabupaten Kolaka menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kolaka 2011

Secara administratif Kabupaten Kolaka dibagi dalam 15 Kecamatan yang terdiri dari 45 Kelurahan dan 178 Desa. Dari 15 kecamatan tersebut, terdapat 10 kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut atau kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Wolo, Samaturu, Latambaga, Kolaka, Wundulako, Baula, Pomalaa, Tanggetada, Watubangga dan Kecamatan Toari (DKP Kolaka 2011).

Kependudukan

(25)

2010 bertambah menjadi 263.677 jiwa dan tahun 2011 jumlah penduduk Kabupaten Kolaka tercatat sebesar 285.928 jiwa atau 68.625 KK (kepala keluarga) dengan jumlah keluarga miskin sebesar 70.798 (24,76 %) atau sejumlah 16.992 KK yang sebagian besar mendiami wilayah pantai atau pesisir (DKP Kolaka 2011).

Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kolaka tahun 2000 sampai 2010 rata-rata sebesar 3,14 % per tahun. Kecamatan yang pertumbuhan penduduknya mencapai satu digit ada 10 Kecamatan yaitu Kecamatan watubangga (5,68 %), Kecamatan Tanggetada (1.51 %) Kecamatan Pomalaa (2,43 %), Kecamatan Baula (1,06 %), Kecamatan Ladongi sebesar (21,15 %), Kecamatan Tirawuta (6,91 %), Kecamatan Wolo (1,03 %), Kecamatan Samaturu (1,08 %), Kecamatan Mowewe (3,32 %), dan Kecamatan Uluiwoi (2,08 %). Kecamatan lainnya memiliki pertumbuhan di bawah 1 % (DKP Sulawesi Tenggara 2011).

Keadaan Iklim

Iklim umumnya seperti di wilayah lain di Indonesia yang berada disekitar daerah khatulistiwa yakni beriklim tropis. Memiliki dua musim yaitu musim hujan yang berlangsung pada bulan November sampai Maret dimana pada bulan tersebut angin barat bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik yang mengandung banyak uap air yang lazim juga disebut musim barat. Musim kemarau atau angin timur umumnya pada bulan Mei sampai Oktober setiap tahun. Khusus pada April terjadi curah hujan dan tiupan angin dengan arah yang tidak menentu sehingga akumulasi kondisi cuaca secara keseluruhan. Wilayah daratan Kabupaten Kolaka mempunyai ketinggian umumnya dibawah 1000 meter dari permukaan laut (DKP Kolaka 2011).

Topografi dan Kondisi Hidro-Oseanografi

Keadaan permukaan bumi di wilayah Kabupaten Kolaka umumnya terdiri dari gunung dan bukit-bukit yang memanjang dari utara ke selatan. Antara gunung dan bukit terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk pengembangan sektor pertanian dengan tingkat kemiringan yang bervariasi (DKP Provinsi Sultra 2010) sebagai berikut :

(26)

 Antara 400 keatas seluas 634,388 Ha (61,23% dari luas daratan).

Berdasarkan data tersebut di atas maka dapat dijelaskan Kabupaten Kolaka memiliki topografi yang pada umumnya berbukit sampai bergunung-gunung dan hanya sedikit terdapat daerah yang landai. Perkembangan daerah yang landai terus mengalami peningkatan akibat adanya usaha pemerintah dan masyarakat setempat untuk melakukan reklamasi pantai. Beberapa daerah yang telah mengalami reklamasi pada daerah pantai dengan ditemukannya perumahan nelayan di atas perairan pantai yaitu di Anaiwoi, Hakatutobu, Tambea, Dawi-dawi, Lamokato dan Kolakaasi. Kabupaten Kolaka memiliki beberapa sungai yang cukup potensial untuk memenuhi kebutuhan seperti; irigasi, sumber air bersih, industri, serta pariwisata. Sungai-sungai tersebut yaitu : sungai Wolulu, sungai Oko-Oko, sungai Huko-Huko, sungai Baula, sungai Lamekongga, sungai Ladongi, sungai Andowengga, sungai Tokai, sungai Loea, sungai Simbune, sungai Balandete, sungai Kolaka, sungai Manggolo, sungai Wolo, sungai Tamboli, sungai Konaweha, sungai Mowewe dan sungai Konawe.

Sudut oseanografi luas wilayah perairan laut Kabupaten Kolaka diperkirakan mencapai + 15.000 Km2 dan masuk ke dalam kawasan perairan Teluk Bone. Wagey (2004) mengatakan bahwa kajian daya dukung lahan laut di perairan Teluk Bone pada tahun 2004 menghasilkan penggambaran fenomena yang terjadi pada periode Monsun Tenggara (Agustus 2004). Dimana Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar 0,0492 - 2,4140 meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang sama berkisar 0,5x10-3 - 12,25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. Peristiwa downwelling terjadi di beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur. Kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah 0,5 x 10-3 - 3,5 x 10-3 m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke bawah adalah 0,5x10-3 - 4,6x10-3 m/dt. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar 27,083 - 29,029 ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman rata-rata 150 meter adalah 17,677 - 18,328ºC. Kisaran salinitas di permukaan antara 33 - 32,32 PSU, dan kisaran salinitas di kedalaman rata-rata 150 meter mencapai 34,388 - 34,860 PSU. Sedangkan kisaran densitas dari seluruh stasiun pengamatan adalah 20 - 25 kg/m3.

Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

(27)

Tabel 3 Potensi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatan di Kabupaten Kolaka tahun 2011

No Potensi Dugaan Potensi Tingkat Pemanfaatan Lestari Volume % 1 Perairan laut 37.500 ton/tahun 19.700,70 ton/thn 52,50 2 Perairan umum 10.000 ton/tahun 213,30 ton/thn 2,10 3 Budidaya air payau 8.500 Ha 4.643,36 Ha 20,80 4 Budidaya air tawar 6.000 Ha 369,43 Ha 7,05 5 Budidaya laut 7.000 Ha 27,73 Ha 8,80

Sumber : DKP Kabupaten Kolaka 2011

Produksi perikanan Kabupaten Kolaka untuk semua jenis perairan dan kegiatan budidaya cenderung mengalami fluktuasi dari tahun 2004 hingga 2008. Tahun 2008 tingkat pemanfaatannya mencapai 52,5% dari dugaan potensi lestarinya sebesar 37.500 ton/thn. Produksi perairan umum tampak mengalami fluktuasi dan cenderung menurun dimana produksi tertinggi dicapai tahun 2004 dengan volume produksi sebesar 315,90 ton dan produksi terendah tahun 2006 sebesar 144,80 ton.

Produksi perikanan budidaya air payau terlihat mengalami peningkatan berturut-turut dari tahun 2004 sampai 2007, namun mengalami penurunan pada tahun 2008 dengan volume produksi hanya sebesar 4.643,36 ton dan merupakan produksi terendah selama kurung waktu lima tahun. Produksi perikanan budidaya air tawar mengalami fluktuasi tahun 2004 hingga 2006 terlihat mengalami peningkatan namun mengalami penurunan tahun 2007 dan kembali meningkat tahun 2008 yang merupakan produksi tertinggi selama kurun waktu lima tahun yaitu sebesar 369,43 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 7,05%. Produksi perikanan budidaya laut memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun dan mencapai produksi tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar 27.727 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 8,8%. Perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka pada tahun 2004 hingga 2008 untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 3.

(28)

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan Januari sampai Juni 2012, di perairan Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara (Lampiran 1). Lokasi dipilih dengan pertimbangan bahwa perairan ini merupakan salah satu wilayah penangkapan ikan kerapu di Sulawesi Tenggara.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survey mencakup data primer dan data sekunder. Prosedur pengambilan data primer yaitu ikan kerapu yang didaratkan di pengumpul ikan, setiap individu diukur panjang totalnya menggunakan mistar ukur dengan ketelitian 0,1 cm kemudian ditimbang beratnya dengan timbangan elektrik yang memiliki ketelitian 0,01 gram selanjutnya ditabulasi berdasarkan panjang, bobot, dan tanggal pengambilan data. Pengumpulan data dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan jumlah sampel setiap bulan ± 500 ekor. Pengambilan sampel secara acak sebanyak ± 15 ekor/bulan diukur panjang dan bobotnya kemudian diambil gonadnya melalui pembedahan dan ditimbang untuk mengetahui indeks kematangan gonad (IKG). Kemudian diamati dengan mikroskop untuk menentukan tingkat kematangan gonad (TKG) dan jenis kelaminnya di laboratorium SMK Negeri 2 Kabupaten Kolaka.

Data jumlah dan berat ikan digunakan untuk menganalisa komposisi ikan kerapu. Data panjang total digunakan untuk menduga laju eksploitasi. Pengumpulan data dilakukan juga melalui observasi dan wawancara meliputi data unit penangkapan (pemilik mesin, kapal, nelayan atau anak buah kapal, alat tangkap), dan kegiatan operasi penangkapan. Data sekunder adalah data hasil tangkapan dan upaya penangkapan ikan kerapu sunu tahun 2005 sampai 2011 di Dinas Perikanan Kabupaten Kolaka. Data sekunder digunakan untuk menduga hasil tangkapan maksimum lestari atau menduga nilai MSY ikan kerapu sunu.

Analisa Data

Hasil Tangkapan Maksimum Lestari

Model surplus produksi digunakan untuk pendugaan hasil tangkapan maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). Hasil tangkapan maksimum diestimasi dari data input sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999) :

 fi = upaya dalam tahun i, i = 1,2,. ..., n

 Y/f = hasil tangkapan (dalam bobot) per unit upaya pada tahun i.

(29)

1. Upaya dan hasil tangkapan masing-masing upaya dihitung totalnya hingga tahun ke-i, dimana i = 1,2,3, ...,n

2. CPUE dihitung untuk masing-masing upaya

3. Total upaya terbesar dari kedua jenis upaya dipilih sebagai standar dalam menghitung Fishing Power Indeks (FPI).

4. Jika upaya terbesar adalah bubu maka FPI bubu = dan FPI pancing =

5. Upaya standar untuk tahun ke-i dimana i = 1,2,3...,n dihitung melalui persamaan berikut :

Upaya standar = (upaya bubu tahun ke-i x FPI bubu) + (upaya pancing

tahun ke-i x FPIpancing )

Pendugaan MSY dengan menggunakan model Schaefer atau model Fox, dari hasil upaya standar yang diperoleh. Model Schaefer hasil tangkapan per upaya penangkapan sebagai suatu fungsi dari upaya dengan model linear sebagai berikut:

Jika adalah peubah tak bebas yang disimbolkan dengan dan adalah peubah bebas yang disimbolkan dengan maka diperoleh persamaan :

Model Fox berbentuk logaritma yang jika dilinierkan menjadi sebagai berikut :

Jika adalah peubah tak bebas dan adalah peubah bebas maka diperoleh persamaan sebagai berikut :

Analisis regresi linier menggunakan metoda kuadrat terkecil akan diperoleh nilai atau dari data runtut waktu selama n tahun sebagai berikut :

(30)

Perhitungan koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui berapa persen dari data dapat dijelaskan oleh model regresi linier melalui persamaan sebagai berikut:

Jika nilai untuk persamaan regresi model Schaefer lebih besar dari persamaan regresi model Fox, maka perhitungan MSY dilakukan dengan model Schaefer, demikian pula sebaliknya. Setelah nilai diperoleh maka dilakukan perhitungan nilai MSY dan upaya optimum . Perhitungan nilai MSY dan untuk model Schaefer adalah sebagai berikut :

Sedangkan untuk model Fox adalah sebagai berikut:

Laju Eksploitasi

Pendugaan laju eksploitasi menggunakan data mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F). Pendugaan koefisien mortalitas alami menggunakan persamaan empiris (Pauly 1984 in Sparre dan Venema 1999) yaitu hubungan antara kematian alami (M) dengan parameter-parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (K, ) dan suhu lingkungan perairan (T) sebagai berikut :

Dimana : Lt = panjang pada umur

L = L infiniti atau panjang tak terhingga K = koefisien pertumbuhan

t = umur ikan

(31)

Pauly (1980) menyusun analisis regresi M (per tahun) terhadap K (per tahun) L∞ dan T (rata-rata suhu permukaan air tahunan dalam derajat Celcius dan dikenal dengan rumus empiris Pauly :

adalah panjang asimptotik, K adalah koefisien pertumbuhan dan T adalah suhu rata-rata tahunan (°C).

Persamaan Beverton dan Holt (Sparre dan Venema 1999) digunakan untuk pendugaan laju mortalitas total (Z) sebagai berikut :

adalah panjang rata-rata ukuran, adalah panjang di mana ikan pada ukuran tersebut dan lebih panjang berada pada penangkapan penuh. dapat pula dianggap sebagai batas kelas bawah dari interval kelas panjang (Sparre dan Venema 1999).

Nilai Z dan M digunakan untuk menduga mortalitas penangkapan (F) dengan persamaan sebagai berikut :

Laju eksploitasi ikan kerapu dapat diduga berdasarkan nilai Z dan F dengan persamaan :

Jika E > 0,5 menunjukkan tingkat eksploitasi tinggi (over fishing), E = 0,5 tingkat pemanfaatan optimal (Eopt), dan E < 0,5 tingkat eksploitasi rendah (under

fishing) (Gulland 1971 in Sparre dan Venema 1999).

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Menentukan tingkat kematangan gonad ikan ada dua cara yaitu secara morfologi dan histologi. Penelitian ini menggunakan penentuan secara morfologi yaitu berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, serta perkembangan isi gonad.

(32)

Dimana : Log m = logaritma dari panjang pada kematangan yang pertama Xt = logaritma nilai tengah panjang ikan 50% matang gonad x = logaritma dari pertambahan nilai tengah panjang pi = jumlah matang (ri) dibagi jumlah ikan (ni)

Sedangkan pengamatan bobot gonad digunakan untuk menghitung indeks somatik gonad dengan menggunakan rumus Effendie (2002) sebagai berikut :

Keterangan : ISG = indeks somatik gonad BG = berat gonad (gram) BB = bobot badan (gram)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Frekuensi Panjang Ikan Kerapu

Berdasarkan hasil penelitian total jumlah ikan kerapu yang tertangkap di Perairan Kabupaten Kolaka selama bulan Maret sampai Mei sebanyak 1505 ekor. Panjang total 21 sampai 90 cm dan bobot 100 sampai 12000 gram (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan panjang ikan kerapu sunu di Perairan Kabupaten Kolaka

No Parameter Ikan kerapu sunu

(33)

Berdasarkan hasil pengelompokkan didapatkan 14 kelas panjang dengan frekuensi tertinggi betina pada selang kelas 31-35 sebanyak 334 ekor dan jantan selang 61–65 sebanyak 51 ekor (Lampiran 9). Selang 56-60 terjadi frekuensi gabungan betina dan jantan disebut masa transisi yaitu proses perubahan jaringan ovarium mengkerut kemudian jaringan testesnya berkembang. Data frekuensi panjang digunakan untuk mengetahui kelompok ikan dengan ukuran tertentu. Frekuensi panjang yang digambarkan dengan grafik akan membentuk beberapa puncak sebagai tanda kelompok umur ikan kerapu sunu. Sparre dan Venema (1999) menyatakan frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok umur-umur tertentu dan memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran. Metode pengkajian stok (stock assessment) pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik yang dikembangkan memungkinkan dilakukan konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Berdasarkan metode NORMSEP (normal separation) yang terdapat pada program FISAT II (FAO-ICLARM Stock Assessment Tool) dapat mengambarkan jumlah kohort dari sebaran frekuensi panjang ikan (Gambar 4).

Gambar 4 Sebaran frekuensi panjang ikan kerapu sunu Maret sampai Mei 2012 Tabel 5 Nilai kelompok umur ikan kerapu sunu periode Maret sampai Mei 2012

Waktu (bulan) Nilai Tengah (cm) Jumlah Populasi

Maret 30,36 203,73

43,37 296,27

April

32,49 161,91

41,24 140,44

50,87 198,65

Mei 36,99 342,03

57,11 161,97

Maret

April

(34)

Analisis kelompok umur dilakukan setiap pengambilan contoh. Hal ini dilakukan untuk melihat perubahan rata-rata panjang pada setiap pengambilan sampel. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk menduga umur ikan dan kelompok umur, karena frekuensi panjang umumnya berasal dari umur yang sama (Tabel 5). Grafik pertumbuhan ikan kerapu sunu betina dan jantan mengalami pergeseran ke arah kanan yang menunjukkan adanya pertumbuhan. Selama pengambilan contoh ditemukan adanya kelompok umur baru (rekruitment) dapat dilihat pada Gambar 10 persentase kematangan gonad, komposisi TKG bulan Mei banyak ditemukan TKG I.

Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar yang diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama. Pauly (1984) menyatakan fungsi analisis frekuensi panjang adalah untuk menentukan umur dan membandingkan dengan metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit. Selain penentuan umur dengan menggunakan frekuensi panjang dapat juga menggunakan tagging, marking, sisik, batu telinga (otolith), tulang operculum, tulang punggung (vertebrae) dan jari-jari keras sirip punggung. Penentuan umur tersebut baik untuk ikan didaerah bermusim empat, pelambatan pertumbuhan terjadi pada musim dingin. Daerah tropik seperti Indonesia termasuk perairan Kabupaten Kolaka perbedaan suhu perairan antara musim hujan dengan musim kemarau umumnya tidak begitu nyata sehingga tidak menyebabkan perbedaan nyata dalam pertumbuhan. Oleh karena itu analisis frekuensi panjang lebih umum digunakan sebab tidak memerlukan keahlian khusus dan waktu yang lama dalam pengumpulan data sehingga biayanya lebih murah.

Parameter Pertumbuhan

Hasil perhitungan parameter pertumbuhan dengan menggunakan metode plot Ford-Walford didapatkan parameter pertumbuhan L∞adalah 92,4 cm. Nilai

estimasi L∞ digunakan sebagai dugaan awal untuk estimasi nilai koefisien

pertumbuhan (K) didapatkan hasil 0,75/tahun. Hasil penelitian ikan kerapu sunu di beberapa perairan lainnya didapatkan nilai K dan L∞ yang berbeda yaitu

Hurtado et al. (2005) di perairan Campeche Mexico mendapatkan nilai L∞ 82,7

cm dan K sebesar 0,21. Grandcourt et al. (2005) di perairan Teluk Selatan Arab nilai K 0,14/tahun dan L∞ 97,9 cm. Carlson et al. (2008) di Pantai Barat Florida mendapatkan nilai K 0,23/tahun dan L∞ 80 cm dan Prasetya (2010) di perairan

Teluk Lasongko Kabupaten Buton mendapatkan nilai K 0,21/tahun dan L∞ 75,7

cm, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Parameter pertumbuhan ikan kerapu sunu beberapa hasil penelitian

Sumber Lokasi Penelitian Parameter Pertumbuhan K(/thn) L∞ (cm) t0

(35)

Pertumbuhan ikan kerapu sunu di perairan kabupaten Kolaka tergolong cukup baik mengindikasikan kondisi perairan tergolong cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu sunu. Koefisien pertumbuhan lebih tinggi dapat disebabkan oleh kondisi perairan di suatu wilayah. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya sulit untuk dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin, umur, jumlah ikan, jenis makanan, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu suhu dan makanan. Hernandez dan Seijo (2003) menyatakan pertumbuhan yang cepat mengindikasikan kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan sesuai. Faktor genetik merupakan salah satu hal yang dapat menentukan cepat atau tidaknya pertumbuhan suatu individu. Vrijenhoek (1998) menyatakan faktor genetik yang terbentuk dalam spesies, jumlah pakan, temperatur, siklus hormonal, dapat mempengaruhi laju pertumbuhan. Perbedaan ukuran ikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya umur, ketersediaan makanan, penyakit, predasi, dan kondisi perairan. Model Von Bertalanffy umum digunakan dalam kajian stok ikan, panjang badan sebagai fungsi dari umur (Gambar 5).

Gambar 5 Grafik pertumbuhan von Bertalanffy ikan kerapu sunu

Grafik von Bertalanffy menunjukkan laju pertumbuhan ikan kerapu, mempunyai nilai yang berbeda pada bagian rentang umurnya. Ikan yang lebih muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat kemudian berkurang dengan bertambahnya umur dan berhenti pada ukuran tertentu. Sparre dan Venema (1999) menyatakan parameter pertumbuhan memegang peranan penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang sederhana untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu dengan menggunakan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy. Representasi pertumbuhan populasi dapat diketahui dari persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis yaitu mengetahui variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Berdasarkan Gambar 5. dapat diketahui pada kisaran umur 2 sampai 3 tahun terjadi masa interseks, atau masa transisi perubahan kelamin betina ke jantan yang berada pada kisaran panjang 56,5 cm sampai 57 cm. Demikian pula dari hasil analisis FISAT

Lt = 92,4 (1-e0,75(t+0,15))

(36)

ELEFAN I di dapatkan plot VBGF terlihat kisaran umur >50 cm berada pada umur 2-3 tahun (Gambar 6). Hal ini sejalan dengan pendapat Elevati dan Aditya (2001) perubahan kelamin terjadi pada saat panjang total 42-62 cm dan untuk mencapai dewasa membutuhkan waktu 2-3 tahun.

Gambar 6 Hasil analisis VBGF menggunakan ELEFAN I ikan kerapu sunu Parameter-parameter yang digunakan yaitu panjang infinitif (L∞) yang

secara teoritis merupakan panjang maksimum, koefisien pertumbuhan (K) yang menentukan seberapa cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya dan t0 disebut

juga pameter kondisi awal yang merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Berdasarkan gambar 6. dapat diduga bahwa kerapu sunu akan menetas pada pertengahan Agustus/September.

Laju Eksploitasi

Laju eksploitasi (E) merupakan rasio antara mortalitas penangkapan (F) dan mortalitas total (Z). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan, seperti pemangsaan, kanibalisme, penyakit, stress pemijahan, kelaparan, dan umur. Nilai mortalitas alami berkaitan dengan parameter pertumbuhan von Bertalanffy yaitu nilai K, L∞, dan T (suhu rata-rata perairan dalam setahun). Nilai K yang tinggi mempunyai nilai mortalitas alami yang tinggi sedangkan ikan yang pertumbuhannya lambat mempunyai nilai K yang rendah, memiliki mortalitas rendah bertujuan agar tidak terjadi kepunahan dari ikan tersebut. Heemstra dan Randall (2005) menyatakan ikan kerapu sunu memiliki pertumbuhan yang lambat. Mortalitas alami juga dikaitkan dengan L∞

sebab pemangsa ikan besar lebih sedikit daripada ikan kecil sedangkan dengan suhu perairan sebab sebagian besar proses biologi lebih cepat pada suhu yang tinggi (batas tertentu toleransi ikan). Pauly 1984; Catalano dan Allen 2010 menyatakan faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum teoritis dan laju pertumbuhan. Selanjutnya Carlson et al. (2008) menambahkan mortalitas alami berdasarkan pada baik atau buruknya kondisi wilayah suatu perairan.

0 1

(37)

Mortalitas alami ikan kerapu sunu di Perairan Kabupaten Kolaka yang didapatkan dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus empiris Pauly (Sparre dan Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan 300C sebesar 0,6/tahun. Mortalitas alami ini lebih tinggi dibanding beberapa peneliti di perairan yang berbeda. Prasetya 2010 di perairan Teluk Lasongko nilai M 0,49/tahun. Burgos dan Defeo (2004) mendapatkan nilai M sebesar 0,30/tahun di perairan Campeche Teluk Mexico. Pantai Barat Florida nilai M sebesar 0,15/tahun (Hurtado et al. 2005). Nilai M di perairan Kabupaten Kolaka masih tergolong kecil. Beverton dan Holt (1959) in Sparre dan Venema (1999) menyatakan nilai M yang besar berkisar antara 1,5–2,5. Mortalitas total diestimasi menggunakan metode Beverton-Holt berbasis data panjang dan nilai koefisien pertumbuhan. Mortalitas total ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 1,9 per tahun. Nilai ini tergolong tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Prasetya (2010) di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton sebesar 1,01 per tahun, dan Grancourt et al. (2005) di Teluk Selatan Arab sebesar 0,97 per tahun.

Mortalitas penangkapan (fishing mortality rate) merupakan fungsi dari upaya penangkapan (fishing effort) mencakup jumlah dan jenis ikan, efektivitas dari alat tangkap dan waktu yang digunakan untuk melakukan penangkapan. Dari hasil perhitungan mortalitas total dikurangi mortalitas alami didapatkan mortalitas penangkapan sebesar 1,3/tahun. Nilai ini jauh lebih tinggi dari hasil yang didapatkan di beberapa perairan yaitu Grandcourt et al. (2005) di perairan Selatan Teluk Arab sebesar 0,78/tahun, nilai F yang didapatkan Prasetya (2010) di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton sebesar 0,52/tahun. Mortalitas penangkapan di perairan Kabupaten Kolaka telah meningkat secara signifikan selama 2 tahun (2007 dan 2008) berdampak rendahnya penangkapan pada tahun 2009 sampai 2011 (DKP Kabupaten Kolaka 2011). Burton (2002) menyatakan eksploitasi yang tinggi berpotensi merusak kestabilan stok dalam suatu perairan. Nilai mortalitas alami, mortalitas penangkapan, mortalitas total, dan laju eksploitasi untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F), mortalitas total (Z), dan laju eksploitasi (E) ikan kerapu sunu

No Parameter Nilai

1 Mortalitas Alami 0,6/tahun 2 Mortalitas Penangkapan 1,3/tahun 3 Mortalitas Total 1,9/tahun 4 Laju Eksploitasi 0,7/tahun

(38)

eksploitasi optimal E=0,5. Sumber daya dikatakan mengalami penangkapan lebih jika laju eksploitasi >0,5 dan under exploited bila penangkapannya <0,5.

Penangkapan lebih ikan kerapu yang terjadi di Perairan Kabupaten Kolaka disebabkan tingginya aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan setempat. Aparat pemerintah dalam hal ini Dinas Perikanan Kabupaten Kolaka tidak memberlakukan sanksi tegas terhadap nelayan yang memasang bubu atau penangkapan di pulau Padamarang sebagai areal Taman Wisata Alam Laut yang merupakan daerah pemijahan massal (spawning aggregation) untuk ikan kerapu sunu. Sadovy (2005) menyatakan bahwa umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama dan melibatkan puluhan ribu individu sehingga kumpulan ini menjadi target yang mudah bagi aktivitas penangkapan.

Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur ikan, nelayan cenderung menangkap ikan yang berukuran besar. Pengurangan jumlah ikan karena penangkapan akan mengakibatkan turunnya biomassa. Penangkapan yang terjadi secara terus menerus terhadap spesies yang berukuran besar atau spesies yang sedang memijah menurunkan karakteristik genetik tertentu yang menimbulkan kelainan bentuk atau perilaku. Hurtado et al. 2005; Nelson 2007 menyatakan ciri populasi yang telah mengalami eksploitasi tinggi adalah perubahan komposisi ukuran ikan menjadi lebih kecil sehingga secara signifikan akan berpengaruh terhadap hasil reproduksi. Jumlah ikan berukuran besar yang banyak memiliki potensi produksi lebih besar dibandingkan jumlah ikan yang berukuran kecil.Vrijenhoek (1998) menyatakan dengan berkurangnya keragaman genetik maka dapat mempengaruhi potensi produksi dan selanjutnya menurunkan ketahanan populasi dalam menghadapi perubahan lingkungan.

Penangkapan yang tidak ramah lingkungan dapat juga menjadi penyebab penurunan stok ikan. Data terbaru KKP (2011) menyatakan sebagian besar Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia telah mengalami overfishing dan dalam kondisi kritis disebabkan karena pengelolaan sumber daya ikan yang tidak ramah lingkungan. Memperbaiki kondisi lingkungan terumbu karang sebagai tempat hidup ikan kerapu merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh baik dengan cara penangkapan yang ramah lingkungan ataupun dengan cara transplantasi karang yang dinilai cukup efektif dan berhasil di beberapa perairan, sebab kelimpahan ikan karang sangat terkait dengan kondisi terumbu karang sebagai habitatnya. Williams et al. (2008) menyatakan dalam rangka meningkatkan pengelolaan perikanan terumbu karang, penting memahami dinamika populasi ikan karang dan proses-proses yang mengendalikannya terhadap berbagai tingkat tekanan penangkapan.

(39)

sumber daya ikan berkelanjutan serta tidak hanya terfokus pada perlindungan jenis ikan saja namun juga mengatur tentang konservasi ekosistem dan genetik.

Hasil Tangkap Maksimum Lestari

Alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka yaitu bubu dan pancing. Konstruksi bubu adalah berbentuk segi empat persegi panjang, dengan panjang x lebar x tinggi kurang lebih 100 x 80 x 60 cm. Kontruksi pancing ulur atau hand line terdiri dari tali pancing utama yang terbuat dari benang sintetik atau senar dengan mata pancing dilengkapi umpan alam seperti potongan ikan atau udang. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 7.

(40)

Tabel 8 Jumlah alat tangkap di perairan Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011

No Tahun Jumlah Alat Tangkap (unit) Bubu Pancing

Sumber : Diolah dari data statistik DKP Kabupaten Kolaka tahun 2011

Hasil tangkapan bubu dan pancing umumnya ikan dasar seperti ikan kerapu dan biota perairan lainnya sebagai hasil tangkapan sampingan. Untuk memikat ikan di dalam bubu diberi umpan ikan rucah. Metode pengoperasian bubu dengan cara direndam di dasar perairan untuk beberapa lama, ada yang direndam satu hari dan ada juga dua sampai tiga hari bahkan sampai lima hari apabila bubu belum mendapatkan hasil. Umumnya nelayan di Kabupaten Kolaka membutuhkan waktu 3 hari, diusahakan ikan kerapu yang tertangkap dalam kondisi hidup karena memiliki harga yang tinggi dibandingkan dengan yang telah mati. Perahu yang digunakan oleh nelayan adalah perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor dengan ukuran kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikan alat tangkap ini umumnya 1–2 orang dalam satu kali operasi rata-rata menggunakan >10 buah bubu, namun ada juga nelayan (Bapak Mbuli) yang menggunakan >40 bubu sekali operasi (Mbuli 8 Maret 2012, komunikasi pribadi).

Alat tangkap bubu lebih banyak digunakan oleh nelayan (67%) dibanding alat tangkap pancing (33%), penggunaan alat tangkap bubu yang lebih banyak disebabkan kualitas hasil tangkapan kerapu dengan alat tangkap bubu yang lebih baik dari alat tangkap pancing sehingga ikan kerapu hasil tangkapan bubu mempunyai harga yang lebih mahal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nababan (2006) yang menyatakan bahwa nelayan-nelayan di Sulawesi lebih memilih alat tangkap bubu dibanding pancing karena hasil tangkapan bubu biasanya tidak luka, mempunyai fisik yang baik dan dapat bertahan hidup lebih lama baik pada saat penangkapan, penampungan, dan perjalanan ke negara tujuan ekspor.

Daerah penangkapan ikan kerapu sunu di perairan pantai Kabupaten Kolaka pada kedalaman < 5 m untuk pancing dan > 10 m untuk bubu atau di sekitar areal terumbu karang bahkan ada beberapa nelayan yang memasang bubu di taman wisata alam laut (TWAL) pulau Padamarang, sebab daerah tersebut memiliki potensi sumberdaya kerapu yang tinggi walaupun sebenarnya pihak dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Kolaka telah mengeluarkan pelarangan terhadap pemasangan bubu diareal wisata tersebut namun belum adanya sanksi tegas mengakibatkan hal tersebut masih tetap berlangsung (Mbuli Maret 2012, komunikasi pribadi).

(41)

yang signifikan terjadi pada tahun 2007, kemudian menurun pada tahun 2008 dan meningkat kembali tahun 2009 selanjutnya menurun pada tahun 2010 dan 2011 (Gambar 8).

Gambar 8 Hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka tahun 2005 sampai 2011

Berdasarkan Gambar 8. Menunjukkan bahwa nelayan dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu lalu serentak meningkatkan upaya penangkapan, tapi diikuti dengan hasil yang semakin berkurang pada tahun-tahun berikutnya karena sumber daya telah ditangkap dan berkurang. King (1995) mengatakan bahwa hasil tangkapan yang dicirikan oleh MSY (maxsimum sustainable yield) yang diperoleh dari suatu stok sumber daya diharapkan tidak mempengaruhi reproduksi dan rekruitmen dimasa depan.

Melalui metode regresi sederhana antara CPUE (model Schaefer) dengan upaya standar diperoleh nilai koefisien regresi dan koefisien determinasi (R2) untuk ikan kerapu sunu, terlihat bahwa nilai R2 untuk model Schaefer lebih besar 0,8 dari model Fox 0,7 sehingga dalam perhitungan nilai MSY dan fopt digunakan

model Schaefer. Tujuan penggunaan model surplus produksi untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan yang maksimum dan lestari. Metode ini banyak digunakan di daerah perairan tropis karena motode ini hanya menggunakan hasil tangkapan per upaya (CPUE). Surplus produksi didasarkan pada asumsi bahwa setiap spesies ikan setiap tahunnya akan menghasilkan jumlah berlebih (surplus) yang dapat ditangkap dan jika ditangkap sebanyak surplus yang dihasilkan maka sumber daya tersebut akan tetap lestari.

(42)

semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hal tersebut akan berdampak pada besarnya biaya produksi yang dikeluarkan dengan keuntungan yang minimal sehingga nelayan akan mengalami kerugian dari segi finansial dan waktu. Kondisi ini juga akan mengakibatkan populasi ikan kerapu akan mengalami penangkapan berlebih. Untuk lebih jelas kurva hubungan upaya penangkapan dengan produksi dapat di lihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kurva hubungan antara produksi dan upaya model Schaefer. Nilai maksimum sustainable yield (MSY) atau hasil tangkap maksimum lestari (HTML) ikan kerapu sunu di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 1103 ton dengan menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach), Departemen Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari MSY (Barani 2004; Mous et al. 2005). Berdasarkan hasil perhitungan, maka JTB ikan kerapu di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 882 ton per tahun dengan upaya sebesar 297 unit. Berdasarkan perolehan nilai JTB maka jumlah tangkapan yang dilakukan oleh nelayan telah melebihi dari jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan sejak tahun 2006 sampai tahun 2011 (Lampiran 10). Mengakibatkan tingginya laju eksploitasi di perairan Kabupaten Kolaka sebesar 70%. Boer dan Azis (1995) menyatakan pengelolaan sumber daya perikanan bertujuan tercapainya kesejahteraan nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh penangkapan ikan. Selain itu pengelolaan perikanan juga mengontrol jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari.

Gambar

Grafik pertumbuhan ikan kerapu sunu
Gambar 1  Ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) (FAO 2005)
Tabel 1  Tahap perkembangan gonad ikan kerapu
Gambar 2  Tujuan dasar pengkajian stok ikan (Sparre dan Venema 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

PJTB1 PJTB2 PJTKB Penjelasan Kuesioner Individu Blok XII : Lingkungan PJTB1 PJTB2 PJTKB B : Perilaku PJTB1 PJTB2 PJTKB Penjelasan Kuesioner Individu Blok XIII C :

www.lean-indonesia.blogspot.com.. SPO memberikan bantuan hidup dasar f. SPO pemberian pelayanan kerohainian h. SPO Persetujuan tindakan kedokteran j. Dokumen hak dan kewajiban pasien

Provinsi Kota Nama Provider Kategori Alamat Telepon Faksimili RI/IP RJ/OP EDC DI TEMPAT 569 JAWA BARAT BOGOR PALANG MERAH INDONESIA (PMI) RS Jl. Raya Pajajaran No. Raya Cibuluh

Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-nilai yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada

Adapun alasan peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif yaitu karena dalam mengungkapkan kejadian atau peristiwa interaksi sosial

Analisis untuk menentukan elemen-elemen penting pembentuk lanskap permukiman tradisional Lampung di Tiyuh Gedung Batin dilakukan dengan membandingkan hasil studi

Mulsa Plastik Perak Hitam (MPPH) memberikan hasil respon lebih baik terhadap variabel tinggi tanaman, bobot segar buah, diameter buah, dan tebal daging buah melon. Dosis pupuk

Hasil perhitungan luas sawah yang bisa diairi dengan masing-masing tinggi bukaan pintu air disajikan pada Tabel 9 sampai dengan Tabel 13 berikut.. Luas sawah yang